Anda di halaman 1dari 52

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneumothoraks adalah adanya udara di dalam rongga pleura (ruang antara
dinding dada dan paru-paru). Pneumothoraks spontan adalah keadaan terdapatnya
udara atau gas dalam rongga pleura yang dapat menyebabkan paru kolaps baik total
maupun sebagian tanpa didahului adanya trauma pada dada sebelumnya.
Penumothoraks spontan terbagi atas pneumothoraks primer dan sekunder.
Pneumothoraks primer dapat muncul pada individu sehat, sedangkan pneumothoraks
spontan sekunder muncul sebagai akibat dari komplikasi penyakit lain.
Kasus pneumothoraks lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Pada penelitian di Pakistan didapatkan kasus pneumothoraks pada laki-laki sebanyak
63,58% dan perempuan sebanyak 36,42%. Sedangkan angka kejadian di Indonesia
sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui, terjadi spontan dan
tiba-tiba. Pria mempunyai risiko lebih besar daripada wanita dengan perbandingan
kurang lebih 5:1. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Nugroho tahun 2007, di
RS Dr. Karyadi Semarang ditemukan 79 kasus pneumothoraks spontan tipe primer
dan 59 kasus pneumothoraks spontan tipe sekunder. Data di RSU Dr. Soetomo
Surabaya tahun 2000-2004 menyebutkan bahwa terdapat 392 orang pasien
pneumothoraks spontan sekunder yang dirawat di bangsal paru, dan pasien dengan
penyakit dasar tuberculosis paru sebanyak 304 orang (76%).
Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan pada semua pasien awal trauma
adalah dilakukan stabilisasi leher lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan ABC.
Penatalaksanaan pneumothoraks bergantung pada jenis, derajat, berat ringannya
gejala, penyakit dasar, dan penyulit pneumothoraks saat dilakukan pengobatan yaitu
dengan dilakukannya dekompresi, penggunaan pipa WSD, dan tindakan pembedahan.
Melihat dari tingkat keparahan yang dapat disebabkan oleh pneumothoraks dan
banyaknya kejadian yang terjadi di Indonesia, oleh karena itu kami menyusun
makalah ini agar bermanfaat untuk memberikan edukasi bagi masyarakat khususnya

1
bagi para pembaca. Intisari dari makalah ini adalah pemberian asuhan keperawatan
yang tepat bagi klien yang menderita pneumothoraks.

1.2 Rumusan masalah


1) Bagaimanakah anatomi dan fisiologi sistem pernapasan pada manusia?
2) Apakah definisi pneumothoraks?
3) Apakah etiologi pneumothoraks?
4) Bagaimanakah patofisiologi pneumothoraks?
5) Bagaimanakah klasifikasi pneumothoraks?
6) Bagaimanakah manifestasi klinis pneumothoraks?
7) Apakah pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan untuk menegakkan
diagnose pneumothoraks?
8) Bagaimanakah penatalaksaan yang tepat pada pasien dengan pneumothoraks?
9) Apakah komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pneumothoraks?
10) Bagaimana prognosis pada pasien dengan pneumothoraks?
11) Bagaimana asuhan keperawatan yang tepat pada klien dengan
pneumothoraks?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami dan melakukan peran sebagai perawat dalam
pencegahan dan penanganan masalah pneumothoraks.
1.3.2 Tujuan khusus
1) Mampu memahami dan menjelaskan kembali anatomi dan fisiologi paru-
paru.
2) Mampu mengetahui dan memahami definisi pneumothoraks.
3) Mampu mengetahui dan memahami etiologi pneumothoraks.
4) Mampu mengetahui dan memahami patofisiologi pneumothoraks.
5) Mampu mengetahui dan memahami klasifikasi penumotoraks.
6) Mampu mengetahui dan memahami manifestasi klinis pneumothoraks.

2
7) Mampu mengetahui dan memahami pemeriksaan diagostik pada pasien
dengan pneumothoraks.
8) Mampu mengetahui dan memahami penatalaksanaan yang tepat pada
pasien dengan pneumothoraks.
9) Mampu mengetahui dan memahami komplikasi pada pasien dengan
pneumothoraks.
10) Mampu mengetahui dan memahami prognosis pada pasien dengan
pneumothoraks
11) Mampu memahami, membuat, dan mempraktikkan asuhan keperawatan
yang tepat pada pasien dengan pneumothoraks.

1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan serta keterampilan mahasiswa dalam pengerjaan
makalah dan presentasi di depan kelas. Menambah kecakapan dan rasa percaya diri
mahasiswa serta lebih memahami tentang penyakit penumotoraks serta memahami
dan mampu mempraktikkan asuhan keperawatan yang tepat pada klien dengan
masalah penumotoraks.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Pernafasan


Sistem pernapasan yang matur terdiri atas paru-paru yang diselimuti pleura
visceral, yang terkandung dalam dinding dada dan diafragma. Pleura merupakan
membran tipis pembungkus paru yang terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan
pleura parietalis. Kedua lapisan ini bersatu di daerah hilus arteri dan mengadakan
penetrasi dengan cabang utama bronkus, arteri dan vena bronkialis, serabut saraf dan
pembuluh limfe. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesotelial,
jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening (Syaifuddin, 2009).

Gambar 1. Pleura

Normalnya rongga pleura selalu ada cairan serosa yang berfungsi untuk
mencegah melekatnya pleura viseralis dan pleura parietalis, sehingga gerakan paru
dapat mengembang dan mengecil dengan mulus tanpa terjadinya friksi. Cairan pleura
merupakan filtrate dari plasma yang terus-menerus direabsorbsi sehingga selalu
dalam keadaan yang tetap. Cairan fisiologis ini disekresi oleh pleura parietalis dan
diabsorbsi kembali oleh pleura viseralis. Dalam keadaan normal cairan pleura
berkisar antara kurang dari 5 ml 15 ml dan setiap peningkatan jumlah cairan di atas
nilai ini dianggap sebagai efusi pleura (Syaifuddin, 2009). Normalnya cairan pleura

4
terbentuk karena tekanan hidrostatis pada pleura parietalis lebih besar dari tekanan
onkotik, fitrat masuk rongga pleura.
Paru-paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk
pertukaran udara. Tiap paru memiliki apeks yang mencapai ujung sternal kosta ke-1;
permukaan kostovertebral yang melapisi dinding dada; basis yang terletak di atas
diafragma dan permukaan mediastinal yang menempel dan membentuk struktur
mediastinal di sebelahnya (Omar Faiz dan David Moffat, 2004). Struktur dari paru-
paru yaitu; paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah dan bawah oleh fisura
oblikus dan horizontal. Paru kiri hanya memiliki fisura oblikus sehingga tidak ada
lobus tengah. Segmen lingular merupakan sisi kiri yang ekuivalen dengan lobus
tengah kanan. Namun, secara anatomis lingula merupakan bagian dari lobus atas kiri.
Struktur yang masuk dan keluar dari paru-paru, melewati hilus paru, yang
diselubungi oleh kantung pleura yang longgar (Omar Faiz dan David Moffat, 2004).

Gambar 2. Anatomi paru

2.2 Fisiologi Sistem Pernapasan


Fungsi utama paru-paru adalah untuk pertukaran gas antara udara atmosfer dan
darah. Dalam menjalankan fungsinya, paru-paru ibarat sebuah pompa mekanik yang
berfungsi ganda, yakni menghisap udara atmosfer ke dalam paru (inspirasi) dan
mengeluarkan udara alveolus dari dalam tubuh (ekspirasi). Untuk melakukan fungsi
ventilasi, paru-paru mempunyai beberapa komponen penting, antara lain :

5
1) Dinding dada yang terdiri dari tulang, otot, saraf perifer.
2) Parenkim paru yang terdiri dari saluran napas, alveoli, dan pembuluh darah.
3) Dua lapisan pleura, yakni pleura viseralis yang membungkus erat jaringan
parenkim paru, dan pleura parietalis yang menempel erat ke dinding toraks
bagian dalam. Di antara kedua lapisan pleura terdapat rongga tipis yang
normalnya tidak berisi apapun.
4) Beberapa reseptor yang berada di pembuluh darah arteri utama.

2.3 Pneumothoraks
2.3.1 Definisi
Pneumothoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara didalam rongga
pleura (Harrison, 2000). Luka tembus dada merupakan penyebab umum dari
pneumothoraks traumatik pengumpulan udara dalam ruang potensial.
Pneumothoraks adalah cedera dada hebat yang disebabkan karena adanya udara
yang keluar dari paru kedalam ruang pleura (Brunner & Suddart, 2010).
Pada pneumothoraks udara atau gas terakumulasi antara pleura parietal dan
viseral. Banyaknya udara yang terjebak dalam ruangan intrapleura menentukan
tingkat kolaps paru. Pneumothoraks diklasifikasikan sesuai dengan penyebabnya
yaitu traumatik, spontan, dan terapeutik (Harrison, 2000).
Pneumothoraks adalah penumpukan udara yang bebas dalam dada diluar paru
yang menyebabkan paru kolaps. Pneumothoraks merupakan suatu kondisi dimana
terdapat udara pada kavum pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi
udara sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara
dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :
1) Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari
alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumothoraks jenis ini disebut
sebagai closed pneumothoraks. Apabila kebocoran pleura viseralis
berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan
dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara

6
semakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah
kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension pneumothoraks.
2) Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan
antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih
besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati
lubang tersebut dibanding traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat
inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar
masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada
paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya
udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini
disebut sebagai open pneumothoraks (Berck, 2010).

