TINJAUAN PUSTAKA
2.3. Epidemiologi
Sepsis kini menjadi penyebab lebih dari 100.000 kematian per tahun di Amerika Serikat.
Insidensinya kemungkinan berkisar antara 300.000 dan 500.000 kasus per tahun. Kurang lebih
dua per tiga kasus terjadi pada pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit. Faktor-faktor yang
merupakan predisposisi untuk terjadinya bakteremia gram negatif mencakup diabetes mellitus,
sirosis hepatis, luka bakar, tindakan atau alat yang invasif. Faktor risiko utama untuk terjadinya
bakterimia gram positif meliputi pemsangan infus, penyntikan obat intravena, dan luka bakar.7
Di Indonesia didapatkan data tingkat penyebaran sepsis di RS.Sutomo pada tahun 2012,
sebanyak 27,08% jatuh kedalam sepsis berat, syok sepsis 14,58% dan 58,33% dalam keadaan
sepsis. Sama halnya persentase yang terjadi di RS.Kandou Manado pada tahun 2015, 6% pasien
dalam keadaan syok sepsis, 11% sepsis berat, dan 83% dalam keadaan sepsis.8
2.6. Diagnosis
2.6.1. Sepsis
Diagnosa sepsis, dapat dilihat jika terdapat infeksi yang disertai 2 atau lebih gejala
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Gejala SIRS meliputi:
Suhu tubuh > 380 C (100.40 F) atau < 360 C (96.80 F)
Denyut jatung > 90 denyut/menit
Respirasi > 20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
Hitung leukosit > 12.000/mm3 < 4.000/mm3 atau > 10% sel imatur (band)
Penurunan mental status
Hiperglikemia (> 120 mg/dl) pada pasien diabetes
2.6.2. Severe sepsis
Diagnosa severe sepsis jika termasuk SIRS disertai minimal satu tanda-tanda disfungsi
organ dari kriteria dibawah ini:
Hipotensi (< 90/60 atau MAP < 65)
Cappilary refill time 3
Disseminated intravascular coagulation (DIC)
Gagal ginjal akut atau urine output < 0,5 ml/kg/hr paling tidak dalam waktu dua jam
Disfungsi jantung
Laktat > 2
Kreatinin > 2,0 mg/dl
Jumlah platelet < 100.000
Disfungsi hati yang ditandai bilirubin > 2 atau INR > 1,5
Adanya ARDS atau acute lung injury
2.6.3. Septic shock
Diagnosis septic shock jika terdapat gejala severe sepsis disertai dengan hipotensi (<
90/60) dan/atau level serum laktat 4,0 mmol/L yang tidak respon terhadap resusitasi cairan.14
Diagnosis sepsis bisa ditegakan dengan melakukan anamnesis yang baik dan melakukan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang mendukung.
Anamnesis
Pemeriksaan anamnesis harus fokus terhadap keluhan utama atau gejala klinis,
riwayat operasi, penyakit dasar, penggunaan obat antibiotik, dan juga perjalanan. Demam
merupakan gejala klinis paling umum pada sepsis. Adanya demam dan sepsis-induced
hipotermia biasa terjadi pada pasien yang sudah tua, pasien lemah, peminum alkohol kronis, dan
pasien dengan uremia. Hipotensi terjadi pada kasus sekitar 40%. Namun pada pasien yang
imunokompromis dan neutropenia sering kekurangan sumber infeksi yang jelas.13
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik utama dalam sepsis meliputi pemeriksaan tanda vital (demam,
hipoksia, hipotensi), kulit (furunkel atau karbunkel, ulser, selulitis, lokasi intravena, ekimosis,
ptekie), sistem pernafasan (takipnea, hiperventilasi, batuk, hemoptosis, ronki, egofoni), sistem
pencernaan (nyeri abdomen, diare), sistem genitourinaria (daerah suprapubik terasa tegang),
sistem kardiovaskular (takikardi, murmur), dan sistem neurologi (status mental).13
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang direkomendasikan untuk membantu penegakan diagnosa pada
sepsis dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan
laboratorium dapat berupa Complete Blood Count (CBC), Basic Metabolic Panel (BMP), enzim
hati dan laktat, koagulasi dan urinalisis. Jika dicurigai adanya infeksi saluran pernafasan, dapat
dilakukan pemeriksaan radiologi serta analisis gas darah untuk melihat adanya hipoksemia dan
kelainan asam basa pada darah. Jika dicurigai terdapat Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC) maka harus dilakukan pemeriksaan terhadap produk degradasi fibrin, level D-dimers, dan
fibrinogen. Beberapa biomarker untuk sepsis seperti protein C-reaktif, prokalsitonin, Partial
Thromboplastin Time (PTT) dan interleukin-6 dapat digunakan untuk membantu diagnosis serta
prognosis. Kultur darah (dua perifer serta kateter yang terpasang), kultur urin, fultur feses (untuk
diare atau antibiotik yang barusan digunakan), kultur sputum, dan kulit serta jaringan lunak juga
harus diperiksa. Walaubagaimanapun, kultur darah dapat menunjukan hasil negatif sekitar 50-
65% pasien dengan sepsis. Cairan cerebrospinal, sendi, pleura, dan peritoneal harus di evaluasi
berdasarkan indikasi. Ekokardiografi direkomendasikan jika terdapat indikasi endokarditis dan
harus dilakukan pada pasien dengan murmur jantung atau yang dicurigai penggunaan obat
intravena. Evaluasi untuk emboli paru dibutuhkan alat CT-scan atau ventilation-perfusion
scanning, dan jika dicurigai adanya infeksi pada pelvis atau abdomen harus dilakukan
pemeriksaan CT-scan abdomen dan pelvis. Evaluasi untuk abses renal atau komplikasi
pielonefritis dapat diperiksa dengan USG atau CT-scan. CT-scan kepala dilakukan pada pasien
yang terdapat penurunan mental status untuk melihat adanya perdarahan intrakranial, abses,
ataupun malignansi.13,16
d. Terapi antimikroba
Tujuan terapi adalah pemberian antimikroba intravena yang efektif dalam satu jam
pertama setelah diketahui syok septik dan sepsis berat tanpa syok septik.
