Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Latar Belakang


Sepsis merupakan respons inflamasi sistemik tubuh terhadap infeksi. Respons inflamasi
sistemik tersebut terjadi akibat dari cedera klinis yang berat, misalnya trauma, luka bakar,
infeksi, dan sebagainya. Berbagai definisi tentang sepsis namun definisi yang digunakan saat ini
di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam consensus American College of Chest Physician
and Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992 yang mendefinisikan sepsis sebagai
sindrom respons inflamasi sistemik (inflammatory response syndrome/SIRS), sepsis berat dan
syok/renjatan sepsis. 1,2
Sepsis masih merupakan penyebab kematian utama pada kasus kritis di berbagai penjuru
dunia. Data dari Center for Disease Control (CDC) menunjukkan bahwa insiden sepsis
meningkat 8,7% setiap tahun, dari 164.000 kasus (83 per 100.000 populasi) pada tahun 1979
menjadi 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 populasi) pada tahun 2000. Kejadian sepsis di
Indonesia berkisar antara 1,5-3,72% pada beberapa rumah sakit rujukan di Indonesia seperti RS
Cipto Mangunkusumo, sedangkan angka kematian berkisar antara 37-80%.2,3
Tingginya angka kesakitan dan kematian akibat sepsis disebabkan karena sulit mendiagnosis
sepsis dengan cepat. Sepsis sering tidak terdiagnosis karena gejala klinis yang tidak spesifik,
seperti demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan.
Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes,
kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia. Yang sering diikuti gejala
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) seperti; sindrom distress pernafasan, gagal
ginjal akut, perdarahan usus, gagal hati, gagal jantung, hingga kematian. 2,4
Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang
cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status hemodinamik.
Kultur bakteri membutuhkan waktu yang cukup lama (48-72 jam), bahkan sampai 4 hari pada
metode kultur konvensional. Bakteri yang teridentifikasi berdasarkan hasil kultur sangat rendah
(30-50%). Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan tatalaksana dan dapat saja terjadi
penggunaan antibiotic spectrum luas yang berlebihan (overtreatment). Pada pasien yang
menderita SIRS, keterlambatan tatalaksana dan overtreatment akan berdampak buruk terhadap
pola resistensi kuman, biaya pengobatan, lama rawatan dan meningkatkan risiko infeksi
nosokomial. Oleh karena itu dibutuhkan diagnosis yang cepat dan tepat, sehingga tatalaksana
dapat diberikan sejak munculnya gejala awal sepsis dan prognosis menjadi lebih baik.2

2.2. Definisi dan Etiologi


Sepsis adalah respon sistemik terhadap infeksi (terbukti infeksi atau terduga infeksi) yang
sifatnya merusak dan dapat menyebabkan sepsis berat dan syok sepsis. Berdasarkan Survival
Sepsis Campaign 2012 yang digunakan sebagai pedoman dalam penatalaksanaan sepsis berat
dan syok sepsis di seluruh dunia, sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi yang disertai
manifestasi sitemik dari infeksi. Sepsis berat adalah suatu keadaan sepsis ditambah adanya
disfungsi organ dan hipoperfusi jaringan. Syok sepsis adalah sepsis dengan hipotensi yang
menetap atau tidak ada perbaikan waaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat.5,6
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah respon tubuh terhadap inflamasi
sistemik, pasien memiliki dua atau lebih kriteria berikut:5,6
1. Suhu > 38 C atau < 36C
2. Denyut jantung >90 denyut/menit
3. Respirasi >20/menit atau PaCO2 <32 mmHg
4. Hitung Leukosit 12.000/mm3 atau neutrofil batang >10%
Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan presentase 60% sampai 70% kasus,
yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu
untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah
lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama
membran terluar dari bakteri Gram negatif.
LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi.
Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita.
Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan
sepsis, dengan angka kejadian 20% sampai 40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur
opurtunistik, virus (dengue dan herpes) atau protozoa (Flacifarum malariae) dilaporkan dapat
menyebabkan sepsis, walaupun jarang. 4