2.3.2 Etiologi
Pneumothoraks diklasifikasikan atas pneumothoraks spontan, traumatik,
iatrogenik. Pneumothoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumothoraks spontan
primer dan sekunder. Pneumothoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ
paru dan pneumothoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi
diagnostic ataupun terapeutik.
A) Pneumothoraks spontan primer
Terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru yang mendasarinya, namun pada
sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula subpleural ditemukan pada 76-100%
pasien pneumothoraks spontan primer dengan tindakan video-assisted
thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus pneumothoraks spontan primer
sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang mendasari
pembentukan bula subpleural, namun pada sebuah penelitian dengan
komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa 89% kasus dengan bula
subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah bukan
perokok. Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan
dalam patogenesis terjadinya pneumothoraks spontan primer. Beberapa kasus

7
pneumothoraks spontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu,
seperti: sindrom marfan, homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.

B) Pneumotorakas spontan sekunder


Terjadi akibat kelainan/penyakit paru yang sudah ada sebelumnya. Beberapa
penyebab terjadinya pneumothoraks spontan sekunder adalah:
1) Penyakit saluran napas
a) PPOK
b) Kistik fibrosis
c) Asma bronchial
2) Penyakit infeksi paru
a) Pneumocystic carinii pneumonia
b) Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram
negatif atau staphylokokus)
3) Penyakit paru interstitial
a) Sarkoidosis
b) Fibrosis paru idiopatik
c) Granulomatosis sel langerhans
d) Limfangioleimiomatous Sklerosis tuberus
4) Penyakit jaringan penyambung
a) Artritis rheumatoid
b) Spondilitis ankilosing
c) Polimiositis dan dermatomiosis
d) Sleroderma
e) Sindrom Marfan
f) Sindrom Ethers-Danlos
5) Kanker
a) Sarkoma
b) Kanker paru
6) Endometriosis toraksis

8
C) Pneumothoraks traumatik
Dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun non-penetrasi. Trauma
tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan
pneumothoraks

D) Pneumothoraks iatrogenik
Merupakan komplikasi dari prosedur medis atau bedah. Salah satu yang
paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik (transthoracic needle
aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi mekanik tekanan
positif (positive pressure mechanical ventilation). Angka kejadian kasus
pneumothoraks meningkat apabila dilakukan oleh klinisi yang tidak
berpengalaman.

E) Pneumothoraks ventil (tension pneumothoraks)


Terjadi akibat cedera pada parenkim paru atau bronkus yang berperan sebagai
katup searah. Katup ini mengakibatkan udara bergerak searah ke rongga
pleura dan menghalangi adanya aliran balik dari udara tersebut.
Pneumothoraks ventil biasa terjadi pada perawatan intensif yang dapat
menyebabkan terperangkapnya udara ventilator (ventilasi mekanik tekanan
positif) di rongga pleura tanpa adanya aliran udara balik.

Menurut (Harrison, 2000), pneumothoraks diklasifikasikan sesuai dengan


penyebabnya yaitu traumatic dan spontan.
1) Pneumothoraks Traumatik
Pneumothoraks traumatik adalah pneumothoraks yang terjadi akibat suatu
trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robeknya
pleura, dinding dada maupun paru. Berdasarkan kejadiannya pneumothoraks
traumatik dibagi 2 jenis yaitu :
A) Pneumothoraks Traumatik bukan Iatrogenik, adalah pneumothoraks yang
terjadi karena jejas pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup,
barotrauma.

9
B) Pneumothoraks Traumatik Iatrogenik, adalah pneumothoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumothoraks jenis ini
dibedakan menjadi 2 yaitu :
a) Pneumothoraks traumatik Iatogenik Aksidental, adalah pneumothoraks
yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi
tindakan tersebut, misalnya pada tindakan parenthesis dada, biopsi
dada, biopsi pleura, biopsy transbronkial, biopsi/aspirasi paru
perkutaneus, kanulasi vena sentral, barotrauma (ventilasi mekanik).
b) Pneumothoraks Traumatik Iatrogenik Artifisial, adalah pneumothoraks
yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara ke dalam rongga
pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box. Biasanya untuk
terapi tuberkulosis atau untuk menilai permukaan paru.
2) Pneumothoraks Spontan
Pneumothoraks spontan adalah pneumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba
dan tak terduga dengan atau tanpa penyakit paru-paru yang mendasarinya.
Pneumothoraks akan terjadi apabila ada hubungan antara bronkus atau
alveolus dengan rongga pleura, sehingga udara dapat masuk ke rongga pleura
melalui kerusakan yang ada, menyebabkan pneumothoraks terbuka, tertutup,
dan tekanan. Pneumothoraks spontan terbagi 2 yaitu :
A) Pneumothoraks Spontan Primer
Pneumothoraks spontan primer terjadi karena robeknya suatu kantong
udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara patologis membuktikan
bahwa pasien pneumothoraks spontan yang parunya direseksi tampak
adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bleb dan bulla.
Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh pleura
fibrotikyang menebal.
B) Pneumothoraks Spontan Sekunder
Pneumothoraks spontan sekunder terjadi karena pecahnya bleb viseralis
atau bulla subpleura dan sering berhubungan dengan penyakit paru yang
mendasarinya.Patogenesis pneumototaks spontan sekunder umumnya

10
terjadi akibat komplikasi penyakit PPOK (Penyakit Paru Obstruktif
Kronik), asma, fibrosis kistik, tuberculosis paru, penyakit-penyakit paru
lainnya.
a) Pneumothoraks Terbuka, yaitu terjadi akibat adanya hubungan terbuka
antara rongga pleura dan bronkus dengan lingkungan luar. Terjadi
karena luka terbuka pada dinding dada sehingga pada saat inspirasi
udara dapat keluar melalui luka tersebut.
b) Pneumothoraks Tertutup, yaitu rongga pleura tertutup dan tidak
berhubungan dengan lingkungan luar. Udara yang dulunya ada di
rongga pleura (tekanan positif) karena direasorpsi dan tidak ada
hubungan lagi dengan lingkungan luar maka tekanan udara di rongga
pleura menjadi negatif. Tetapi paru belum bisa berkembang penuh.
Sehingga masih ada rongga pleura yang tampak meskipun tekanannya
sudah normal.
c) Pneumothoraks Ventil, terjadi selama melakukan ventilasi mekanis
atau upaya resusitatif. Tekanan pleura positif bersifat mengancam jiwa
karena ventilasi sangat menurun dan juga karena tekanan positif
diteruskan ke mediastinum, yang mengakibatkan berkurangnya aliran
balik vena kejantung dan turunnya curah jantung.

2.3.3 Patofisiologi
Pneumothoraks diklasifikasikan atas pneumothoraks spontan, traumatik,
iatrogenik. Pneumothoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumothoraks spontan
primer dan sekunder. Pneumothoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ
paru dan pneumothoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi
diagnostic ataupun terapeutik.
Pneumothoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru yang
mendasarinya. Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun
sebuah teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi
oleh rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses ini

11
menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan-
antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses
inflamasi. Hal ini akan meningkatkan menuju hilus dan menyebabkan
pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura parietalis
pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumothoraks. Rongga pleura memiliki
tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh udara akibat rupturnya bula
subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya keseimbangan tekanan
tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru-paru akan bertambah kecil
dengan bertambah luasnya pneumothoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah
timbulnya sesak akibat berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.
Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru yang
sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan
alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan berpindah
ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Selanjutnya
udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke rongga pleura
dan menimbulkan pneumothoraks.
Pneumothoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun
non-penetrasi. Paru akan mengempes karena tidak ada lagi tarikan ke luar dnding
dada. Pengembangan dinding dada pada saat inspirasi tidak diikuti dengan
pengembangan paru yang baik atau bahkan paru tidak mengembang sama sekali.
Tekanan pleura yang normalnya negatif akan meningkat hingga menyebabkan
gangguan ventilasi pada bagian yang mengalami pneumothoraks.
Pneumothoraks ventil biasa terjadi pada perawatan intensif yang dapat
menyebabkan terperangkapnya udara ventilator (ventilasi mekanik tekanan positif)
di rongga pleura tanpa adanya aliran udara balik. Udara yang terperangkap akan
meningkatkan tekanan positif di rongga pleura sehingga menekan mediastinum dan
mendorong jantung serta paru ke arah kontralateral. Hal ini menyebabkan turunnya
curah jantung dan timbulnya hipoksia. Curah jantung turun karena venous return ke
jantung berkurang, sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran udara
pada paru yang kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan

12
turunnya curah jantung akan menggangu kestabilan hemodinamik yang akan
berakibat fatal jika tidak ditangani secara tepat.

2.3.4 WOC (Web Of Caution)


Terlampir.

