Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kardiomiopati adalah sekumpulan kelainan pada jantung dengan kelainan

utama terbatas pada miokardium. Kondisi ini seringkali berakhir dengan menjadi
1
gagal jantung.

Etiologi terkadang dapat diketahui tetapi tidak jarang pula etiologinya

tidaklah jelas. Yang tidak termasuk dalam klasifikasi penyakit ini tetapi sama-sama

menganggu miokardium dan dapat menimbulkan gagal jantung adalah kondisi


1,2
seperti hipertensi, penyakit katup ataupenyakit arteri koroner.

Kardiomiopati dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan perubahan anatomi

yang terjadi, yaitu kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati hipertrofi dan kardiomiopati


1-3
restriksi.

Kelompok penyakit ini beberapa kali mengalami perubahan dalam hal

klasifikasi kelainannya. Bila dilihat dari definisi dapat disebutkan bahwa

kardiomiopati merupakan suatu kelompok penyakit yang langsung mengenai otot

jantung atau miokard itu sendiri. Kelompok penyakit ini tergolong khusus karena

kelainan yang ditimbulkannya bukan terjadi akibat pericardium, hipertensi, koroner,

kelainan kongenital atau kelainan katup. Walaupun untuk menegakkan diagnosis

perlu menyingkirkan faktor-faktor etiologi tersebut, gambaran dari kardiomiopati itu


sendiri sangat khusus baik secara klinis maupun hemodinamik. Dengan

meningkatnya kewaspadaan terhadap kondisi penyakit ini serta teknik dan prosedur

diagnostik yang semakin canggih saat ini kardiomiopati diketahui sebagai penyebab

morbiditas dan mortalitas yang bermakna (Nasution, 2009).

Kardiomiopati memiliki klasifikasi primer dan sekunder. Kardiomiopati

primer terjadi akibat genetik dan bukan genetik, sedangkan kardiomiopati sekunder

terjadi akibat dari penyakit sistemik atau multiorgan (Jefferies dan Towbin,

2010). World Health Organizationmerekomendasikan klasifikasi kardiomiopati

antara lain dilated cardiomyoptahy, hypertrophic cardiomyopathy, restrictive

cardiomyopathy dan arrhythmogenic right ventricular dysplasia-cardiomyoptahy.

Kebanyakan pasien memiliki pure bentuk gangguan yang memenuhi kriteria

diagnostic, meskipun beberapa tumpang tindih gangguan dengan gabungan berbagai

penyakit. Meskipun pada gangguan ini memiliki dampak tinggi, demografi dan

penyebab yang mendasarinya memiliki kesulitan dalam diagnostic, khususnya terjadi

pada anak-anak (Towbin et al,2006).

Kardiomiopati disebabkan mutasi genetik yang mengkode berbagai protein

jantung, pendekatan alternatif adalah mengklasifikasi kardiomiopati sesuai dengan

penyebab gangguan genetik. Umumnya, pasien datang dengan gejala atau yang

ditemukan berdasarkan dari gejala dan tanda klinis atau tes skrining (Elliot et

al, 2008).

Pada orang dewasa, kematian mendadak akibat penyakit jantung memiliki

mortalitas yang berkaitan dengan kardiomiopati non iskemik, kematian juga akibat
dari gagal jantung kongestif dalam jumlah yang sama. Berdasarkan American Heart

Association/American College of Cardiology merekomendasikan bahwa pada pasien

dewasa dengan kardiomiopati iskemia memiliki presentase berkisar 35% yang

disebabkan fraksi ejeksi pada ventrikel kiri (Pahl et al,2012).

Insidensi pada anak-anak kardiomiopati terjadi 0,57 kasus per 100.000

penduduk dan prognosis pada masyarakat miskin, dengan persentase 40% anak-anak

yang memiliki transplantasi jantung atau meninggal dalam waktu usia 5 tahun setelah

ditegakkan diagnose (Pahl et al, 2012).

