Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi secara umum diartikan sebagai suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada
prosedur pembedahan dan berbagai prosedur lainya. Obat untuk mengilangkan nyeri dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat penghilang nyeri tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Terdapat berberapa tipe anestesi, yaitu anestesi total dengan
menghilangkan kesadaran secara total, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada tubuh daerah
tertentu,anestesi regional dengan blokade selektif pada spinal atau saraf sehingga bekerja pada
bagian yang lebih luas. Regional anestesi terbagi atas spinal anestesi, epidural anestesi dan blok
perifer.
Spinal anestesi, adalah teknik regional pertama utama dalam praktek klinis. Operasi
section caesaria memerlukan anestesi yang efektif yaitu regional (epidural atau tulang belakang)
atau anestesi umum. Dengan epidural anestesi, obat anestesi yang dimasukkan ke dalam ruang
di sekitar tulang belakang pasien, sedangkan dengan spinal anestesi yaitu obat anestesi
disuntikkan sebagai dosis tunggal ke dalam tulang belakang pasien. Dengan dua jenis anestesi
regional ini pasien terjaga dalam proses persalinan, tetapi mati rasa dari pinggang ke bawah.
Keuntungan dari spinal anestesi dibandingkan dengan anestesi epidural adalah kecepatan
onsetnya. Kerugian spinal anestesi adalah tingginya kejadian hipotensi, ada mualmuntah
intrapartum, kemungkinan adanya post spinal headache, lama kerja obat anestesi terbatas.
Komplikasi yang paling umum ditemui dengan anestesi spinal adalah hipotensi, yang disebabkan
blokade sistem saraf simpatik. Akibatnya, penurunan resistensi vaskuler sistemik dan perifer
terjadi penurunan cardiac output. Dalam beberapa kasus, efek kardiovaskular dapat
bermanifestasi sebagai hipotensi mendalam & bradikardia. Hipotensi merupakan masalah yang
serius yang terjadi dalam spinal anestesi pada operasi section caesaria.1

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


No. RM : 43 64 58
Nama : Ny. M.M
Umur : 43 tahun
Tinggi Badan : 150 cm
Berat Badan : 65 kg
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Sentani
Suku Bangsa : Ambon
Ruangan : VK
Tanggal masuk ruangan : 25 Maret 2017
Tanggal Operasi : 25 Maret 2017

2.2 Anamnesa
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan perut mules mules sejak 1 hari yang lalu.
Riwayat penyakit sekarang :
Ibu mengaku hamil 8-9 bulan, HPHT 24 Juni 2016, TP 31 Maret 2017. ANC di PUSTU
Ifale setiap bulan kehamilan dengan imunisasi tetanus toxoid 2 kali. mules mules ada
sejak 1 hari yang lalu dirasakan hilang timbul, keluar air-air (-), keluar lendir (+), keluar
lendir darah (+), gerak janin aktif, BAK dan BAB lancar.
Riwayat Penyakit Pernapasan : Asma dan TBC disangkal
Riwayat Penyakit Kardiovaskular : Disangkal
Riwayat Penyakit Lain : disangkal
Riwayat Alergi Obat : disangkal
Riwayat Operasi : Tidak ada
Kebiasaan : Merokok (-), alkoholik (-), obat-obatan (-)

2.3 Hasil Laboratorium :


7,9 gr % 11-16,5 gr%
HB
HCT 25,1% 35-50%

2
RBC 3,4X1012 3,8-5,8X1012

MCV 73 80-97

MCH 23 26,5-33,5

Trombosit 308.000 150.000-500.000

WBC 3 3,500-10.000
9.300 mm.

CT 630 5-7 menit

BT 230 3-7 menit

2.4 Status Anestesi


PS. ASA : 2E
Hari/Tanggal : Senin, 25/03/2017
Ahli Anestesiologi : Dr. Freddy Naiborhu, Sp.An
Ahli Bedah ; Dr. Liliana Wanane, Sp.OG
Diagnosa Pra Bedah ; G5P4A0 hamil 39-40 minggu, janin presentasi kepala
tunggal hidup, jumlah anak cukup, Anemia defisiensi besi.
Diagnosa Pasca Bedah ; P5 post SC + MOW
Keadaan Pra Bedah :
- KU : Puasa (+) mulai pukul 02.00
- TB : 150 cm
- BB : 65 kg
- Gol. Da : B
- TTV : TD :130/90 mmHg, N: 74x/m, SB: 36, RR: 20x/m
- SpO2 : 100 %
- Hb Pre Op : 7,9 g%
B1 : Bebas, gerak leher bebas, Mallampati score: 1, simetris +/
+, suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-, RR:
20x/m,
B2 : Perfusi: hangat, kering,, tampak pucat. Capilari refill < 2
detik, BJ: I-II murni regular.
B3 : Kontak (+), kesadaran: CM, GCS: E4V5M6, riwayat
pingsan (-), riwayat kejang (-).

3
B4 : Terpasang DC
B5 : Abdomen cembung, membesar sesuai usia kehamilan,
Bising usus (+)
B6 : Akral hangat (+), edema ekstremitas bawah(+)
Metabolik : Riwayat DM (-)
Hati : Riwayat ikterus (-), ikterus (-)

Laporan Durante Operasi


Laporan Anestesi
Hari/Tanggal : 25/03/2017
Ahli Anestesiologi : dr. Freddy Naiborhu. Sp.An
Jenis Pembedahan : Sectio Caesaria dan MOW
Lama Operasi : 12.15 12.46 wit
Jenis Anestesi : SAB
Lama Anestesi : 12.05 12.46 wit
Anestesi Dengan : Bupivakain 0,5%

Teknik Anestesi : Pasien posisi duduk, identifikasi L3-L4, disinfeksi dengan


betadine dan alcohol, ditusukan pada L3-L4 dengan spinokain
no. 27, blood (-), LCS (-), injeksi bupivakain, pasien
dibaringkan.
Teknik Khusus : -
Pernafasan : Terkontrol dengan O2 2-3 lpm
Posisi : Supine
Infus : Tangan kanan : Ringer Laktat
Penyulit selama : -
pembedahan
Keadaan Akhir : TD: 142/96 mmHg, N: 88x/m, SB: afebris, RR: 24x/m
pembedahan
Terapi Khusus : -
Pasca Bedah
4
Penyulit Pasca : -
Bedah
Hipersensitivitas/ : -
Alergi
Premedikasi : -
Medikasi : Bupivakain 13 mg
Tramadol 100 mg
Midazolam 1 mg

