Anda di halaman 1dari 16

Dengan julukan Negara agraris yang dijunjungnya, tentu saja Indonesia memiliki banyak

sekali potensi pertanian atau perkebunan yang bisa dijadikan sumber perekonomian Negara.
Akan tetapi, seiring berkembangnya sistem perekonomian serta meningkatnya jumlah
penduduk, maka kebutuhan lahan untuk kepentingan dalam bidang selain pertanian semakin
meningkat pula.

Berdasarkan data statistik tahun 2014, luas lahan pertanian di Indonesia mencapai angka 41.5
juta Hektar. Dari jumlah tersebut, dapat dibagi menjadi tiga kategori yakni hortikultura 567
ribu hektar, tanaman pangan 19 juta hektar, dan terakhir tanaman perkebunan sebesar 22 juta
hektar.

Berikut beberapa dampak alih fungsi lahan pertanian :

1. Berkurangnya lahan pertanian

Dengan adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian, maka otomatis lahan pertanian
menjadi semakin berkurang. Hal ini tentu saja memberi dampak negatif ke berbagai bidang
baik secara langsung maupun tidak langsung.

2. Menurunnya produksi pangan nasional

Akibat lahan pertanian yang semakin sedikit, maka hasil produksi juga akan terganggu.
Dalam skala besar, stabilitas pangan nasional juga akan sulit tercapai. Mengingat jumlah
penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya sehingga kebutuhan pangan juga
bertambah, namun lahan pertanian justru semakin berkurang.

3. Mengancam keseimbangan ekosistem

Dengan berbagai keanekaragaman populasi di dalamnya, sawah atau lahan-lahan pertanian


lainnya merupakan ekosistem alami bagi beberapa binatang. Sehingga jika lahan tersebut
mengalami perubahan fungsi, binatang-binatang tersebut akan kehilangan tempat tinggal dan
bisa mengganggu ke permukiman warga. Selain itu, adanya lahan pertanian juga membuat air
hujan termanfaatkan dengan baik sehingga mengurangi resiko penyebab banjir saat musim
penghujan.

4. Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai

Untuk membantu peningkatan produk pertanian, pemerintah telah menganggarkan biaya


untuk membangun sarana dan prasarana pertanian. Dalam sistem pengairan misalnya, akan
banyak kita jumpai proyek-proyek berbagai jenis jenis irigasi dari pemerintah, mulai dari
membangun bendungan, membangun drainase, serta infrastruktur lain yang ditujukan untuk
pertanian. Sehingga jika lahan pertanian tersebut beralih fungsi, maka sarana dan prasarana
tersebut menjadi tidak terpakai lagi.

5. Banyak buruh tani kehilangan pekerjaan

Buruh tani adalah orang-orang yang tidak mempunyai lahan pertanian melainkan
menawarkan tenaga mereka untuk mengolah lahan orang lain yang butuh tenaga. Sehingga
jika lahan pertanian beralih fungsi dan menjadi semakin sedikit, maka buruh-buruh tani
tersebut terancam akan kehilangan mata pencaharian mereka.
6. Harga pangan semakin mahal

Ketika produksi hasil pertanian semakin menurun, tentu saja bahan-bahan pangan di pasaran
akan semakin sulit dijumpai. Hal ini tentu saja akan dimanfaatkan sebaik mungkin bagi para
produsen maupun pedagang untuk memperoleh keuntungan besar. Maka tidak heran jika
kemudian harga-harga pangan tersebut menjadi mahal

7. Tingginya angka urbanisasi

Sebagian besar kawasan pertanian terletak di daerah pedesaan. Sehingga ketika terjadi alih
fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan lapangan pekerjaan bagi sebagian orang tertutup,
maka yang terjadi selanjutnya adalah angka urbanisasi meningkat. Orang-orang dari desa
akan berbondong-bondong pergi ke kota dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih
layak. Padahal bisa jadi setelah sampai di kota keadaan mereka tidak berubah karena
persaingan semakin ketat.

Faktor Pendorong terjadinya Alih Lahan Pertanian

Sejak dahulu, jumlah lahan pertanian Indonesia sendiri cenderung menurun dari tahun ke
tahun akibat adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian. Alih fungsi atau konversi lahan
didefinisikan sebagai berubahnya fungsi awal lahan menjadi fungsi lainnya baik dari
sebagian maupun keseluruhan lahan akibat adanya faktor-faktor tertentu.

Berikut ialah faktor-faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian :

a. Pertumbuhan penduduk yang pesat

Dengan jumlah daratan yang tetap, namun jumlah penduduk yang terus meningkat, tentu
dapat menyebabkan berbagai dampak bagi lingkungan tempat tinggal mereka. Salah satunya
yakni adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian guna memenuhi
berbagai kebutuhan hidup yang juga meningkat.

b. Kenaikan kebutuhan masyarakat untuk permukiman

Adanya pertumbuhan demografi tentu saja juga menuntut kebutuhan-kebutuhan dasar


termasuk tempat tinggal. Ketika lahan di daerah permukiman sudah tidak lagi mencukupi
kebutuhan yang diminta, maka konversi lahan pertanian menjadi kawasan rumah menjadi
pilihan sebagai salah satu solusi permasalahan tersebut.

c. Tingginya biaya penyelenggaraan pertanian

Untuk mengolah sawah atau lahan pertanian dari lapisan tanah agar mendapatkan hasil yang
optimal tentu saja membutuhkan modal yang tidak sedikit, belum lagi jika barang-barang
pertanian tersebut mengalami kenaikan seperti pada saat naiknya harga bahan bakar minyak,
maka harganya bisa melambung menjadi dua kali lipat. Kenaikan harga pupuk, benih
pertanian, biaya irigasi, hingga harga sewa tenaga petani membuat para pemilik sawah
mempertimbangkan untuk menjual sawah mereka atau mengalihkan fungsi lahan menjadi
bangunan atau tempat wirausaha.

d. Menurunnya harga jual produk-produk pertanian


Selain membutuhkan modal yang lumayan, para petani juga harus siap menerima resiko lain,
yakni hasil panen yang tidak baik atau bahkan gagal panen. Dimana harga jual produk
pertaniannya menjadi sangat rendah atau malah tidak laku di pasaran. Jika hal ini terjadi
maka petani akan menderita kerugian yang tidak sedikit pula. Tantangan lain ialah adanya
penurunan harga hasil pertaniannya karena faktor-faktor tertentu.