Sedangkan insidensi pada kardiomiopati dilatasi adalah kelainan yang ditandai

oleh dilatasi ventrikel kiri dan disfungsi sistolik. Pada gagal jantung kongestif adalah

bentuk paling umum dari kardiomiopati dan transplantasi jantung pada dewasa dan

anak-anak. Dalam beberapa kasus, tercatat adanya disfungsi ventrikel kanan dan

menambah keparahan penyakit. Pada dewasa kejadian kardiomiopati dilatasi telah

dilaporkan menjadi 5,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun, dengan prevalensin 36

kasus per 100.000 penduduk (Towbin et al,2006).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kata kardiomiopati (secara harfiah, penyakit otot jantung) dapat diterapkan ke

hampir semua penyakit jantung, tetapi berdasarkan perjanjian, kata ini digunakan

untuk menjelaskan penyakit jantung yang terjadi akibat kelainan primer di

miokardium (Robbins et al, 2007). Kardiomiopati dapat diartikan sebagai penyakit

pada otot jantung yang tidak diketahui penyebabnya. Salah satu definisi menyatakan

kardiomiopati primer adalah penyakit pada otot jantung yang tidak diketahui

penyebabnya dimana tidak didapati adanya penyakit jantung bawaan (PJB),

hipertensi, kelainan katup didapat, kelainan arteri koroner, infeksi atau penyakit

sistemik. Gejala klinis yang didapat bisa berupa gagal jantung kongestif, nyeri dada,

dispnea, aritmia, atau mati mendadak (Siregar, 2005).

2.2 Epidemiologi

Insidens kardiomiopati semakin meningkat frekuensinya dalam beberapa

tahun terakhir ini. Dengan bertambah majunya teknik diagnostik, ternyata

kardiomiopati idiopatik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang

utama. Di beberapa negara penyakit ini bahkan merupakan penyebab kematian

sebesar 30% atau lebih daripada semua kematian akibat penyakit jantung.1 Di

Indonesia sendiri laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 diketahui


bahwa penyakit jantung merupakan penyebab kematian ke 11 dengan proporsi

kematian 4,6%.4 Penyakit sistem sirkulasi darah merupakan penyakit yang

menempati urutan teratas sebagai penyakit utama penyebab kematian di rumah

sakit baik pada tahun 2007 maupun 2008. Penyakit sirkulasi darah pada tahun

2007 menyebabkan kematian sebanyak 21.830 orang dengan Case Fatality Rate

(CFR) 11,02% dan pada tahun 2008 menyebabkan kematian sebanyak 23.163

orang dengan CFR 11,06%. Jumlah pasien kardiomiopati di rumah sakit di

Indonesia tahun 2007 yang rawat inap 1413 orang dan yang rawat jalan 2747

orang dengan CFR 10,8%.4

2.3 Anatomi

Jantung merupakan organ berotot yang mampu memompa darah ke berbagai

bagian tubuh. Jantung terletak dalam ruang mediastinum rongga dada, yaitu di

antara paru. Jantung dibungkus oleh selaput yang disebut perikardium, yang

terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan dalam (perikardium viseralis) dan lapisan

luar (perikardium parietalis).5 Jantung bertanggung jawab untuk

mempertahankan aliran darah. Untuk menjamin kelangsungan sirkulasi jantung

berkontraksi secara periodik.6


Gambar 1. Anatomi jantung 6

Jantung terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan terluar (epikardium), lapisan tengah

(miokardium) dan lapisan terdalam (endotel). Sebenarnya posisi jantung memutar

ke kiri dengan apeks terangkat ke depan. Rotasi ini menempatkan bagian kanan

jantung ke anterior, di bawah sternum, dan bagian kiri jantung ke posterior.

Jantung terdiri dari 2 atrium dan 2 ventrikel.5 Kedua atrium merupakan ruang

dengan dinding otot yang tipis karena rendahnya tekanan yang ditimbulkan oleh

atrium. Sebaliknya ventrikel mempunyai dinding otot yang tebal, terutama

ventrikel kiri yang mempunyai lapisan tiga kali lebih tebal dari ventrikel kanan.5,6

Ada dua jenis katup: katup atrioventrikularis (AV), yang memisahkan atrium

dengan ventrikel dan katup semilunaris, yang memisahkan arteri pulmonalis dan

aorta dari ventrikel yang bersangkutan. Katup antara atrium dan ventrikel kiri

disebut katup mitral, antara atrium dan ventrikel kanan disebut katup trikuspid.
Katup antara arteri pulmonalis dan ventrikel kanan adalah katup pulmonal

sedangkan antara ventrikel kiri dengan aorta disebut katup aorta.5,6

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi klinis kardiomiopati berdasarkan kelainan yang ditemukan :1

a. Kardiomiopati dilatasi

b. Kardiomiopati restriktif

c. Kardiomiopati hipertropik

Gambar 2. Klasifikasi kardiomiopati 7


2.5 Kardiomiopati Hipertropik

Definisi

Kardiomiopati hipertrofik adalah hipertrofi ventrikel tanpa penyakit jantung

atau sistemik lain yang dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel (Nasution, 2009).