2.3.5 Klasifikasi
Pneumothoraks diklasifikasikan menurut beberapa dasar, berikut klasifikasi
Pneumothorak berdasarkan mekanisme kejadian:
A) Pneumothoraks spontan
1) Pneumothoraks Spontan Primer
Pneumothoraks ini merupakan pneumothoraks yang terjadi pada paru-paru
yang sehat dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Angka
kejadian pneumothoraks spontan primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria
pertahun dan 1,2-6 per 100.000 wanita pertahun (Mackenzie and Gray, 2007).
Umumnya, kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi, kurus, dan berusia
antara 18-40 tahun. Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP adalah
ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and Huggins, 2004). Udara
yang terdapat di ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai
kelainan klinis dan radiologis. Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalai
PSP mempunyai penyakit paru-paru subklinis. Riwayat keluarga dengan
kejadian serupa dan kebiasaan merokok meningkatkan resiko terjadinya
pneumothoraks ini (Heffner and Huggins, 2004).
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP adalah
terdapat sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya.
Peningkatan porositas menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau tanpa
perubahan emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan
peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan pleura
meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru

13
orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan yang dapat
mendahului proses pembentukan kista subpleura (Mackenzie and Gray, 2007).
PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak
adanya penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and Huggins, 2004). Pada
sebagian besar kasus PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara spontan
dalam 24-48 jam. Kecepatan absorpsi spontan udara dari rongga pleura sekitar
1,25-1,8% dari volume hemitoraks per hari, dan suplementasi oksigen sebesar
10 lpm akan meningkatkan kecepatan absorpsi sampai dengan empat kali lipat
(Mackenzie and Gray, 2007). Beberapa macam terapi yang dapat dilakukan
pada pasien PSP antara lain observasi, drainase interkostal dengan atau tanpa
pleurodesis, dan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) (Heffner and
Huggins, 2004).
Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society (BTS)
dan American College of Chest Physician (ACCP). Terdapat perbedaan untuk
besar-kecilnya pneumothoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik dan
PSP simtomatik yang stabil di antara keduanya(Mackenzie and Gray, 2007).
Berikut adalah ringkasan gabungan panduan terapi menurut BTS dan ACCP
(Mackenzie and Gray, 2007).
a) Clinically stable small pneumothoraks
Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan
pneumothoraks kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan gejala minimal
adalah dengan melakukan observasi dan di-KRS-kan. Panduan ACCP
menyarankan dilakukannya observasi sekitar 3-6 jam, foto rontgen paru-
paru, diKRSkan dengan instruksi lengkap, dan pasien diminta untuk
kontrol dalam dua hari berikutnya.
b) Large pneumothoraks and symptomatic small pneumothoraks
Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi. BTS
merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini pertama pada
PSP luas dengan kondisi stabil dan pneumothoraks kecil simtomatis.
CXR dilakukan setelah aspirasi untuk menentukan apakah terdapat

14
perbaikan. Apabila tidak ada perbaikan atau pasien masih simtomatis dan
jumlah aspirasi awal kurang dari 2,5 liter aspirasi ulangan dapat
dilakukan. Apabila aspirasi pertama sudah lebih dari 2,5 liter atau aspirasi
ulangan tidak berhasil maka pemasangan drain interkostal harus
dilakukan.
c) Clinically unstable patients with a large pneumothoraks
Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan
pemasangan drain interkostal dan di-MRS-kan. Paru-paru harus dapat
mengembang sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas. CXR dilakukan
setiap 24 jam.
d) Surgical intervention
Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat kebocoran
udara persisten atau paru-paru gagal melakukan re-ekspansi setelah 3-5
hari.Indikasi dilakukannya operasi meliputi terjadinya pneumothoraks
ipsilateral yang kedua, pneumothoraks kontralateral yang pertama, dan
adanya reiko pekerjaan seperti penyelam atau pilot. Pasien dengan
profesi tersebut sebaiknya menjalani tindakan operasi bilateral. Pilihan
terapi pembedahan yang dapat dilakukan seperti VATS, pleural abrasion,
surgical talc pleurodesis, pleurectomy, dan open thoracostomy
(Mackenzie and Gray, 2007).

2) Pneumothoraks Spontan Sekunder


PSS merupakan pneumothoraks yang terjadi pada pasien dengan penyakit
paru yang mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD, fibrosis
kistik, tuberkulosis, pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga dapat
terjadi ada penyakit intersisiel paru seperti sarcoidosis, lymphangioleio-
myomatosis, langerhans cell histiocytosis and tuberous sclerosis. Secara umum
udara pada PSS memasuki rongga pleura melalui alveoli yang melebar atau
rusak. Perburukan klinis dan sequelae biasanya terjadi akibat adanya kondisi
komorbid.

15
Causa terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedang-berat.
Apabila pneumothoraks terjadi pasien COPD gejala sesak napas yang progresif
muncul dan biasanya bersamaan dengan nyeri pleuritik. PSS merupakan
penanda signifikan untuk mortalitas pasien COPD. Setiap kejadian
pneumothoraks meningkatkan resiko kematian sampai dengan empat kali lipat.
Sekitar 40-50% pasien akan mengalami PSS yang kedua apabila pleurodesis
tidak dilakukan (Heffner and Huggins, 2004).
Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest tube
untuk setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS guna
mencegah rekurensi. Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi
dengan syringe dan kateter untuk pasien pneumothoraks kecil dengan penyakit
paru yang mendasari ringan. Sebagian besar pasien membutuhkan drainase
melalui chest tube. Pelepasan chest tube dilakukan setelah terjadi re-ekspansi
paru dan resolusi kebocoran udara. Pleurodesis merupakan terapi pilihan
terakhir dan dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak teratasi
dan mengalami pneumothoraks rekuren (Mackenzie and Gray, 2007).

B) Pneumothoraks Traumatik
1) Pneumothoraks Traumatik Iatrogenik
Pneumothoraks iatrogenik merupakan pneumothoraks yang terjadi akibat
pembukaan rongga paru secara paksa saat tidakan dianosis atau terapi invasif
dilakukan . Tindakan seperti thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter
vena sentral, biopsi paru perkutan, bronkoskopi dengan biopsi transbronkial,
aspiasi transtoracic, dan ventilasi tekanan positif dapat menjadi etiologinya.
Akibatnya, pasien perlu lebih lama dirawat di rumah sakit (Yilmaz, et al, 2002).
Penyebab utama terjadinya pneumothoraks iatrogeni adalah aspirasi jarm
halus transthoracic. Dua faktor yang memegang perang penting adalah ukuran
dan kedalaman lesi. Apa bila lesi kecil dan dalam maka resiko pneumothoraks
meningkat. Penyebab kedua terbanyak adalah pemasangan kateter vena sentral.

16
Penyebab lainnya antara lain akupunkktur transthoracic, resusitasi jantung-paru,
dan penyalahgunaan obat melalui vena leher (Sharma, 2009).
2) Pneumothoraks Traumatik Non Iatrogenik
Pneumothoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang
merusak pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan
udara dapat masuk ke rongga pleura langsung ke dinding toraks atau memenuju
pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka
tembak secara langsung melukai paru-paru perifer menyebabkan terjadinya
hemothoraks dan pneumothoraks di lebih dari 80% lesi di dada akibat benda
ajam (Sharma, 2009).
Pada trauma tumpul pneumothoraks terjadi apabila pleura viseralis terobek
oleh fraktur atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba menyebabkan
peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli.
Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga intersisiel dan terjadi diseksi menuju
pleura viseralis atau mediastinum. Pneumothoraks terjadi saat terjadi ruptur
pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke rongga pleura.
Manifestasi klinisnya dapat berupa Fallen lung sign/peptic lung sign di mana
hilus paru terletak lebih rendah dari normal atau terdapat pneumothoraks
persisten dengan chest tube terpasang dan berfungsi dengan baik (Sharma,
2009).
Pneumothoraks traumatik noniatrogenik juga dapat terjadi akibat
barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik
dengan tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m,
volume udara yang tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada saat
di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut, udara yang
terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan pneumothoraks.
Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan pada penyelam,
udara yang terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui regulator dan
sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat terjadi seiring dengan penurunan

17
tekanan secara cepat sehingga udara yang terdapat di paru-paru dapat
menyebabkan pneumothoraks (Sharma, 2009).

Klasifikasi Pneumothoraks berdasarkan jenis fistula:


1) Pneumothoraks Tertutup (Simple Pneumothoraks)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di
dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah
menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi
tersebut paru belum mengalami reekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,
meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif.Pada waktu terjadi
gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif. Misal
terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau jalan nafas atau esofagus,
sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum pleura negatif (Alsagaff,
2009).
2) Pneumothoraks Terbuka (Open Pneumothoraks)
Pneumothoraks terbuka yaitu pneumothoraks dimana terdapat hubungan
antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar
karena terdapat luka terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan
intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumothoraks terbuka
tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan
perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.Pada saat
inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi
positif.Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal,
tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang
terluka (sucking wound) (Alsagaff, 2009).
3) Pneumothoraks Ventil (Tension Pneumothoraks)
Pneumothoraks ventil adalah pneumothoraks dengan tekanan intrapleura yang
positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura
viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui

18
trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura
melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura
tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama
makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer.Udara yang terkumpul dalam
rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal
napas (Alsagaff, 2009).