2.3. Epidemiologi
Sepsis kini menjadi penyebab lebih dari 100.000 kematian per tahun di Amerika Serikat.
Insidensinya kemungkinan berkisar antara 300.000 dan 500.000 kasus per tahun. Kurang lebih
dua per tiga kasus terjadi pada pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit. Faktor-faktor yang
merupakan predisposisi untuk terjadinya bakteremia gram negatif mencakup diabetes mellitus,
sirosis hepatis, luka bakar, tindakan atau alat yang invasif. Faktor risiko utama untuk terjadinya
bakterimia gram positif meliputi pemsangan infus, penyntikan obat intravena, dan luka bakar.7
Di Indonesia didapatkan data tingkat penyebaran sepsis di RS.Sutomo pada tahun 2012,
sebanyak 27,08% jatuh kedalam sepsis berat, syok sepsis 14,58% dan 58,33% dalam keadaan
sepsis. Sama halnya persentase yang terjadi di RS.Kandou Manado pada tahun 2015, 6% pasien
dalam keadaan syok sepsis, 11% sepsis berat, dan 83% dalam keadaan sepsis.8

1.4. Patofisiologi Sepsis


Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan dari sistem imun dan
mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan dari sindrom sepsis
tampaknya disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons imun terhadap tempat yang
berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan antara regulator pro-inflamasi dan anti
inflamasi selular, serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab infeksi.9
Kaskade inflamasi (Inflammatory cascade)
Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap penyebab non-spesifik, sedangkan kaskade
inflamasi adalah proses kompleks yang melibatkan sistem imunologi seluler dan humoral,
komplemen, dan kaskade sitokin. 9,10
Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan sepsis.
Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme gram negatif
(misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam
lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen parasit.9,10
Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel imun
(neutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi.
Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai
Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada
produksi sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor (TNF-), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-
dan IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien,
platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang
menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi
molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan
kerusakan endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil yang
teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan
neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang
mengarah ke syok septik. Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit,
dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya
memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu
saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan
dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian.9,10
Imunoparalisis
Limfosit CD4 memainkan peran penting dalam respon inflamasi yang terlihat pada sepsis.
Awal proses sepsis, sel-sel ini mengasumsikan fenotipe TH1, di mana mereka menghasilkan
sejumlah besar mediator proinflamasi, termasuk interferon gamma, TNF-, dan IL-2. Limfosit
CD4 dapat berkembang dari waktu ke waktu menjadi fenotipe Th2, dimana limfosit CD4
memproduksi sitokin anti- inflamasi, termasuk IL-10, IL-4, dan IL-13. Hal ini sering didorong
oleh pelepasan hormon stres, seperti katekolamin dan kortikosteroid. Sitokin ini menurunkan
kekuatan respon imun dan dapat menyebabkan deaktivasi monosit. Selain itu, pelepasan TNF
lebih awal dapat menyebabkan apoptosis limfosit di dalam usus, yang mendorong terjadinya
imunosupresi yang lebih lanjut.11
Sepsis Berat : The Final Common Pathway
Hasil peningkatan peradangan dan koagulasi, insufisiensi jantung dan kegagalan beberapa
organ terjadi, dan sering mengakibatkan kematian. Insufisiensi jantung dapat terjadi pada tinkat
miokardium akibat efek miokard depresan TNF atau di tingkat saluran, yang disebabkan oleh
vasodilatasi dan kebocoran kapiler.10

2.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada gejala dan tanda-tanda penyakit
yang mendasarinya dan infeksi primer. Tingkat di mana tanda dan gejala berkembang mungkin
berbeda dari pasien dan pasien lainnya, dan gejala pada setiap pasien sangat bervariasi. Sebagai
contoh, beberapa pasien dengan sepsis adalah normo-atau hipotermia, tidak ada demam paling
sering terjadi pada neonatus, pada pasien lansia, dan pada orang dengan uremia atau
alkoholisme.12
Pasien dalam fase awal sepsis sering mengalami cemas, demam, takikardi, dan takipnea.
Tanda-tanda dari sepsis sangat bervariasi. Berdasarkan studi, demam (70%), syok (40%),
hipotermia (4%), ruam makulopapular, petekie, nodular, vesikular dengan nekrosis sentral (70%
dengan meningococcemia), dan artritis (8%). Demam terjadi pada <60% dari bayi dibawah 3
bulan dan pada orang dewasa diatas 65 tahun. Infeksi menjadi keluhan utama pada pasien.
Perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan juga merupakan tanda dan gejala pada
sepsis. Adanya tanda dan gejala disseminated intravascular coagulation (DIC) meningkatkankan
angka mortalitas.12
Pada sepsis berat muncul dampak dari penurunan perfusi mempengaruhi setidaknya satu
organ dengan gangguan kesadaran, hipoksemia (PO2 <75 mmHg), peningkatan laktat plasma,
atau oliguria (30 ml / jam meskipun sudah diberikan cairan). Sekitar satu perempat dari pasien
mengalami sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) dengan infiltrat paru bilateral,
hipoksemia (PO2 <70 mmHg, FiO2 >0,4), dan kapiler paru tekanan <18 mmHg.12