e. Kurangnya minat generasi muda untuk mengelola lahan pertanian

Anggapan masyarakat, khususnya para generasi muda mengenai sektor pertanian masih
belum sepopuler bidang-bidang usaha yang lain. Para pemuda misalnya, ketika ditanya
mengenai cita-cita mereka, maka hampir bisa dipastikan akan menyebutkan berbagai profesi
lain selain menjadi petani. Meski tidak sedikit juga masyarakat yang telah menjadi petani
sukses, namun profesi petani saat ini memang masih sering dianggap sebagai profesi yang
berada pada kelas menengah ke bawah, sehingga cenderung dihindari oleh para generasi
muda. Dan sebagai akibatnya, para orang tua yang mempunyai sawah atau lahan pertanian
akan menjual lahannya kepada orang lain. Sedangkan bagi mereka yang mewariskan kepada
anaknya yang tidak berminat mengelola sawah, maka besar kemungkinan lahan tersebut akan
mengalami alih fungsi.

f. Pergantian ke sektor yang dianggap lebih menjanjikan

Seiring berkembangnya pengetahuan, teknologi, serta bertambahnya wawasan para pemilik


lahan pertanian, maka tidak sedikit dari mereka yang sengaja mengalihkan fungsi lahan
pertanian ke sektor usaha lain. Dengan harapan perekonomian dapat semakin meningkat,
mereka mulai mendirikan tempat-tempat industri, peternakan, serta tempat usaha lain di atas
lahan pertaniannya.

g. Lemahnya regulasi pengendalian alih fungsi lahan

Yakni ketidaktegasan peraturan pemerintah maupun pejabat mengenai pengendalian fungsi


lahan. Ketidaktegasan tersebut diantaranya meliputi kekuatan hukum, ketegasan penegak
hukum, dan sanksi pelanggaran.
FAKTA-FAKTA BORNEO

Luas tanah: 743.330 kilometer persegi (287.000 mil persegi, 74,33 juta hektar, atau 183,68 juta are) Populasi
manusia: 17,7 juta, dimana 17% atau 2,2 juta adalah suku pribumi Dayak Negara:

Malaysia (kota Sabah dan Sarawak) (26,7%)

Brunei (Kesultanan) (0,6%)

Indonesia (Kalimantan - Barat, Tengah, Selatan, dan Timur) (72,6%)


Keanekaragaman hayati: 15.000 spesies tumbuhan, lebih dari 1.400 amphibi, burung, ikan, mamalia, dan
reptil, serta serangga yang tak diketahui jumlahnya
Luas Hutan: Sekitar 50%
Tingkat Penggundulan: 3,9 persen (2000-2005)
Penyebab Penggundulan Hutan: Penebangan pohon, penanaman kelapa sawit, usaha pertanian lain,
kebakaran
Usaha Perlindungan Utama: Jantung Borneo

GAMBARAN LUAS: BORNEO

Borneo, pulau terbesar ketiga di dunia, dulunya dipenuhi oleh hutan hujan yang lebat. Dengan daerah pesisir
rawa-rawa yang dibatasi oleh hutan bakau dan daerah bergunung-gunung, kebanyakan dari wilayah tersebut
tampak tak mungkin dilewati dan dieksplorasi. Dukun dari suku pedalaman dulunya menguasai daerah-daerah
terpencil dari pulau ini sampai satu abad yang lalu.

Di tahun 1980an dan 1990an, Borneo mengalami transisi yang menakjubkan. Hutan-hutannya ditebangi hingga
tahap yang tak pernah terjadi di sejarah manusia. Hutan hujan Borneo berpindah ke negara-negara industri
seperti Jepang dan Amerika Serikat dalam bentuk mebel untuk kebun, bubur kertas, dan sumpit. Awalnya,
kebanyakan dari kayu tersebut diambil dari utara pulau bagian Malaysia kota Sabah dan Sarawak. Kemudian,
hutan di bagian selatan Borneo, sebuah wilayah milik Indonesia dan dikenal dengan nama Kalimantan, menjadi
sumber utama kayu tropis. Saat ini hutan-hutan di Borneo hanyalah bayangan dari legenda masa lalu dan yang
masih ada sedang sangat terancam dengan meningkatnya pasar biofuel, terutama kelapa sawit.

Kelapa sawit adalah bibit minyak yang paling produktif di dunia. Satu hektar kelapa sawit bisa menghasilkan
5.000 kg minyak mentah, atau sekitar 6.000 liter minyak mentah, ini membuatnya menjadi tanaman yang
paling menguntungkan bila ditanam di perkebunan yang luas -- sebuah studi terhadap 10.000 hektar kebun
menunjukkan bahwa tingkat pengembalian modalnya mencapai 26 persen per tahun. Karenanya, banyak
petak-petak tanah yang diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Penanaman kelapa sawit di Indonesia telah
meluas dari 600.000 hektar di tahun 1985 hingga lebih dari 6 juta hektar di awal 2007, dan diperkirakan
mencapai 10 juta hektar pada tahun 2010.

Walaupun begitu, akhir-akhir ini telah ada beberapa berita positif mengenai konservasi dari Borneo. Februari
2007, pemerintah Brunei, Malaysia, dan Indonesia sepakat untuk melindungi sekitar 220.000 kilometer persegi
(85.000 mil persegi) hutan tropis di tempat yang dinamakan "Jantung Borneo". Kelompok lingkungan hidup
WWF adalah salah satu pihak yang aktif dalam berdirinya daerah yang dilindungi ini.
FOTO dari BORNEO

Slide show Borneo: klik gambar untuk melihat.


Versi besar dari slide show | Foto Lain dari Borneo

GEOGRAFI BORNEO

Borneo adalah pulau ketiga terbesar di dunia, menyelimuti wilayah seluas 743.330 kilometer persegi (287.000
mil persegi), atau sedikit lebih dari dua kali luas Jerman. Secara politis, pulau ini terbagi antara Indonesia,
Malaysia, dan Brunei. Borneo Indonesia dikenal dengan Kalimantan, sementara Borneo Malaysia dikenal
dengan Malaysia Timur. Nama Borneo sendiri berasal dari referensi Barat awal yang digunakan oleh Belanda
pada masa pemerintahan kolonial terhadap pulau tersebut.