Etiologi

Penyebab kardiomiopati hipertrofik tidak diketahui, diduga disebabkan oleh

kelainan faktor genetik, familial, rangsangan katekolamin, kelainan pembuluh

darah koroner kecil, kelainan yang menyebabkan iskemi miokard, kelainan

konduksi atrioventrikuler dan kelainan kolagen.8

Kemajuan bidang biomolekuler mengungkapkan adanya mutasi gen yang

mengatur protein sarkomer jantung, setengah dari pasien kardiomiopati

hipertrofik mempunyai riwayat keluarga positif dengan transmisi autosomal

dominan.7,9 Lebih dari 150 mutasi telah diketahui dari 10 lokasi yang berbeda

yang mengkode protein sarkomer. Sekitar 40% dari mutasi ini berhubungan

dengan gen B dari heavy chain cardiac myosin yang berada pada kromosom

14q11, 1q3, 15q2 dan 11p13-q13, dimana mesenger RNA dapat dikenali dari

limfosit perifer dari PCR, sehingga kelainan ini dapat dideteksi sebelum adanya

kelainan klinis yang nyata.2,8,9 Sekitar 15% mempunyai mutasi dari gen troponin

T cardiac (kromosom 11), 10 % mutasi pada myosin binding protein C, 5%

mutasi pada gen alfa tropomyosin.7,8

Klasifikasi
Kardiomiopati hipertrofik ada 2 macam/bentuk, yaitu:

Hipertrofi yang simetris atau konsentris

Hipertrofi septal simetris

- Dengan left ventricular outflow tract obstruction atau disebut

juga idiopathic hypertropic subaortic stenosis (IHSS),

atau hypertrophis obstructive cardiomyopathy (HOCM).

- Tanda left ventricular outflow tract obstruction

Patofisiologi

Pada penyakit ini didapati hipertropi ventrikel yang masif terutama pada

septum ventrikel yang mengakibatkan pada waktu sistole septum menonjol ke

aliran keluar ventrikel kiri dan menyebabkan obstruksi. Adakalanya ventrikel

kanan dapat terkena. Beberapa tingkatan fibrosis miokard dapat dijumpai. Katup

mitral bergeser ke anterior karena hipertrofi muskulus papilaris dan ruang

ventikel kiri diisi oleh hipertrofi yang masif.1,2 Kelainan hemodinamik yang

terjadi akibat hipertrofi, fibrosis, dan kekakuan otot jantung berupa menurunnya

distensibilitas jantung, sehingga terjadi resistensi dalam pengisian ventrikel kiri,

tetapi fungsi pompa diastolik tetap normal sampai akhir penyakit. Obstruksi aliran

ventrikel kiri dapat berkembang karena kelainan letak daun anterior katup mitral

yang berhadapan dengan septum yang hipertrofi dan peak systolik pressure

gradient pada aliran keluar ventrikel kiri bervariasi.1,9


Berbeda dengan obstruksi yang disebabkan oleh orifisium yang menyempit

secara permanen, seperti pada stenosis aorta, pada kardiomiopati hipertrofi,

obstruksi jalur keluar ventrikel kiri merupakan hal yang dinamis dan dapat

berubah di antara pemeriksaan. Obstruksi muncul dari hasil penyempitan aliran

ventrikel kiri yang telah kecil sebelumnya oleh SAM dari katup mitral terhadap

septum yang hipertrofi dan kontak midsistolik dengan septum ventrikel.11

Delapan puluh persen pasien dengan karrdiomiopati hipertrofik mengalami

gangguan diastolik yaitu kelainan dalam relaksasi dan pengisian ventrikel.