2.6. Diagnosis
2.6.1. Sepsis
Diagnosa sepsis, dapat dilihat jika terdapat infeksi yang disertai 2 atau lebih gejala
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Gejala SIRS meliputi:
Suhu tubuh > 380 C (100.40 F) atau < 360 C (96.80 F)
Denyut jatung > 90 denyut/menit
Respirasi > 20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
Hitung leukosit > 12.000/mm3 < 4.000/mm3 atau > 10% sel imatur (band)
Penurunan mental status
Hiperglikemia (> 120 mg/dl) pada pasien diabetes
2.6.2. Severe sepsis
Diagnosa severe sepsis jika termasuk SIRS disertai minimal satu tanda-tanda disfungsi
organ dari kriteria dibawah ini:
Hipotensi (< 90/60 atau MAP < 65)
Cappilary refill time 3
Disseminated intravascular coagulation (DIC)
Gagal ginjal akut atau urine output < 0,5 ml/kg/hr paling tidak dalam waktu dua jam
Disfungsi jantung
Laktat > 2
Kreatinin > 2,0 mg/dl
Jumlah platelet < 100.000
Disfungsi hati yang ditandai bilirubin > 2 atau INR > 1,5
Adanya ARDS atau acute lung injury
2.6.3. Septic shock
Diagnosis septic shock jika terdapat gejala severe sepsis disertai dengan hipotensi (<
90/60) dan/atau level serum laktat 4,0 mmol/L yang tidak respon terhadap resusitasi cairan.14
Diagnosis sepsis bisa ditegakan dengan melakukan anamnesis yang baik dan melakukan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang mendukung.
Anamnesis
Pemeriksaan anamnesis harus fokus terhadap keluhan utama atau gejala klinis,
riwayat operasi, penyakit dasar, penggunaan obat antibiotik, dan juga perjalanan. Demam
merupakan gejala klinis paling umum pada sepsis. Adanya demam dan sepsis-induced
hipotermia biasa terjadi pada pasien yang sudah tua, pasien lemah, peminum alkohol kronis, dan
pasien dengan uremia. Hipotensi terjadi pada kasus sekitar 40%. Namun pada pasien yang
imunokompromis dan neutropenia sering kekurangan sumber infeksi yang jelas.13
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik utama dalam sepsis meliputi pemeriksaan tanda vital (demam,
hipoksia, hipotensi), kulit (furunkel atau karbunkel, ulser, selulitis, lokasi intravena, ekimosis,
ptekie), sistem pernafasan (takipnea, hiperventilasi, batuk, hemoptosis, ronki, egofoni), sistem
pencernaan (nyeri abdomen, diare), sistem genitourinaria (daerah suprapubik terasa tegang),
sistem kardiovaskular (takikardi, murmur), dan sistem neurologi (status mental).13
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang direkomendasikan untuk membantu penegakan diagnosa pada
sepsis dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan
laboratorium dapat berupa Complete Blood Count (CBC), Basic Metabolic Panel (BMP), enzim
hati dan laktat, koagulasi dan urinalisis. Jika dicurigai adanya infeksi saluran pernafasan, dapat
dilakukan pemeriksaan radiologi serta analisis gas darah untuk melihat adanya hipoksemia dan
kelainan asam basa pada darah. Jika dicurigai terdapat Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC) maka harus dilakukan pemeriksaan terhadap produk degradasi fibrin, level D-dimers, dan
fibrinogen. Beberapa biomarker untuk sepsis seperti protein C-reaktif, prokalsitonin, Partial
Thromboplastin Time (PTT) dan interleukin-6 dapat digunakan untuk membantu diagnosis serta
prognosis. Kultur darah (dua perifer serta kateter yang terpasang), kultur urin, fultur feses (untuk
diare atau antibiotik yang barusan digunakan), kultur sputum, dan kulit serta jaringan lunak juga
harus diperiksa. Walaubagaimanapun, kultur darah dapat menunjukan hasil negatif sekitar 50-
65% pasien dengan sepsis. Cairan cerebrospinal, sendi, pleura, dan peritoneal harus di evaluasi
berdasarkan indikasi. Ekokardiografi direkomendasikan jika terdapat indikasi endokarditis dan
harus dilakukan pada pasien dengan murmur jantung atau yang dicurigai penggunaan obat
intravena. Evaluasi untuk emboli paru dibutuhkan alat CT-scan atau ventilation-perfusion
scanning, dan jika dicurigai adanya infeksi pada pelvis atau abdomen harus dilakukan
pemeriksaan CT-scan abdomen dan pelvis. Evaluasi untuk abses renal atau komplikasi
pielonefritis dapat diperiksa dengan USG atau CT-scan. CT-scan kepala dilakukan pada pasien
yang terdapat penurunan mental status untuk melihat adanya perdarahan intrakranial, abses,
ataupun malignansi.13,16

