1
mendampingi petempuran fisik dengan persenjataan, Belanda menggiring
pertempuran dalam wujud lain yang tak kalah dahsyatnya. Serangan isu melalui
Radio Batavia di Jakarta dan Radio Hilversium di Holland memperkuat posisi
politik mereka dalam sepekan.
Namun tanpa diduga, Bireuen Kota Juang Kontribusi Rimba Raya bantahan
dari Radio Rimba Raya mengejutkan banyak pihak dan cukup telak mematahkan
semangat kaum kolonial itu. Penggiringan pertempuran ala psy war (perang urat
syaraf) ternyata mampu ditandingi oleh Rimba Raya.
Isu kevakuman pemerintahan RI yang telah dikumandangkan semakin mendorong
nafsu Dr Beel untuk mengumumkan ke masyarakat dunia bahwa Republik
Indonesia sudah collapse, karena Yogyakarta, ibu kota RI telah diduduki Belanda
di samping pemimpin negeri, Soekarno dan Hatta telah ditawan. Pemimpin Belanda
itu menutup mata, seakan tak melihat bahwa Aceh sejak agresi militer I, 21 juli
1947 hingga agresi militer II pada 19 Desember 1948 tidak pernah tersentuh oleh
kekuatan militer Belanda.
Tersirat ketidak-beranian Belanda menyerang Aceh harus diimbangi
dengan perang propaganda. Membingungkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
Sekitar pukul 06.00, subuh keesokan harinya, tanggal. 20 Desember 1948, suara
perlawanan menggelegar dari daratan tinggi Gayo, Aceh Tengah. Suara radio
Rimba Raya menayangkan bantahan kepada Dr Beel yang sedang bermimpi.
Dengarkan Dr Beel, Saya di sini, Gubernur Militer Propinsi Aceh, Langkat, Tanah
Karo, Teungku Muhammad Daud Beureueh mengumumkan kepada seluruh dunia
bahwa Negara Republik Indonesia kini masih tegak dengan kokoh, merdeka dan
berdaulat. Tidak ada seorang Belandapun yang berani mendekat ke Tanah
Rencong, ungkap pemimpin Aceh itu. Perseteruan udara antara dua pemimpin
bangsa mengubah situasi ketika itu.
Sekjen PBB sempat terprovokasi karena para diplomat Belanda di PBB
cukup gesit mendesak Dewan Keamanan (DK) mengadakan sidang untuk
memutuskan situasi politik bangsa penjajah itu di negeri bekas jajahannya.
Sedianya Belanda bermaksud, mulai hari Ahad jam 12.30, pada 19 Desember 1948
nama Republik Indonesia sudah dihapuskan dari peta politik dunia. Reaksi keras
2
juga muncul melawan pernyataan Dr Beel tersebut, terutama dari negara-negara
Timur-Tengah, Asia, Amerika, Australia, Mesir, Maroko, serta dari Sekjen PBB
sendiri, Trigve Lie. Namun minimnya peralatan, khususnya prangkat komunikasi,
turut mempersulit informasi Indonesia di luar negeri.
Provokasi Belanda yang pada mulanya merebak seantero dunia, pupus
seketika. Respon negara-negara pendukung eksistensi Indonesia diperkuat dengan
siaran Rimba Raya. Akhirnya tak terbantahkan, dari dalam negeri reaksi paling
keras bermula di tanah rencong,lewat Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah
Karo, Jenderal Mayor Tgk M Daud Beureueh, yang dipancarkan radio perjuangan
Rimba Raya di Takengon, Aceh Tengah. Setelah menuai protes, bahkan counter
dari Gubernur Militer Aceh tentang isu keliru Dr Beel, maka delegasi Indonesia di
PBB, L.N Palar bersama Menteri H Agus Salim, leluasa mengadakan aksi-aksi jitu
yang mampu membela dan menyelamatkan kepemimpinan Dwi Tunggal Soekarno-
Hatta dari berbagai rivalitas.