Sebaliknya fungsi sistolik normal sampai super-normal. Kebanyakan pasien

memiliki fraksi ejeksi supernormal (75-80%).1,8

Patogenesis Kardiomiopati hipertrofi

Patogenesis dari kardiomiopati hipertrofi adalah karena terdapatnya gen-

gen yang mengalami mutasi. Gen-gen yang mengalami mutasi tersebut adalah

gen-gen yang bertanggung jawab menghasilkan protein kompleks sarkomer

antara lain: protein beta miosin rantai berat, tropinin, dan myosin-binding protein

C (Gamba, yang akan mengakibatkan gangguan fungsi kontraksi otot jantung.

Gangguan fungsi kontraksi yang terjadi akan dikompensasi oleh otot jantung
5,7,8
dengan terjadinya hipertrofi otot jantung dan proliferasi dari fibroblas.
(3)
Gambar 3. Patofisiologi Kardiomiopati hipertrofik. Dikutip dari

Patofisiologi, patogenesis dan perjalanan penyakit dari kardiomiopati

hipertrofi sangat bervariasi dan bergantung kepada gen mana yang mengalami

mutasi. Bahkan jenis mutasi pada gen tertentu sangat menentukan onset hipertrofi

dan remodeling jantung yang terjadi serta resiko seseorang akan mengalami gagal

jantung ataupun kematian mendadak. Contohnya mutasi pada beta miosin rantai

berat yang mengubah aktivitas listrik diasosiasikan dengan prognosis yang buruk
7,8
dibandingkan mutasi pada gen lain.

Walaupun hipertrofi pada kardiomiopati dapat mengenai semua bagian dari

ventrikel tetapi septum ventrikel yang paling umum terkena sekitar 90% dari

kasus, yang lebih jarang terjadi adalah hipertrofi pada dinding ventrikel atau

terlokalisasi pada apeks atau regio tengah dari ventrikel kiri. Tidak seperti

hipertrofi ventrikel yang disebabkan oleh hipertensi, dimana miositnya membesar

secara uniform dan tersusun rapih, gambaran mikroskopis otot jantung pada

penderita kardiomiopati hipertrofi sangat berbeda yaitu susunan kardiomiositnya


kacau/miosit disarray dan banyak terdapat jaringan ikat yang merupakan
3-5, 8
ciri khas dari kardiomiopati hipertrofi.
Gambar 4. Patogenesis Kardiomiopati hipertrofik&Kardiomiopati dilatasi dengan sebab genetik (Tulisan

berwarna merah: mutasi protein pada penyakit Kardiomiopati dilatasi, tulisan berwarna biru: mutasi protein

pada penyakit Kardiomiopati hipertrofik, Tulisan berwarna hijau mutasi protein pada keadaan Kardiomiopati

(4)
hipertrofik atau Kardiomiopati dilatasi). Dikutip dari

Manifestasi Klinis

Gejala klinis pada kardiomiopati hipertrofi disebabkan oleh karena adanya

penurunan fungsi diastolik dan juga karena adaatau tidaknya sumbatan intermiten

aliran keluar saat sistolik. Jadi patofisiologi kardiomiopati hipertrofi dalam hal ini

dibagi dua berdasarkan ada atau tidaknya sumbatan intermiten keluarnya darah
3
saat sistolik.
Kardiomiopati hipertrofi tanpa sumbatan aliran sistolik

Pada kardiomiopati hipertrofi jenis ini selain terjadi hipertrofi juga terjadi

kekakuan dan gangguan relaksasi pada ventrikel kiri. Gangguan relaksasi yang

menurun pada ventrikel kiri menyebabkan peningkatan tekanan ventrikel kiri, yang

akan dialirkan ke arah belakang, sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan

atrium, vena pulmonal dan kapiler pulmonal.


Peningkatan tekanan pada vena pulmonal dan kapiler pulmonal inilah yang

menyebabkan gejala dispnea pada penderita kardiomiopati jenis ini. Jantung yang

hipertrofi juga dapat menimbulkan gejala angina peningkatan kebutuhan oksigen

oleh miokardium. Jantung yang hipertrofi serta adanya miosit disarray sehingga
3
rentan terhadap timbulnya aritmia yang malignan.

