Anda di halaman 1dari 21

Nyeri Sendi Perifer akibat Artritis Reumatoid

Sendy Jayanti
102012186
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 1150, Telephone: (021) 56942061, fax: (021) 563-1731

Email : jayanti.sendy@gmail.com

Pendahuluan

Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya


sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali
juga melibatkan organ tubuh lainnya. Potensi dari inflamasi yang terjadi pada cairan sendi
dapat menyebabkan kerusakan kartilago, erosi pada tulang, dan perubahan yang lebih lanjut
pada ntegritas sendi sebagai tanda khas pada penyakit ini. Walaupun berpotensi merusak,
artritis reumatoid cukup bervariasi. Beberapa penderita hanya menunjukkan penyakit
oligoartikular yang ringan dengan durasi yang singkat disertai dengan kerusakan sendi yang
minimal, sedangkan pada penderita yang lain dapat menunjukkan poliartritis progresif yang
ditandai kerusakan fungsional.

Beberapa penelitian mengatakan bahwa artritis reumatoid mengalami penurunan


dalam hal frekuensi dan tingkat keberatannya. Sebagian besar, tandadari artritis reumatoid
adalah homogen, dan pola dari perubahan sendi dipengaruhi oleh lingkungan, faktor genetik,
faktor infeksi dan hormone seks. Artriris reumatoid dihubungkan dengan penyakit ekstra-
artikular yang secara konsisten lebih sedikit terjadi padaorang Asia dan Afrika dibanding
dengan orang Kaukasia.

Pembahasan

Anamnesis

Anamnesis adalah tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara
langsung pada pasien (auto-anamnesis), maupun secara tidak langsung melalui keluarga atau
relasi terdekat (allo-anamnesis). Anamnesis sangat penting dilakukan karena berguna untuk
menegakkan diagnosis. Tujuan anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari
pasien yang bersangkutan.

1
Hal-harl yang bersangkutan dengan anamnesis yaitu :

1. Identitas pasien seperti nama, tempat / tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan,
jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan terakhir, dan alamat.

2. Pernyataan dalam bahasa pasien tentang keluhan yang dialami.

3.Riwayat penyakit sekarang (RPS): Pasien menjelaskan keluhan berdasarkan


kualitas, kuantitas, latar belakang, waktu termasuk kapan keluhan mulai muncul,
faktor yang mempengaruhi keluhan, konstan atau tidaknya keluhan, dan
sebagainya. Informasi sebaiknya dalam susunan yang kronologis, termasuk obat-
obatan yang sebelumnya telah dikonsumsi pasien juga harus ditanyakan. Keluhan
sampingan seperti demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, dan sebagainya juga dapat menunjang pemeriksaan. RPS harus ditanyakan
sedetail mungkin agar keluhan pasien dapat segera diketahui sumbernya.

4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): Pernahkah pasien mengalami nyeri sendi


sebelumnya.

5. Riwayat keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup / mati), dan penyakit yang
ada atau pernah diderita pada anggota keluarga.

6. Riwayat sosial: stressor (lingkungan kerja, sekolah, atau tempat tinggal), faktor
resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan, merokok, peminum, dll).1

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu memeriksan tanda vital dengan
mengukur suhu tubuh, denyut nadi, respirasi rate, berat badan, tekanan darah, tingkat
kesadaran.

Pemeriksaan fisis pada pasien dengan artritis reumatoid adalah penilaian standar
untuk peradangan pada sendi, kelemahan dan keterbatasan gerak. Selain itu, pada
pemeriksaan fisis juga menunjukkan adanya gejala-gejala ekstra-artikular seperti skleritis,
nodul-nodul, garukan perikardial, efusi pleura,splenomegali, dan ulkus kulit pada ekstremitas
bawah.

2
Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan deformitas
boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal interfalangs(DIP) dan fleksi pada
sendi proksimal interfalangs (PIP). Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari
deformitas boutonniere, yaitu deformitas swan-neck, dimana juga terjadi hiperekstensi dari
sendi PIP dan fleksi dari sendi DIP. Jika sendi metakarpofalangs telah seutuhnya rusak,
sangat mungkin untuk menggantinya dengan protesa silikon.

Sesuai dengan skenario telah diketahui bahwa pemeriksaan fisiknya yaitu berat badan
48 kg tinggi badan158 cm pasien sakit ringan kesadaran compos mentis dengan tekanan
darah 110/80 mmhg, nadi 80x/menit, respiratory rate didapat 18x/menit, suhu tubuh 36,9oC.
Status lokasi terdapat pada bagian Proximal Interphalang (PIP) 2 sampai 4, dan Metacarpal
(MCP) 2 sampai 4 terdapat tanda inflamasi dan nyeri pada PIP dan MCP 2 sampai 4.