2.3.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis Pneumothoraks menurut LWW (2011):
Pneumothoraks Tanda dan Gejala
1) Pneumothoraks yang luas dan cepat menimbulkan:
2) Nyeri tajam saat ekspirasi terutama pada paru yang
sakit.
3) Peningkatan frekuensi napas
4) Kecemasan meningkat
5) Produksi keringat berlebihan
Tertutup
6) Penurunan tekanan darah
7) Takikardi
8) Inspeksi dan palpasi: penurunan sampai hilangnya
pergerakan dada pada sisi yang sakit.
9) Perkusi: hiperresonan pada sisi sakit
10) Auskultasi: penurunan suara napas.
Napas pendek dan timbul secara tiba-tiba tanpa ada
Spontan
trauma dari paru.
1) Inspeksi dan sesak napas berat, penurunan
pergerakan dada.
Ventil
2) Perkusi: hiperresonan pada sisi sakit
3) Auskultasi: penurunan suara napas.

19
1) Terlihat ada luka terbuka dan suara mengisap di
tempat luka.
Terbuka
2) Perkusi: hiperresonan pada sisi sakit
3) Auskultasi: penurunan suara napas.
Tabel 1. Manifestasi klinis menurut LWW (2011)

Adapun tanda dan gejala menurut (I Wayan Ade Punarbawa & Putu Pramana
Suarjaya, 2013) yang dapat terjadi pada pasien dengan pneumothoraks:
1) Nyeri mendadak di daerah dada akibat trauma pleura.
2) Pernafasan yang cepat dan dangkal (takipnea) serta dispnea umum terjadi.
3) Apabila pneumothoraks meluas, atau apabila yang terjadi adalah tension
pneumothoraks dan udara menumpuk di ruang pleura, jantung dan
pembuluh besar dapat bergeser ke paru yang sehat sehingga dada tampak
asimetris. Deviasi trakea juga dapat terjadi.
4) Pada saat dilakukan perkusi pada dinding dada akan terdengar suara
hipersonor akibat akumulasi udara dalam rongga pleura. Jika kondisi ini
tidak segera ditangani maka paru-paru akan kolaps dan proses ventilasi
maupun oksigenasi menjadi berkurang. Sehingga jika didengarkan dengan
stetoskop suara nafas tidak terdengar.

Menurut (Davey, Patric, 2005), gejala klinis yang ditimbulkan pada pasein
yang mengalami pneumothoraks sedang sampai berat adalah menyeri dada
mendadak disertai sesak adalah gejala yang paling sering dijumpai. Terdapat
hiperinflasi dengan menurunnya ekspansi paru dan melemahnya bunyi nafas.
Berikut adalah gejala yang lainnya yang dapat muncul (Kidd, 2010):
1) Sesak napas ringan sampai berat (tergantung banyak nya udara yang masuk
dalam cavum pleura atau luasnya kolaps paru).
2) Nyeri dada ringan sampai berat (pada lokasi Pneumothoraks).
3) Sianosis sampai gagal napas (terjadi akibat udara yang mendesak paru
makin banyak, sehingga terjadi tamponade jantung).
4) Pasien menunjukkan dipsnea, takipnea, hiperpnea, penurunan atau tidak
ada bunyi napas ipsilateral, dan mungkin penurunan bunyi napas bilateral

20
bila tension pneumothoraks telah memburuk dan menekan parenkim paru
kontralateral.
5) Emfisema subkutan mungkin terjadi pada kasus tension pneumothoraks
karena penyimpangan trakea menjauh dari hemithoraks yang terkena.
6) Distensi vena jugularis mungkin terjadi, mungkin hipotensi bila kompresi
hebat terhadap struktur mediastinal torakal terjadi.

2.3.7 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik open pneumothorax:
1) Rontgen Thoraks
Dengan foto thoraks dapat diketahui akumulasi udara atau cairan pada
area pleura, dapat menunjukkan penyimpangan struktur mediastinal
(jantung) dan luas pneumothoraks. Bila jarak dinding dada dan paru yang
kolaps 2.5 cm, diperkirakan prosentasi udara rongga pleura sekitar
30%.Menyatakan akumulasi udara atau cairan pada area pleura; dapat
menunjukkan penyimpangan struktur mediastinal (jantung).
2) Gas Darah Arteri (GDA)
Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi atau
gangguan mekanik pernafasan dan kemampuan mengkompensasi PaCO2
kadang meningkat. PaCO2 mungkin normal atau menurun, saturasi O2
bisa menurun.
3) Torasentesis
Torasentesis digunakan untuk pengambilan darah atau cairan pleura dalam
satu tindakan. Pemeriksaan cairan pleura dapat menganalisis karakterisitik
cairan pleura, keberadaan bakteri, dan mengetahui apakah cairan tersebut
bersifat transudat atau eksudat. Semua tes ini dapat digunakan untuk
mengetahui penyebab penimbunan cairan pleura dan menghasilkan
diagnosis.
4) Hb

21
Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah.
Diagnosis pneumothoraks tension dibuat dengan penilaian klinis. Diagnosa
keperawatan untuk pasien dengan pneumothoraks tension termasuk Penurunan
curah jantung dan gangguan pertukaran gas terganggu. Tidak ada waktu untuk
rontgen dada karena kondisi yang berpotensi mematikan ini harus segera
diintervensi. Berikut ini pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pneumotoraks
tension:
1) Inspeksi:
a) Dispnu yang parah.
b) Nyeri dada pada sisi yang terkena.
c) Pucat menuju ke abu-abu atau biru, dingin, lembab, kulit berbintik-
bintik.
d) Cemas dan gelisah yang dihasilkan dari hipoksemia progresif.
e) Penurunan pergerakan dinding dada di sisi yang terkena.
f) Perluasan sisi mempengaruhi seluruh siklus pernapasan, daripada
ekspansi dan relaksasi.
g) Semakin meningkat distensi vena jugularis semakin tinggi vena cava
terkompresi.
h) Serangan jantung mungkin dengan pneumothoraks tension bilateral.
2) Palpasi:
a) Trakea bergeser ke arah sisi yang tidak terpengaruh.
b) Subkutan emfisema di leher dan dada.
3) Perkusi:
a) Hipersonor di sisi yang terkena.
4) Auskultasi:
a) Suara napas tidak ada atau menurun di sisi yang terkena.
b) Suara jantung jauh.
c) Tachypnea.
d) Hipotensi.
e) Takikardi.

22
5) Tes diagnostik pada pneumothoraks tension

Tes Tujuan Temuan abnormal


Chest Radiograph Memperlihatkan ukuran Mempengaruhi sisi yang lain; udara
pneumotoraks dan adanya muncul dalam ruang pleura (hitam);
pergeseran trakea tanda paru-paru tidak ada di area
mengempiskan (blach); ekspansi
abnormal dinding dada dengan
pneumotoraks tension dengan
menurunkan atau perataan diafragma.
Chest CT scan CT scan dianjurkan ketika Adanya daerah yang menghitam
membedakan pneumotoraks mengindisikan udara, dengan tidak
dari penyakit bulosa paru- adanya daerah putih menunjukkan
paru, ketika dicurigai darah yang beredar di jaringan, yang
penempatan tabung yang mungkin telah dihapuskan atau tidak
salah, dan ketika radiografi jelas pada foto toraks.
dada dikaburkan oleh
pembedahan emfisema
Arterial blood gas Menilai untuk hipoksemia Hipoksemia (pao <80 mmhg di ruang
(ABG) analysis dan asidosis udara) biasanya hadir dengan 20%
atau lebih besar kolaps paru.
Hipoksemia ringan hadir dengan
pneumothoraks lebih kecil.
Pneumothoraks tension dapat
menyebabkan keduanya yaitu asidosis
pernafasan dan laktat (ph <7,35) dari
kegagalan pernapasan dan kolaps
sirkulasi yang akan datang.
Karbondioksida dan laktat yang tinggi
menurunkan ph darah.
12-lead ecg Mengesampingkan sindrom Kompresi vena cava dari
koroner akut sebagai pneumothoraks tension mempengaruhi
penyebab nyeri dada dengan perfusi arteri koroner jika
perubahan tanda vital yang pneumotoraks tidak didiagnosis dan
menunjukkan kerusakan dikelola segera. St-segmen depresi,
menunjukkan iskemia miokard,
mungkin muncul, bersama dengan
penurunan amplitudo qrs / gelombang
r menurun, sumbu ke kanan deviasi.
Tabel . Pemeriksaan diagnostic pneumotoraks tension

23
Pemeriksaan Diagnostik Pneumothoraks menurut PDIPDI (2009):
1) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pneumothoraks akan tampak hitam, rata, dan paru
yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang
paru yang kolaps tidak membentuk garis, tetapi berbentuk lobuler yang
sesuai dengan lobus paru. Adakalanya paru yang mengalami kolaps
tersebut, hanya tampak seperti massa yang berada di daerah hilus. Keadaan
ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besarnya kolaps paru tidak
selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan. Perlu
diamati ada tidaknya pendorongan. Apabila ada pendorongan jantung atau
trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
pneumothoraks ventil dengan tekanan intrapleura yang tinggi.
2) Ultrasonografi atau CT
Keduanya lebih baik dari poto toraks dalam mendeteksi pneumothoraks
kecil dan biasanya digunakan setelah biopsi perkutan.
3) Foto Thoraks
a) Pneumothoraks partial: nampak gambaran foto dengan Paru kolaps
berwarna kehitaman dengan garis kolaps berwarna abu-abu.
b) Pneumothoraks total: nampak gambaran foto dengan bentukan seperti
massa berwarna putih yang menempelpadahilusparu / dasar paru / di
perifer.