2.7. Penatalaksanaan Sepsis berdasarkan Surviving Sepsis Campaign


2.7.1. Resusitasi Awal dan Penanganan Infeksi
a. Resusitasi awal
Segera resusitasi pada pasien sepsis yang menyebabkan hpoperfusi jaringan (dengan
hipotensi atau peningkatan serum laktat >4 mmol/L).17 Target selama resusitasi pada
6 jam pertama resusitasi:
o Central Venous Pressure (CVP) 8-12 mmHg
o Mean Arterial Pressure (MAP) 65 mmHg
o Urine output 0,5 mL/kg/hr
o Saturasi oksigen vena sentral (vena cava superior) > 70% atau mixed venous
> 60%
o Menargetkan resusitasi untuk menormalkan kadar lakat tinggi sebagai
penanda hipoperfusi jaringan
b. Skrining untuk Sepsis dan Perbaikan Performance
Skrining rutin pasien yang berpotensi sakit berat akibat infeksi yang memungkinkan
terjadi sepsis berat guna meningktkan awal identifikasi sepsis dan memungkinkan
penatalaksanaan awal sepsis.17
Upaya peningkatan kinerja pada sepsis berat harus digunakan untuk meningkatkan
outcome pasien.17
c. Diagnosis
Mendapatkan kultur yang sesuai sebelum terapi antimkroba dimulai jika kultur
tersebut tidak menyebabkan penundaan yang signifikan (>45 menit) dia awal
pemberian antimikroba. Untuk mengoptimalkan identifikasi organisme penyebab,
direkomendasikan untuk mengambil setidaknya dua set kultur darah (baik botol
aerobik dan anaerobik) sebelum terapi antimikroba, dengan setidaknya satu diambil
secara percutaneous dan satu diambil melalui akses vaskular, kecuali perangkat baru-
baru ini dimasukkan(<48 jam). 17
Disarankan penggunaan 1,3 -d-glucan assay (grade 2B), tes antibodi anti-mannan
ketika kandidiasis invasif sebagai diagnosis diferensial infeksi.17
Studi pencitraan dilakukan segera dalam upaya untuk mengkonfirmasi potensi sumber
infeksi. Potensi sumber infeksi harus di ambil sampelnya seperti yang diidentifikasi dan dengan
mempertimbangkan risiko pasien untuk prosedur transportasi dan invasif (misalnya, koordinasi
yang hati-hati dan monitoring agresif jika keputusan dibuat untuk transport untuk aspirasi jarum
dipandu CT). Studi bedside, seperti USG, dapat menghindari transportasi pasien.17