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada test diagnostik tunggal yang definitif untuk konfirmasi diagnosis AR. The
America Collage of Rheumatology Subcomittee on Rheumatoid Arthritis (ACRSRA)
merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar untuk elevasi abtara lain : darah perifer
lengkap (complete blood cell count), faktor reumatoid (RF), laju endap darah (LED), atau C-
reactive protein (CRP). Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga direkomendasikan karena
akan membantu dalam pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan RF dan anti-CCP negatif bisa
dilanjutkan dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita RA yang
mempunyai resiko tinggi mengalami prognosis buruk.

Pada C-reactive protein (CRP) umumnya meningkat sampai > 0,7 picogram/mL, bisa
digunakan untuk monitor perjalanan penyakit. Laju endap darah (LED) ditemukan sering
meningkat >30 mm/jam, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit. Kemudian
pemeriksaan hemoglobin/hematokrit sedikit mnrun, Hb rata-rata sekidal 10g/dL, anmia
normokronik, mungkin juga normositik atau mikrositik. Serta didapatkan pula jumlah
leukosit mungkin meningkat, jumlah trombosit biasanya meningkat, fungsi hati normal atau
alkali fosfatase sedikit meningkat. Pada faktor rheumatoid (RF) hasilnya negatif pada 30%
penderita arthritis rheumatoid stadium dini. Jika pemeriksaan awal negative dapat diulang
setelah 6-12 bulan dari onset penyakit. Bisa memberikn hasil positif pada beberapa penyakit
seperti SLE, scleroderma, sindrom Sjogrens, penyakit keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus,
parasit, atau bakteri). Tidak akurat untuk penilaian perburukan penyakit.

3
Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang bisa digunakan untuk menilai penderita
arthritis rheumatoid antara lain foto polos (plain radiograph) dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging). Pada foto polos sendi mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau erosi
dekat celah sendi pada stadium dini penyakit, foto polos bermanfaat dalam membantu
menentukan prognosis, menilai kerusakan sendi secara longitudinal, dan bila diperlukan
terapi pembedahan. Foto pergelangan tangan dan kaki penting untuk data dasar sebagai
pembanding dalam penelitian selanjutnya. Osteopenia juxtaarticular adalah karakteristik
untuk arthritis rheumatoid dan chronic inflammatory arthritides lainnya. Sedangkan
pemeriksaan MRI mampu mendeteksi adanya erosi lebih awal dibandingkan dengan
pemeriksaan radiografi konvensional dan mampu menampilkan struktur sendi secara rinci,
tetapi membutuhkan biaya yang lebih tinggi.

Selain itu ada pemeriksaan penunjang lainnnya yang juga dapat membantu diagnosis
yaitu Anticyclic Citrullinated peptide antibody (anti-CCP), anti-RA33, Imunoglobulin (Ig),
pemeriksaan cairan sendi. Anticyclic Citrullinated peptide antibody (anti-CCP) merupakan
permeriksaan yang berkolerasi dengan perburukan penyakit, sesitivitasnya meningat bila
dikombinasi dengan pemeriksaan RF. Lebih spesifik dibadingkan RF tetapi tidak semua
laboratorium mempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP. Kemudian Anti-RA33 merupakan
pemeriksaan lanjutan bila RF dan anti-CCP negatif untuk membedakan penderita arthritis
rheumatoid yang mempunyai resiko tinggi mengalami prognosis yang buruk. Sedangkan
immunoglobulin (Ig) berupa Ig -1 dan -2 ingkin meningkat.

Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis artritis


reumatoid. Beberapa hasil uji laboratoirum dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
artritis reumatoid. Sekitar 85% pasien artritis reumatoid memiliki autoantibodi di dalam
serumnya yang dikenal sebagai faktor reumatoid.Autoantibodi ini adalah imunoglobulin M
(IgM) yang beraksi terhadap perubahan imunoglobulin G (IgG). Keberadaan dari faktor
reumatoid bukan merupakan halyang spesifik pada penderita artritis reumatoid. Faktor
reumatoid ditemukansekitar 5% pada serum orang normal, insiden ini meningkat dengan
pertambahanusia, sebanyak 10-20% pada orang normal usia diatas 65 tahun positif
memilikifaktro reumatoid dalam titer yang rendah.

4
Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi,walaupun tidak
ada satupun temuan pada cairan sinovial spesifik untuk artritisreumatoid. Cairan sinovial
biasanya keruh, dengan kekentalan yang menurun, peningkatan kandungan protein, dan
konsentrasi glukosa yang mengalami sedikit penurunan atau normal. Hitung sel leukosit
(WBC) meningkat mencapai 2000/Ldengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini
merupakan karakteristik peradangan pada artritis, walaupun demikian, temuan ini tidak
mendiagnosis artritisreumatoid.

Pemeriksaan Radiologi

Foto Polos

Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan
radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelahsendi mengalami kerusakan
yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga
dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendidan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan
ini biasanya irreversibel.

Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan periartikular
jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi hiperplastik
sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak diatas
permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun ada
kalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini
berkembangsekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit
lain,sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis.

CT Scan

Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalammendiagnosis


artritis reumatoid. Walaupun demikian, CT scan berguna dalammemperlihatkan patologi dari
tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yangsangat baik dievaluasi dengan kombinasi
dari foto polos dan MRI. CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan
memilikikerugian dalam hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengindikasikanletak
destruksi tulang dan stabilitas tertinggi tulang secara tepat, seperti pada pengaturan pre-
operatif atau pada tulang belakang.

5
Ultrasonografi (USG)

Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi tinggi digunakan
untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada artritis reumatoid. Efusidari sendi adalah
hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada sinovium lebih ekhogenik.

Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai cairan yang memenuhi areakavitas dengan


pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat terlihat sebagai irregularitas pada korteks
hiperekhoik. Komplikasi dari arthritis reumatoid, seperti tenosinovitis dan ruptur tendon, juga
dapat divisualisasikan dengan menggunakan ultrasonografi. Hal ini sangat berguna pada
sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan sendi karpometakarpal tidak tervisualisasi dengan baik
karena konfigurasinyayang tidak rata dan lokasinya yang dalam.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang baik dengan


penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakankartilago, dan erosi
tulang-tulang yang dihubungkan dengan artritis reumatoid. Diagnosis awal dan penanganan
awal merupakan manajemen utama padaartritis reumatoid. Dengan adanya laporan mengenai
sensitivitas MRI dalam mendeteksi erosi dan sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk
perubahan edema tulang, hal itu menandakan bahwa MRI merupakan penolong untuk
mendiagnosisawal penyakit artritis reumatoid. MRI juga memberikan gambaran yang
berbeda pada abnormalitas dari artritis reumatoid, sebagai contoh, erosi tulang, edematulang,
sinovitis, dan tenosinovitis.1

Working Diagnosis

Rhematoid Arthritis

Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi
sistemik kronik dengan progresif, dimana sendi merupakan target utama.

Manifestasi klinik klasik AR adalah poliartriitis simetrik yang terutama mengenai


sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai
organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Mortalitasnya
meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan

6
adanya kormodibitas. Menegakkan diagnosis dimulai terapi sedini mungkin, dapat
menurunkan progesifitas penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan
piraid terbalik (reverse pyramid), yaitu pemberian DMRAD sedini mungkin untuk
menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi
destruksi sendi, deformitas dan disabilitas. Mordibitas dan mortilitas AR berdampak terhadap
kehidupan sosial dan ekonomi. Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan DMARD
biologik, memberi harapan baru dalam penatalaksanaan penderita AR.

Different Diagnosis

Osteoarthritis

Osteoarthritis merupakan penyakit arthritis yang paling sering terjadi. Sering disebut
juga degeneratif osteoarthritis atau hipertropic OA. OA merupakan radang sendi yang bersifat
kronis dan progresif disertai kerusakan tulang rawan sendi berupa integrasi (pecah) dan
perlunakan progresif permukaan sendi dengan pertumbuhan tulang rawan sendi ( osteofit) di
tepi tulang.
Pada umumnya penderita OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama
tetapi berkembang secara perlahan-lahan. Penderita OA biasanya mengeluh pada sendi yang
terkena yang bertambah dengan gerakan atau waktu melakukan aktivitas dan berkurang
dengan istirahat. Selain itu juga terdapat kaku sendi dan krepitus, bentuk sendi berubah dan
gangguan fungsi sendi. Pada derajat yang lebih berat, nyeri dapat dirasakan terus menerus
sehingga sangat mengganggu mobilitas penderita.
OA sendi lutut ditandai oleh nyeri pada pergerakan yang hilang bila istirahat, kaku
sendi terutama setelah istirahat lama atau bangun tidur, krepitasi sewaktu pergerakan dan
dapat disertai sinovitis dengan atau tanpa efusi cairan sendi. Nyeri akan bertambah jika
melakukan kegiatan yang membebani lutut seperti berjalan, naik turun tangga, berdiri lama.
Gangguan tersebut mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat sehingga
penderita tidak bisa berjalan.
OA sendi lutut merupakan kelainan sendi yang mempunyai dampak terhadap
kehidupan sehari-hari penderitanya. Walaupun belum ada pengobatan medis yang dapat
menyembuhkan dan menghentikan progresifitas OA, banyak hal yang bisa dilakukan untuk
menghilangkan nyeri, menjaga mobilitas dan meminimalkan disabilitas.