2.5 Laporan Pembedahan


Nama Pasien/umur : Ny. M.M / 48 tahun
Ahli Bedah : dr. L.W. Sp.OG
Jenis pembedahan : SC dan MOW
Lama Operasi : 31 menit (12.15 12.46 wit)
Penyulit pembedahan :-
Teknik Pembedahan :
- Pasien terbaring terlentang di atas meja operasi dalam anestesi spinal
- Desinfeksi drapping prosedur
- Incisi mediana dari kulit hingga fasia adipose
- Dinding abdomen diinsisi ditentukan secara tajamdan tumpul, dibuka lapis demi lapis,
perdarahan dirawat
- Setelah peritoneum ditembus, tampak uterus. Dilakukan insisi di SBR, ditembus dan
dilebarkan, secara tumpul
- Dengan menelusuri kepala, pada pukul 12.20, dilahirkan bayi , BB 3.700 g, PB 48
cm, A/S 7/8
- Ketuban jernih, dengan tarikan ringan dikeluarkan plasenta lengkap
- Dilakukan jahitan lapis demi lapis pada uterus dengan monosin 1,0 SBUdijahit
menggunakan monosin 3,0 jahit jelujur. Dipastikan tidak ada perdarahan, dinding
abdomen dijahit lapis demi lapis menggunakan plan 1, kulit ditutup, dijahit sub
kutikular dengan menggunakan monosin 3,0
- Operasi selesai

Diagnosa pra bedah :


G5P4A0 hamil 39-40 minggu, janin tunggal hidup, jumlah anak cukup, Anemia
defisiensi besi.

5
Diagnosa Pasca Bedah:
P5 post SC + MOW, Anemia defisiensi besi.

Instruksi post operasi


o Observasi TTV per 30 menit selama 2 jam pertama
o Mulai minum sedikit-sedikit 3 jam post operasi
o Imobilisasi, mulai miring kanan kiri 6 jam post operasi
o Ceftriakson 2x1 gr (iv)
o Keltrofen supp 3x1
o Cek Hb 6 jam post operasi

2.6 Follow up post operasi


1. Hari/ Tanggal : Sabtu, 26-03-2017
S: Pasien dapat beraktifitas di tempat tidur, merasakan nyeri pada perut bagian kanan dan
kiri terutama tempat bekas operasi.
O:
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/70 mmhg
Nadi : 78 x/m
Respirasi : 18 x/m
Suhu badan : 36oC
Hb post operasi 7,6 gr/dl
A: P5 post SC + MOW, Anemia defisiensi besi.
P: Observasi TTV
o Imobilisasi, mulai miring kanan kiri
o Ceftriakson 2x1 gr (iv) (H2)
o Keltrofen supp 3x1
o Rawat luka
o Transfusi PRC 624 cc

2. Hari/ Tanggal : minggu, 27-03-2017


S: Pasien dapat beraktifitas di tempat tidur, merasakan nyeri pada perut bagian kanan dan
kiri terutama tempat bekas operasi.
O:
Kesadaran : compos mentis
6
Tekanan darah : 120/80 mmhg
Nadi : 80 x/m
Respirasi : 18 x/m
Suhu badan : 36oC
A: P5 post SC + MOW, Anemia defisiensi besi.
P: Observasi TTV
o Imobilisasi, mulai miring kanan kiri
o Ceftriakson 2x1 gr (iv) (H3)
o Keltrofen supp 3x1
o Rawat luka
o Transfusi PRC 624 cc

2.7 Diagram Observasi

Chart Title
180
160 158
140 140 136
132 132 132 132 130
120 systole
110 diastole
100 100 100 102 98 100 100
92 86 86 88 90 88 Nadi
80 82 82 78 84 80 80
60
40
20
0
12:05 12:10 12:15 12:20 12:25 12:30 12:35 12:40 12:45

Catatan :
EBV = 65kg x 65cc = 4225 cc
EBL = 10 % = 423 cc
20 % = 845 cc
30 % = 1268 cc

2.8 Balance Cairan


Waktu Resusitasi cairan
Pre operasi kebutuhan:

7
Maintenance dan replacement (puasa 10 jam)
Cairan: (10 Kg I X 100 )+(10 Kg II X 50)+(sisa Kg BB
X 20)/24 jam= 1000+ 500+ 900=
2.400cc/24 jam
100 cc/jam
1000cc/10 jam (puasa)

Aktual cairan yang diberikan: 750 cc


Durante operasi kebutuhan:
Urin: 300cc, perdarahan 400cc, IWL 41 cc
Penguapan saat operasi sedang : 4-6/BB/jam =
6x65=390cc/jam.
Urin+perdaraha+IWL+penguapan= 300+400+41+390=
1.131 cc
Perdarahan :
- Estimate blood volume (EBV)
65xBB= 4225 cc
- Estimate blood loss (EBL)
400/4225x100% = 9,5%
Cairan kristaloid sebanyak 2-4x jumlah
perdarahan.
(2x400=800cc)-(4x400=1600cc)
Actual cairan yang diberikan: 1.250 cc
Post Operatif Kebutuhan post operasi adalah deficit cairan pada saat
operasi dijumlahkan dengan kebutuhan rumatan
pasien s/d jam 07.00 pagi, yaitu waktu operasi selesai
( 12.46).
100cc x 18 jam = 1.800 cc.
Dimana di RR sudah diberikan 500 cc.

8
2.9 Post Operatif
a Operasi berakhir pukul 12:46 WIB.
Selesai operasi pasien belum sadar kemudian pasien dipindahkan ke Ruang Pemulihan
(Recovery Room), melanjutkan pemberian cairan, dan diobservasi hingga pasien sadar
penuh.

b Observasi tanda-tanda vital dalam batas normal :


Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
TD : 125/78 mmHg
Nadi : 78x/menit
Respirasi : 18x/menit

Pemeriksaan fisik:
Warna kulit kemerahan, airway paten, nafas spontan, akral hangat dan CRT <2 detik
Skor Aldrete untuk menilai pemulihan anestesia: >8 sudah pulih dari anesthesia dan
dapat dipindahkan ke ruangan
Pasien diobservasi di ruangan recovery dengan keadaan stabil sehingga tidak perlu
dimasukkan keruang ICU, tidak terdapat syok dan peningkatan tekanan darah terkontrol.
Skala pulih anestesia 9 di ruang recovery.

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anestesi Regional2


A. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri pada bagian tubuh sementara
pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk
sementara. Fungsi motorik juga dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya.

B. Pembagian Anestesi/Analgesia Regional


1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok lapangan, dan
analgesia regional intravena.

C. Keuntungan Anestesia Regional


1. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
2. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
3. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.
4. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung penuh)
karena penderita sadar.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.