Secara geografi, pulau ini terbagi menjadi dataran tinggi tengah yang memanjang diagonal dari kota Sabah
(Malaysia) di timur laut Borneo ke barat daya Borneo, secara kasar membentuk batas antara Kalimantan Barat
dan Tengah (Indonesia). Dataran tinggi ini bukan pegunungan berapi -- di seantero Borneo, hanya terdapat
satu gunung berapi yang telah mati -- tapi merupakan gunung paling tinggi di Asia Tenggara: Gunung Kinabalu
di Sabah, yang tingginya mencapai 4.095 meter (13.435 kaki).

HUTAN-HUTAN BORNEO

Hutan-hutan di Borneo adalah beberapa hutan yang memiliki keanekaragaman hayati paling banyak di planet
ini. Menurut WWF, pulau ini diperkirakan memiliki setidaknya 222 spesies mamalia (44 darinya khas), 420
burung yang menetap (37 khas), 100 amphibi, 394 ikan (19 khas), dan 15.000 tumbuhan (6.000 khas) -- lebih
dari 400 dari yang telah ditemukan sejak tahun 1994. Survey menemukan lebih dari 700 spesies pohon di lahan
10 hektar -- sebuah angka yang sama dengan jumlah pohon di Kanada dan Amerika Serikat, digabung.

Major vegetation types of Borneo. Map modified from WWF's "Borneo:


Treasure Island at Risk" report. The map is based on Langner A. and
Siegert F.: Assessment of Rainforest Ecosystems in Borneo using MODIS
satellite imagery. Remote Sensing Solutions GmbH & GeoBio Center of
Ludwig-Maximilians-University Munich, in preparation, June 2005. Based
on 57 single MODIS images dating from 11.2001 to 10.2002 with a spatial
resolution of 250 m
Dari ujung ke ujung Borneo, ditemukan beberapa ekosistem yang berbeda. Ini telah dibahas dalam laporan
WWF "Borneo: Treasure Island at Risk" (2005).

Bakau
Bakau ditemukan di daerah pesisir dan muara. WWF memperkirakan bahwa luas daerah yang ditumbuhi
bakau di Borneo mencapai 1,2 juta hektar, bagian yang sedikit -- mungkin kurang dari 20 persen -- dari
keberadaan aslinya. Di Kalimantan, banyak kawasan bakau dibuka oleh para penebang hutan dan untuk
pertanian.

Hutan Rawa gambut


Hutan rawa gambut adalah bentukan dominan dari apa yang tersisa di dataran rendah hutan di Borneo saat
ini. hutan rawa ini muncul di daerah-daerah dimana vegetasi mati dipenuhi air dan, terlalu basah untuk
membusuk, menumpuk sedikit demi sedikit menjadi rawa gambut. Tanah gambut tropis yang terbentuk dalam
masa lebih dari ratusan tahun ini, adalah gudang raksasa untuk karbon. Mengeringkan dan/atau membakar
tanah-tanah ini, akan melepaskan jumlah karbon dioksida yang luar biasa ke atmosfer. Daerah yang
dikeringkan ini juga menjadi sangat mudah terbakar. Di bawah kondisi kering el Nino tahun 1997-1998, ribuan
kebakaran mengamuk di daerah rawa gambut di Indonesia. Kebakaran di rawa gambut sangat sulit
dipadamkan karena mereka dapat terbakar selama bulanan, dan tak akan terdeteksi secara sepintas karena
terbakar di lapisan-lapisan lebih dalam dari tanah gambut tersebut. Di tahun 2002, menurut Langner dan
Siegert (2005), hutan tanah gemuk ini menyelimuti sekitar 10 juta hektar di Borneo.

Hutan Pegunungan
Hutan pegunungan di Borneo biasanya ditemukan pada ketinggian 900 meter hingga 3.300 meter. Pohon-
pohon di hutan ini umumnya lebih pendek dari yang ada di hutan dataran rendah, akibatnya kanopi yang ada
pun tak terlalu lebat. Langner dan Siegert (2005) memperkirakan bahwa di tahun 2002 tersisa sekitar 70
persen (1,6 juta hektar) dari luas asli hutan montane di Borneo (2,27 juta hektar).

Hutan Kerangas
Hutan kerangas atau keranggas ditemukan di daerah yang sangat kering, dengan tanah berpasir yang sangat
miskin nutrisi ("keranggas" adalah bahasa penduduk Iban untuk "tanah yang tak akan menumbuhkan beras").
Hutan-hutan ini dicirikan oleh pepohonan spesies tertentu yang toleran terhadap buruknya kondisi tanah,
yang juga mengandung asam, dan sangat tidak bisa dibandingkan dengan hutan hujan pada umumnya. Hutan
heath juga memiliki keanekaragaman hayati yang lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah tumbuhan tropis
lainnya. MacKinnon et al. (1997) memperkirakan bahwa dulunya Borneo pernah memiliki 6.668.200 hektar
hutan heath. Saat ini luasnya sudah sangat berkurang hingga Bank Dunia memperkirakan bahwa hampir tak
akan ada hutan heath lagi di Borneo pada tahun 2010.

Hutan Dipterokarpa
Hutan dipterokarpa di dataran rendah adalah hutan yang paling beragam penghuninya dan paling terancam di
Borneo (68% dataran rendah telah ditebangi di Kalimantan, 65% di Malaysia). Pepohonan raksasa ini, biasanya
lebih tinggi dari 45 meter, adalah sumber kayu-kayu yang paling bernilai di Borneo dan telah ditebangi dengan
buasnya selama 3 dekade ini. Langner dan Siegert (2005) memperkirakan bahwa hanya kurang dari 30 juta
hektar hutan dipterokarpa dataran rendah yang tersisa di Borneo pada tahun 2002.

Meratanya dipterokarpas ini memberikan hutan-hutan Borneo dinamika tak biasa yang sangat terkait dengan
fenomena atmosfer kelautan yang dinamakan El Nio-Southern Oscillation (juga dikenal sebagai ENSO atau "El
Nino"). Menurut Lisa Curran, seorang biologis yang menghabiskan lebih dari 20 tahun di Borneo dan sekarang
menjadi ahli terkemuka tentang sejarah alam pulau tersebut, reproduksi dipterokarpa sangat tak mungkin
dilepaskan dari datangnya El Nino, dengan 80-93% dari spesiesnya menyamakan saat berbunga mereka
dengan kondisi cuaca kering, yang biasanya muncul dalam jangka waktu 4 tahunan. Selama "tahun
dipterokarpa" di Kalimantan, kanopi-kanopi menjadi berwarna-warni, seiring ribuan pepohonan dipterokarpa -
- tiap pohonnya mungkin memiliki 4000 bunga -- berbunga selama masa 6 minggu, secara bergantian
membuat lapar dan menimbuni pemakan bibit, hingga paling tidak sebagian bibit selamat hingga masa
pengecambahan.