Gambar 3. Foto Thoraks


Keterangan:

24
a) A. Pneumothoraks kolaps total dekstra (nampak ujung panah
adalah garis kolaps).
b) B / C. Pneumothoraks kolaps sebagian dekstra (ujung panah adalah
garis kolaps).
c) D. Pneumothoraks kolaps sebagian di segmen anterior paru,
sedangkan segmen posterior masih nampak mengembang (ujung
panah adalah garis kolaps).
d) E / F / G: Pneumothoraks kolaps total dekstra (nampak ujung
panah adalah garis kolaps).
e) H: Pneumothoraks kolaps total sinistra (nampak ujung panah
adalah garis kolaps).
4) Saturasi oksigen
Saturasi oksigen harus diukur biasanya normal kecuali adanya penyakit
paru.
5) Fluoroskopi
Selain dengan foto rontgen dada, diagnosa pneumotorak dapat juga di
lakukan dengan alat fluoroskopi. Dengan alat fluoroskopi keadaan paru
penderita langsung dapat dilihat. Namun seringkali garis kolaps paru pada
pneumotorak tidak terlalu nampak jelas, oleh sebab itu dokter harus terlatih
menggunakan alat ini. Fluoroskopi pada pneumotorak jenis ventil, akan
nampak gerakan pendulum, yaitu gerakan mediastinum seirama dengan
gerak paru , dimana saat inspirasi jantung terdorong ke sisi sakit ,
sebaliknya saat ekspirasi jantung kembali ke posisi semula.
6) Prove pungsi (Pungsi percobaan)
Prove pungsi, artinya pungsi atau aspirasi atau penyedotan percobaan yang
dilakukan dengan memakai alat sederhana berupa spuit biasa. Dilakukan
dengan cara; pada pasien yang dicurigai adanya pneumothoraks, maka pada
lokasi yang di curigai terdapat pneumothoraks, di buktikan dengan prove
pungsi dengan menusukkan jarum spuit pada lokasi penumothorak,

25
selanjutnya di coba dilakukan aspirasi, apabila tersedot udara dalam spuit,
maka terbukti bahwa Pneumo -thoraks terjadi pada penderita.

2.3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan stabilisasi
leher hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan cara
memasang cervical collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat
kesadaran dengan menyapa pasien dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC
(airway, breathing, circulation) (Muttaqin, 2008). Pada pemeriksaan jalan nafas
yaitu membuka jalan nafas dengan jaw thrust (bila dicurigai terdapat cedera
cervical/pada pasien tidak sadar) atau head tilt chin lift dilanjutkan dengan
membersihkan rongga mulut dengan swab mengunakan jari telunjuk,
mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada pasien tidak sadar dilakukan
pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah lidah jatuh dan menutup jalan nafas
(Muttaqin, 2008).
Penatalaksanaa pada tension pneumo dapat dilakukan dengan primary survey
dengan teknik (ABCDE) yang dilanjutkan dengan resusitasi fungsi vital. Penilaian
keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda tanda
vital, dan mekanisme trauma.
1) Airway and cervical spine control
Pemeriksaan adanya obstruksi jalan napas yang disebabkan benda asing,
fraktur tulang wajah, atau maksila dan mandibula, faktur laring atau
trakea. Jaga jalan nafas dengan jaw thrust atau chin lift, proteksi c-spine,
bila perlu lakukan pemasangan collar neck. Pada penderita yang dapat
berbicara dapat dianggap bahwa jalan napas bersih, walaupun demikian
penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.
2) Breathing: Gerakan dada asimetris, trakea bergeser, distensi vena
jugularis, tapi masih ada nafas
3) Needle decompression: Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi
segera dan penaggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang

26
berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks
yang terkena. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi
pneumothoraks sederhana. Evaluasi ulang selalu diperlukan tetapi definitif
selalu dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela
iga ke 5 (setinggi puting susu) di anterior garis midaksilaris. Dekompresi
segera pake jarum suntik tusuk pada sela iga ke 2 di midklavikula dan
tutup dengan handskon biar udara lain tidak masuk. Kemudian lakukan
WSD lebih lanjut setelah sampai Rumah Sakit. Prinsip dasar dekompresi
jarum adalah untuk memasukan kateter ke dalam rongga pleura, sehingga
menyediakan jalur bagian udara untuk keluar dan mengurangi tekanan
yang terus bertambah. Meskipun prosedur ini bukan tatalaksana definitif
untuk tension pneumothorax, dekompresi jarum menghentikan
progresivitas dan sedikit mengembalikan fungsi kardiopulmoner.
4) Circulation: (takikardia, hipotensi)
Kontrol perdarahan dengan balut tekan tapi jangan terlalu rapat untuk
menghindari parahnya tension pneumothoraks. Pemasangan IV line 2
kateter berukuran besar (1-2 liter RL hangat 39 derajat celcius).
5) Disability: nilai GSC dan reaksi pupil.
Tentukan tingkat kesadaran sambil lakukan ABC. Rujuk ke rumah sakit
terdekat dengan peralatan medis sesuai kebutuhan atau yang mempunyai
fasilitas bedah saat kondisi pasien sudah distabilkan.
6) Pengelolaan selama transportasi: Monitoring tanda vital dan pulse
oksimetri.
7) Secondary survey dilanjutkan dengan tatalaksana definitive.

Prinsip tatalaksana di UGD:


1) Eksposure: buka pakaian penderita, cegah hipotermia, tempatkan di tempat
tidur dengan memperhatikan jalan nafas terjaga. Pemasangan IV line tetap.
2) Re-evaluasi: Laju nafas, suhu tubuh, pulse oksimetri, saturasi O2,
pemasangan kateter folley (kateter urin), monitor dieresis, dekompresi

27
3) Lakukan tube thoracostomy atau WDS (water sealed drainage merupakan
tatalaksana definitif tension pneumothorax). WSD sebagai alat diagnostic,
terapik, dan follow up untuk mengevakuasi darah atau udara sehingga
pengembangan paru maksimal. Teknik pemasangan:
a) Bila mungkin pasien dalam posisi duduk atau setengah duduk atau
tiduran dengan sedikit miring ke sisi yang sehat
b) Tentukan tempat untuk pemasangan WSD. Di kanan pada sela iga ke-7
atau ke-8.
c) Tentukan kira-kira tebal dinding thoraks.
d) Secara streril diberi tanda pada selang WSD dari lubang terakhir sela
WSD setebal dinding thoraks misanya dengan ikatan benang 5. Cuci
tempat yang akan dipasang WSD dan sekitarnya dengan cairan
antiseptic.
e) Tutup dengan duk steril.
f) Daerah tempat masuk selang WSD dan sekitarnya dianestesi local di
atas tepi iga secara infiltrasi dan blok (berkas neurovaskular).
g) Insisi kulit subkutis dan otot dada di tengah sela iga.
h) Irisan diteruskan secara tajam (tusukan) menembus pleura.
i) Dengan klem arteri lurus lubang di perlebar secara tumpu.
j) Selang WSD diklem dengan arteri klem dan di dorong masuk ke rongga
pleura dengan sedikit tekanan.
k) Fiksasi selang WSD sesuai dengan tanda tadi.
l) Daerah luka dibersihkan dan diberi salep steril agar kedap udara.
m)Selang WSD disambung dengan botol WSD steril.
n) Bila mungkin pasang penghisap kontinu dengan tekanan -24 sampai -32
cm H2O. Prinsip dasar tatalaksana pneumotoraks adalah untuk
mengevakuasi ronga pleura, menutup kebocoran, dan mencegah atau
mengurangi resiko.
Untuk penanganan open pneumothorax dapat dilakukan dengan pemberian
oksigen 100% melalui facemask. Intubasi harus dipertimbangkan bila oksigenasi

28
atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh menunda pemasangan chest tube
dan penutupan luka. Manajemen definitif pada open pneumothorax adalah menutup
luka dan segera memasang intercostal chest drain (Brohi, 2004).

Gambar 4. Intercostal chest drain


Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa
melakukan terapi definitif, perban dapat diletakkan diatas luka dan diplester pada
tiga sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk
memungkinkan udara keluar dari pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak
masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit bila dilakukan pada luka yang luas
dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest drain harus dipasang dan
luka ditutup (Brohi, 2004).