10
D. Kerugian Anestesia Regional
1. Tidak bisa dilakukan pada lokasi tertentu
2. Durasi pembiusan yang cepat jika operasi memakan waktu lama
3. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.
4. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif, sulit pada anak.
5. intoksikasi

3.2 Anestesi Spinal3,4,5,6


A. DEFINISI
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan
anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah
vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari
vertebra thorakal 4.3,4

B. INDIKASI
Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah
papila mammae ke bawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-
3 jam. sehingga cocok dilakukan untuk pembedahan sebagai berikut:
1. Bedah ekstremitas bawah

11
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan
anestesi umum ringan.3,4

A. KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi pada teknik anestesi subarakhnoid blok terbagi menjadi dua yaitu kontra
indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
Infeksi pada tempat suntikan: infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare: karena
pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat ke dalam rongga
subarakhnoid, maka dapat semakin menambah tinggi tekanan intrakranial dan dapat
menimbulkan komplikasi neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi spinal bisa terjadi
komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan
fasilitas dan obat emergensi lainnya.
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis, keterampilan
dokter anestesi sangat penting.
Pasien menolak.
Kontra indikasi relatif :
Infeksi sistemik: jika terjadi infeksi sistemik perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotik. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan: bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa
dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.

12
Kelainan neurologis: perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan defisit neurologis yang sudah ada pada
pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama: masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang lebih 90-120 menit,
bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung: perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi ke arah jantung
akibat efek obat anestesi lokal.
Hipovolemia ringan: sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan.
Nyeri punggung kronik: kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman.3,4

B. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL


Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana
dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan karena
terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi menjadi lama,
maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
Informed consent: Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan terjadi selama
operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga
adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu gemuk
sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.
Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah.5,6

13
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan
obatobatan.
Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1 Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, pulse oximetri, EKG.
2 Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3 Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare), dipersiapkan dua
ukuran. Dewasa 26G atau 27G.
4 Betadine, alkohol untuk antiseptik.
5 Kapas/ kasa steril dan plester.
6 Obat-obatan anestetik lokal.
7 Spuit 3 ml dan 5 ml.
8 Infus set.3,5

Jenis Jarum Spinal

3.3 Penggolongan Obat Anesthesi Regional7


Ada dua golongan besar obat anesthesi regional berdasarkan ikatan kimia, yaitu
golongan ester dan golongan amide. Derivat ester contohnya kokain, benzokain,
oksibuprokain, ametokain, prokain, tetrakain, klorprokain. Sedangkan derivat amide
contohnya lidokain, mepivakain, bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain,
levobupikain.
Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya berbeda pada
struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi lokal ini adalah menghambat

14
pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja obat anestesi lokal
adalah di membran sel. Kerjanya adalah mengubah permeabilitas membran pada kanal
Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan dihantarkan ke pusat
nyeri.7

Tabel 1. Perbedaan obat anesthesi regional golongan ester dan amide.

Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipnya merupakan obat anestesi lokal.
Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan pada
jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi lokal bersifat
reversible. Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap
jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar dan onset dari obat harus sesingkat mungkin
dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi lokal ini juga harus larut dalam air.

Tabel 2. Penggolongan obat anesthesi regional berdasarkan potensi dan durasi


kerja

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.


Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik lokal

15
dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat
jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik.
1. Isobarik digunakan untuk infiltrasi lokal, blok lapangan, blok saraf, blok plexus
dan blok epidural.
2. Hipobarik digunakan untuk analgesik regional intravena. Konsentrasi obat dibuat
separuh dari konsentrasi isobarik.
3. Hiperbarik digunakan khusus untuk injeksi intrathecal atau blok subarachnoid.
Konsentrasi obat dibuat lebih tinggi
Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anastetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan
tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.7

Anestetik lokal yang paling sering digunakan:


1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20- 100mg
(2-5ml)
2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat
hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg
(1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15mg (1-3ml)

a. Lidokain
Lidokain (durasi pendek intermediate spinal anestesia) dengan dosis 20 100
mg seringkali dipilih untuk kasus-kasus yang diperkirakan memakan waktu 75 menit atau
kurang. Lidokain umumnya dipakai sebagai larutan 5 % dalam 7,5 % dektrose meskipun
1,5 dan 2 % lidokain juga berguna. Penambahan epinephrine 0,2 mg memanjangkan
anestesia 15 40 menit, tergantung dosis anestesi lokal yang dipakai, tetapi berhubungan
dengan blok motoris yang memanjang secara signifikan dan miksi yang terlambat.
Fentanyl 15 25 gr adalah aditif lain yang berguna. Menimbulkan reduksi substansial
pada dosis lidokain (untuk menimbulkan recovery lebih cepat dan insiden transient

16
neurologic simpton yang lebih rendah) dan efektif memblok nyeri torniquet pada
ekstremitas bawah.
Onset cepat.
Tidak iritatif (tidak menyebabkan iritasi lokal) terhadap jaringan walaupun diberikan
dalam konsentrasi larutan 88 %.
Sangat mudah larut dalam air dan sangat stabil.
Sebagian dimetabolisme di hepar, sebagian disekresi melalui urine dalam bentuk yang
tidak berbuah.
Toksisitas dua kali lebih tinggi dari pada prokain.
Konsentrasi injeksi 0,5 2 %. Untuk topikal 4 %.
Bebas dari reaksi alergi dan sering digunakan sebagai penghilang nyeri sebelum
injeksi propofol.
Dosis maksimal 3 mg/Kg BB (tanpa adrenalin), 7 mg/Kg BB (dengan adrenalin).

Sediaan Lidokain HCL

b. Bupivakain HCl
Lebih kuat dan lama kerjanya 2 3 x lebih lama dibanding lidokain atau mepivakain.
Onset anesthesi lebih lambat dibanding lidokain.
Ikatan dengan HCl mudah larut dalam air.
Pada konsentrasi rendah blok motorik kurang adekuat. Sifat hambatan sensoris lebih
dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya.
Ekskresi melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh, dan sebagian besar dalam
bentuk metabolitnya.
Konsentrasi 0,25 0,75 %. Dosis 1 2 mg/Kg BB.