Berbunga secara massal dan diikuti dengan musim berbuah -- yang telah diketahui akan sama dalam wilayah
seluas 150 juta hektar (370 juta are) dan melibatkan 1.870 spesies -- adalah anugerah bagi para pemakan bibit,
termasuk babi hutan yang merupakan pemakan bibit utaman dalam ekosistem. Bibit dan babi hutan sangat
lazim ditemui pada masa ini, hingga penduduk lokal melihat datangnya El Nino sebagai masa makmur, saat
untuk memanen kacang Illipe untuk diekspor atau mengenyangkan diri dengan daging babi. Hubungan
tersebut telah terjalin setua manusia telah tinggal di Borneo dan telah mengakar pada budaya masyarakatnya,
mulai dari suku pedalaman hingga pedagang pesisir.

Namun, di beberapa tahun terakhir, sistem ini sepertinya telah mulai terputus akibat perubahan penggunaan
tanah. Dr. CUrran, yang dianugerahi MacArthur genius award tahun 2006 berkat penelitiannya di area ini,
mengatakan bahwa penebangan pohon yang intensif ini telah dibayar mahal oleh siklus reproduksi ini. Curran
menemukan bahwa produksi bibit ini jatuh dari 175 pon per are di tahun 1991 hingga 16,5 pon per are di
tahun 1998, meski saat itu merupakan masa tahun El Nino terparah menurut catatan. Sepertinya penebangan
hutan telah mengurangi kepadatan lokal dan biomass dari pepohonan dewasa di bawah ambang kritis.

Lebih lanjut, pengenalan kebakaran pada daerah yang sebelumnya tak memiliki pengalaman terbakar, telah
memperburuk tekanan kekeringan dan menyebankan transformasi radikal pada ekologi hutan. Saat ini, tahun
el Nino tak lagi merupakan tahun kemakmuran. Seperti yang dikatakan Curran saat berkunjung ke California,
"El Nino telah menjadi penghancur yang hebat, bukannya pemberi yang agung." Perubahan penggunaan tanah
telah merusak apa yang dulunya merupakan ekosistem yang terkait erat.

Dampak ini meluas ke seluruh Borneo, dengan kebakaran tahunan yang menyebabkan tersebarnya polusi
(sering disebut 'asap') yang bisa menyebar hingga Australia, Cina, dan India. Kebakaran ini melepaskan jumlah
karbon dioksida yang luar biasa, terutama saat hutan tanah gambut Borneo terbakar. Dengan 518 ton karbon
per hektar - salah satu tingkat tertinggi biomass di planet - ekosistem ini bisa menyumbangkan hingga 2 milyar
ton karbon dioksida ke atmosfer pada beberapa tahun, menjadikan Indonesia pembuat polusi rumah kaca
terbesar ketiga, meski hanya memiliki ekonomi urutan ke 22 terbesar sedunia. Beberapa ilmuwan
mengkhawatirkan bahwa kebakaran dan perubahan iklim merupakan lingkaran respon balik positif yang hanya
memperburuk kondisi, menciptakan iklim yang semakin kering, semakin banyak kebakaran, dan emisi karbon
yang lebih tinggi.

Penggundulan hutan: berkurangnya hutan di Borneo

Penggundulan hutan di Borneo awalnya rendah akibat tanah yang tak subur (relatif untuk pulau-pulau
sekitarnya), iklim yang kurang mendukung, dan banyaknya penyakit. Penggundulan hutan ini mulai pada masa
pertengahan abad keduapuluh dengan didirikannya perkebunan karet, walau ini memiliki sedikit dampak.
Penebangan untuk industri meningkat pada tahun 1970 saat Malaysia menghabiskan hutan di
semenanjungnya, dan mantan orang kuat Indonesia Presiden Suharto membagikan bidang-bidang tanah hutan
yang luas untuk mempererat hubungan politiknya dengan para jendral tentara. Penebangan hutan semakin
meluas secara signifikan pada masa 1980an, dengan jalan-jalan penebangan yang menyediakan akses menuju
daerah-daerah terpencil bagi para pengembang dan pekerja yang menetap. Pada saat yang bersamaan,
program transmigrasi pemerintah Indonesia sedang sangat gencar digalakkan, mengirimkan lebih dari 18.000
orang per tahun selama dekade tersebut untuk menetap di Kalimantan. Para transmigran ini, kebanyakan
orang muda miskin tanpa tempat tinggal dari pulau-pulau pusat yang padat yaitu Jawa dan Bali, ditempatkan
dengan biaya dari pemerintah di lahan yang kebanyakan tidak cocok untuk bertani secara tradisional. Tak
mampu menopang hidupnya dengan pertanian biasa, kebanyakan dari mereka lantas bekerja di perusahaan-
perusahaan penebangan.

PENEBANGAN & TRANSMIGRASI

Penebangan hutan di Borneo tahun 1980an dan 1990an adalah penebangan yang paling intensif yang pernah
dilihat dunia, dengan 60-240 meter kubik kayu dipanen per hektar dibandingkan dengan 23 meter kubik per
hektar di Amazon. Menurut Curran, pada masa itu lebih banyak kayu yang di ekspor dari Borneo daripada
Amerika Latin dan Afrika digabungkan. Di Kalimantan, sebanyak 80 persen dataran rendah dijadikan konsesi
untuk kayu, termasuk seluruh hutan bakaunya yang tampak.