Terapi awal empiris anti infeksi termasuk satu atau lebih obat yang memiliki
aktivitas terhadap semua kemungkinan patogen (bakteri dan /jamur atau virus) dan
yang termasuk dalam konsentrasi yang memadai ke jaringan dianggap menjadi
sumber sepsis.17
Regimen antimikroba harus di-asses ulang setiap hari untuk melihat kemungkinan
desclasi guna mencegah perkembangan resistensi, untuk megurangi toksisitas dan
untuk mengurangi biaya.17
Penggunaan level rendah procalcitonin atau biomarker yang sama untuk membantu
dokter dalam penghentian antibiotik empiris pada pasien yang nampak septik, tetapi
kemudian tidak memiliki bukti infeksi.
Terapi empirik harus memberikan aktivitas antimikroba terhadap patogen yang
berpotensi besar mendasari penyakit setiap pasien yang dilihat dari penyakit pasien yang
tampak dan pola infeksi lokal. Kombinasi terapi empirik untuk pasien neutropenia
dengan sepsis berat dan untuk pasien dengan sulit-untuk-diobati, resisten bakteri patogen
seperti Pseudomonas spp dan Acinetobacter. Untuk pasien yang dipilih dengan infeksi
berat terkait dengan kegagalan pernapasan dan syok septik, terapi kombinasi dengan
perpanjangan pemberian beta-laktam dan aminoglycoside atau fluorokuinolon dianjurkan
untuk bakteremia P. Aeruginosa. Demikian pula, kombinasi yang lebih kompleks dari
beta-laktam dan makrolida yang dianjurkan untuk pasien dengan syok septik dari infeksi
pneumonia Streptococcus.17
Terapi kombinasi bila digunakan secara empiris pada pasien dengan sepsis berat,
tidak boleh diberikan selama lebih dari 3 sampai 5 hari. De-escalasi ke terapi tunggal
yang paling cocol harus dilakukan secepat profil susceptbilitas dikenal. Pengecualian
akan mencakup monoterapi aminoglikosida, yang harus dihindari pada umumnya,
khususnya untuk sepsis P. aeruginosa, dan bentuk-bentuk tertentu dari endokarditis, di
mana program berkepanjangan kombinasi antibiotik memperoleh jaminan.17
Durasi terapi adalah 7 sampai 10 hari jika secara klinis diindikasikan; program lebih lama
mungkin tepat pada pasien yang memiliki respon klinis lambat, fokus infeksi yang tidak bisa
terdrainase, bakteremia dengan S. aureus, beberapa infeksi jamur dan virus, atau deficit
imunologi, termasuk neutropenia.18
Terapi antivirus bisa dimulai sedini mungkin pada pasien dengan sepsis berat atau syok
septic yang berasal dari virus. Agen antimikroba tidak dapat digunakan pada pasien dengan
keadaan inflamasi yang berat yang diketahui penyebabnya tidak menular.17
e. Kontrol lingkungan
Diagnosis anatomi yang spesifik dari infeksi yang memerlukan pertimbangan untuk
kontrol sumber penyebab (misalnya, infeksi jaringan lunak necrotizing, peritonitis,
cholangitis, infark usus) dicari dan didiagnosis atau dieksklusi secepat mungkin, dan
intervensi dilakukan untuk kontrol sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis
dibuat, jika mungkin.17
Ketika infeksi neksrosis peripankreatis diidentifikasi sebagai sumber potensial
infeksi, intervensi definitif paling baik ditunda sampai batas yang memadai dari
jaringan layak dan non-viable terjadi.