29
Gambar 5. Wound dressing untuk pneumotoraks terbuka
Penatalaksanaan pneumothoraks bergantung pada jenis pneumothoraks yang
dialaminya, derajat kolaps, berat ringannya gejala, penyakit dasar, dan penyulit
yang terjadi saat melaksanakan pengobatan yang meliputi tindakan dekompresi
yaitu membuat hubungan antara rongga pleura dengan lingkungan luar dengan cara
(PDIPDI, 2009):
1) Menusukkan jarum melalui dinding dada hingga masuk ke rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah negatif. Hal ini disebabkan karena udara keluar melalui jarum
tersebut. Cara lainnya adalah melakukan penusukan ke rongga pleura
memakai transfusion set.
2) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontraventil :
a) Penggunaan pipa Water Sealed Drainage (WSD).
Pipa khusus (kateter toraks) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan
perantara troakar atau dengan bantuan klem penjepit (pen),
memasukkan pipa plastik (kateter toraks) dapat juga dillakukan melalui
celah yang dibuat dengan bantuan insisi kulit dari sela iga ke-4 pada
garis aksila tengah atau pada garis aksila belakang.Selain itu, dapat pula
melalui sela iga ke-2 dari garis klavikula tengah.Selanjutnya ujung
selang plastic di dada dan pipa kaca WSD di hubungkan melalui pipa
plastic lainnya.Posisis ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya
berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat
dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.
b) Pengisapan Kontinu (continuous suction)
Pengisapan dilakukan secara kontinu apabila tekanan intrapleura tetaap
positif. Pengisapan dilakukan dengan cara memberi tekanan negative
sebesar 10-20 cm H2O. Tujuannya adalah agar paru cepat mengembang

30
dan segera terjadi perlekatan antara pleura viseralis dan pleura
parietalis.
c) Pencabutan Drain
Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intrapleura
sudah negatif kembali, drain dapat dicabut. Sebelum dicabut, drain
ditututp dengan cara dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila paru
tetap mengembang penuh, drain dapat dicabut.
3) Tindakan Bedah
Pembukaan dinding toraks dengan cara operasi, maka dapat dicari lubang
yang menyebabkan terjadinya pneumothoraks, lalu lubang tersebut dijahit.
Pada pembedahan, jika dijumpai adanya penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak dapat mengembang, maka dapat dilakukan
pengelupasan atau dekortisasi. Pembedahan paru kembali bila ada bagian
paru yang mengalami robekan atau bila ada fistel dari paru yang rusak,
sehingga paru tersebut tidak berfungsi dan tidak dapat dipertahankan
kembali.
Tindakan lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan needle thoracostomy.
Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada emergensi
dengan needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada Intercostal
Space (ICS) II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan hingga udara
dapat dikeluarkan melalui spuit yang terhubung dengan jarum. Jarum ditarik dan
kanul dibiarkan terbuka di udara. Udara yang keluar dengan cepat dari dada
menunjukkan adanya tension pneumothorax. Manuver ini mengubah tension
pnemothorax menjadi simple pneumothorax (Brohi, 2004).

31
Gambar . Needle Thoracostomy
Penatalaksanaan pada kasus tension pneumotoraks tergantung pada beberapa
faktor, dan mungkin berbeda dari penatalaksanaan awal hingga dekompresi jarum
atau pemasukan dari selang dada. Penanganan kasus ini ditentukan dari derajat
keparahan dari gejala dan indikasi dari gangguan akut, adanya gambaran penyakit
paru yang mendasari, ukuran tension pneumotoraks yang terlihat pada foto toraks,
dan pada kasus tertentu perlu diperhatikan dari karakteristik individu yang terlibat.
Pada kasus tension pneumotoraks, tidak ada pengobatan non-invasif yangdapat
dilakukan untuk menangani kondisi yang mengancam nyawa ini. Pneumotoraks
adalah kondisi yang mengancam jiwa yang membutuhkan penanganan segera. Jika
diagnosis tension pneumotoraks sudah dicurigai, jangan menunda penanganan
meskipun diagnosis belum ditegakkan.

Gambar . Torakosintesis Jarum (Needle Decompression)


Pada kasus tension pneumotoraks, langsung hubungkan pernafasan pasien
dengan 100% oksigen. Lakukan dekompresi jarum tanpa ragu. Hal-hal tersebut
seharusnya sudah dilakukan sebelum pasien mencapai rumah sakit untuk
pengobatan lebih lanjut. Setelah melakukan dekompresi jarum, mulailah persiapan
untuk melakukan chest tube. Kemudian lakukan penilaian ulang pada pasien,
perhatikan ABC (Airway, breathing, cirvulation) pasien. Lakukan penilaian ulang

32
foto toraks untuk menilai ekspansi paru, posisi dari torakostomi dan untuk
memperbaiki adanya deviasi mediastinum. Selanjutnya, pemeriksaan analisis gas
darah dapat dilakukan

2.3.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumothoraks antara lain adalah
pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi
melalui tiga tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya
adalah terjadinya ruptur alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung
bronkovaskuler menuju daerah hilus dan akhirnya udara mencapai mediastinum.
Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi klinis yang signifikan. Tetapi
pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum dapat menyebabkan peningkatan
tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan langsung terhadap jantung atau
menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi penurunan curah jantung.
Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi emfiesema subkutis. Apabila
udara pada subkutan dan mediastinum sangat banyak dapat terjadi kompresi jalan
napas dan jantung (Carolan, 2010).

Gambar 4. Pneumomediastinum
Gambaran pneumomediastinum pada foto thoraks tampak sebagai daerah
radiolusens di sekitar batas jantung kiri. Mediastinum berhubungan dengan daerah
submandibula, retrofaringeal, dan selubung pembuluh darah leher, dan toraks lateral
(Carolan, 2010). Emfisema subkutis terjadi akibat udara memasuki daerah-daerah
tersebut dan bermanifestasi sebagai pembengkakan tidak nyeri. Pada palpasi akan
terasa seperti kertas. Gambaran radiologis untuk emfisema subkutis adalah

33
radiolusen di tepian struktur anatomi terkait.Komplikasi ini dapat memperparah
keadaan pasien dengan pneumothoraks akibat kompresi jalan napas. Pertolongan
pertama yang dapat dilakukan apabila terjadi distres adalah insisi kulit dengan pisau
pada daerah kulit yang mengalami pembengkakan (Paramasivam, 2008).

2.3.10 Prognosis
Pasien dengan pneumothoraks spontan, tetapi tidak ada komplikasi jangka
panjang dengan terapi yang berhasil. Kesembuhan dari kolap paru secara umum
membutuhkan waktu 1 sampai 2 minggu. Pneumothoraks tension dapat
menyebabkan kematian secara cepat berhubungan dengan curah jantung yang tidak
adekuat atau insufisiensi oksigen darah (hipoksemia), dan harus ditangani sebagai
kedaruratan medis (Arif Muttaqin, 2008). Prognose baik, apabila penanganan
segera di lakukan dan pengobatan intensif diberikan, terutama pada penderita muda
dan sehat. Prognose juga tergantung pada:
1) Keadaan paru kontralateralnya/sisi paru yang sehat, apabila paru
kontralateralnya keadaannya masih baik , maka prognosenya lebih baik
dibanding paru kontra lateralnya dalam keadaan sakit/rusak juga.
2) Jenis Pneumothoraks ventil, prognosenya lebih buruk di banding
pneumothoraks terbuka atau tertutup.
3) Luasnya Paru kolaps, dimana makin luas paru kolaps, maka prognosenya
makin buruk.

34
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN UMUM PNEUMOTHORAKS

3.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
A) Identitas pasien, meliputi:
1) Nama
2) Umur, biasanya sering terjadi pada usia 18 30 tahun akibat trauma/
injury.
3) Jenis kelamin
4) Agama
5) Status perkawinan
6) Pendidikan
7) Suku/Bangsa
8) Pekerjaan
B) Keluhan utama
Meliputi sesak nafas, bernapas terasa berat pada dada dan keluhan susah
untuk melakukan pernapasan (Arif, 2008). Pasien mengungkapkan tiba-tiba,
tajam, nyeri pleuritik. Pasien mungkin melaporkan bahwa rasa sakit
meningkat ketika menggerakan dada, bernapas, dan batuk dan mengeluh
sesak nafas.
C) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji apakah ada riwayat trauma yang mengenai rongga dada yang menembus
dada dan paru, ledakan yang menyebabkan peningkatan tekanan udara dan
terjadi tekanan pada dada yang mendadak menyebabkan tekanan di dalam
paru meningkat, kecelakaan lalu lintas biasanya menyebabkan trauma tumpul

35
pada dada atau masukan benda tajam langsung menembus pleura.kaji apa
yang dirasakan pasien.
Untuk pasien dengan pneumotoraks tension keluhan sesak napas sering kali
dating mendadak dan semakin lama semakin berat. Nyeri dada dirasakan pada
sisi yang sakit, rasa berat, tertekan, dan terasa lebih nyeri pada gerakan
pernapasan. Melakukan pengkajian apakah da riwayat trauma yang mengenai
rongga dada seperti peluru yang menembus dada dan paru, ledakan yang
menyebabkan tekanan dalam paru meningkat, kecelakaan lalu lintas biasanya
menyebabkan trauma tumpul didada atau tusukan benda tajam langsung
menembus pleura.
D) Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan pada pasien adakah riwayat hipertensi, penyakit koagulasi darah,
asma maupun penyakit yang berkatan dengan paru-paru. Kaji pula adanya
alergi terhadapa makanan obat-obatab maupun minuman. Untuk pasien
dengan pneumotoraks tension perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita
penyakit seperti TB paru dimana sering terjadi pada pneumothoraks spontan.
E) Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan ada nya penyakit hipertensi pada keluarga ataupun penyakit infeksi
dan alergi pada anggota keluarga. Untuk pasien dengan pneumotoraks tension
perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-
penyakit yang mungkin menyebabkan pneumothoraks seperti kanker paru,
asma, TB paru, dan lain-lain
F) Psikososial
Kaji kebiasaan klien yang dapat mempengaruhi fungsi pernafasan, adanya
penyakit pernapasan kronis dapat menyebabkan perubahan dalam peran
keluarga dan hubungan dengan orang lain, isolasi social, masalah keuangan,
pekerjaan, atau ketidakmampuan.