Pada akhir tahun 1980an telah jelas bahwa Indonesia dan Malaysia dalam waktu dekat akan menghadapi krisis
kayu akibat penebangan yang berlebihan. Permintaan dari pabrik kayu jauh melampaui produksi kayu di
Malaysia dan Indonesia. Menurut WWF, pemerintah Indonesia merespon penghabisan sumber ini dengan
membuat sistem dengan tiga tipe perkebunan kayu indostri: Hutan Taman Industri (HTI) pertukangan untuk
kayu keras, HTI kayu energi untuk kayu bakar dan arang, dan HTI kayu serat untuk bubur kertas dan kertas.
Memberikan suplai pada industri kertas yang meluas dengan cepat merupakan yang paling menguntungkan,
jadi perkebunan dengan pertumbuhan yang cepat didirikan di daerah-daerah yang telah ditebangi sebelumnya
termasuk daerah-daerah hutan perawan. Pemilik perkebunan yang diuntungkan oleh kayu-kayu di hilir
memberikan subsidi pada jalan, pabrik penggergajian, dan peminjaman dengan bunga rendah yang diberikan
di luar dana reboisasi nasional. Lebih lanjut, kurangnya pengawasan berarti bahwa hutan yang telah ditebangi
tersebut jarang ditanam ulang -- usaha dengan biaya besar pada tanah yang terdegradasi -- mengakibatkan
tekanan tambahan pada hutan yang terpencil. Menteri Kehutanan* melaporkan bahwa 3,3 juta hektar
dialokasikan ke HTI, hanya 829.000 hektar -- atau 25 persen -- telah ditanami ulang pada tahun 2000
(*dikeluarkan oleh Global Forest Watch, Global Forest Watch Indonesia, dan World Resources Institute di
tahun 2002). Mayoritas dari pembukaan hutan untuk perkebunan kayu di Kalimantan dilakukan oleh pemilik
tanah luas. Antara tahun 1985 dan 1997 para pemilik tanah ini membuka hampir 1,7 juta hektar hutan untuk
digantikan dengan pepohonan yang bisa dipanen, sementara para pemilik tanah yang tak luas membuka
467.000 hektar. Bila ditotal, perkebunan ini mencapai 2,1 juta hektar (25 persen) dari 8.5 juta hektar dari
hutan yang dibuka pada masa tersebut.

Results of Forest Conversion. Derived from figures found in WWF 2005


and based on data from The World Bank: Indonesia: Environment and
Natural Resource Management in a Time of Transitio, February 2001
More on PENEBANGAN in Borneo.

KELAPA SAWIT

Pada saat kayu yang bisa ditebang menjadi langka, ketertarikan pada perkebunan kelapa sawit mulai
menyebar di Borneo. Walau pertama kali ditanam di Indonesia pada tahun 1848, baru pertengahan 1990an
penanaman kelapa sawit mulai meningkat drastis. Di Malausia, produsen minyak kelapa terbesar di dunia saat
ini, perebunan kelapa sawit meningkat dari 60.000 hektar di tahun 1960an menjadi 3 juta hektar di tahun
2001. Di tahun 2004, 30% dari perkebunan ini berada di Sabah, yang memiliki kondisi ideal untuk
pertumbuhannya, dan 13% di Sarawak. Bagaimanapun, karena seluruh daerah yang cocok di Semenanjung
Malaysia telah digunakan, ekspansi pastilah dilakukan di Borneo Malaysia dan, pada tingkat yang lebih besar,
di Kalimantan. Penanaman kelapa sawit telah meningkat dari 186.774 hektar di sabah dan Sarawak pada tahun
1984 menjadi 1.673.721 hektar pada akhir 2003.

Di Kalimantan, kelapa sawit telah meluas lebih cepat: dari 13.140 hektar di tahun 1984 hingga nyaris 1 juta
hektar di akhir 2003. Sementara, kebanyakan dari lahan-lahan baru yang dibeli untuk perkebunan ini kurang
ideal untuk kelapa sawit, rendahnya perawatan tanaman, digabungkan dengan permintaan pertumbuhan dan
sedikitnya pilihan mata pencaharian di kawasan itu, menjadikannya investasi rendah resiko bagi para pemilik
perkebunan besar. Menurut studi Lisa Curran di Kalimantan, diperkirakan tingkat pengembalian modal lebih
dari 26% selama 25 tahun untuk perkebunan kelapa sawit lebih luas dari 10.000 hektar, walau lahan yang kecil
hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit lebih rendah. Pemilik perkebunan besar sangat tertolong oleh
subsidi yang mencakup fasilitas untuk memproses bahan mentah dan jalanan.

Saat inim hampir separuh lahan pertanian Malaysia adalah kelapa sawit. Di Sabah dan Sarawak, kebanyakan
(lebih dari 70 persen) perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh negara, dan pemilik lahan kecil hanya
mengendalikan bagian kecil dari keseluruhan tanaman tersebut: 6 persen di Sabah, 3 persen di Sarawak. Di
Indonesia, pembagiannya sangat berbeda. Para pemilik kecil secara kasar mengendalikan 30 persen dari
perkebunan kelapa sawit, sementara perkebunan milik pemerintah hanya 20 persen. Sisanya, sekitar 50
persen, dimiliki oleh investor besar, yang mempunyai hasil tertinggi. Importir terbesar minyak kelapa Malaysia
adalah Cina, India, Pakistan, Belanda, dan Mesir, sementara konsumen terbesar minyak kelapa Indonesia
adalah India (3 kali lebih besar dari pengguna terbesar berikutnya), Cina, Belanda, Malaysia, dan Pakistan.

Minyak kelapa berasal dari buah tanaman tersebut, yang tumbuh dalam tandan-tandan yang beratnya bisa
mencapai 40-50 kg. Sebanyak 100 kg bibit minyak biasanya menghasilkan 20 kg minyak, sementara satu hektar
kelapa sawit bisa menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah yang bisa
digunakan dalam produksi biodiesel. Dengan harga 400 USD per ton kubik, atau 54 USD per barrel, minyak
kelapa bersaing dengan minyak konvensional. Di masa depan, harga minyak kelapa diharapkan akan semakin
menurun karena lebih banyaknya perkebunan kelapa sawit. Indonesia menargetkan untuk mempunyai 8-10
juta hektar perkebunan di tahun 2010.

Kenapa kelapa sawit menggantikan hutan hujan? | Walau lahan yang kecil hanya mendapatkan
keuntungan yang sedikit lebih rendah
(Klik)

(Klik)

KEBAKARAN

Kebakaran hutan umumnya jarang terjadi di Borneo, namun seperti yang telah diceritakan di atas, saat ini
Borneo sama terkenalnya akan kebakaran hutannya dengan hutan hujannya. Kebanyakan kebakaran di Borneo
dibuat untuk kepentingan membuka lahan. Walau pemerintah Indonesia telah kerap menyalahkan pertanian-
pertanian skala kecil atas kebakaran yang terjadi, meurut WWF, pemetaan satelit menunjukkan bahwa
pengembangan komersil untuk pengubahan lahan skala besar -- terutama perkebunan kelapa sawit -- adalah
penyebab utama kebakaran 1997-1998.

