Anda di halaman 1dari 11

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Darmowandono (2006) menyebutkan bahwa demam tifoid (typhoid

fever) merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri gram

negatif yaitu Salmonella, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang

menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut

bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan

dilepaskan ke aliran darah.

Penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan

yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman

dan biasanya keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi

secara transplasenta dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia

kepada bayinya. Disamping itu faktor- faktor yang dapat mempengaruhi

diantaranya daya tahan tubuh, higienitas, umur, dan jenis kelamin (Soegijanto,

2002).

B. Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi yang berhasil

diisolasi pertama kali dari seorang pasien demam tifoid oleh Gafrrkey di

German pada tahun 1884. Mikroorganisme ini merupakan bakteri gram negatif

yang motil, bersifat aerob dan tidak membentuk spora yang menghasilkan

endotoksin sehingga merusak jaringan usus halus. Salmonella typhi dapat


13

tumbuh dan memfermentasi glukosa dan manosa, tetapi tidak dapat

memfermentasi laktosa (Soegijanto, 2002).

Bakteri ini mempunyai beberapa komponen antigen, diantaranya

(Widodo, 2009):

1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat

spesifik grup.

2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam

flagella dan bersifat spesifik spesies.

3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang

melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat

proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O

dari proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif

bakteri dan efektivitas vaksin. S.typhi menghasilkan endotoksin yang

merupakan bagian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang

sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A. Ketiga antigen di atas di

dalam tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.

4. Outer Membrane Protein (OMP). Merupakan bagian dari dinding sel

terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan

peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP

berfungsi sebagai barier fisik yang mengendalikan masuknya cairan ke

dalam membran sitoplasma. Selain itu OMP juga berfungsi sebagai

reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin yang sebagian besar terdiri

dari protein purin, berperan pada patogenesis demam tifoid dan

merupakan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun


14

pejamu. Sedangkan protein non purin hingga kini fungsinya belum

diketahui secara pasti.

C. Faktor Risiko

Demam tifoid paling banyak terjadi pada musim kemarau atau

permulaan musim hujan. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air

yang terkontaminasi oleh feses. Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak

dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di

Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga

dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci

tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya

tempat buang air besar dalam rumah (Nelwan, 2012).

D. Patomekanisme

Patomekanisme demam tifoid dimulai setelah kuman Salmonella typhi

tertelan bersamaan dengan makanan yang tercemar. Bakteri tersebut dapat

bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam mukosa usus pada ileum

terminalis. Semua spesies Salmonella ditelan oleh sel fagosit yang kemudian

masuk ke mukosa dan di serahkan ke makrofag di lamina propria. Salmonella

nontyphoidal yang difagositosis berada di seluruh distal ileum dan kolon

(Brusch, 2012).

Berbeda dengan Salmonella nontyphoidal, Salmonella typhii memasuki

sistem host terutama melalui ileum distal. Salmonella typhii memiliki

spesialisasi fimbriae dan memiliki Vi antigen kapsuler yaitu PAMPs, sehingga


15

dapat menghindari peradangan berbasis neutrofil. Bakteri kemudian

menginduksi makrofag untuk menarik lebih banyak makrofag yang lain

(Brusch, 2012).

Bakteri akan melekat pada mikrovili dan melalui barrier usus yang

melibatkan mekanisme membrana ruffling, actin rearrangement dan

internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar

ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke pembuluh darah melalui sistem

limfatik. Bakterimia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak

didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil negatif.

Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari (Nelwan, 2012).

Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan

berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa,

sumsum tulang dan kelenjar getah bening. Sesampai di sana, bakteri

Salmonella typhii terus berkembang biak sampai beberapa kerapatan kritis

tercapai. Setelah itu, bakteri menginduksi apoptosis makrofag, pecah ke dalam

aliran darah untuk menyerang seluruh tubuh (Brusch, 2012).

Bakteri ini juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah

periode replikasi, kuman akan disebarkan ke dalam sistem peredaran darah dan

menyebabkan bakterimia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode

inkubasi. Bakterimia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit

kepala, dan nyeri abdomen (Nelwan, 2012).

Bakterimia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati

dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa,

sumsum tulang, kandung empedu dan Peyers patches di mukosa ileum


16

terminalis. Ulserasi pada Peyers patches dapat terjadi melalui proses inflamasi

yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan

perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan demam tifoid dapat

terjadi bila bakteri masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial

dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali (Nelwan, 2012).

E. Penegakan Diagnosis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika

dibanding dengan penderita dewasa. Kelompok usia yang rentan menderita

demam tifoid pada anak adalah kelompok usia 5 tahun ke atas. Pada usia

tersebut, anak sudah mulai masuk sekolah dan mengenal jajanan di luar rumah.