Kardiomiopati dengan sumbatan aliran sistolik

Kira-kira sepertiga pasien dengan kardiomiopati hipertrofi mengalami

sumbatan intermiten aliran sistolik. Mekanisme sumbatan intermiten aliran sistolik

ini disebabkan oleh gerakan abnormal dari katup mitral anterior yang lokasinya

dekat dengan posisi penebalan septum ventrikel. Mekanisme terjadinya sumbatan

aliran sistolik adalah sebagai berikut: pada saat ventrikel berkontraksi, ejeksi darah

ke katup aorta menjadi lebih cepat dari biasanya karena harus mengalir melalui jalur

yang sudah menyempit, aliran darah yang cepat ini mengakibatkan tekanan pada

katup mitral sehingga secara abnormal mendorong katup mitral ke arah septum,

akibatnya katup mitral mendekat septum ventrikel kiri yang hipertrofi dan menutup

sementara aliran darah ke aorta. Selain itu karena katup mitral terdorong dan

menutup jalur keluar darah melalui katup aorta, katup mitral bagian anterior tidak

dapat menutup dengan sempurna saat sistolik sehingga terjadi regurgitasi katup
3
mitral.

1
Pada pasien dengan obstruksi aliran sistolik, gejala-gejala yang timbul selain

sama dengan kardiomiopati hipertrofi tanpa sumbatan aliran sistolik juga ditambah

oleh gejala-gejala akibat sumbatan aliran sistolik, yaitu: angina (yang disebabkan

oleh hipertrofi otot jantung ditambah dengan peningkatan kerja ventrikel kiri karena

harus melawan sumbatan saat sistolik), dispnea oleh karena adanya regurgitasi

mitral, yang terakhir adalah adanya kegagalan meningkatkan curah jantung saat

berolahraga.3

Diagnosis

Pemeriksaan EKG tipikal menunjukkan LVH dan left atrial enlargement

(LAE). LVH menyebabkan peningkatan voltase prekordial dan sering disertai

perubahan segmen ST dan gelombang T. Asymmetrical septal hypertrophy

menghasilkan inversi gelombang Q yang sempit dan dalam (dagger like Q waves)

di sadapan lateral dan inferior, mempresentasikan daya depolarisasi yang meningkat

dari septum yang hipertrofi diarahkan menjauh dari sadapan tersebut. Pada sebagian

pasien, inversi gelombang T yang dalam dijumpai pada sadapan difus. Hal ini

pertama kali dideskripsikan pada pasien-pasien Jepang dengan precordial T wave

inversions (giant T wave inversions) pada tahun 1976. Kondisi ini umum dijumpai di

Jepang dan estimasi sekitar 25 % pada pasien-pasien HCM di Jepang. Jumlahnya

jauh lebih sedikit (1-2 %) ditemukan pada HCM di penduduk Kaukasia. Karena

penemuan EKG ini, pasien HCM yang datang dengan keluhan dyspnea dan angina

sering didiagnosa dengan SKA.(5,6) Atrial dan ventrikular aritmia, terutama atrial
fibrilasi sering dijumpai. Ventrikular aritmia dapat berakibat buruk; pasien dapat

mengalami ventrikular fibrilasi dan sudden death, walaupun pada pasien yang

sebelumnya asimtomatik.

Gambar 5. Contoh EKG pada pasien HCM

Data diambil dari Lakshmanadoss U, Kulkarni A, Balakrishman S. All that glitters is not gold: apical hypertrophy

cardiomyopathy mimicking acute coronary syndrome. Cardiol Res. 2012;3(3):137-139.

Ekokardiografi sangat membantu dalam mendiagnosa HCM. Hipertrofi LV

dapat diukur, regio asymmetrical wall thickness dapat diidentifikasi. Tanda-tanda

LVOTO dapat dievaluasi berupa systolic anterior motion katup mitral kearah septum

yang hipertrofi dan tertutupnya sebagian katup aorta pada midsistolik sehingga aliran

ke katup terhambat sementara. Doppler ekokardiografi mengukur gradien tekanan

aliran outflow dan MR secara akurat.(10)


Diagnosis HCM :

Adults : adanya satu atau lebih segmen LV dengan wall thickness 15 mm atau

lebih

Children : wall thickness >2 standar deviasi diatas nilai rata-rata

Dinamic obstruction : bila gradien LVOT >30 mmHg

Relatives : satu atau lebih segmen LV dengan wall thickness 13 mm atau lebih

Differential diagnose

Ada beberapa kondisi yang dapat dijadikan diagnosa banding HCM

diantaranya hipertensi heart disease (HHD) dan athletes heart.