Kebakaran 1997-1998 adalah yang terbesar yang pernah diketahui. Sekitar 9,7 juta hektar hutan dan lahan
non-hutan terbakar, serta diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari 9 milyar USD dan
melepaskan 0,8-2,5 giga ton karbon ke atmosfer. Di Kalimantan, lebih dari 6,5 juta hektar terbakar dan
asapnya menyelimuti pulau tersebut. "Menyelimuti wilayah seluas 2.000 dari 4.000 km," menurut WWF.

Saat ini, kebakaran dibuat setiap tahunnya untuk membuka hutan di wilayah-wilayah pertanian dan hutan
yang telah terdegradasi. Saat kondisi kering, api ini dapat dengan mudah menyebar hingga ke hutan-hutan di
dekatnya dan terbakar tak terkendali. Seperti yang dijelaskan WWF, hutan Borneo tidak mudah beradaptasi
dengan kebakaran hutan.

Walau kebakaran memiliki peran penting dalam ekosistem hutan di banyak daerah di dunia, namun hutan
hujan tropis terkecualikan, terutama karena munculnya dan meluasnya praktek-praktek manajemen yang tak
mendukung. Normalnya, hutan hujan tropis tak akan terbakar karena kelembabannya. Lebatnya kanopi
biasanya menjaga apa yang ada dibawahnya tetap lembab, walau di masa kekeringan. Terlebih lagi, material-
material biologis membusuk sangat cepat di iklim yang lembab. Sebagai hasilnya, hanya sedikit material
mudah terbakar yang terdapat di atas tanah. Dan pohon-pohon di daerah iklim tropis basah tidak bisa
beradaptasi dengan kebakaran hutan. Mereka hanya memiliki kulit kayu yang tipis, dibandingkan pohon-
pohon yang memiliki kulit lebih tebal dan tahan api di daerah iklim sedang.

Kebakaran hutan yang besar dan tak terkontrol saat ini muncul hampir setiap tahun di Borneo. Frekuensi dan
intensitas dari kebakaran ini memunculkan ketegangan politis di kawasan tersebut. Negara-negara tetangga,
terutama Malaysia dan Singapura menyalahkan Indonesia atas kegagalannya mengendalikan kebakaran.
Sebaliknya, Indonesia menuduh perusahaan-perusahaan Malaysia sebagai pembuat api untuk kepentingan
membuka hutan.

Sampai bulan Februari 2007, Indonesia belum menandatangani Perjanjian Polusi Asap Lintas Batas ASEAN,
sebuah persetujuan lingkungan hidup yang ditandatangani oleh tujuh negara Asia Tenggara lainnya yang
menyatakan akan mengendalikan polusi asap di kawasan tersebut.
Kebakaran hutan sebagai hasil dari kegagalan pemerintah di Indonesia

PERBURUAN LIAR
Perburuan liar semakin menjadi permasalahan di Borneo
sebagai akibat dari berkurangnya hutan dan meningkatnya
permintaan akan protein dari hewan-hewan liar tertentu
(terutama macan dahan dan beruang madu) bahkan hingga ke Cina. Menurut Jakarta Post, perdagangan gelap
dari hewan-hewan yang dilindungi ini mencapai nilai 1,3 milyar di tahun 2003.

Orangutan juga sedang terancam keberadaannya akibat nilai mereka di pasar industri hewan peliharaan dan
hiburan. WWF mencatat bahwa kebanyakan orangutan yang ditangkap adalah orangutan muda yang
ditangkap setelah ibunya dibunuh. Kelompok-kelompok lingkungan hidup memperkirakan bahwa untuk setiap
orangutan yatim piatu, antara satu hingga enam orangutan dibunuh. Di total, menurut WWF, 1.000 orangutan
mungkin telah dibunuh atau ditangkap setiap tahunnya. Mengatasinya bukan hal yang mudah karena tingginya
nilai hewan-hewan tadi dan rendahnya pendapatan para penduduk desa. Orangutan juga adalah hama
tanaman yang dikenal suka memakan buah dari pohon palem.
MARGASATWA BORNEO

DAERAH YANG DILINDUNGI

Di atas kertas, menurut WWF, 9 persen Kalimantan, 8 persen Sarawak, dan 14 persen Sabah berada di bawah
beberapa bentuk perlindungan, dengan surat keberatan yang menyebutkan bahwa beberapa daerah yang
seharusnya dilindungi tak benar-benar aman dari penggundulan hutan. Sebagai contoh, di Kalimantan hanya
82 persen dari "hutan lindung" yang benar-benar dilindungi. Lebih lanjut, antara tahun 1985 dan 2001, hutan
lindung dataran rendah Kalimantan menyusut sekitar 56 persen, menurut Lisa Curran.

Laporan WWF menyebutkan Taman Nasional Kutai sebagai titik kasus. Kutai didirikan pada tahun 1936 sebagai
306.000 hektar yang dilindungi, namun diberikannya hak konsesi perkayuan dan eksplorasi minyak selama
bertahun-tahun, luas taman ini berkurang hingga daerah resmi seluas 198.629 hektar. Di tahun 1980an dan
1990an, penebangan ilegal menyisakan banyak hutan dalam kondisi terdegradasi. Kebakaran di tahun 1997-
1998 membakar 92 persen dari area taman.

Taman Nasional Gunung Palung di Kalimantan Barat juga merupakan contoh lain. Dari tahun 1998-2002
sebanyak 70 persen dari daerah penyangga dataran rendah telah digunduli dan sekarang kurang dari 9 persen
dari daerah penyangga ini adalah hutan dataran rendah. Di dalam taman, 38 persen dari hutan dataran rendah
telah dibuka oleh para penebang.

Sabah
Dari 7,37 juta hektar tanah di Sabah, 60 persen darinya telah dilindungi (2005), menurut Departemen
Kementrian Konservasi Lingkungan Hidup.

Angka-angka tersebut memperkirakan bahwa sekitar 586.000 hektar -- atau 16 persen dari total daerah hutan
Sabah -- ada di bawah suatu bentuk perlindungan. Di tahun 1997, Sabah memperkenalkan sistem "Sustainable
Forest Management License Agreement" yang membutuhkan teknik-teknik penebangan dengan mengurangi
dampaknya, walaupun penggunaannya dikenyataan masih terbuka untuk perdebatan. Sisa hutan sekitar 2,4
juta hektar boleh ditebangi dengan ijin penebangan kayu.
Sarawak
Menurut pemerintah negara, sekitar dua per tiga dari 8,22 juta hektar di Sarawak diselimuti oleh hutan alami.
Menurut pemerintah, mereka akan melindungi sekitar 8 persen dari hutan alami negara dan sisanya, sebagai
penyeimbang, akan digunakan untuk hutan komersial dan pertanian.