17
Dosis maksimal untuk satu kali pemberian 200 500 mg.
Untuk operasi abdominal diperlukan konsentrasi 0,75 %. Bupivacaine (durasi
intermediate spinal anestesia) dengan dosis 5 15 mg adalah sesuai untuk pembedahan
selama 50 150 menit, meskipun durasi dari bupivakain tampaknya memiliki deviasi
yang lebih lebar daripada standar, bila dibandingkan dengan lidokain.
Spinal anestesia umumnya dilakukan dengan 0,75% bupivacaine dalam 8,25 %
dekstrosa. Larutan bupivakain 0,5 % tanpa dekstrosa adalah isobarik atau sedikit
hipobarik dan umumnya dipakai untuk pembedahan ekstremitas bawah. Epinephrine
memanjangkan blok sensoris dan motoris kira-kira 30 45 menit saat ditambahkan pada
bupivakain dosis kecil (7,5 mg). Fentanyl juga dipakai sebagai adjuvant untuk
mengurangi dosis bupivakain (sehingga hipotensi lebih sedikit) dan meningkatkan
analgesia.

c. Tetrakaine
Tetrakaine (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 4 12 mg dipakai untuk
pembedahan dengan durasi 3 4 jam. Tetracaine merupakan salah satu dari agen spinal
anestesi tertua. Tersedia dalam sediaan komersial sebagai kristal niphanoid (20 mg) atau
larutan 1 %. Tetracaine kurang stabil pada bentuk larutan cair (daripada lidokain) dan
menghasilkan tetracaine ampul dengan potensi rendah karena sebagian obat didegradasi
selama penyimpanan. Tetracaine adalah unik diantara agen spinal anestesi lainnya, karena
keberhasilan untuk memblok sangat tergantung dengan coadministration epinephrine.
Kegagalan blok hampir 35 % pada plain tetracaine. Tetracaine & epinephrine adalah
spinal anestetic agent paling lama, menghasilkan anestesia pada abdomen bawah kirakira
4 jam dan ekstremitas bawah 5 6 jam.

3.4 Toksisitas Obat Anesthesi Regional4,5,6,7,8


Obat anesthesi regional bila diberikan dengan dosis yang tepat dan pada lokasi
yang tepat merupakan obat yang cukup aman. Intoksikasi akan terjadi bila secara tidak
sengaja masuk kedalam intravaskuler atau melebihi dosis maksimal. Apabila obat
anesthesi masuk ke dalam intravaskuler, gejala intoksikasi akan timbul < 5 menit,
sedangkan pada pemberian infiltrasi atau epidural gejala akan timbul dalam 20 menit.

18
Gejala intoksikasi dapat berupa :
1. Gejala Sistemik
a. Sistem Saraf Pusat : eksitasi dan depresi
b. Sistem Kardiovaskuler : hipotensi, hipertensi, syok, bahkan cardiac arrest
2. Gejala Lokal
a. Kerusakan saraf
b. Gangguan otot
3. Gejala Lain
a. Alergi
b. Methemoglobinemia
c. Adiksi

Obat anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh manusia. Berikut
adalah beberapa pengaruh pada sistem tubuh yang nantinya harus diperhatikan saat
melakukan anestesia spinal:
1 Sistem saraf: Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi lokal,
menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada sistem saraf akan terjadi paresis
sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2 Sistem respirasi: Jika obat anestesi lokal berinteraksi dengan saraf yang bertanggung
jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa enyebabkan gangguan nafas
karena kelumpuhan otot nafas.
3 Sistem kardiovaskular: Obat anestesi lokal dapat menghambat impuls saraf. Jika impuls
pada sistem saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka bisa terjadi henti jantung.
Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah
cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting
diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi local agar tidak
masuk ke pembuluh darah.
4 Sistem imun: Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka memungkinkan terjadi
reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi pasien. Pada reaksi lokal dapat

19
terjadi reaksi pelepasan histamin seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja
masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5 Sistem muskular: obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan langsung
ke dalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur, bisa menyebabkan
nekrosis otot.
6 Sistem hematologi: obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah.
Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama saat
menggunakan obat anestesi lokal.4,7,8

Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi lokal khususnya pada
anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor: Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat berfungsi
sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja obat anestesi lokal di
ruang subaraknoid. Obat anestesi lokal dimetabolisme lambat di dalam rongga
subarakhnoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh
vena dan saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subarakhnoid sehingga masa kerja obat menjadi lebih
lama.5,6,7
2 Obat Analgesik Opioid: digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat onset
terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesik opioid misalnya fentanyl adalah
obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur pembentuk
saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi lokal menjadi semakin cepat.
Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan analgesik opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.8
3 Klonidin: Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat menambah
durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin adalah obat golongan
Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan
penurunan heart rate.8
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi
spinal terdapat pada table dibawah ini.

20
Tabel 4 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

3.5 Anestesi Pada Ibu Hamil9


Anestesi kebidanan berbeda dengan anestesi pada wanita yang tidak hamil, karena
kehamilan menyebabkan banyak perubahan fisiologis bagi ibu. Selain itu juga, harus
dihadapi janin yang akan segera dilahirkan. Sebagian obat yang diberikan kepada ibu
akan menerobos melalui plasenta masuk kedalam peredaran darah janin yang kemudian
dapat menyebabkan depresi pernafasan setelah bayi lahir. Obat dan teknik anestesi
kebidanan yang dipilih harus baik untuk ibu, janin dan tidak mempengaruhi kontraksi
rahim.
Premedikasi yang diberikan hanya antikolinergik tanpa narkotik dan sedatif.
Sulfas atropine diberikan dengan dosisnya 0,5 mg. teknik anestesi yang ideal adalah blok
regional atau secara inhalasi dengan intubasi traakea, karena dengan ini resiko aspirasi
dapat ditekan serendah mungkin. Tetapi jika peralatan dan keterampilan tidak
memungkinkan untuk kedua cara tersebut, cara lain tanpa intubasi dapat tetap digunakan
asal posisi pasien selama anestesi dipertahankan head down dan disiapkan alat penghisap
yang baik.
a. ketamin 0,5-1,0 mg/kg berat badan dilanjutkan eter inhalasi dengan masker setelah
lahir. Dosis ulangan 0,5 mg/kg berat badan
b. ketamin 0,5-1,0 mg/kg berat badan dan ditambahkan suksinil cholin 1 mg/kg berat
badan dan dilakukan intubasi dan setelah anak lahir eter baru diberikan.

21
c. Pentothal dengan dosis 3 mg-5mg/ kg berat badan ditambahkan suksinil cholin 1
mg/kg berat badan dan dilanjutkan dengan N2O/O2 setelah anak lahir eter/ halotan
diberikan.
d. Chloretyl dan eter, pembedahan dimulai ketika pasien tidak sadar, pada saat kaki bayi
sudah terpegang, eter dihentikan sementara sampai bayi keluar dan talinpusat dijepit.
Selanjutnya eter diteruskan sampai selesai.