Percaturan politik dalam dan luar negeri meruncing, lika-liku diplomasi seru
melibatkan RI-Belanda semakin dibicarakan di dunia internasional. Sementara,
rivalitas antara SoekarnoHatta kontra Syahrir-M Natsir juga menyerap banyak
enerji. Di samping banyak alasan lain, situasi politik yang kusut ini mengantarkan
delegasi RI Belanda menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB), akhir tahun
1949 di Den Haag, Belanda.
Radio Rimba Raya yang telah menciptakan perjalanan sejarah Indonesia itu
mula-mula ditempatkan di Krueng Simpo, 20 km dari Bireuen. Setelah beberapa
saat beroperasi, radio ini dipindahkan ke Cot Gue, Banda Aceh dengan signal
calling resmi "Radio Repoeblik Indonesia Koetaradja". Pemindahan ini atas dasar
perintah langsung Gubernur Militer Aceh, Tgk M Daud Beureueh. Pemancar radio
perjuangan ini berperan aktif dalam menyiarkan berita serta pesanpesan revolusi ke
seluruh pelosok tanah air dan ke luar negeri.
Dalam perjalanannya, ternyata di pegunungan Cot Gue pun pemancar ini
tidak aman. Akhirnya diperintahkan lagi untuk diamankan ke pegunungan Rimba
Raya yang terkenal strategis dan berhutan lebat. Muasal perangkat radio itu sendiri
merupakan hasil barter yang dikoordinir Mayor Osman Adami melalui kegiatan
3
dagang Atjeh Trading Company (ATC), dengan kekuatan 350 watt telegrafi dan
300 watt telefoni.
Daya jangkau siaran perangkat canggih masa itu hanya sampai Singapura
dan Malaysia. Dengan berbagai keterbatasan sumberdaya, Mayor (Laut) John Lie
berhasil menembus blokade Belanda seraya membawa pemancar radio barteran.
Pemasangan instalasi pemancar dilakukan pada tahun 1945 oleh seorang Indo-
Jerman, Schultz namanya. Teknisi ini dibantu rekan Syayudin Arif, Hie Wun Fie
yang mahir berbahasa Cina. Di samping mereka ada lagi Chandra dan Abubakar
yang fasih berbahasa Urdhu. Tidak dengan mereka saja, tim diperkuat lagi oleh
Abdullah, sosok yang menguasai bahasa Arab dan Inggris. Jika tidak berlebihan,
Monumen Radio Rimba Raya merupakan asset sejarah yang luar biasa
jasanya. Sebagai benteng pertahanan dalam pertempuran psy war, sudah
selayaknya dilakukan napak tilas untuk menelusuri lokasi awal tempat instalasi
radio itu dipasang di Krueng Simpo, Bireuen.
4
sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang
beroperasi di tengah hutan raya Gayo.
Keterangan beberapa tokoh yang berjasa mendirikan Radio Rimba Raya
yang kemudian dihimpun dalam buku berjudul Peranan Radio Rimba Raya
terbitan Kanwil Depdikbud Aceh, menyebutkan, begitu besarnya kiprah radio
perjuangan tersebut.
Dalam buku itu diceritakan, saat menyampaikan berita tentang
Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di
Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina)
bahkan Australia dan Eropa.
Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio
ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting
bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan
belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris,
Belanda, Cina, Urdu dan Arab.
Dalam tempo enam bulan mengudara, radio ini telah mampu membentuk
opini dunia serta membakar semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan
negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui
oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan Republik
Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang
kenduri akbar di Aceh.
Waktu itu Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan
RI di New Delhi. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi
perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya
disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari
1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang karena banyaknya
berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi
tersebut.
Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara
pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat
5
membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi
politik Indonesia.
Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik
Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai
hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Sebelum ditempatkan di hutan Raya Bener Meriah, Radio Rimba Raya
sempat berpindah-pindah untuk memperoleh posisi yang tepat dalam menyiarkan
berita-berita dan pesan-pesan perjuangan.