Ketika kontrol sumber pada pasien septik yang berat diperlukan, intervensi yang
efektif terkait dengan pengeluaran yang paling fisiologis harus digunakan (misalnya,
drainase perkutan daripada drainase bedah pada abses).17
Jika perangkat akses intravaskular adalah sumber kemungkinan sepsis berat atau syok
septik, mereka harus dilepaskan segera setelah akses vaskular lainnya telah dipasang.17
f. Pencegahan Infeksi
Selective oral decontamination (SOD) dan selective digestive decontamination
(SDD) harus diperkenalkan dan diteliti sebagai metode untuk mengurangi kejadian
ventilator-associated pneumonia (VAP), ini langkah pengendalian infeksi kemudian
dapat menerapkan dalam pelayanan kesehatan dan wilayah di mana metodologi ini
ditemukan efektif.17
Oral chlorhexidine gluconate (CHG) digunakan sebagai bentuk dekontaminasi
orofaringeal untuk mengurangi risiko VAP pada pasien ICU dengan sepsis berat.17
2.7.2. Terapi Cairan dan Terapi Pendukung
a. Terapi Cairan dari Sepsis Berat
Kristaloid digunakan sebagai pilihan cairan awal dalam resusitasi dari sepsis berat dan
syok septik.
Penggunaan pati hidroksietil (HES) untuk resusitasi cairan sepsis berat dan septic
shock.
Penggunaan albumin dalam resusitasi cairan dari sepsis berat dan syok septik ketika
pasien memerlukan sejumlah besar kristaloid.
Pemberian cairan awal pada pasien dengan sepsis diinduksi hipoperfusi jaringan dengan
kecurigaan hipovolemia untuk mencapai minimal 30 mL /kg kristaloid (sebagian dari
ini mungkin setara albumin). administrasi yang lebih cepat dan jumlah yang lebih besar
dari cairan mungkin diperlukan pada beberapa pasien. Teknik pemberian cairan
diterapkan di mana dalam pemberian cairan dilanjutkan asalkan ada perbaikan
hemodinamik baik berdasarkan variabel dinamis (misalnya, perubahan tekanan nadi,
volume variasi stroke) atau statis (misalnya, tekanan, denyut jantung arteri).17
b. Vasopressors
Terapi vasopressor awal menargetkan MAP dari 65 mm Hg.
Norepinefrin sebagai vasopressor pilihan pertama.
Epinefrin (ditambahkan dan berpotensi menggantikan norepinefrin) saat agen tambahan
diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah yang memadai.
Vasopresin (hingga 0,03 U / min) dapat ditambahkan ke norepinefrin dengan maksud
meningkatkan target MAP atau penurunan dosis norepinefrin.
Vasopresin dosis rendah tidak dianjurkan sebagai vasopressor awal tunggal untuk
pengobatan sepsis-induced hypotension, dan dosis vasopressin lebih tinggi dari 0,03-
0,04 U / min harus disediakan untuk terapi penyelamatan (kegagalan untuk mencapai
MAP memadai dengan agen vasopressor lainnya)
Dopamin sebagai agen vasopressor alternatif untuk norepinefrin hanya pada pasien yang
sangat dipilih (misalnya, pasien dengan risiko rendah takiaritmia dan risiko bradikardi
absolut atau bradikardi relatif)
Fenilefrin tidak dianjurkan dalam pengobatan syok septik kecuali dalam kondisi
berikut: (a) norepinefrin berhubungan dengan aritmia yang serius, (b)curah jantung
diketahui masih rendah dan tekanan darah tinggi, atau (c) sebagai terapi penyelamatan
saat obat-obatan yang inotrope / vasopressor dikombinasikan dan vasopresin dosis
rendah telah gagal untuk mencapai target MAP.
Dopamine dosis rendah tidak digunakan sebagai renal protector.
Semua pasien yang memerlukan vasopressor mempunyai sebuah arterial catheter secepat
pemberian jika sumber tersedia17
c. Terapi Inotropik
Percobaan dari infus dobutamin mencapai 20 g/kg/min di berikan atau ditambahkan
pada vasopressor (jika dalam penggunaan) pada keadaan : a) disfungsi myocardial,
seperti yang diperlihatkan oleh peningkatan cardiac filling pressures and cardiac output
yang rendah, atau b) tanda hipoperfusi yang berlangsung terus menerus daripada
memperoleh volume intravascular dan MAP yang adekuat.
Jangan menaikkan cardiac index untuk mengantisipasi level supranormal.17
d. Kortikosteroid
Hindari menggunakan hidrokortison intravena sebagai pengobatan pasien syok septik
dewasa jika resusitasi cairan yang cukup dan terapi vasopressor dapat mengembalikan
stabilitas hemodinamik. Jika hal ini tidak tercapai, disarankan hidrokortison intravena
saja dengan dosis 200 mg per hari.