3.6 Metode Operatif wanita/ Tubektomi10


a. Pengertian
MOW (Medis Operatif Wanita) / MOW atau juga dapat disebut dengan sterilisasi.
MOW merupakan tindakan penutupan terhadap kedua saluran telur kanan dan kiri yang
menyebabkan sel telur tidak dapat melewati saluran telur, dengan demikian sel telur tidak
dapat bertemu dengan sperma laki laki sehingga tidak terjadi kehamilan, oleh karena itu
gairah seks wanita tidak akan turun (BKKBN, 2006).
Kontrasepsi mantap wanita (kontap wanita) adalah cara kontrasepsi untuk tujuan
mencegah terjadinya kehamilan pada seorang wanita dari suatu pasangan usia subur
(PUS) atas dasar alasan jumlah anaknya telah cukup dan tidak ingin menambah anak lagi,
dengan cara penutupan kedua saluran telur melalui cara MOW atau mekanik dengan
pemasangan cincin atau klip, melalui suatu tindakan pembedahan minilaparatomi atau
laparaskopi.
MOW adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan fertilitas atau
kesuburan perempuan dengan mengokulasi tuba fallopi (mengikat dan memotong atau
memasang cincin) sehinggasperma tidak dapat bertemu dengan ovum (Noviawati dan
Sujiayatini, 2009) jadi dasar dari MOW ini adalah mengokulasi tubafallopi sehingga
spermatozoa dan ovum tidak dapat bertemu (Hanafi, 2004,)
Program MOW sendiri dibagi menjadi 2 yaitu diantaranya:
1) Program rumah sakit
a) Pelaksanaan MOW pasca operasi /pasca melahirkan
b) Mempunyai penyakit ginekologi
2) Reguler: MOW dapat dilakukan pada masa interval

b. Syarat melakukan MOW (Medis Operasi Wanita)

22
Syarat dilakukan MOW Menurut Saiffudin (2002) yaitu sebagai berikut:
1) Syarat Sukarela
Syarat sukarela meliputi antara lain pengetahuan pasangan tentang cara cara kontrasepsi
lain, resiko dan keuntungan kontrasepsi mantap serta pengetahuan tentang sifat permanen
pada kontrasepsi ini (Wiknjosastro, 2005)
2) Syarat Bahagia
Syarat bahagia dilihat dari ikatan perkawinan yang syah dan harmonis, umur istri
sekurang kurangnya 25 dengan sekurang kurangnya 2 orang anak hidup dan anak terkecil
lebih dari 2 tahun (Wiknjosastro,2005)
3) Syarat Medik
Setiap calon peserta kontrasepsi mantap wanita harus dapat memenuhi syarat kesehatan,
artinya tidak ditemukan hambatan atau kontraindikasi untuk menjalani kontrasepsi
mantap.
Pemeriksaan seorang dokter diperlukan untuk dapat memutuskan apakah
seseorang dapat menjalankan kontrasepsi mantap. Ibu yang tidak boleh menggunakan
metode kontrasepsi mantap antara lain ibu yang mengalamai peradangan dalam rongga
panggul, obesitas berlebihan dan ibu yang sedang hamil atau dicurigai sedang hamil
(BKKBN.2006)

c. Teknik melakukan MOW


1) Tahap persiapan pelaksanaan
(a) Informed consent , (b) Riwayat medis/ kesehatan, (c) Pemeriksaan laboratorium, (d)
Pengosongan kandung kencing, asepsis dan antisepsis daerah abdomen, (e) anestesi

2) Tindakan pembedahan, teknik yang digunakan dalam pelayanan MOW antara lain:
a) Minilaparotomi
Metode ini merupakan penyederhanaan laparotomi terdahulu, hanya diperlukan
sayatan kecil (sekitar 3 cm) baik pada daerah perut bawah (suprapubik) maupun
subumbilikal 13 (pada lingkar pusat bawah). Tindakan ini dapat dilakukan terhadap
banyak klien, relative murah, dan dapat dilakukan oleh dokter yang mendapat pelatihan
khusus. Operasi ini juga lebih aman dan efektif (Syaiffudin,2006).

23
Baik untuk masa interval maupun pasca persalinan, pengambilan tuba dilakukan
melalui sayatan kecil. Setelah tuba didapat, kemudian dikeluarkan, diikat dan dipotong
sebagian. Setelah itu, dinding perut ditutup kembali, luka sayatan ditutup dengan kassa
yang kering dan steril serta bila tidak ditemukan komplikasi, klien dapat dipulangkan
setelah 2 - 4 hari. (Syaiffudin,2006).
b) Laparoskopi
Prosedur ini memerlukan tenaga Spesialis Kebidanan dan Kandungan yang telah
dilatih secara khusus agar pelaksanaannya aman dan efektif. Teknik ini dapat dilakukan
pada 6 8 minggu pasca pesalinan atau setelah abortus (tanpa komplikasi). Laparotomi
sebaiknya dipergunakan pada jumlah klien yang cukup banyak karena peralatan
laparoskopi dan biaya pemeliharaannya cukup mahal. Seperti halnya minilaparotomi,
laparaskopi dapat digunakan dengan anestesi lokal dan diperlakukan sebagai klien rawat
jalan setelah pelayanan. (Syaiffudin,2006).

3) Perawatan post operasi


(a) Istirahat 2-3 jam
(b) Pemberian analgetik dan antibiotik bila perlu
(c) Ambulasi dini
(d) Diet biasa
(e) Luka operasi jangan sampai basah, menghindari kerja berat selama 1 minggu, cari
pertolongan medis bila demam (>38), rasa sakit pada abdomen yang menetap, perdarahan
luka insisi.

d. Waktu pelaksanaan MOW


Menurut Mochtar (1998) dalam Wiknjosastro (2005) pelaksanaan MOW dapat dilakukan
pada saat:
1) Masa Interval (selama waktu selama siklus menstruasi)
2) Pasca persalinan (post partum)
MOW pasca persalinan sebaiknya dilakukan dalam 24 jam, atau selambat lambatnya
dalam 48 jam pasca persalinan. MOW pasca persalinan lewat dari 48 jam akan dipersulit
oleh edema tuba dan infeksi yang akan menyebabkan kegagalan sterilisasi. Edema tuba

24
akan berkurang setelah hari ke-7 sampai hari ke-10 pasca persalinan. Pada hari tersebut
uterus dan alat alat genetal lainnya telah mengecil dan menciut, maka operasi akan lebih
sulit, mudah berdarah dan infeksi. 3) Pasca keguguran
Sesudah abortus dapat langsung dilakukan sterilisasi.
4) Waktu operasi membuka perut
Setiap operasi yang dilakukan dengan membuka dinding perut hendaknya harus
dipikirkan apakah wanita tersebut sudah mempunyai indikasi untuk dilakukan sterilisasi.
Hal ini harus diterangkan kepada pasangan suami istri karena kesempatan ini dapat
dipergunakan sekaligus untuk melakukan kontrasepsi mantap.