d. Terapi antimikroba
Tujuan terapi adalah pemberian antimikroba intravena yang efektif dalam satu jam
pertama setelah diketahui syok septik dan sepsis berat tanpa syok septik.
Terapi awal empiris anti infeksi termasuk satu atau lebih obat yang memiliki
aktivitas terhadap semua kemungkinan patogen (bakteri dan /jamur atau virus) dan
yang termasuk dalam konsentrasi yang memadai ke jaringan dianggap menjadi
sumber sepsis.17
Regimen antimikroba harus di-asses ulang setiap hari untuk melihat kemungkinan
desclasi guna mencegah perkembangan resistensi, untuk megurangi toksisitas dan
untuk mengurangi biaya.17
Penggunaan level rendah procalcitonin atau biomarker yang sama untuk membantu
dokter dalam penghentian antibiotik empiris pada pasien yang nampak septik, tetapi
kemudian tidak memiliki bukti infeksi.
Terapi empirik harus memberikan aktivitas antimikroba terhadap patogen yang
berpotensi besar mendasari penyakit setiap pasien yang dilihat dari penyakit pasien yang
tampak dan pola infeksi lokal. Kombinasi terapi empirik untuk pasien neutropenia
dengan sepsis berat dan untuk pasien dengan sulit-untuk-diobati, resisten bakteri patogen
seperti Pseudomonas spp dan Acinetobacter. Untuk pasien yang dipilih dengan infeksi
berat terkait dengan kegagalan pernapasan dan syok septik, terapi kombinasi dengan
perpanjangan pemberian beta-laktam dan aminoglycoside atau fluorokuinolon dianjurkan
untuk bakteremia P. Aeruginosa. Demikian pula, kombinasi yang lebih kompleks dari
beta-laktam dan makrolida yang dianjurkan untuk pasien dengan syok septik dari infeksi
pneumonia Streptococcus.17
Terapi kombinasi bila digunakan secara empiris pada pasien dengan sepsis berat,
tidak boleh diberikan selama lebih dari 3 sampai 5 hari. De-escalasi ke terapi tunggal
yang paling cocol harus dilakukan secepat profil susceptbilitas dikenal. Pengecualian
akan mencakup monoterapi aminoglikosida, yang harus dihindari pada umumnya,
khususnya untuk sepsis P. aeruginosa, dan bentuk-bentuk tertentu dari endokarditis, di
mana program berkepanjangan kombinasi antibiotik memperoleh jaminan.17
Durasi terapi adalah 7 sampai 10 hari jika secara klinis diindikasikan; program lebih lama
mungkin tepat pada pasien yang memiliki respon klinis lambat, fokus infeksi yang tidak bisa
terdrainase, bakteremia dengan S. aureus, beberapa infeksi jamur dan virus, atau deficit
imunologi, termasuk neutropenia.18
Terapi antivirus bisa dimulai sedini mungkin pada pasien dengan sepsis berat atau syok
septic yang berasal dari virus. Agen antimikroba tidak dapat digunakan pada pasien dengan
keadaan inflamasi yang berat yang diketahui penyebabnya tidak menular.17
e. Kontrol lingkungan
Diagnosis anatomi yang spesifik dari infeksi yang memerlukan pertimbangan untuk
kontrol sumber penyebab (misalnya, infeksi jaringan lunak necrotizing, peritonitis,
cholangitis, infark usus) dicari dan didiagnosis atau dieksklusi secepat mungkin, dan
intervensi dilakukan untuk kontrol sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis
dibuat, jika mungkin.17
Ketika infeksi neksrosis peripankreatis diidentifikasi sebagai sumber potensial
infeksi, intervensi definitif paling baik ditunda sampai batas yang memadai dari
jaringan layak dan non-viable terjadi.
Ketika kontrol sumber pada pasien septik yang berat diperlukan, intervensi yang
efektif terkait dengan pengeluaran yang paling fisiologis harus digunakan (misalnya,
drainase perkutan daripada drainase bedah pada abses).17
Jika perangkat akses intravaskular adalah sumber kemungkinan sepsis berat atau syok
