Anda di halaman 1dari 7

Apresiasi Sastra

Oleh : Usman Nurdiansyah dan Mustafa Reza

Paper ini disusun dari skripsi salah satu


pemateri hari ini. Jadi, untuk menjaga perasaan
beliau tolong baca paper ini sebaik dan sebijak
mungkin. Jangan tanya siapa dan kenapa. Baca
saja.
Apresiasi berasal dari bahasa latin
apresiation yang berarti mengindahkan atau
menghargai. Effendi dalam Aminuddin (1995:35)
berpendapat bahwa apresiasi sastra adalah
kegiatan menggauli karya sastra secara
bersungguh-sungguh sehingga menumbuhkan
pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis,
dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya
sastra. Demikian pula pendapat Tarigan
(1993:233) yang menyatakan bahwa apresiasi
sastra adalah penaksiran kualitas karya sastra, serta
pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan
pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar,
serta kritis.
Adapun Panuti (Nadeak, 1985:45) yang
berpendapat bahwa apresiasi sastra adalah
penghargaan terhadap karya sastra yang
didasarkan pada pemahaman.
Dalam memahami arti apresiasi, perlu
diketahui bahwa apresiasi merupakan tindakan
pembaca yang memiliki tingkatan. Pada apresiasi
tingkat permulaan masih terlibat keadaan pribadi,
sedang pada perkembangannya yang lebih
tinggi kemampuan intelektual mengatasi
keterlibatan emosional itu.
Tahan dulu! silakan atur nafas. Bagi anda
yang sudah membaca sampai tahap ini, silakan
berdiri dan sebutkan nama anda. Jadi saya bisa
tahu siapa yang membaca dan siapa yang tidak.
Sudah? Silakan lanjutkan membaca.
Apresiasi tingkat pertama terjadi apabila
seseorang mengalami pengalaman yang ada
dalam sebuah karya. Ia terlibat secara
intelektual, emosional, dan imajinatif dengan karya
itu. Dalam peristiwa seperti itu, pikiran, perasaan
dan khayal seseorang melakukan kegiatan
sesuai dengan yang diinginkan oleh pencipta karya
itu.
Apresiasi tingkat kedua terjadi apabila
adanya intelektual pembaca bekerja lebih giat
(Hayward, 1958:51). Pada tingkat ini pembaca
mulai bertanya pada dirinya sendiri tentang makna
pengalaman yang didapatnya dari karya sastra itu.
Ia mulai bertanya, pesan apakah yang hendak
disampaikan oleh pengarang. Implikasi apa yang
dapat digali dari alur cerita dan penggambaran
tokoh cerita. Pembaca pada apresiasi tingkat ini
akan mampu memperoleh pengalaman yang lebih
dalam dan kenikmatan yang lebih tinggi berkat
kemampuan intelektualnya yang ditopang oleh
penguasaan pengertian teknis. Karena sumber
kenikmatan atau nilai yang diperoleh pembaca itu
tersimpul dalam karya itu sendiri dan bukan
diluarnya, maka nilai yang diperoleh pembaca pada
apresiasi tingkat ini adalah nilai intrinsik sastra.
Pada tingkat selanjutnya, pembaca menyadari
bahwa suatu karya sastra adalah gejala yang
bersifat historis. Karya sastra diciptakan tidak
terlepas dari faktor waktu dan tempat, bahkan
merupakan ungkapan dari jalinan pengaruh faktor
itu yang berlaku terhadap jiwa dan kepribadian
sastrawan. Maka pada tingkat ini, tidak mustahil
membaca mencoba menelaah karya sastra itu
dengan memperhitungkan faktor filosofis,
sosiologis, politisi, ekonomis, dan lain-lain, yang
berlaku pada saat proses penciptaan karya sastra
itu. Asal tetap berdasar pada apresiasi tingkat
pertama dan kedua, apresiasi tingkat ini akan
merupakan apresiasi yang lebih tinggi, yang
dapat memperluas kesadaran pembaca, dan
memperkaya jiwanya, serta memberikan kenikmatan
yang lebih besar.
Bagaiaman? Bosan? Tentu. Saya rasa materi
apresiasi ini tidak bisa melulu disampaikan lewat
teks. Jadi, mari kita mencoba memahami lebih
dalam bagaimana mengapresiasi suatu karya sastra
dengan praktik.
Bababa
Ba ba ba ba
Ra mu ra mu
Gi gi gi
Laung ugal ram
Barakak barakak
Laikratum bababadam
Bababa
Bi bi bi bi
La la la la
Kik kik kik
Ku ku lamba
Ba
Diam

Aku mencintaimu
Di Ruang Tunggu
Moh. Wan Anwar

kita duduk berdua saja


kau tamu, aku tamu juga di sini
ke mana tuan rumah, tanyamu

lantas kita pun berkenalan


lewat bahasa yang tak kumengerti
meski aku paham isyarat sorot mata
dan kulit muka yang kelabu

kita sama-sama menatap ke luar jendela


di sana kemiskinan gemetar membuka taring-taringnya
kabut mencium kota. Kaca tiba-tiba basah

tapi tak ada Marx dan Engels di sini, katamu


ya, tak ada para buruh yang diramalkan itu

Bandung, 1993

Anda mungkin juga menyukai