3.2 Pemeriksaan fisik


1) B1 (Breathing)

36
a) Inspeksi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan, serta penggunaan otot bantu
pernafasan. Gerakan pernafasan ekspanis dada yang asimetris, iga
melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi yang sakit), batuk
produktif dengan sputum purulen, trakea dan ajntung terdorong ke sisi
yang sehat (Kuruvilla, 2007).
b) Palpasi
Taktil fremitus menurun pada sisi yang sakit, pergerakan dinding dada
yang tertinggal, ruang antar iga normal atau melebar pada sisi yang sakit
(Kuruvilla, 2007).
c) Perkusi
Suara ketok hipersonor, tidak bergetar, jantung bergeser ke arah yang
sehat (Kuruvilla, 2007).
d) Auskultasi
Suara nafas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit. Posisi
duduk semakin ke atas letak cairan maka akan semakin tipis, sehingga
suara nafas terdengar amforis, bila ada fistel bronkopleura yang cukup
besar pada pneumothoraks terbuka.
2) B2 (Blood)
Kemungkinan ada dampak hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, dan
CRT.
3) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran dapat composmentis, somnolen, atau koma.
4) B4 (Bladder)
Perlu memonitoring intake output urin klien, oliguria meruapakan tanda awal
syok.
5) B5 (Bowel)
Terkadang mual, muntah, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan
karena sesak nafas.
6) B6 (Bone)

37
Adanya kerusakan otot dan jaringan lunak dada akibat trauma, sehingga
meningkatkan resiko infeksi.
A) Pengkajian Klinis Open Pneumothorax.
Pengkajian Data Fokus
1) Aktivitas dan Istirahat
Dispnea dengan aktivitas maupun istirahat
2) Sirkulasi
a) S3 / S4 / irama jantung, Gallop (gagal jantung sekunder tanpa efusi)
b) Nadi apikal berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal dengan
ketegangan pneumotoraks.
c) Tanda Homman (bunyi renyah sehubungan dengan denyutan jantung
menunjukkan udara dalam mediastinum).
d) Tekanan darah: hipotensi.
3) Integritas ego
a) Ketakutan
b) Cemas
c) Gelisah
4) Nyeri atau kenyamanan
a) Nyeri dada unilateral, meningkat karena pernafasan, batuk
b) Timbul tiba-tiba gejala sementara batuk/ regangan
5) Pernafasan
a) Kesulitan bernafas.
b) Peningkatan frekuensi/ takipnea dan kedalaman pernafasan.
c) Peningkatan kerja nafas, penggunaan otot aksesori pernafasan pada dada,
leher; retraksi interkostal, ekspirasi abdomen kuat.
d) Bunyi nafas menurun atau tidak ada (sisi yang terlibat).
e) Fremitus menurun (sisi yang terlibat).
f) Inspeksi: kulit pucat, sianosis, berkeringat.
g) Palpasi dada: gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma; penurunan
pada jaringan dengan palpasi).

38
B) Pengkajian Klinis Tension Pneumotoraks.
1) Aktivitas/Istirahat
Gejala: Dispnea dengan aktivitas atau istirahat.
2) Sirkulasi
a) Tanda: Takikardia.
b) Frekuensi tak teratur/disritmia.
c) Irama jantung gallop (gagal jantung sekunder terhadap effusi).
d) Tanda Homman.
e) TD: hipertensi/ hipotensi.
f) DVJ
3) Integritas Ego
Tanda: Ketakutan, gelisah.
4) Makanan/Cairan
Tanda: Adanya pemasangan IV vena sentral/ infus tekanan.
5) Nyeri/kenyamanan
Gejala:
a) Nyeri dada unilateral, meningkat karena pernapasan, batuk.
b) Timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan (pneumothorak
spontan).
c) Tajam dan nyeri, menusuk yang diperberat oleh napas dalam,
kemungkinan menyebar ke leher, bahu, abdomen (efusi pleural).
Tanda:
a) Berhati-hati pada area yang sakit.
b) Perilaku distraksi.
c) Mengkerutkan wajah.
6) Pernapasan
Gejala:
a) Kesulitan bernapas, lapar napas.
b) Batuk (mungkin gejala yang ada).

39
c) Riwayat bedah dada/trauma : penyakit paru kronis, inflamasi/infeksi
paru (empiema/effusi), penyakit interstisial menyebar (sarkoidosis),
keganasan.
d) Pneumothorak spontan sebelumnya.
Tanda:
a) Pernapasan:peningkatan frekuensi/takipnea.
b) Peningkatan kerja napas, penggonaan otot aksesori pernapasan pada
dada dan leher, retraksi interkotal, ekspirasi abdominal kuat.
c) Bunyi napas menurun atau tidak ada.
d) Fremitus menurun.
e) Perkusi dada: Hiperresonan diatas area terisi udara (pneumothorak),
bunyi pekak diatas area yang terisi cairan (hemotoraks).
f) Observasi dan palpasi dada: Gerakan dada tidak sama (paradoksik)
bila trauma atau kemps, penurunan pengembangan thoraks (area yang
sakit).
g) Kulit: Pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan.
h) Mental: Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
i) Penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif/terapi PEEP.
7) Keamanan
Gejala:
a) Adanya trauma dada.
b) Radiasi/kemoterapi untuk keganasan.
8) Penyuluhan/pembelajaran
Gejala:
a) Riwayat faktor resiko keluarga; tuberculosis, kanker.
b) Adanya bedah intratorakal/biopsi paru.
c) Bukti kegagalan membaik.

3.3 Pemeriksaan Penunjang


1) Foto rotngen

40
Gambar 5. Foto Rontgen Dada
Foto Rontgen dada atau X-ray dada bertujuan untuk mengevaluasi organ atau
struktur dalam dada dan studi awal pilihan di trauma benda tumpul dada.
2) Tes Darah
a) Analisis Gas darah arteri (ABGs) : Tindakan oksigen dan tingkat karbon
dioksida untuk menyingkirkan hipoksemia atau hiperkapnia.
b) Hemoglobin / hematokrit (Hb / Ht) : Menilai hubungan sel darah merah
(sel darah merah) untuk volume cairan atau viskositas.
3) Thoracic computed tomography (CT)
Meningkatkan views anatomi dada dan menempatkan kelainan. CT dini bisa
mempengaruhi manajemen terapi.
4) USG Thoracic
Membantu dalam menentukan kelainan pada dada. Thoracentesis: Dilakukan
untuk meringankan tekanan intratoraks karena akumulasi cairan di rongga
pleura.
Pada pasien dengan tension pneumotoraks dapat dilakukan pemeriksaan penunjang:
1) Sinar x dada: Menyatakan akumulasi udara/ cairan pada area pleural; dapat
menunjukan penyimpangan struktur mediastinal (jantung)
2) Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup)
AGD: variable tergantung pada derajat fungsi paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. PaCO2
kadang-kadang meningkat. PaO2 mungkin normal/ menurun; saturasi oksigen
biasanya menurun.

41
3) Torasentesis: menyatakan darah/ cairan serosanguinosa (hemotorak).
4) HB : mungkin menurun menunjukkan kehilangan darah

3.4 Diagnosa Keperawatan


A) Pre-operasi :
1) Nyeri akut berhubungan dengan adanya trauma dada akibat penumpukan
gas didalam paru (00132).
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan menurunnya ekspansi
paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura (00032).
B) Post operasi :
1) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya port de entree akibat tindakan
WSD (00004).
2) Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi (00146).

3.5 Intervensi Keperawatan


A) Pre-operasi
Diagnosa Keperawatan: Nyeri akut b.d trauma dada akibat penumpukan gas didalam
paru (00132).
Domain 12 : Comfort
Class 1: Physical Comfort
NOC NIC
Pain Control (1605) Pain Management 1400
1) 160511 Klien melaporkan nyeri dapat 1) Lakukan penilaian yang komprehensif
terkontrol dari nyeri untuk mengetahui lokasi,
2) 1605504 Menggunakan non analgesic karakteristik, onset / durasi, frekuensi,
untuk mengurangi nyeri kualitas, intensitas atau keparahan

42
3) 160505 Menggunakan analgesic untuk nyeri, dan faktor pencetus.
mengurangi nyeri sesuai anjuran 2) Gunakan strategi komunikasi
4) 160503 menggunakan langkah-langkah terapeutik untuk mengakui
preventif untuk mengurangi nyeri pengalaman nyeri dan menyampaikan
penerimaan respon pasien terhadap
nyeri.
3) Mendorong pasien untuk dapat
memantau nyeri yang ia rasakan.
4) Ajarkan penggunaan teknik non
farmakologi (misalnya: hipnotis,
relaksasi, terapi music, latihan nafas
dalam, imajinasi visual).
5) Memberikan analgesic yang sesuai
dengan yang dianjurkan.
6) Lakukan tindakan untuk meningkatkan
kenyamanan.
7) Mengevaluasi keluhan nyeri (skala,
petunjuk verbal dan non verbal,
perubahan tanda-tanda vital).

Diagnosa Keperawatan: Ketidakefektifan Pola Nafas b.d menurunnya ekspansi paru


sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura (00032).
Domain 4: Activity/Rest
Class 4: Cardiovascular/Pulmonary Responses
NOC NIC
Respiratory Status (0415) Airway Management (3140)
1) 041501 Frekuensi Pernafasan normal 1) Posisikan pasien untuk
2) 041502 Ritme Pernafasan teratur memaksimalkan ventilasi yakni posisi
3) 041503 Kedalaman pernafasan normal semifowler.
4) 041522 tidak ditemukan suara nafas 2) Menghilangkan secret dengan cara
abnormal pada saat auskultasi suction ataupun batuk efektif.