septik, mereka harus dilepaskan segera setelah akses vaskular lainnya telah dipasang.17
f. Pencegahan Infeksi
Selective oral decontamination (SOD) dan selective digestive decontamination
(SDD) harus diperkenalkan dan diteliti sebagai metode untuk mengurangi kejadian
ventilator-associated pneumonia (VAP), ini langkah pengendalian infeksi kemudian
dapat menerapkan dalam pelayanan kesehatan dan wilayah di mana metodologi ini
ditemukan efektif.17
Oral chlorhexidine gluconate (CHG) digunakan sebagai bentuk dekontaminasi
orofaringeal untuk mengurangi risiko VAP pada pasien ICU dengan sepsis berat.17
2.7.2. Terapi Cairan dan Terapi Pendukung
a. Terapi Cairan dari Sepsis Berat
Kristaloid digunakan sebagai pilihan cairan awal dalam resusitasi dari sepsis berat dan
syok septik.
Penggunaan pati hidroksietil (HES) untuk resusitasi cairan sepsis berat dan septic
shock.
Penggunaan albumin dalam resusitasi cairan dari sepsis berat dan syok septik ketika
pasien memerlukan sejumlah besar kristaloid.
Pemberian cairan awal pada pasien dengan sepsis diinduksi hipoperfusi jaringan dengan
kecurigaan hipovolemia untuk mencapai minimal 30 mL /kg kristaloid (sebagian dari
ini mungkin setara albumin). administrasi yang lebih cepat dan jumlah yang lebih besar
dari cairan mungkin diperlukan pada beberapa pasien. Teknik pemberian cairan
diterapkan di mana dalam pemberian cairan dilanjutkan asalkan ada perbaikan
hemodinamik baik berdasarkan variabel dinamis (misalnya, perubahan tekanan nadi,
volume variasi stroke) atau statis (misalnya, tekanan, denyut jantung arteri).17
b. Vasopressors
Terapi vasopressor awal menargetkan MAP dari 65 mm Hg.
Norepinefrin sebagai vasopressor pilihan pertama.
Epinefrin (ditambahkan dan berpotensi menggantikan norepinefrin) saat agen tambahan
diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah yang memadai.
Vasopresin (hingga 0,03 U / min) dapat ditambahkan ke norepinefrin dengan maksud
meningkatkan target MAP atau penurunan dosis norepinefrin.
Vasopresin dosis rendah tidak dianjurkan sebagai vasopressor awal tunggal untuk
pengobatan sepsis-induced hypotension, dan dosis vasopressin lebih tinggi dari 0,03-
0,04 U / min harus disediakan untuk terapi penyelamatan (kegagalan untuk mencapai
MAP memadai dengan agen vasopressor lainnya)
Dopamin sebagai agen vasopressor alternatif untuk norepinefrin hanya pada pasien yang
sangat dipilih (misalnya, pasien dengan risiko rendah takiaritmia dan risiko bradikardi
absolut atau bradikardi relatif)
Fenilefrin tidak dianjurkan dalam pengobatan syok septik kecuali dalam kondisi
berikut: (a) norepinefrin berhubungan dengan aritmia yang serius, (b)curah jantung
diketahui masih rendah dan tekanan darah tinggi, atau (c) sebagai terapi penyelamatan
saat obat-obatan yang inotrope / vasopressor dikombinasikan dan vasopresin dosis
rendah telah gagal untuk mencapai target MAP.
Dopamine dosis rendah tidak digunakan sebagai renal protector.
Semua pasien yang memerlukan vasopressor mempunyai sebuah arterial catheter secepat
pemberian jika sumber tersedia17
c. Terapi Inotropik
Percobaan dari infus dobutamin mencapai 20 g/kg/min di berikan atau ditambahkan
pada vasopressor (jika dalam penggunaan) pada keadaan : a) disfungsi myocardial,
seperti yang diperlihatkan oleh peningkatan cardiac filling pressures and cardiac output
yang rendah, atau b) tanda hipoperfusi yang berlangsung terus menerus daripada
memperoleh volume intravascular dan MAP yang adekuat.
Jangan menaikkan cardiac index untuk mengantisipasi level supranormal.17