7
Pirai/Gout
Gout ditandai oleh meningkatnya kadar asam urat plasma dengan serangan artritis
berulang. Kelainan ini disebabkan oleh kelainan metabolisme bawaan dan secara dominan
menyerang laki-laki.
Secara umum, gejala penyakit gout adalah sendi yang membengkak dan nyeri
biasanya pada sendi metatarsofalang (MTP) pertama dan hiperurisemia asimptomatik.
Perubahan radiologi terjadi setelah bertahun-tahun timbulnya gejala. Terdapat predileksi pada
sendi MTP pertama, walaupun pergelangan kaki, lutut, suku, dan sendi lainnya juga terlibat.
Film polos dapat memperlihatkan efusi dan pembengkakan sendi; erosi yang cenderung
menimbulkan penampakan punched out yang berada terpisah dari permukaan artikular;
densitas tulang tidak mengalami perubahan; dan ditemukan tofi yang mengandung natrium
urat dan terdeposit pada tulang, jaringan lunak, dan sekitar sendi.Gout dapat merusak ginjal
sehingga dapat ditemukan batu ginjal pada pemeriksaan radiologi.

Psedougout
Pseudogout adalah gejala radang sendi yang mirip dengan gout tetapi penyebabnya
lain yaitu adalah Kristal kalsium piropospat sehingga disebut radang sendi CPPD (Calcium
Pyrophospate Deposition Disease). Karena gejalanya mirip seringkali didiagnosa sebagai
arthritis gout, arthritis rheumatoid, atau osteoarthritis. Pseudogout disebabkan karena jumlah
kalsium pirofosfat erlebihan dan mengkristal pad sendi yang rusak sehingg menyebabkan
gangguan grakan dan rasa nyeri. Kondisi ini sering terjadi pada mereka yang berusia lanjut.
Namun, dapat uga terjadi pada usia muda dengan pemicunya penyakit tiroid, akromegali,
okronosi, hemokromatosis, paratirois, dan penyakit Wilson.

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)


Gambaran klinis SLE dapat membingungkan, terutama pada awalnya. Gejala yang
paling sering adalah artritis simetris atau atralgia. Nodul subkutan juga jarang ditemukan
pada penyakit SLE.
Gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah, dan berkurangnya berat badan
yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat berulang dalam perjalanan penyakit ini.
Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yang dapat timbul di wajah, leher, ekstremitas,
atau pada tubuh. Dapat timbul alopesia yang dapat menjadi berat. Juga dapat terjadi ulserasi
pada mukosa mulut dan nasofaring. Pleuritis dapat timbul akibat proses peradangan kronik

8
dari SLE. SLE juga dapat menyebabkan karditis yang mehyerang miokardium, endokardium,
atau perikardium.
Fenomena Raynaud timbul pada sekitar 40% pasien. Vaskulitis dapat menyerang
semua ukuran arteria dan vena. Kira-kira 65% padien SLE akan mengalami gangguan pada
ginjalnya. SLE juga dapat menyerang sistem saraf pusat maupun perifer. Gangguan
reumatologik lain dapat meyebabkan ANA menjadi postif, namun anti-dsDNA dan anti-Sm
jarang ditemukan kecuali pada SLE. Antibodi dsDNA merupakan uji spesifik untuk SLE.
Laju endap darah pada pasien SLE biasanya meningkat, merupakan uji nospesifik untuk
mengukur peradangan dan tikda berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit.
Uji laboratorium yang kadang masih dipakai sampai sekarang adalah uji faktor LE.
Sel LE dapat juga ditemukan pada gangguan sistemik lain dari penyakit golongan reumatik
yang juga diperantarai oleh imunitas. Urin diperiksa untuk mengaetahui adanya protein,
leukosit, eritrosit, dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya kompliksi ginjal
dan untuk pemantauan perkembangan penyakit.

Septic Arthritis
Infeksi bakteri piogenik (penghasil nanah) akut pada sendi yang jika tidak segera
ditangani dapat berlanjut menjadi kerusakan pada sendi. Gejala klinis yang tampak pada bayi
berbeda dengan pada anak-anak dan dewasa. Dapat ditemukan kekakuan pada sendi yang
terkena, nyeri pada pergerakan sendi, dapat terjadi demam, namun gejala ini bukan patokan
utama, dapat terjadi dislokasi patologik pada sendi pada minggu kedua. Sedangkan pada
anak-anak dan orang dewasa dapat memberitahu lokasi terjadinya sakit dan nyeri yang timbul
saat pergerakkan. Karena sendi sakit, maka tubuh secara otomatis berusaha untuk
melindunginya dengan mengontraksikan otot-otot disekitar sendi. Kekakuan sendi jelas
terlihat, adanya demam,subluksasi lebih sering terjadi daripada dislokasi. Bakteri yang paling
sering menyebabkan terjadinya penyakit ini adalah Stafilokokus aureus. Bakteri lain yang
dapat menyebabkan terjadinya penyakit ini adalah golongan Streptokokus, Pneumokokus,
dan Salmonella.. Faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya penyakit ini adalah HIV,
AIDS, dan penggunaan terapi adenokortikosteroid jangka panjang secara intravena.2

9
Kriteria Diagnostik

Pada penelitian klinis, AR didiagnosis secara resmi dengan menggunakan tujuh


krtiteria dari America collage of Rheumatoid. Pada penderita AR stadium awal (early)
mungkin sulit menegakkan diagnosa definitif dengan menggunakan kriteria ini. Pada
kunjungan awal, penderita harus ditanyakan tentang derajat nyeri, durasi dari kekakuan dan
kelemahan serta keterbatasan fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk
mengamati adanya ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas.