Membedakan HHD dengan HCM :

Favor HHD : EKG normal atau LVH tanpa adanya perubahan repolarisasi.

Penurunan LVH dengan kontrol baik tekanan darah.

Favor HCM : cenderung adanya riwayat keluarga, ketebalan salah satu

segmen dinding LV > 15 mm ( kaukasia ); > 20 mm ( black people ), severe

diastolic dysfunction, EKG tampak adanya perubahan repolarisasi, gangguan

konduksi atau adanya gelombang Q, pada pemeriksaan MRI tampak adanya

late gadolinium enhancement pada RV atau localized LV pada segmen yang

menebal.(11)
Membedakan athletes heart dengan HCM :

Athletes heart

o LV wall thickness < 13 mm

o LV cavity > 55 mm

o Fungsi diastolik normal

o Lebih banyak jenis kelamin laki-laki

o Penebalan segmen LV berkurang dengan deconditioning

o Tidak ada riwayat keluarga

HCM

o LV wall thickness > 15 mm

o LV cavity < 45 mm

o Dilatasi LA

o Gambaran EKG berupa T inverted atau gelombang Q patologis

o Gangguan fungsi diastolik

o Lebih banyak perempuan

o Ada riwayat keluarga

Penanganan

Beta bloker adalah terapi standar pada pasien HCM karena (1) mengurangi

oxygen demand miokard dengan menurunkan heart rate (HR) dan daya kontraksi

(dengan demikian mengurangi angina dan dyspnea); (2) Mengurangi LV outflow


gradient selama aktivitas dengan mengurangi daya kontraksi; (3) Menambah waktu

pengisian pasif diastolik dengan mengurangi HR; (4) Mengurangi frekuensi denyut

ventrikular ektopik. Walaupun ada efek antiaritmia, beta bloker tidak mencegah

sudden arrythmic death pada HCM. Calcium channel antagonists (CCB) dapat

mengurangi kekakuan dinding ventrikel dan meningkatkan kapasitas aktivitas pada

pasien yang tidak respon dengan beta bloker. Simptom angina dan exertional dyspnea

terkontrol baik dengan terapi medis agen-agen seperti beta bloker dan CCB. Pasien

dengan kongesti paru diberikan terapi diuretik dosis ringan dengan pengawasan

karena penurunan volume intravaskular mengurangi ukuran LV chamber dan

memperburuk LVOTO. Vasodilator harus dihindari.

AF ditoleransi buruk pada pasien HCM dan harus segera diatasi. Obat

antiaritmia yang baik digunakan adalah amiodarone. Digitalis harus dihindari karena

berefek inotropik positif sehingga memperburuk LVOTO.

Sudden cardiac death cenderung timbul pada pasien HCM yang beraktivitas fisik

berat; sehingga aktivitas kompetitif dan berat harus dihindari. Walaupun amiodarone

dapat mengurangi frekuensi ventrikular aritmia, pasien HCM yang resiko tinggi

(riwayat keluarga sudden death, LVH ektrim dengan ketebalan >30mm, episode

sinkop sebelumnya, riwayat takiaritmia ventrikular sebelumnya) harus dipasang

terapi implantable cardioverter defibrillator (ICD). Terapi ICD adalah life saving

baik sebagai pencegahan primer, dan pada pasien yang sudah mengalami cardiac

arrest sebelumnya.
Terapi bedah (myomectomy) dapat dipertimbangkan pada pasien dengan

gejala yang tidak berespon adekuat dengan terapi farmakologik. Prosedur ini

dilakukan eksisi sebagian otot septum yang hipertrofii dan biasanya memperbaik

obstruksi LV outflow tract, gejala dan kapasitas aktivitas. Prosedur lain yang less

invasive adalah percutaneus septal ablation, dimana etanol diinjeksi langsung ke

arteri koroner septal (cabang left anterior descending artery) menimbulkan infark

miokard kecil dan terkontrol. Hasil yang ingin dicapai adalah reduksi ketebalan septal

dan mengurangi LVOTO. Ablasi septal adalah alternatif pada pasien simtomatik yang

intoleransi operasi miomektomi.9

Prognosis

Sebagian pasien berkembang dalam pathway yang relatif tidak terlihat: (1)

resiko tinggi kematian mendadak; (2) gejala kongestif gagal jantung dengan dispneu

pada aktivitas dan disabilitas fungsional yang sering dikaitkan dengan nyeri dada dan

biasanya diiringi dengan fungsi sistolik LV yang menetap; dan (3) konsekuensi atrial

fibrillation (AF), termasuk stroke emboli.