Kalimantan
Hampir seluruh hutan di Kalimantan merupakan milik negara. Di tahun-tahun belakangan ini, sentralisasi
berarti hutan yang dulunya dikuasai oleh pemerintah pusat sekarang dikelola pada tingkat Kabupaten. Di atas
kertas, hutan-hutan ini telah dipetakan dan dialokasikan untuk berbagai kegunaan, tapi kenyataannya
berbeda, menurut WWF, yang mencatat "ukuran sebenarnya dan negara

Jadi menurut teori, sekitar 11 juta hektar hutan berada di bawah suatu bentuk perlindungan di Kalimantan.

Di daerah-daerah yang telah disiapkan sebagai "hutan produksi" ada tiga tipe perkebunan kayu industri: Hutan
Tanaman Industri (HTI) pertukangan untuk kayu-kayu keras, HTI kayu energi untuk bahan bakar dan arang,
serta HTI kayu serat kertas. Sistem ini disusun kembali tahun 1999 di bawah kebijakan desentralisasi Indonesia
dan ijun yang bisa dibuat di tingkat Kabupaten.

PERMASALAHAN

Menurut WWF ada empat ancaman besar bagi hutan Borneo: konversi tanah, penebangan ilegal, manajemen
hutan yang buruk, dan kebakaran hutan. Tambah lagi proyek industri berskala besar (jalanan, dan proyek
hidroelektris seperti dam Bakun) serta perburuan menjadi suatu ancaman, namun dalam tingkat yang lebih
rendah. Permasalahan lain adalah iklim korupsi, yang mendarah daging di segala tingkat pemerintahan di
Kalimantan. Keputusan mengenai hutan saat ini dibuat di tingkat Kabupaten, dimana sering disebutkan bahwa
petugasnya dapat dibeli dengan uang. Strategi memberikan hadiah motor sering berhasil memenangkan
pengaruh di tingkat desa.

Masalah fundamental adalah bahwa pembangunan di Borneo digerakkan oleh industri yang memproduksi
barang-barang baku -- saat ini hanya ada beberapa alternatif ekonomi. Industri-industri ini jarang sustainabel,
terutama bila hanya sedikit yang diinvestasikan ke dalam sumber daya-sumber daya manajemen jangka
panjang.

Kebakaran hutan sebagai hasil dari kegagalan pemerintah di Indonesia

(Klik)
SOLUSI

Penyebab dari penggundulan hutan di Borneo tidaklah kompleks; namun solusinya yang rumit. Setelah
penggundulan besar-besaran di daerah dataran rendah dan impor jutaan orang melalui program transmigrasi
yang dilaksanakan dengan buruk, ada beberapa pilihan ekonomi di kebanyakan Borneo. Kehilangan pekerjaan
di sektor kehutanan, banyak penduduk yang harus menghadapi dan memilih untuk menyerahkan sisa hutan
yang ada untuk kelapa sawit atau melanjutkan dengan hidup ala kadarnya. Perkebunan kelapa sawit tentu saja
menawarkan potensi ekonomi, terutama bila ditanam di lahan yang sudah gundul atau terdegradasi, namun
tetap masuk akal juga bila mendirikannya di daerah hutan alami yang mulai langka. Penjaga keamanan sosial
dibutuhkan untuk memastikan tak ada penganiayaan tenaga kerja dan rencana bagi hasil. The Roundtable on
Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah salah satu inisiatif yang berusaha menciptakan produksi minyak kelapa
yang adil dan berkelanjutan.

Konservasi juga merupakan prioritas penting di Borneo, terutama di daerah-daerah dengan Klik

keanekaragaman hayati yang selama ini telah berhasil selamat dari kebakaran dan penebangan
hutan secara intensif. Inisiatif "Jantung Borneo" akhir-akhir ini adalah contoh yang sangat baik dari apa yang
bisa dilakukan. Bagaimanapun, sangat penting bila nantinya daerah lindung ini telah didirikan, mereka dirawat.
Sejarah yang ada dari 'daerah-daerah lindung' di Kalimantan -- dimana persentase besar dari daerah yang
seharusnya dilindungi justru ditebang dan dibagi-bagikan untuk pembangunan -- adalah menyedihkan, namun
sekarang saatnya untuk bergerak lebih jauh dari itu dan merencanakan masa depan dimana daerah konservasi
benar-benar dilindungi dan penggunaan berkelanjutan dari daerah penyangga dimaksimalkan.

Selain menyiapkan daerah-daerah untuk dilindungi, sangat penting juga untuk mereboisasi hutan. Penggunaan
spesies pohon asli seharusnya didukung melalui komisi dan program edukasi. Walau usaha ini bisa
membutuhkan banyak dana, terutama di daerah yang telah sangat terdegradasi, penelitian dalam
meningkatkan teknik penghijauan kembali bisa menguranginya, terutama dengan bantuan dari pemerintah
negara-negara lain, LSM-LSM dan yayasan swasta. Lebih lanjut lagi, ada kemungkinan kuat bahwa di bawah
persetujuan iklim nantinya, reboisasi hutan ini bisa memberikan keuntungan ekonomi langsung serta juga
menstimulisasi ekonomi lokal dan memunculkan kesempatan berwiraswasta tingkat desa.

Penting untuk diketahui, bahwa beban dalam melindungi dan mereboisasi hutan di Indonesia tak seharusnya
berada di pundak Indonesia sendiri. Kebanyakan dari penebangan hutan yang telah menggundulkan lanskap
Kalimantan ini adalah akibat dari tingginya permintaan Barat di sebuah lingkungan dimana suatu
pemerintahan yg lemah dan korup menujukkan bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki pengawasan yang kuat
terhadap sumber daya nasional yg ada. Indonesia saat ini adalah negara demokrasi -- kebanyakan warga
Indonesia tidak ada hubungannya dengan barang-barang rampasan ini dan tak bisa dianggap
bertanggungjawab atas tindakan-tindakan pemerintahan klepto pada masa lalu. Indonesia, dimana lebih dari
80 juta dari 246 juta penduduknya hidup dengan kurang dari 1 USD per hari, masih harus bergelut dengan
berbagai cara untuk menyediakan pelayanan dasar pada rakyatnya, termasuk pelayanan kesehatan, edukasi,
dan infrastruktur dasar, finansial maupun fisik.