Epidemiologi

Pada kebanyakan populasi didunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara
0,5-1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-
masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Prevalensi AR di India dan di negara barat kurang lebih sama
yaitu sekitar 0,75%. Sedangkan di China, Indonesia, Philipina prevalensinya kurang dari
0,4% baik didaerah urban maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah
mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% didaerah rural dan 0,3% di daerah urban.
Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusia diatas 40tahun
mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,65 didaerah
kabupaten. Di poliklinik reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru AR
merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan periode Januari sampai dengan Juni
2007 didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346
orang (15,1%). Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan
laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka
kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima.3

Etiologi

Faktor Genetik

Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi kompleks antara
faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian AR,
dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan gen dengan HLA-
DRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA
juga berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode
aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-kB). Gen ini berperan penting dalam terapi AR
karena aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine

10
methyltransferase untuk metabolisme methotrexate dan azhathioprine ditentukan oleh faktor
genetik. Pada kembar monosigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR
lebih dari 30% dan pada orang kulit putih Ar yang mengekspresikan HLA-DR1 dan HLA-
DR4 mempunyai angka kesesuain 80%.

Hormon Sex

Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga


diduga hormon sex berperanan dalam perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan
bahwa terjadi perbaikan gelaja Ar selama kehamilan. Perbaikan diduga karena : 1. Adanya
aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan
fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. Adanya perubahan profit
hormon. Placental corticotropin releasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi
dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang
dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun
selular dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta.
Estrogen dan progesteron menstimulasi respon humoral (Th2) dan menghambat respon imun
selular (Th1). Oleh karena pada AR respon Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan
progesteron mempunyai efek yang berlawanan gen dan progesteron mempunyai efek yang
berlawanan terhadap perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah
perkembangan AR atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat.

Faktor Infeksi

Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit. Organisme ini
diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah re-aktivitas atau respon sel T
sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang
secara nyata terbukti sebagai penyebab penyakit.

Protein heat shock (HSP)

Protein heat shock (HSP) adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada
semua spesies sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence)
asam amino homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikrobakterium tuberkulosa
mempunyai 65% untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali
epitop HSP pada gen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan

11
sel host sehingga mencetuskan reaksi immunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai
kemiripan molekul (molecular mimicry).

Faktor Resiko

Faktor resiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis
kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderitaAR, umur lebih tua, paparan
salisilat dan merokok. Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi
decaffeinated mungkin juga beresiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan
penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan resiko. Tiga dari empat
perempuan dengan AR mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan
biasanya akan kambuh kembali setelah melahirkan.4

Patogenesis

Kerusakan sendi pada AR dimulai dari poliferasi makrofag dan fibrosis sinovial
setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi poliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi.
Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau
sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami
inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan
sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor petumbuhan
dilepaskan, sehingga mengakibatkan detruksi sendi dan komplikasi sistemik.

Patofisiologi

Artritis reumatoid adalah proses inflamasi kompleks yang merupakan hasil reaksi dari
berbagai populasi sel imun dengan aktivasi dan proliferasi darifibroblas sinovial. Respon
inflamasi ini menyerang cairan sinovial pada persendian, bursa dan tendon, serta jaringan lain
di seluruh tubuh. Orang-orangyang menderita penyakit ini menunjukkan tanda-tanda klinik
yang bermacam-macam dan distribusinya pada muskuloskeletal. Dalam jaringan sinovial,
prosesinflamasi terjadi secara jelas, menimbulkan edema dan proliferasi kapiler dan
selmesenkim. Pada jaringan sendi dan cairan sinovial, terjadi akumulasi dari leukosityang
menghasilkan enzim lisosom dan proinflamasi lain, serta mediator-mediator toksik.
Kemudian, dengan teraktivasinya sel-sel imun dan fibroblas sinovial,mediator ini dapat
merusak kartilago persendian yang bedekatan. Jika proses initerus berlanjut dan tidak

12
dikendalikan, permukaan sendi akan hancur, dan secara bertahap terjadi fibrosis pada
jaringan fibrosa kapsul persendian dan jaringansendi atau terlihat ankilosis pada tulang.

Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksiakibat
proses pencernaan oleh karena produksi protease, kolagenase dan enzim-enzim hidrolitik
lainnya. Enzim-enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendondan tulang pada sendi, serta
dilepaskan bersama dengan radikal oksigen danmetabolit asam arakidonat oleh leukosit
polimorfonuklear dalam cairan sinovial.Proses ini diduga adalah bagian dari respon autoimun
terhadap antigen yangdiproduksi secara lokal. Kedua adalah, destruksi jaringan juga terjadi
melaluikerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk
dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi.Disepanjang pinggir panus,
terjadi destruksi kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus
tersebut.

Hiperplasia sinovial dan formasi ke dalam panus merupakan patogenesis artritis


reumatoid yang fundamental. Proses ini dimediasi oleh produksi dari berbagai sitokin,
contohnya tumor necrosis factor (TNF-) dan interleukin-1(IL-1) oleh antigen presenting
cells dan sel T. TNF- dan IL-1 juga memiliki peranan penting dalam destruksi tulang.5

Manifestasi Klinis

Awitan (onset)

Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara perahan, artritis simetris terjadi
dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang lebih 15%
dari penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai
beberpa minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempunyai awitan fulminant berupa artritis
poliartikular, sehingga diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada 8-15% penderita, gejala
muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh
kekakuan sendi pada pagi hari yang sering berlangsung selama satu jam lebih. Beberapa
penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia dan
demam ringan.

13
Manifestasi Artikular

Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak
sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi
saja.Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri, bengkak, kemerahan, dan teraba hangat)
mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan (flare), namun kemerahan
dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR yang kronik.

Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran
sinovial yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah pergelangan
tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa
terkena. Sendi yang terlibat pada umunya simetris, meskipun pada persentasi awal bisa tidak
simetris. Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan
kehilangan fungsi. Ankilosis tulang (detruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang
yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan tangan dan
pertumbuhan tulang pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga sendi
interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi interfalang distal dan sakroiliaka tidak
pernah terlibat.

Manifestasi Ekstraartikular

Walaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama, tetapi AR merupakan penyakit


sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekstraartikular. Manifestasi
ekstraartikular pada umumnya didapatkan pada penderita yang mempunyai titter faktor
reumatoid (RF) serum tinggi. Nodul rematoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering
dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus. Nodul rematoid umumnya
ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon achilles atau bursa olekranon. Nodul
rematoid hanya ditemukan pada penderita AR dengan faktor rematoid positif (sering titernya
tinggi) dan mungkin dikelirukan dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau
nodul yang berhubungan dengan demam rematik, lepra, MCTD, atau multicentric
reticulohistiocytosis. Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa perubahan
patologik hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa manifetasi ekstraartikular seperti vaskulitis
dan Felty sundrome jarang dijumpai, tetapi sering memerlukan terapi spesifik.6

14
Terapi

Detruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala,
terapi sedini mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit.Oleh karena itu sangat
penting untuk melakukan diagnosa dan memulai terapi sedini mungkin. ACRSRA
merekomendasikan bahwa penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3bulan
semenjak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARD (Disease
modifying antirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi non farmakologik dan
farmakologik.

Terapi Non Farmakoligik

Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi puasa,
suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukan hasil yang baik.
Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing
agents pada penderita AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam
perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka pendek. Penggunaan terapi herbal,
acupunture dan splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan.

Pembedahan harus dipertimbangkan bila terdapat : 1. Terdapat nyeri berat yang


berhubungan dengan kerusakann sendi yang ekstensif, 2. Keterbatasan gerak yang bermakna
atau keterbatasan fungsi yang berat, 3. Ada ruptur tendon.

Terapi Farmakologik

Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat anti-inflamasi non


steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau intaartikular
dan DMARD. Analgetik lainnya juga mungkin digunakan seperti acetaminophen, opiat,
diproqualone, dan lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik untuk AR
menggunakan pendekatan piramid yaitu : pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai
saat diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau penambahan terapi hanya diberikan bila
terjadi perburukan gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) lebih
disukai, yaitu pemberiam DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit.
Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat dari beberapa penelitian, yaitu :
1.kerusakan sendi sudah terjadi sejak awal penyakit, 2.DMARD memberikan manfaat yang
bermakna bila diberikan sedini mungkin, 3.manfaat DMARD bertambah biladiberikan secara

15
kombinasi, 4.sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia dan terbukti memberikan efek
menguntungkan.

Penderita dengan penyakit ringan dan hasil pemeriksaan radiologis normal, bila
dimulai dengan terapi hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat, sulfasalazin atau minosiklin,
meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih
berat atau ada perubahan radiologis harus dimulai dengan terapi MTX. Jika gejala tidak bisa
dikendalikan secara adekuat, maka pemberian leflunomide, azhathioprine atau terapi
kombinasi (MTX ditambahsatu DMARD yang terbaru)bisa dipertimbangkan. Kategori obat
secara individual akan dibahas dibawah ini.