Kematian Mendadak. Stratifikasi Resiko. Kematian mendadak adalah cara kematian

yang paling umum dan komplikasi yang paling tidak dapat diduga dari HCM. Karena

itu, dalam spektrum penyakit HCM yang luas, dimana angka mortalitas per tahun

secara keseluruhan sekitar 1%, ada subset kecil yang punya resiko jauh lebih tinggi

(mungkin sekitar 5% per tahun).


Tujuan yang penting namun rumit adalah identifikasi individu yang resiko

tinggi diantara spektrum HCM yang luas. Sebagai contoh, kematian mendadak dapat

sebagai manifestasi pertama HCM, dan pasien semacam itu tidak ada atau memiliki

gejala ringan sebelumnya. Walaupun kematian mendadak terjadi paling sering pada

anak dan dewasa muda, resikonya meliputi kisaran usia yang luas hingga paruh baya

dan seterusnya; karena itu, mencapai usia tertentu tidak memberikan imunitas untuk

kejadian yang buruk. Kematian mendadak umumnya terjadi pada kelelahan ringan

atau aktivitas yang sederhana tapi tidak jarang juga terkait dengan kelelahan fisik

yang berat. Memang, HCM merupakan penyebab paling umum kematian mendadak

kardiovaskular pada orang muda, termasuk atlet kompetitif yang terlatih (paling

umum pada olahraga basket dan football dan atlet kulit hitam).

Mayoritas pasien HCM (55%) tidak menunjukkan faktor resiko yang dikenali

untuk penyakit ini, dan sangat pasien seperti itu mati mendadak; subset dengan

peningkatan resiko tampaknya terdiri dari 10% hingga 20% populasi HCM. Resiko

tertinggi kematian mendadak HCM telah dihubungkan dengan yang manapun dari

marker klinis noninvasif berikut: serangan jantung sebelumnya atau takikardia

ventrikel menetap spontan; riwayat keluarga kematian terkait HCM prematur,

terutama jika mendadak, pada anggota keluarga dekat, atau multipel; sinkop dan

beberapa kasus hampir sinkop, terutama jika kelelahan atau berulang, atau pada

pasien muda ketika tercatat akibat aritmia atau jelas tidak berhubungan dengan

mekanisme neurokardiogenik; multipel dan repetitif atau prolongasi takikardia


ventrikel tidak menetap pada pada catatan EKG ambulatori serial (Holter); tekanan

darah hipotensi sebagai respon terhadap olahraga, terutama pada pasien usia lebih

muda dari 50 tahun; dan LVH ekstrim dengan penebalan dinding maksimal 30 mm,

terutama pada remaja dan dewasa muda.

Pada dewasa muda, faktor resiko muncul dari hubungan yang kontinu dan

langsung antara ketebalan dinding LV maksimal dan kematian mendadak, yang

mendukung keparahan LVH sebagai determinan prognosis HCM. Pengecualian

terhadap hubungan itu adalah beberapa dari keluarga HCM yang sangat selektif

dengan kematian mendadak multipel dan LVH ringan akibat mutasi troponin T.

Deskripsi profil resiko HCM total kemungkinan tidak lengkap, dan tidak ada gejala

penyakit atau pemeriksaan yang mampu menstratifikasi resiko pada semua pasien.

Pasien HCM pada kemungkinan rendah kematian mendadak yang diakibatkan

oleh gangguan ritme yang mengancam nyawa, begitu juga efek samping lain (misal

pada tingkat <1% per tahun). Pasien dewasa yang lebih mungkin bersiko rendah

adalah mereka yang tidak ada atau memiliki gejala kongestif ringan tanpa adanya

yang berikut: riwayat keluarga kematian dini akibat HCM; sinkop (atau hampir

sinkop) yang dinilai tidak mungkin karena sebab neurokardiogenik; takikardia

ventrikel yang tidak menetap pada EKG Holter ambulatori; gradien outflow LV

minimal 50 mmHg; LVH substansial (penebalan dinding 20 mm); pembesaran

atrium kiri (<45 mm); dan tekanan darah hipotensi sebagai respon terhadap olahraga.