e. Indikasi MOW
Komperensi Khusus Perkumpulan untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia tahun
1976 di Medan menganjurkan agar MOW dilakukan pada umur 25 40 tahun, dengan
jumlah anak sebagai berikut: umur istri antara 25 30 tahun dengan 3 anak atau lebih,
umur istri antara 30 35 tahun dengan 2 anak atau lebih, dan umur istri 35 40 tahun
dengan satu anak atau lebih sedangkan umur suami sekurang kurangnya berumur 30
tahun, kecuali apabila jumlah anaknya telah melebihi jumlah yang diinginkan oleh
pasangan tersebut.(Wiknjosastro,2005) . Menurut Mochtar (1998) indikasi dilakukan
MOW yaitu sebagai berikut:
1) Indikasi medis umum
Adanya gangguan fisik atau psikis yang akan menjadi lebih berat bila wanita ini hamil
lagi.
(a) Gangguan fisik
Gangguan fisik yang dialami seperti :
(1) tuberculosis pulmonum adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex
(2) penyakit jantung adalah sebuah kondisi yang menyebabkan Jantung tidak dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik. Hal-hal tersebut antara lain: Otot jantung yang
lemah. Adanya celah antara serambi kanan dan serambi kiri, oleh karena tidak
sempurnanya pembentukan lapisan yang memisahkan antara kedua serambi saat
penderita masih di dalam kandungan.

25
(b) Gangguan psikis
Gangguan psikis yang dialami yaitu seperti :
(1) skizofrenia (psikosis) adalah suatu kumpulan gangguan kepribadian yang terbelah
dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham), gangguan
persepsi (halusinasi), gangguan suasana perasaan (afek tumpul, datar, atau tidak serasi),
gangguan tingkah laku (bizarre, tidak bertujuan, stereotipi atau inaktivitas) serta
gangguan pengertian diri dan hubungan dengan dunia luar (kehilangan batas ego, pikiran
dereistik, dan penarikan autistik). Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual
biasanya tetap dipertahankan walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang
kemudian. (Carlson, 2010)
(2) Sering menderita psikosa nifas yaitu gangguan jiwa yang berat yang ditandai dengan
waham, halusinasi dan kehilangan rasa kenyataan ( sense of reality ) yang terjadi kira-
kira 3-4 minggu pasca persalinan. Merupakan gangguan jiwa yang serius, yang timbul
akibat penyebab organic maupun emosional ( fungsional ) dan menunjukkan gangguan
kemampuan berfikir, bereaksi secara emosional, mengingat, berkomunikasi, menafsirkan
kenyataan dan tindakan sesuai kenyataan itu, sehingga kemampuan untuk memenuhi
tuntutan hidup sehari-hari sangat terganggu. (Lia, 2010).

2) Indikasi medis obstetrik


(a) toksemia gravidarum yang berulang yaitu tekanan darah tinggi yang disertai dengan
proteinuria (protein dalam air kemih) atau edema (penimbunan cairan), yang terjadi pada
kehamilan 20 minggu sampai akhir minggu pertama setelah persalinan. (Manuaba, 1998)
(b) seksio sesarea yang berulang yaitu pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk
melahirkan janin dari dalam rahim. Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan
dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono,
2002).
(c) histerektomi obstetric adalah pengangkatan rahim atas indikasi obstetrik

26
3) Indikasi medis ginekologik
Pada waktu melakukan operasi ginekologik dapat pula dipertimbangkan untuk sekaligus
melakukan sterilisasi.

4) Indikasi sosial ekonomi


Indikasi sosial ekonomi adalah indikasi berdasarkan beban sosial ekonomi yang sekarang
ini terasa bertambah lama bertambah berat.
(a) Mengikuti rumus 120 yaitu perkalian jumlah anak hidup dan umur ibu, kemudian
dapat dilakukan sterilisasi atas persetujuan suami istri, misalnya umur ibu 30 tahun
dengan anak hidup 4, maka hasil perkaliannya adalah 120
(b) Mengikuti rumus 100
Umur ibu 25 tahun ke atas dengan anak hidup 4 orang
Umur ibu 30 tahun ke atas dengan anak hidup 3 orang
Umue ibu 35 tahun ke atas dengan anak hidup 2 orang

f. Kontraindikasi MOW
Menurut Mochtar (1998) kontraindikasi dalam melakukan MOW yaitu dibagi menjadi 2
yang meliputi indikasi mutlak dan indikasi relative
1) Kontra indikasi mutlak
(a) Peradangan dalam rongga panggul
(b) Peradangan liang senggama aku (vaginitis, servisitis akut)
(c) Kavum dauglas tidak bebas,ada perlekatan
2) Kontraindikasi relative
(a) Obesitas berlebihan
(b) Bekas laparotomi
Sedangkan menurut Noviawati dan Sujiyati (2009) yang sebaiknya tidak menjalani
MOW yaitu:
1) Hamil sudah terdeteksi atau dicurigai
2) Pedarahan pervaginal yang belum jelas penyebabnya
3) Infeksi sistemik atau pelvik yang akut hingga masalah itu disembuhkan atau dikontrol

27
4) Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas dimasa depan5) Belum
memberikan persetujuan tertulis.

g. Keuntungan
Menurut BKKBN (2006) keuntungan dari kontrasepsi mantap ini antara lain:
1) Perlindungan terhadap terjadinya kehamilan sangat tinggi
2) Tidak mengganggu kehidupan suami istri
3) Tidak mempengaruhi kehidupan suami istri
4) Tidak mempengaruhi ASI
5) Lebih aman (keluhan lebih sedikit), praktis (hanya memerlukan satu kali tindakan),
lebih efektif (tingkat kegagalan sangat kecil), lebih ekonomis Sedangkan menurut
Noviawati dan Sujiyati (2009)
Selain itu keuntungan dari kontrasepsi mantap adalah sebagai berikut:
1) Sangat efektif (0.5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama penggunaan).
2) Tidak mempengaruhi proses menyusui (breasfeeding).
3) Tidak bergantung pada faktor senggama.
4) Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi risiko kesehatan yang serius.
5) Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi local.
6) Tidak ada perubahan fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon ovarium) h.
Keterbatasan
Keterbatasan dalam menggunakan kontrasepsi mantap (Noviawati dan Sujiyati (2009)
yaitu antara lain:
1) Peluang kecil untuk memiliki anak kembali
2) Harus dipertimbangkan sifat permanen metode kontrasepsi ini tidak dapat dipulihkan
kembali.
3) Klien dapat menyesal dikemudian hari
4) Resiko komplikasi kecil meningkat apabila digunakan anestesi umum
5) Rasa sakit/ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan.
6) Dilakukan oleh dokter yang terlatih dibutuhkan dokter spesalis ginekologi atau dokter
spesalis bedah untuk proses laparoskopi.
7) Tidak melindungi dari IMS, HIV/AIDS