OAINS

OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan.
Oleh karena obat-obat ini tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh digunakan
secara tunggal. Penderita AR mempunyai resiko dua kali lebih sering mengalami komplikasi
serius akibat penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita osteoartritis, oleh karena
itu perlu pemantauan secara ketat terhadap gejala efek samping gastrointestinal.

Glukokortikoid

Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang dari 10mg perhari cukup
efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid harus
diberikan dalam dosis minimal karena resiko tinggi mengalami efek samping seperti
osteoporosis, katarak, gejala cushingoid, dan gangguan kadar gula darah. ACR
merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi glukokortikoid harus disertai
dengan pemberian kalsium 1500mg dan vitamin D 400-800IU perhari. Bila artritis hanya
mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitas yang bermakna, maka injeksi steroid
cukup aman dan efektif, walaupun efeknya bersifat sementara. Adanya artritis infeksi harus
disingkirkan sebelum melakukan injeksi. Gejala mungkin akan kambuh kembali bila steroid
dihentikan terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga kebanyakan
rheumatologist menghentikan steroid secara perlahan dalam satu bulan atau lebih, untuk
menghindari rebound effect. Steroid sistemik sering digunakan sebagai bridging therapy
selama periode inisiasi DMARD sampai timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi
DMARD terbaru saatini mempunyai mula kerja relatif cepat.

16
DMARD

Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua penderita AR. Pemilihan


jenis DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, bertanya penyakit, pengalaman dokter
dan adanya penyakit penyerta. DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX,
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infiximab dan etarnecept.
Sulfasalazin atau hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan sebagai terapi
awal, tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan
sebagai terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukan bahwa kombinasi DMARD lebih
efektif dibandingkan dengan terapi tunggal. Perempuan pasangan usia subur (childbearing)
harus menggunakan alat kontrasepsi yanga adekuat bila sedanng dalam terapi DMARD, oleh
karena DMARD membahayakan fetus.

Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor terhadap enzim intraselular yang


diperlukan untuk sintesis pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi. Leflunomide
memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur secara radiologis dan juga mencegah
erosi sendi yang baru pada 80% penderita dalam periode 2tahun. Antagonis TNF
menurunkan konsentrasi TNF-, yang konsentrasinya ditemukan meningkatkan pada cairan
sendi penderita AR. Etanercept adalah suatu soluble TNF-receptor fusion protein, dimana
efek jangka panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat dalam memperbaiki
gejala, sering dalam 2minggu terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab, yang
merupakan chimeric IgG1 anti TNF- antibody.

Pemderita AR dengan respon buruk terhadap MTX, mempunyai respon yang lebih
baik dengan pemberian infliximab dibandingkan plasebo. Adalimumabuga merupakan
rekombinan human IgG antibody, yang mempunyai efek aditif bila dikombinasikan dengan
MTX. Pemberian antagonis TNF berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya infeksi,
khususnya reaktivasi tuberkulosis.

Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor inteleukin-1. Beberapa uji klinis


tersamar anda mendapatkan bahwa anakinra lebih efektif dibandingkan dengan plasebo, baik
diberikan secara tunggal maupun dikombinasikan dengan MTX. Efek sampingnya antara lain
iritasi kulit pada tempat suntikan, peningkatan risiko infeksi dan leukopenia. Rituximab
merupakan antibodi terhadap reseptor permukaan sel B (anti-CD20) menunjukan efek cukup
baik. Antibodi terhadap reseptor interleukin-6 juga sedang dalam evaluasi. Jenis-jenis
DMARD.7

17
Prognosis

Prediktor prognosis buruk pada stadium dini arthritis rheumatoid antara lain skor
fungsional yang rendah, status sosialekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat
keluarga menderita arthritis rheumatoid, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi
saat permulaan penyakit, RF atau anti-CCP positif, ada perubahan radiologis di awal
penyakit, ada nodul rheumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya. Sebanyak 30% penderita
AR dengan manisfestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun
sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan penderita penyakit lebih ringan
memberikan respon yang baik dengan terapi.