Malaysia, yang berbagi Borneo, seharusnya mengambil langkah awal dalam usaha-usaha tersebut. Dengan
ekonomi yang kuat, dipadukan dengan kekayaan nasional dan pemerintahan sentral yang kuat, Malaysia
memiliki beberapa alasan untuk tidak merajalela dalam penggundulan hutan dan mempromosikannya dengan
berkelanjutan di dalam negaranya. Di luar wilayahnya, Malaysia seharusnya mengambil inisiatif untuk
menghukum perusahaan-perusahaan yang bersalah dalam tuduhan menyulut kebakaran untuk kepentingan
membuka hutan di Kalimantan. Ini saatnya bagi pihak-pihak tersebut untuk dimintai tanggungjawab atas aksi
mereka -- lebih dari sekedar hukuman atau denda ringan.

Pendidikan
Upaya di dua bidang ini adalah kunci untuk meningkatkan taraf hidup di Borneo -- terutama Kalimantan:
pendidikan dan kesehatan. Pendidikan dasar dapat melakukan banyak hal di daerah dimana banyak anak
berusia 13 tahun tidak bersekolah. Kurikulum seharusnya mencakup beberapa informasi fundamental tentang
lingkungan sekitar dengan penekanan pada pentingnya pelayanan ekosistem yang telah disediakan oleh hutan.
Pendidikan juga penting bagi penduduk umumnya. Mengetahui kerugian yang diderita akibat penurunan
kualitas lingkungan hidup dikombinasikan dengan belajar teknik pertanian dan kesempatan di bidang ekonomi
yang disediakan oleh beberapa tanaman tertentu bisa sangat bermanfaat bagi penduduk pedesaan.

Kesehatan
Di daerah-daerah terpencil di Kalimantan, pelayanan kesehatan amat menyedihkan. Tanpa kepastian
pelayanan kesehatan yang memadai, orang-orang tidak dapat produktif, merencanakan untuk jangka panjang,
atau bahkan memberi makan keluarganya. Salah satu organisasi inovatif yang bekerja dalam kerangka masalah
kesehatan di Kalimantan adalah Health In Harmony. Bekerjasama dengan pemerintah lokal dan masyarakat
setempat, program ini sedang mengembangkan fasilitas medis untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang
berkualitas baik namun berbiaya rendah bagi masyarakat miskin; program pelatihan lingkungan dan medis
bagi penduduk lokal untuk membantu meningkatkan kemapanan; dan program pengembangan masyarakat
ramah lingkungan.

MASA DEPAN BORNEO

Ramalan mengenai luasnya hutan oleh World Bank dan United Nations Environment Programme cukup
mengecilkan hati. Proyeksi ini tak harus menjadi kenyataan. "Jantung Borneo" adalah langkah maju menuju
masa depan dimana Borneo memiliki kembali hutan-hutannya dan keanekaragaman hayatinya, namun masih
banyak yang harus dilakukan untuk memastikan kesehatan ekologis jangka panjang dari penghuni dan hutan
pulau ini.

REFERENCES

WWF Germany, Borneo: Treasure Island at Risk, June 2005 [pdf, 773 KB]

Curran L.M., personal communication, January 2007

Curran L.M., Trigg S.N., McDonald A.K., Astiani D., Hardiono Y.M., Siregar P., Caniago E. and Kasischke E.:
Lowland Forest Loss in

Protected Areas of Indonesian Borneo; Science, 13 February 2004; VOL303: 1000-1003


Davis W., Mackenzie I., Kennedy S.: Nomads of the Dawn, Pomegranate Artbooks, 1995

Environmental Investigation Agency (EIA) and Telapak: Timber Traffickers: How Malaysia and Singapore are
reaping a profit from the illegal destruction of Indonesias tropical forests; May 2003

Environmental Investigation Agency 2004, Profiting from Plunder: How Malaysia Smuggles Endangered
Wood, http://www.eia-international.org...pdf

Fuller D.O, Jessup T.C and Salim, A.: Loss of Forest Cover in Kalimantan, Indonesia, since the 1997-1998 El
Nio. Conservation Biology, pp.249-254 Volume 18, No1, February 2004

Global Forest Watch, Global Forest Watch Indonesia, World Resources Institute: The State of the Forest,
Indonesia, 2002

Government of Sabah: http://www.sabah.gov.mv

Government of Sarawak: http://www.sarawak.gov.mv

Holmes, D.A.: Indonesia - Where have all the forests gone? Environment and Social Development East Asia
and Pacific Region. World

Bank Discussion Paper. Written 2000, published June 2002 Protected Animals Smuggling Reaches $547.5m
Annually; Jakarta Post: 28/3/2003

Langner A. and Siegert F.: Assessment of Rainforest Ecosystems in Borneo using MODIS satellite imagery.
Remote Sensing Solutions GmbH & GeoBio Center of Ludwig-Maximilians-University Munich, in preparation,
June 2005

MacKinnon K., Hatta G., Halim H. and Mangalik A.: The Ecology of Kalimantan; Oxford University Press, 1997

Sabah Forestry Department: Forests Resource in Sabah;


http://www.sabah.gov.my/htan/data_1/a_toppage_main/frames.htm accessed February 2, 2007

Sarawak Forest Department: Permanent Forests Estate


http://www.forestry.sarawak.gov.my/forweb/sfm/pfe.htm accessed February 2, 2007

Stibig H.J. and Malingreau J.P.: Forest Cover of Insular Southeast Asia Mapped from Recent Satellite Images
of Coarse Spatial Resolution; Ambio Vol. 32 No 7, Nov. 2003, Royal Swedish Academy of Sciences, 2003

The World Bank: Indonesia: Environment and Natural Resource Management in a Time of Transition,
February 2001

UNEP World Conservation Monitoring Centre: http://www.wcmc.org accessed February 2, 2007

WWF: Borneo's Lost World: Newly Discovered Species on Borneo; written by Pio D. and D'Cruz R. (ed) for
WWF, April 2005

The World Bank Group: Transmigration in Indonesia: worldbank.org 1994, accessed Jan 27, 2007

Anda mungkin juga menyukai