28
i. Efek Samping
1) Reaksi Alergi
2) Infeksi luka bila terdapat abses
3) Luka pada kandung kemih
4) Perdarahan Dalam

3.7 Anemia11
a. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit
(red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer.

b. Kriteria
Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal
hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia, kehamilan
dan ketinggian tempat tinggal.
Kriteria anemia menurut WHO adalah:
N KELOMPOK KRITERIA
O ANEMIA
1. Laki-laki dewasa < 13 g/dl
2. Wanita dewasa tidak < 12 g/dl
hamil
3. Wanita hamil < 11 g/dl

c. Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi
morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin.
N Morfologi Keterangan Jenis Anemia

29
o Sel
1. Anemia Bentuk eritrosit - Anemia Pernisiosa
makrositik - yang besar - Anemia defisiensi
normokromi dengan folat
k konsentrasi
hemoglobin
yang normal
2. Anemia Bentuk eritrosit - Anemia defisiensi
mikrositik - yang kecil besi
hipokromik dengan - Anemia sideroblastik
konsentrasi - Thalasemia
hemoglobin
yang menurun
3. Anemia Penghancuran - Anemia aplastik
normositik - atau penurunan - Anemia
normokromi jumlah eritrosit posthemoragik
k tanpa disertai - Anemia hemolitik
kelainan bentuk - Anemia Sickle Cell
dan konsentrasi - Anemia pada
hemoglobin penyakit kronis

e. Terapi

1. Terapi kausal, untuk mencari penyebab kekurangan besi yang diderita. Bila tidak
dapat menyebabkan kekambuhan.

2. Pemberian preparat besi:

Oral: merupakan pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman, terutama sulfas
ferosus. Dosis anjuran 3x200mg/hari yang dapat meningkatkan eritropoiesis hingga 2-3
kali dari normal. Pemberian dilakukan sebaiknya saat lambung kosong (lebih sering
menimbulkan efek samping) paling sedikit selama 3-12 bulan. Bila terdapat efek samping
gastrointestinal (mual, muntah, konstipasi) pemberian dilakukan setelah makan atau osis

30
dikurangi menjadi 3x100mg. Untuk meningkatkan penyerapan dapat diberikan bersama
vitamin C 3x100 mg/hari.

Parenteral,misal preparat ferric gluconate atau iron sucrose (IV pelan atau IM).
Pemberian secara IM menimbulkan nyeri dan warna hitam pada lokasi suntikan. Indikasi
pemberian parenteral:

a.Intoleransi terhadap preparat oral

b. Kepatuhan berobat rendah

c.Gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif (dapat kambuh dengan pemberian besi)

d. Penyerapan besi terganggu, seperti gastrektomi

e.Kehilangan darah banyak

f. Kebutuhan besi besar yang harus dipenuhi dalam jangka waktu yang pendek, misalnya
ibu hamil trimester 3 atau pre operasi.

Dosis yang diberikan dihitung menurut formula:


Kebutuhan besi (mg) = {(15 Hbsekarang ) x BB x 2,4} + (500 atau 1000)
3. Diet, terutama yang tinggi protein hewani dan kaya vitamin C.

4. Transfusi diberikan bila terdapat indikasi yaitu:

Terdapat penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung

Gejala sangat berat, misalnya pusing sangat menyolok

Pasien memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat, misalnya kehamilan trimester


akhir atau pre operasi

31
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Diagnosis Kasus


Pada kasus di atas, akan dilakukan tindakan section caesaria dan Metode operatif
wanita (MOW). Pada persiapan pra anestesi diketahui bahwa pasien berumur 43 tahun,
G5P4A0 hamil 39-40 minggu, tidak mempunyai riwayat penyakit asma, alergi, dan upper
respiratory infection maupun gangguan metabolik, tidak ada riwayat operasi sebelumya dan
pasien berpuasa sekitar 8 jam sebelum pembedahan. Alasan dipilihnya section caesaria
sebagai metode persalinan karena mempertimbangkan jumlah anak yang dimiliki sudah
cukup sehingga pasien tidak ingin memiliki anak lagi dengan cara sterilisasi.
Hal ini sudah sesuai dengan criteria pada teori bahwa indikasi dilakukan MOW
adalah ikatan perkawinan yang syah dan harmonis, umur istri sekurang kurangnya 25
dengan sekurang kurangnya 2 orang anak hidup, anak terkecil lebih dari 2 tahun, dan setiap
calon peserta kontrasepsi mantap wanita harus dapat memenuhi syarat kesehatan, artinya
tidak ditemukan hambatan atau kontraindikasi untuk menjalani kontrasepsi mantap.
Pemeriksaan seorang dokter diperlukan untuk dapat memutuskan apakah seseorang dapat
menjalankan kontrasepsi mantap.
Pada pasien diketahui umurnya 43 tahun, memiliki 4 orang anak, anak terkecil
berusia 3 tahun, dan sehat, tidak memiliki kontraindikasi untuk menjalani kontrasepsi
mantap seperti Peradangan dalam rongga panggul, Peradangan liang senggama aku
(vaginitis, servisitis akut), Obesitas berlebihan dan Bekas laparotomi sehingga pada pasien
memenuhi syarat menjalani MOW.
Pada pemeriksaan fisik, kondisi pasien dalam batas normal. Namun, pada
pemeriksaan penunjang didapatkan Hb pasien rendah yaitu 7,9 gr/dl sehingga pasien
didiagnosis anemia karena berdasarkan teori anemia pada ibu hamil ketika Hb < 11 g/dl.
Anemia pada pasien ini diklasifikasikan anemia defisiensi besi karena berdasarkan teori
criteria ADB adalah anemia hipokrom mikrositer pada SADT atau MCV <80 fl dan MCH <
31%, pada kasus MCV pasien adalah 73 fl dan MCH pasien adalah 23% sehingga diagnosis

32
sesuai dengan teori.

4.2 Physical Status (PS ASA)


Pada kasus ini, klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA 2. Pasien
digolongkan dalam PS ASA 2 karena pasien didiagnosis anemia yang merupakan gangguan
sistemik sedang yang bisa berpengaruhi terhadap alasan dilakukannya operasi.