Jangan menggunakan tes stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi subset dari orang
dewasa dengan syok septik yang harus menerima hidrokortison
Mentappering pasien yang diobati dari terapi steroid ketika vasopressor tidak lagi
diperlukan
Kortikosteroid tidak diberikan untuk pengobatan sepsis tanpa adanya syok
Ketika hidrokortison dosis rendah yang diberikan, disarankan menggunakan infus
kontinu daripada suntikan bolus berulang.17
2.9. Pencegahan
Hindari trauma pada permukaan mukosa yang biasa dihuni oleh bakteri gram negatif.
Gunakan trimetrophim-sulfametoksazol pada secara profilaktik pada anak penderita
leukimia.
Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau sulfamilon secara profilaktik pada
pasien luka bakar.
Berikan semprotan (spray) pada faring posterior untuk mencegah penumonia gram
negatif nosokolmial.
Sterilisasi flora anaerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan
vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis gram negatif pada pasien
neutropenia.
Lingkungan yang protektif bagi pasien yang beresiko kurang efektif dikarenakan
penyebab sespsis berasal dari dalam (endogen).
Skrining rutin terhadap pasien infeksi yang berpotensi menjadi sepsis berat untuk
mendapatkan implementasi terapi lebih awal.
Mencuci tangan bagipetugas medis adalah salah satu preventif penyebaran infeksi.18
2.10. Prognosis
Prognosis sepsis bergantung pada status kesehatan penderita dan kekebalan tubuh
penderita, drainase abses, penangan dari obstuksi saluran intestinal dan urinarial, dan pemberian
antibiotik empiris yang sesuai dari sumber infeksi. Sehingga, dengan pemeberian antibiotik
empris yang sesuai dan intervensi pembedahan sangat berpengaruh dalam menurunkan tingak
mortalitas dan morbiditas.19
DAFTAR PUSTAKA
1. Liwang, Frans. Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. 2014. Media
Aesculapius
2. Pangaribuan, Jessica. Mortalitas Penderita Sepsis Berat yang dirawat ui Unit Perawatan
Intensif RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2012-Juni 2013. 2013. Universitas
Sumatera Utara
3. Ivan, Rizky. Gambaran Hematologi Pasien Sepsis yang dirawat di Bagian Penyakit
Dalam RSUP H. Adam Malik Tahun 2014. Universitas Sumatera Utara
4. Guntur, A, Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi V. 2009. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta
5. Survivor Sepsis Campaign. International Guideline for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock. 2012. www.ccmjournal.org
6. Zahar JR, Timsit JF, Garrouste-Orgens M, Francais A, Vesin A, Descorps-Declere A, et
al. Outcomes in Severe sepsis and patients with septic shock pathogen species and
infection sites are not associated with mortality. Crit Care Med. 2011; 39:1886-1895
7. Isselbacher, et al. Harrison Prinsio-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih Bahasa Asdie
Ahmad H., 2012. Edisi 13, Jakarta; EGC.
8. Rheza, et al. Profil Penderita sepsis di ICU RSUP Prof. Dr.R.D. kandou Manado periode
Desember 2014- November 2015. 2015.
9. Caterino JM, Kahan S. Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia: Binarupa Aksara
Publisher; 2012
10. LaRosa SP. Cleveland Clinic disease management project: Sepsis. [internet]. [updated
2013; cited 2014 Feb 7]. Available from:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectious-
disease/sepsis/
11. Reddy RC, Chen GH, Tekhandani TJ, et al: Sepsis-induced immunosuppression: From
bad to worse. Immunol Res. 2001, 24: 273-287.
12. Davey, Patrick.2010.At a Glance Medicine : Sepsis and Sepsis Shock.Edisi 1.Penerbitan
Erlanga, Jakarta
13. Gauer RL. Early recognition and management of sepsis in adults: The first six hours.
American Family Physician. 2013 Jul 1;88(1):44-53
14. Dellinger, R. Phllip et al. Surviving sepsis campaign: International guidelines for
management of severe sepsis and septic shock: 2012. Critical care medicine. 2013
Feb;41(2)
15. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D, Bauer M et al. The third
international consensus definition for sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA.
2016;315(8):801-810
16. Cunha BA. 2016. Bacterial sepsis differential diagnoses. Medscape.
17. Dellinger RP, et al. 2012. Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Intensive Care Med 2013; 39(2): 165-
228.
18. Sudoyo, A. W. et al., Hematuri. Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. 2009. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
19. BD, W. et al., Long-term mortality and quality of life in sepsis: a systematic review.
2010.Crit Care Med, 38(5), pp. 1276-83