d. Kortikosteroid
Hindari menggunakan hidrokortison intravena sebagai pengobatan pasien syok septik
dewasa jika resusitasi cairan yang cukup dan terapi vasopressor dapat mengembalikan
stabilitas hemodinamik. Jika hal ini tidak tercapai, disarankan hidrokortison intravena
saja dengan dosis 200 mg per hari.
Jangan menggunakan tes stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi subset dari orang
dewasa dengan syok septik yang harus menerima hidrokortison
Mentappering pasien yang diobati dari terapi steroid ketika vasopressor tidak lagi
diperlukan
Kortikosteroid tidak diberikan untuk pengobatan sepsis tanpa adanya syok
Ketika hidrokortison dosis rendah yang diberikan, disarankan menggunakan infus
kontinu daripada suntikan bolus berulang.17

2.8. Kriteria Merujuk


Konsultasi pada spesialis bedah dilakukan untuk pasien yang dicurigai sepsis yang
dikarenakan adanya penyebab sepsis pada bagian intra-abdomen dan pelvis. Konsultasi dini
dibutuhkan karena banyak penyebab sepsis terjadi karena perforasi, viscus, abses dan obstruksi
yang dibutuh kan proses pembedahan untuk menghilangkan penyebab infeksi.

2.9. Pencegahan
Hindari trauma pada permukaan mukosa yang biasa dihuni oleh bakteri gram negatif.
Gunakan trimetrophim-sulfametoksazol pada secara profilaktik pada anak penderita
leukimia.
Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau sulfamilon secara profilaktik pada
pasien luka bakar.
Berikan semprotan (spray) pada faring posterior untuk mencegah penumonia gram
negatif nosokolmial.
Sterilisasi flora anaerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan
vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis gram negatif pada pasien
neutropenia.
Lingkungan yang protektif bagi pasien yang beresiko kurang efektif dikarenakan
penyebab sespsis berasal dari dalam (endogen).
Skrining rutin terhadap pasien infeksi yang berpotensi menjadi sepsis berat untuk
mendapatkan implementasi terapi lebih awal.
Mencuci tangan bagipetugas medis adalah salah satu preventif penyebaran infeksi.18

2.10. Prognosis
Prognosis sepsis bergantung pada status kesehatan penderita dan kekebalan tubuh
penderita, drainase abses, penangan dari obstuksi saluran intestinal dan urinarial, dan pemberian
antibiotik empiris yang sesuai dari sumber infeksi. Sehingga, dengan pemeberian antibiotik
empris yang sesuai dan intervensi pembedahan sangat berpengaruh dalam menurunkan tingak
mortalitas dan morbiditas.19
DAFTAR PUSTAKA

1. Liwang, Frans. Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. 2014. Media
Aesculapius
2. Pangaribuan, Jessica. Mortalitas Penderita Sepsis Berat yang dirawat ui Unit Perawatan
Intensif RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2012-Juni 2013. 2013. Universitas
Sumatera Utara
3. Ivan, Rizky. Gambaran Hematologi Pasien Sepsis yang dirawat di Bagian Penyakit
Dalam RSUP H. Adam Malik Tahun 2014. Universitas Sumatera Utara
4. Guntur, A, Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi V. 2009. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta
5. Survivor Sepsis Campaign. International Guideline for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock. 2012. www.ccmjournal.org
6. Zahar JR, Timsit JF, Garrouste-Orgens M, Francais A, Vesin A, Descorps-Declere A, et
al. Outcomes in Severe sepsis and patients with septic shock pathogen species and
infection sites are not associated with mortality. Crit Care Med. 2011; 39:1886-1895
7. Isselbacher, et al. Harrison Prinsio-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih Bahasa Asdie
Ahmad H., 2012. Edisi 13, Jakarta; EGC.
8. Rheza, et al. Profil Penderita sepsis di ICU RSUP Prof. Dr.R.D. kandou Manado periode
Desember 2014- November 2015. 2015.
9. Caterino JM, Kahan S. Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia: Binarupa Aksara
Publisher; 2012
10. LaRosa SP. Cleveland Clinic disease management project: Sepsis. [internet]. [updated
2013; cited 2014 Feb 7]. Available from:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectious-
disease/sepsis/

11. Reddy RC, Chen GH, Tekhandani TJ, et al: Sepsis-induced immunosuppression: From
bad to worse. Immunol Res. 2001, 24: 273-287.
12. Davey, Patrick.2010.At a Glance Medicine : Sepsis and Sepsis Shock.Edisi 1.Penerbitan
Erlanga, Jakarta
13. Gauer RL. Early recognition and management of sepsis in adults: The first six hours.
American Family Physician. 2013 Jul 1;88(1):44-53
14. Dellinger, R. Phllip et al. Surviving sepsis campaign: International guidelines for
management of severe sepsis and septic shock: 2012. Critical care medicine. 2013
Feb;41(2)
15. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D, Bauer M et al. The third
international consensus definition for sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA.
2016;315(8):801-810
16. Cunha BA. 2016. Bacterial sepsis differential diagnoses. Medscape.
17. Dellinger RP, et al. 2012. Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Intensive Care Med 2013; 39(2): 165-
228.
18. Sudoyo, A. W. et al., Hematuri. Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. 2009. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
19. BD, W. et al., Long-term mortality and quality of life in sepsis: a systematic review.
2010.Crit Care Med, 38(5), pp. 1276-83

Anda mungkin juga menyukai