4.3 Jenis Anestesi

Kehamilan menyebabkan banyak perubahan fisiologis bagi ibu. Selain itu juga,
harus dihadapi janin yang akan segera dilahirkan. Sebagian obat yang diberikan kepada ibu
akan menerobos melalui plasenta masuk kedalam peredaran darah janin yang kemudian
dapat menyebabkan depresi pernafasan setelah bayi lahir. Obat dan teknik anestesi kebidanan
yang dipilih harus baik untuk ibu, janin dan tidak mempengaruhi kontraksi rahim.
Teknik anestesi yang ideal adalah blok regional atau secara inhalasi dengan intubasi
trakea, karena dengan ini resiko aspirasi dapat ditekan serendah mungkin. Tetapi jika
peralatan dan keterampilan tidak memungkinkan untuk kedua cara tersebut, cara lain tanpa
intubasi dapat tetap digunakan asal posisi pasien selama anestesi dipertahankan head down
dan disiapkan alat penghisap yang baik. Pada pasien dilakukan teknik anestesi regional
dengan blok spinal.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa teknik anestesi spinal dilalukan untuk
pembedahan, daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke
bawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam. sehingga cocok
dilakukan untuk pembedahan sebagai berikut:Bedah ekstremitas bawah, Bedah panggul,
Tindakan sekitar rektum perineum, Bedah obstetrik-ginekologi, Bedah urologi, dan Bedah
abdomen bawah.

4.4 Obat Anestesi


Ada dua golongan besar obat anesthesi regional berdasarkan ikatan kimia, yaitu golongan
ester dan golongan amide. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya
berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi lokal ini adalah
menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja obat anestesi

33
lokal adalah di membran sel. Kerjanya adalah mengubah permeabilitas membran pada kanal
Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.

Pada pasien digunakan obat anestesi golongan amide yaitu bupivakain. Berdasarkan teori
Lebih kuat dan lama kerjanya 2 3 x lebih lama dibanding lidokain atau mepivakain, Onset
anesthesi lebih lambat dibanding lidokain, ikatan dengan HCl mudah larut dalam air, pada
konsentrasi rendah blok motorik kurang adekuat. Sifat hambatan sensoris lebih dominan
dibandingkan dengan hambatan motorisny, ekskresi melalui ginjal sebagian kecil dalam
bentuk utuh, dan sebagian besar dalam bentuk metabolitnya, konsentrasi 0,25 0,75 %.
Dosis 1 2 mg/Kg BB, dosis maksimal untuk satu kali pemberian 200 500 mg. Untuk
operasi abdominal diperlukan konsentrasi 0,75 %. Bupivacaine (durasi intermediate spinal
anestesia) dengan dosis 5 15 mg adalah sesuai untuk pembedahan selama 50 150 menit.
Larutan bupivakain 0,5 % tanpa dekstrosa adalah isobarik atau sedikit hipobarik dan
umumnya dipakai untuk pembedahan ekstremitas bawah. Pada pasien digunakan Bupivakain
0,5% dengan dosis 13 mg dengan durasi pembedahan 31 menit.
Pada kasus, medikasi lain yang digunakan Midazolam 1 mg. berdasarkan teori,
Midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine, merupakan obat penenang
(transquilaizer) yang memiliki sifat antiansietas, sedatif, amnesik, antikonvulsan dan relaksan
otot skelet. Dosis midazolam yaitu 0,025-0,1 mg/kgBB (5mg/5cc). Dengan awitan aksi iv 30
detik, efek puncak 3- 5 menit dan lama aksi 15-80 menit.
Selain itu juga digunakan tramadol 100 mg. tramadol merupakan obat golongan
analgesic yang bekerja sentral, bersifat agonis opioid (memiliki sifat seperti morfin),
mempunyai 2 mekanisme manajemen nyeri yang bekerja secara sinergis yaitu agonis opioid
yang lemah dan penghambat pengambilan kembali monoamine neurotransmitter. Dosis 1-2
mg/kgBB hendaknya dititrasi menurut intensitas rasa nyeri dan respon masing-masing pasien
dengan 50-100 mg, 4x sehari, dosis maksimal 4000mg.

4.2 Terapi cairan


Pada pre operasi , replacement akibat puasa 8 jam adalah 648-872 cc , sedangkan cairan
yang didapatkan pasien saat pre operasi sebanyak 750 cc. sehingga kebutuhan cairan pasien
sebelum operasi terpenuhi.

34
Selama durante operasi, total kebutuhan cairan durante operasi adalah 1.098cc-2.040cc,
pada saat operasi cairan yang masuk ialah RL 1250cc. sehingga balance cairan durante
operasi adalah 1.250cc 1.098cc= +152 cc.
Kebutuhan post operasi adalah deficit cairan pada saat operasi dijumlahkan dengan
kebutuhan rumatan pasien s/d jam 07.00 pagi, yaitu waktu operasi selesai ( 12.46). 75 x 18
jam = 1350 cc. Dimana di RR sudah diberikan 500 cc. sehingga sisa kebutuhan post operasi
akan dipenuhi di ruangan sebanyak 850 cc hingga jam 07.00.

35
BAB V
KESIMPULAN

1. Pasien perempuan usia 43 tahun dipilih tindakan section caesaria dan MOW dengan
anestesi spinal.
2. Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA 2 berdasarkan: anemia dengan Hb 7,9 g.dl.
3. Keadaan yang paling ditakutkan pada kasus ini adalah masalah farmakokinetik dan
farmakodinamik obat-obat anestesi berkaitan dengan kondisi pasien hamil, namun pada
pasien ini hal-hal yang ditakutkan tidak ditemukan pada pasien.
4. Efek yang ditakutkan pada pemberian anestesi spinal adalah hipotensi namun pada pasien
ini tekanan darah pasien yang semula (sebelum operasi) sudah tinggi, tidak memberikan
perubahan/ turun secara berarti.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Dwi, Herdanti. 2015. Regional Anestesi Pada Sectio Caesaria. Cilegon. FK Universitas
Yarsi.
2. Latief, Said. 2009. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi II.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
3. Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug, 5, 2013]
Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview
4. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta : CV. Infomedika, 2004;125-8
5. NYSORA New York School of Regional Anesthesia, [Internet] Subarachnoidal Block [Last
Update Oct 4 2013], Available at http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and
perineuraxial techniques/ landmarkbased/spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html
6. University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal block anesthesia.
[Last Update Jan 2013]. Available at http://www.pitt.e du/~regional/Spinal/Spinal.html
7. Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; Balai Penerbit FKUI, 259-72
8. Khangure, Nicole in TOTW Anesthesia.- World Federation of Societies of Anesthesiologist
[Internet Journal] Neuraxial Anesthesia Adjuvant [Last Update on July 4 2011] Available at
http://totw.anaesthesiologists.org/wpcontent/ uploads/2011/07/230-Neuraxial-adjuvants.pdf
9. Wirjoatmodjo, karjadi. 2000. Anestesiologi Dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan
S1 Kedokteran. Direktorat jenderal pendidikan tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

37

Anda mungkin juga menyukai