43
5) 041510 tidak menggunakan otot bantu 3) Auskultasi suara nafas, dan tandai area
pernfasan yang mengalami penurunan ventilasi
6) 041514 Tidak mengalami dyspnea dan adanya suara nafas tambahan.
7) 041520 tidak ada akumulasi sputum 4) Mengatur intake cairan untuk
pada saluran pernafasan mengoptimalkan keseimbangan cairan
5) Monitor respirasi dan status
oksigenisasi sesuai indikasi.
Respiratory Monitoring (3350)
1) Monitor frekuensi, ritme, kedalaman
dan usaha bernafas.
2) Catat pergerakan dada, perhatikan
kesimetrisan dada, penggunaan otot
bantu nafas.
3) Monitor pola nafas (misalnya:
takipnea. Bradipnea, kussmaul
respirations, cheyne-stokes
respiration).
4) Tentukan kebutuhan untuk suction
dengan auskultasi suara nafas apakah
terdapat ronki, crackles pada jalan
nafas.
5) Monitor sekresi pernafasan pasien.
6) Monitor terjadinya dyspnea ataupun
kejadian yang dapat memperburuk.
7) Memposisikan pasien dengan tepat
untuk menghindari aspirasi.

B) Post-operasi
Diagnosa Keperawatan: Risiko Infeksi b.d adanya port de entree akibat prosedur
tindakan WSD (00004).

44
Domain 11; Safety/Protection
Class 1: Infection
NOC NIC
Infection Severity 0703 Infection Protection 6550
1) 070301 Luka bekas insersi pemasangan 1) Memantau tanda dan gejala sistemik
WSD tidak terjadi eritema maupun lokalisasi terhadap infeksi.
2) 070305 Pasien terbebas dari drainase 2) Memantau pemeriksaan laboratorium
purulen atau diagnostic (seperti hitung darah
3) 070307 Pasien tidak mengalami demam lengkap, LED, kultur dan sensitivitas
4) 070333 Pasien dapat melaporkan luka,dll).
pengurangan rasa nyeri 3) Memberikan perawatan kulit pada
5) 070323 Luka bekas insersi pemasangan bekas insersi pemasangan WSD
WSD terhindar dari bakteri menggunakan prinsip steril.
6) 070326 Sel darah putih dalam keadaan 4) Inspeksi kulit untuk mengetahui
normal adanya iritasi sebelumnya atau
kerusakan yang terus-menerus.
5) Observasi luka untuk mengetahui
adanya pembentukan bula, krepitasi,
perubahan warna kulit menjadi
perunggu, drainase berbusa.
6) Pantau tanda-tanda vital. Catat adanya
mengigigil, demam, malaise, dll.
7) Investigasi awitan nyeri tiba-tiba atau
keterbatasan gerakan dengan edema
terlokalisasi dan eritema pada
ekstermitas yang cedera.
8) Berikan medikasi sesuai indikasi.
9) Mendukung pemberian nutrisi yang
adekuat.
10) Mendukung intake cairan yang

45
adekuat.

Diagnosa Keperawatan: Ansietas berhubungan dengan Ansietas berhubungan dengan


kurangnya informasi (00146).
Domain 9: Coping/ Stress Tolerance
Class 2: Coping Responses
NOC NIC
Anxiety Self Control (1402) Anxiety Reduction 5820
1) 140206 Dapat mencari informasi yang 1) Menjelaskan semua prosedur yang
dapat mengurangi kecemasan akan dijalani oleh pasien secara jelas
2) 140206 menggunakan koping yang dan benar.
efektif 2) Menjelaskan mengenai kondisi
3) 140207 menggunakan teknik relaksasi penakitnya setelah dilakukan
untuk mengurangi kecemasan prosedur operasi.
4) 140217 dapat mengontrol respon 3) Membantu pasien dalam mencari
kecemasan sumber informasi yang tepat dan
valid.
4) Memfasilitasi didapatkannya
informasi oleh pasien mengenai
diagnosis penyakit, penanganan
maupun prognosis penyakit yang
dialami oleh pasien.
5) Memfasilitasi pasien untuk
mengungkapkan perasannya secara
verbal.
6) Membantu pasien untuk mengontrol
kecemasan dengan teknik relaksasi.

46
47
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pneumothoraks adalah penumpukan udara yang bebas dalam dada diluar paru
yang menyebabkan paru kolaps. Pneumothoraks merupakan suatu kondisi dimana
terdapat udara pada kavum pleura. Pneumothoraks diklasifikasikan atas
pneumothoraks spontan, traumatik, iatrogenik. Gejala klinis yang ditimbulkan pada
pasein yang mengalami pneumothoraks sedang sampai berat adalah menyeri dada
mendadak disertai sesak adalah gejala yang paling sering dijumpai. Terdapat
hiperinflasi dengan menurunnya ekspansi paru dan melemahnya bunyi nafas.
Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan dilakukan
secara bersamaan. Pada pasien dengan pneumothoraks perkembangan dinding dada
asimetris, deviasi trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara nafas menurun
bahkan menghilang dan pada perkusi didapatkan hipersonor. Penatalaksanaan
pneumothoraks bergantung pada jenis pneumothoraks yang dialaminya, derajat
kolaps, berat ringannya gejala, penyakit dasar, dan penyulit yang terjadi saat
melaksanakan pengobatan yang meliputi tindakan dekompresi yaitu membuat
hubungan antara rongga pleura dengan lingkungan luar. Komplikasi yang dapat
terjadi pada pneumothoraks antara lain adalah pneumomediastinum dan emfisema
subkutis.
Penting bagi seorang perawat melakukan penanganan secara tepat dan cepat
dengan memperhatikan tanda-tanda kegawatan pernafasan pada trauma dada,
sehingga diharapkan perawat mampu secara profesional mencegah akibat buruk dari
pneumothoraks. Selain itu, perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang
tepat untuk pasien dengan pneumothoraks.

4.2 Saran

48
Diharapkan dengan penulisan makalah ini, mahasiswa mampu memahami dan
mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien pneumothoraks secara
komprehensif, sehingga bisa meningkatkan kualitas hidup pasien.

49
BAB 5
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff H, Mukty HA. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press.
Aulia, Sanggiani Diah. 2015. Management of Spontaneous Pneumothorax Sinistra in
Elderly. Lampung: Faculty of Medicine, Universitas Lampung.
http://jukeunila.com/wp-content/uploads/2015/11/sanggiani-fix-recheck.pdf
(diakses pada tanggal 7 September 2017).
Boswick, John A. 1997. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2010. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Gloria M. Bulechek et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). St Louis,
Missouri. Mosby.
Harrison. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3. Jakarta:
EGC.
Heffner, JE and Huggins, JT. 2004. Management of Secondary Spontaneous
Pneumthorax: Therss Confusion in the Air. Chest Journal; 125; 190-1192.
John Wiley & Sons. 2014. Nursing Diagnosis: Definitions and Classification 2015-
2017. UK: Wiley Blackwell.
Lihawa, Nurjannah dan Isnu Pradjoko. 2010. Seorang Penderita Pneumothoraks
Spontan Sekunder Kiri dengan Single Fistel Bronkopleura. Universital Airlangga,
Fakultas Kedokteran Vol 1 No 3. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-
MKR%20Vol1%20No%203%20-%204%20Abs.pdf (diakses pada tanggal 7
September 2017)
Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007. Primary Spontaneous Pneumothorax: why all the
confusion over first-line treatment?. Journal of Royal College of Physicians of
Edinburgh; 37:335-338.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan: Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

50
Paramasivam, E. 2008. Air Leaks, Pneumothorax, and Chest Drains: Subcutaneous
Emphysema, Pneumomediastinum, and Pneumopericardium. Cont edu Anaesth
Crit Care & Pain. 8(6): 204-209. Oxford University Press.
Perhimpunan Dokter Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (PDIPDI). 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Internal Publishing.
Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous Pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74.
Sue Moorhead et al . 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) : Measurement
of Health Outcomes. St Louis, Missouri. Mosby.
Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Williams, L & Wilkins. 2011 Nursing Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta:
Indeks.
Ylmaz, A, Bayramgrler, B, Yazcolu, O, nver, M, Erturul, M, Gngr, N,
Baran, R. 2002. Iatrogenic Pneumothoraks: Incidence and Evaluation of the
Therapy. Turkish Respiratory Journal, August 2002, Vol.3, No.2.

51
LAMPIRAN 1
WOC (Web of Caution) Pneumothoraks

Penyakit penyerta (TB, asma,


pneumonia, abses paru, infark paru, PPO
Trauma tajam / trauma tumpul menahun)

Laserasi pleura visceral

Udara masuk ke rongga pleura


& jaringan paru terdesak

PNEUMOTHORAKS

Injuri paru Volume udara Distress Penurunan Post op


rongga pleura pernapasan ekspansi paru
Kerusakan Pemasangan WSD
Peningkatan tekanan Tekanan
jaringan paru & diskontinuitas
ruang pleura mediastinum
jaringan
MK : Nyeri
Gangguan
Kemampuan aliran darah Perawatan
dilatasi alveoli luka tidak
MK : Risiko adekuat
Atelektasis
Syok

Penyebaran
Sesak napas
kuman

MK : MK : Risiko
Ketidakefektifan Infeksi
Pola Napas
52

Anda mungkin juga menyukai