Di Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di desa Cot
Gue, delapan kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya dilakukan
dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayong.
Pemancar di desa Cot Gue dan Studio Peunayong, dihubungkan dengan
kabel dan selain juga disiapkan studio cadangan lain untuk mengantisipasi bila
sewaktu-waktu Koetaradja direbut musuh.
Pemancar radio pada saat itu tidak sempat mengudara, karena terjadi agresi
militer Belanda ke-dua pada 19 Desember 1948. Dalam keadaan yang genting itu,
20 Desember 1948 pemancar diberangkatkan ke Aceh Tengah dengan pengawalan
ketat dan dirahasiakan. Daerah yang dituju, ialah desa Burni Bius, Aceh Tengah
dengan pertimbangan lokasi itu dinilai strategis dan secara teknis dapat
memancarkan siaran dengan baik.
Rencana pemasangan radio di desa Burni Bius itu ternyata tidak dapat
dilakukan, risiko yang sangat berat karena pesawat-pesawat Belanda terus
mengintai rombongan selama dalam perjalanan. Dengan mempertimbangkan risiko
yang mungkin terjadi, pemasangan radio akhirnya dialihkan ke Rimba Raya,
Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.
6
Inggris. Mereka adalah tentara Inggris yang bergabung dengan sekutu kemudian
membantu perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Tenaga mereka sangat diperlukan terutama dalam penyiaran berbahasa
asing. Mereka membuat gubuk dan membangun radio itu sesuai dengan keahlian
masing-masing. Studio darurat itu dibangun diatas empat potong kayu besar sebagai
penyangga di bawah pohon kayu yang tinggi dan rindang dimana disana di
gantungkan antena type Y dan Type T yang diikat pada sepotong bambu.
Di gubuk itu juga mereka memasang beberapa pesawat Radio penerima
berita khusus dari telegrafie. Dengan menggunakan mesin diesel yang ada, radio
tersebut dimanfaatkan mulai pukul 16.00 Wib 18 Wib. Radio itu juga
menggunakan beberapa bahasa dalam proses pelaksanaa penyiaran diantaranya
adalah Bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India dan Pakistan
Madras.
Sementara disiang hari pelaksanaan penyiaran tidak dapat dilaksanakan
karena kondisi keamanan yang tidak mengizinkan. Adapun para pejuang yang
melaksanakan kegiatan penyiaran dan kegiatan lainya adalah sebagai berikut:
Kolonel Husin Yusuf sebagai Pimpinan TPRR dan Pemancar Radio. Teknik
Pemancar Radio, Abdulah. Teknik Listrik oleh Darwis dan M. Saleh. Protokol
penyiaran oleh Idris. Penyiaran dalam bahasa Indonesia Letnan Muda TRI Suryadi.
Penyiaran dalam bahasa Inggris oleh Abdullah (pelarian tentara sekutu dari
Medan). Penyiaran dalam bahasa Madras oleh Abubakar (pelarian tentara sekutu
dari Medan) penyiaran dalam bahasa Tionghoa oleh Wong Fie dari Bireuen.
7
Menyeludupkan perelatan radio tersebut tidaklah mudah. John Lie
mengangkut dengan dua buah kapal kecil. Satu kapal berisi peralatan, satu lagi
berisi 12 tentara. Kapal yang berisi tentara tersebut bertugas mengelabui patrol
Belanda di Selat Malaka. Agar peralatan radio Rimba Raya sampai ke
perairan Aceh, John Lie menjadikan kapal berisi 12 tentara sebagai umpan untuk
mengalih perhatian Belanda. Kapal dan ke-12 tentara itu pun tewas di tengah laut
setelah diserang patroli Belanda. Sementara kapal yang mengangkut peralatan radio
sampai ke Kuala Yu, Kuala Simpang. Di sana, John Lie disambut oleh Nukum
Sanani atas perintah Abu Daoud Beureueh.