Komplikasi
Komplikasi pada arthritis rheumatoid adalah anemia, kanker, komplikasi kardiak,
penyakit tulang belakang, gangguan mata, peningkatan infeksi, deformitas sendi tangan,
deformitas sendi lainnya, komplikasi pernafasan, nodul rheumatoid, dan vaskulitis.
Komplikasi anemia pada arthritis rheumatoid berkorelasi dengan LED dab aktivitas
penyakit. Dimana 75% pendertia arthritis rheumatoid mengalami anemia karena penyakit
kronik dan 25% penderita tersebut memberikan repon terhadap terapi besi.
Kanker dapat terjadi munkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan. Kejadian
limfoma dan leukemia 2-3 kali lebih sering terjadi pada penderita arthritis rheumatoid dan
peningkatan risiko terjadinya tumor solid. Penurunan resiko kanker genitourinaria,
diperkirakan karena penggunaan OAINS.
Komplikasi kardiak diderita 1/3 penderita arthritis rheumatoid dan mungkin
mengalami efusi pericardial asimptomatik saat diagnosis ditetapkan, miokarditis bisa terjadi,
baik dengan atau tanpa gejala. Penyakit tulang belakang leher (cervical spine disease) seperti
penyempitan celah sendi pada foto servikal lateral, myelopatibisa terjadi ditandai oleh
kelemahan bertahap pada ekstremitas atas parastesia.
Kemudian peningkatan infeksi merupakan efek terapi dari arthritis rheumatoid.
Deformitas sendi tangan yaitu terjadi deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal,
deformitas boutonniere (fleksi PIP dan hiperekstensi DIP), deformitas swan neck (kebalikan
dari deformitas boutonniere), hipersekstensi dari ibu jari dan peningkatan resiko rupture
tendon. Deformitas sendi lainnya dapat ditemukan antara lain frozon shoulder, kista popliteal,
sindrom terowongan karpal dan tarsal.8

18
Komplikasi pernafasan dapat terjadi seperti nodul paru dapat bersamaan dengan
kanker dan pembentukan lesi kavitas. Bisa ditemukan perwadangan pada send cicroarytenoid
dengan gejaal suara serak dan nyeri pada laring, pleuritis ditemukan pada 20% penderita.
Nodul rheumatoid ditemukan pada 20-30% penderita arthritis rheumatoid, biasanya
ditemukan pada permukaan ekstensor ekstremitas atau daerah penekanan lainnya tetapi bisa
juga ditemukan pada daerah skelera, pita suara atu vertebra. Selain itu komplikasi berupa
vaskulitis dapat terjadi berupa arteritis distal, perikarditis, neurpati perifer, lesi kutaneus,
arteritis organ vicera, dan arteritis koroner. Terjadi peningkatan resiko pada penderita
perempuan, titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat beberapa macam
DMARD, berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya infark miokard.

Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain menjaga berat badan. Merupakan faktor
yang penting agar bobot yang ditanggung oleh sendi menjadi ringan. Melakukan jenis
olahraga yang tidak banyak menggunakan persendian atau yang menyebabkan terjadinya
perlukaan sendi. Contohnya berenang dan olahraga yang bisa dilakukan sambil duduk dan
tiduran. Aktivitas olahraga hendaknya disesuaikan dengan umur. Jangan memaksa untuk
melakukan olahraga porsi berat pada usia lanjut. Tidak melakukan aktivitas gerak pun sangat
tidak dianjurkan. Meminum obat-obatan suplemen sendi (atas anjuran dokter).
Mengkonsumsi makanan sehat. Lakukan relaksasi dengan berbagai teknik. Hindari
gerakan yang meregangkan sendi jari tangan. Hal tersebut akan menyebabkan tekanan yang
tidak merata pada semua permukaan tulang. Selain itu penyuluhan untuk pemeliharaan
kesehatan juga diperlukan untuk mencegah terjadinya arthritis rheumatoid.8

19
Kesimpulan

Kasus kali ini ialah seorang perempuan, 21 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan
nyeri pada jari-jari tangan, dan pergelangan tangan pada tangan kanan dan kiri. Keluhan ini
sudah berlangsung selama 4 bulan ini. Pasien mengatakan ibunya juga sering mengeluh nyeri
sendi terutama pada lutut kirinya. Pada skenario, pasien menderita arthritis rheumatoid yaitu
penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi
merupakan target utamanya. Penanganan yang tepat baginya yaitu terapi farmakologi berupa
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), kortikosteroid, Desease Modifing Anti
Rheumatoid Drugs (DMARDs), obat imunosupresif, dan suplemen antiokdsidan serta non
farmakologi berupa olahraga, menghindari kelebihan stress pada sendi, pembedahan,
akupuntur dan pijat. Prognosis baik jika penderita penyakit ringan memberikan respon yang
baik terhadap terapi.

20
Daftar Pustaka

1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;


2010.h.191.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid III. Jakarta: InternaPublishing; 2011.h.2495-509.
3. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Ed. 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2010.h.347-9.
4. Baughman DC, Hackley JC. Keperawatan medikal-bedah: buku saku dari brunner &
suddarth. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 20010.h.49.
5. Sustrani L, Alam S, Hadibroto I. Asam urat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama;
20011.h.21.
6. Patrick D. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Buku EGC; 2011.h.384.
7. Suratum, Heryati, Manurung S, Raenah E. Klien gangguan sistem musculoskeletal: seri
asuhan keperwatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011.h.113.
8. Silman AJ, Pearson JE. Epidemiology and genetic of rheumatoid arthritis. Arthritis Res
2010; (2):S265-S272.

21

Anda mungkin juga menyukai