Pasien-pasien semacam itu dengan progosis baik adalah proporsi penting dari
keseluruhan populasi HCM dan umumnya berhak mendapatkan ketenangan atas

penyakitnya.

Kebanyakan pasien HCM perlu melalui penilaian stratifikasi resiko (mungkin

dengan pengecualian pasien yang lebih dari 60 tahun) yang memerlukan, selain dari

pengambilan riwayat yang hati-hati dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan noninvasif

dengan achokardiografi 2 dimensi, EKG Holter ambulatori 24 atau 48 jam, dan

pemeriksaan latihan treadmill (atau sepeda).

Pencegahan. Pada HCM, strategi terapi untuk mengurangi resiko kematian

mendadak dalam sejarah telah diprediksi dengan obat-obatan seperti -blocker,

verapamil, dan agen antiaritmia (misal quinidine, procainamide, dan amiodarone).

Meski begitu, ada sedikit bukti bahwa strategi farmakologis profilaktik dan obat-

obatan yang memodulasi ritme secara efektif mengurangi resiko kematian mendadak.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

1. Nasution SA. Kardiomiopati. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadribrata MK, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007. p1600-1603

2. Wynne J, Braunwald E. Cardiomyopathy and myocarditis. Dalam : Kasper DL et


al. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition. Inc. United States of
America: The McGraw-Hill Companies; 2005.

3. Maron BJ. Circulation. Contemporary Definitions and Classification of The


Cardiomyopathies. New York: McGraw-Hill; 2006. p1807-1816.

4. Anonim. Profil Kesehatan Indonesia 2008. (sumber: http://www.depkes.go.id


diakses 24 Desember 2012).

5. Price SA dan Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,


edisi 6. Jakarta: ECG; 2003. p517-529.

6. Rizzo DC. Delmars fundamentals of anatomy and physiology. Michigan:


Biology Departement Head Professor of Biology Marygrove College Detroit;
2001. p294-311.

7. Wynne J, Braunwald E. Cardiomyopathy and myocarditis. Dalam : Kasper DL et


al. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Edition. Inc. United States of
America: The McGraw-Hill Companies; 2005.

8. Gunawan CA. Kardiomiopati Hipertrofik. Cermin Dunia Kedokteran. No. 143


hal 19. 2004.

9. Siregar AA. Kardiomiopati Primer pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. (online),
(http://library.usu.ac.id diakses 24 Desember 2012).

10. Taylor RB. Taylors cardiovascular diseases: a handbook. Inc. United States of
America : Springer Science; 2005.

11. Afridi HR. Imaging in Dilated Cardiomyopathy. (sumber:


http://emedicine.medscape.com diakses tanggal 24 Desember 2012).
12. Raphael MJ, Partridge JB. Cardiomyopathies, cardiac tumours, trauma and
cardiac transplantation. Dalam. Grainger RG, Allison DJ, Adam A, Dixon AK.
Diagnostic Radiology a Textbook of Medical Imaging Fourth Edition. London:
Harcout Publishers Limited; 2001.

13. Palmer PES, Cockshott WP, Hegedus V, Samuel E. Petunjuk Membaca Foto
untuk Dokter Umum. Jakarta: EGC; 1995. p78.

14. Chambers J and Rimington H. Echocardiography a Pratical Guide for Reporting


2nd edition. London: Informa Health Care; 2007.

15. Kerut EK, Mcllwain EF, Plotnick GD. Handbook of Echo-Doppler Interpretation
Second Edition. Louisiana: Futura Publishing Company; 2004. p160-186.

16. Budoff MJ, Shinbane JS. Cardiac CT Imaging Diagnosis of Cardiovascular


Disease. London: Springer; 2006. 75-78.

17. Belloni E, Cobelli FD, Esposito A, Melloner, Perseghin G, Canu T, Maschio AD.
MRI of Cardiomyopathy. American Journal of Roentgenology. 2008: 1702-
1710.

18. Rasad S. Radiologi Diagnostik, edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
p595-595.

Anda mungkin juga menyukai