Makanan atau jajanan yang kurang bersih dapat mengandung kuman S. typhii

dan masuk ke tubuh anak jika termakan. Anak yang menderita demam tifoid,

umumnya memiliki gejala demam lebih dari 1 minggu. Selain itu, keluhan

yang dominan dialami oleh anak adalah keluhan pada saluran cerna, seperti

mual, muntah, mencret, atau pada anak yang lebih besar terkadang

sembelit/susah BAB (Darmawan, 2016).

Masa inkubasi tifoid rata 1020 hari. Setelah masa inkubasi maka

ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri

kepala, pusing dan tidak bersemangat. Pada anamnesis biasanya ditemukan hal

sebagai berikut (Sudoyo, 2006) :

1. Demam lamanya lebih dari 1 minggu, sifatnya sore dan malam hari

lebih tinggi daripada pagi dan siang hari.


17

2. Gangguan kesadaran : lamanya, sifatnya (apatis sampai somnolen)

mengigau, halusinasi, dll.

3. Gangguan saluran cerna : mulut bau, perut kembung atau tegang dan

nyeri pada perabaan, konstipasi atau diare, tinja berdarah dengan atau

tanpa lendir atau tinja berwarna hitam, anoreksia, muntah.

4. Gejala lain : kejang, sesak nafas.

5. Pengobatan yang telah diberikan, jenis dan lamanya.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal sebagai berikut (Sudoyo,

2006):

1. Demam, kesadaran menurun, mulut bau, bibir kering dan pecah-pecah

(rhagaden), lidah kotor (coated tongue) dengan ujung dan tepi

kemerahan dan tremor, perut kembung, pembesaran hati dan limpa

yang nyeri pada perabaan.

2. Tanda komplikasi di dalam saluran cerna :

Perdarahan usus : tinja berdarah (melena).

Perforasi usus : pekak hati hilang dengan atau tanpa tanda-tanda

peritonitis, bising usus hilang.

Peritonitis : nyeri perut hebat, dinding perut tegang dan nyeri tekan,

bising usus melemah/hilang.

3. Tanda komplikasi di luar saluran cerna : Meningitis, kolesistitis,

hepatitis, ensefalopati, Bronkhopneumonia, dehidrasi dan asidosis.


18

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :

1. Pemeriksaan darah

Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit

normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan

trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser

ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif,

terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh Darmowandowo (2006) di

RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah

penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan

leukosit normal (65.9%) (Darmowandowo,2006).

2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan

bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum

tulang, cairan duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka

bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang

pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin

dan feses (Hardi, et.al, 2002).

3. Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen

antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah

yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 ml yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji


19

serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi uji

Widal, tes TUBEX, metode enzyme immunoassay (EIA), metode

enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan pemeriksaan dipstik

(Sudarno et al, 2008).

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler.

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam

darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA

dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi

antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi (Wain dan Hosoglu, 2008).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini

meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang

terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya

bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR

(hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan

garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan

teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen

klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat

ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian (Wain

dan Hosoglu, 2008).

F. Penatalaksanaan

Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella

typhi setempat.Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap


20

banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang

akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap

antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim-

sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik

fluoroquinolone (Nelwan, 2012).

Menurut WHO 2003, Antibiotik golongan fluoroquinolone

(ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk

demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone

dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4

hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%. Fluoroquinolone

memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S. typhi

intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi

dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain. Levofloxacin diberikan

dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis

500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan dari studi ini

adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan

ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan

secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan

ciprofloxacin (Nelwan, 2012).

Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi

standar pada demam tifoid namun kekurangan dari Chloramphenicol adalah

angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi,

dan toksis pada sumsum tulang. Azithromycin dan cefixime memiliki angka

kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari,
21

durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier

terjadi pada kurang dari 4% (Nelwan, 2012).

Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi

suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit serta antipiretik. Nutrisi yang adekuat

melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan mudah dicerna

secepat keadaan mengizinkan (Nelwan, 2012).

G. Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari demam tifoid adalah

(Braunwald, 2005) :

1. Komplikasi Intestinal

a) Perdarahan usus

b) Perforasi usus

c) Ileus paralitik

2. Komplikasi Ekstra Intestinal

a) Komplikasi Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan septik),

miokarditis, trombosis dan tromboflebitis

b) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, dan /atau

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan Sindrom uremia

hemolitik

c) Komplikasi paru : Pneumonia, empiema, dan pleuritis

d) Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis

e) Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis

f) Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis dan Artritis


22

g) Komplikasi Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis,

polineuritis

H. Prognosis

Prognosis demam tifoid bergantung dari ketepatan terapi, usia

penderita, keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab dan

komplikasi yang ditimbulkan (Widoyono, 2008).

Anda mungkin juga menyukai