Anda di halaman 1dari 7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus Tipe 2


DMT2 merupakan suatu sindrom gangguan metabolisme yang ditandai
dengan kondisi hiperglikemi yang dapat disebabkan oleh defisiensi insulin absolut
dari sekresi insulin (insulin tidak adekuat) atau reduksi efektivitas biologis dari
insulin (resistensi insulin) ataupun keduanya. (Masharani, U dan German, 2011;
ADA, 2015).
Faktor risiko bagi seseorang untuk menderita DMT2 antara dipengaruhi oleh
faktor genetik dan faktor lingkungan. Berdasarkan faktor genetik terlihat angka
kejadian DMT2 pada saudara kembar berkisar antara 70%-90%. Individu dengan
kedua orang tua yang mengalami DMT2 memiliki resiko sebesar 40% (Powers, 2015)
Faktor lingkungan yang berperan menyebabkan DMT2 seperti Indeks Massa Tubuh
(IMT) 23 kg/m2, aktivitas fisik yang kurang, usia 40 tahun tanpa disertai faktor
resiko, kelompok ras/etnis tertentu (Afrika Amerika, Latin, Amerika Asli, Asia
Amerika, dan Kepulauan Pasifik), riwayat Gestasional DMT2 (GDM) atau pernah
melahirkan bayi dengan berat 4 kg, hipertensi (dengan tekanan darah 140/90
mmHg), kadar kolesterol HDL < 35 mg/dl (0.90 mmol/L) atau kadar trigliserida >
250 mg/dl (2.82 mmol/L), wanita dengan riwayat memiliki polycystic ovary
syndrome, acanthosis nigricans, obesitas berat, dan riwayat dengan penyakit
kardiovaskular (PERKENI,2015; ADA, 2015; Anand, 2012).
Insulin resisten pada otot dan hati dan sekresi insulin yang abnormal akibat
kegagalan sel merupakan penyebab terjadinya perkembangan DMT2. Beberapa
penelitian menyebutkan jika insulin resisten mengawali terjadinya defek sekresi
insulin yang progresif. (Masharani, U dan German, 2011). Pada fase awal DMT2,
glukosa toleran masih berada dalam batas mendekati normal walaupun terjadi insulin
resisten. Hal ini terjadi karena sel pankreas mengkompensasi keadaan ini dengan
meningkatkan sekresi insulin. Seiring perjalanan penyakit, sel pankreas pada
individu kemudian tidak mampu untuk mengatasi keadaan hiperinsulinemia, keadaan

6
7

ini kemudian menyebabkan peningkatan glukosa post prandial atau yang disebut
Impaired Glucose Tolerance (IGT) (Powers, 2015). Gangguan sekresi insulin bersifat
progresif, dan progresifitasnya melibatkan toksisitas glukosa dan lipotoksisitas, jika
tidak ditangani menyebabkan penurunan massa sel pankreas yang pada akhirnya
menyebabkan peningkatan gula darah secara permanen (Kaku, 2010).
Kecurigaan adanya DMT2 perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan gejala
klinis yang klasik berupa poliuria, polidipsia, polifagia, nocturia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, dan keluhan lain dapat berupa lemah
badan, kesemutan, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada
wanita, dan hipertensi (PERKENI, 2015).
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah,
dengan pemeriksaan yang dianjurkan yaitu pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan plasma darah vena. Kriteria diagnosis DMT2 yaitu (ADA, 2015;
PERKENI, 2015):
1. Glukosa plasma puasa puasa 126 mg/dL ( 7.0 mmol/L) atau;
2. Kadar glukosa darah 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) 200 mg/dl
( 11,1 mmol/L) atau;
3. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL ( 11,1 mmol/L) atau;
4. Kadar HBA1c 6,5%
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok kelompok pre-DMT2 yang meliputi Toleransi
Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) tergantung
hasil yang diperoleh.
TGT: glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl.
GDPT: glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl.
DMT2 dapat dibagi menjadi 5 tahapan klinis seperti yang tertera di dalam
Tabel 2.1 (Wu, 2015).
Tabel 2.1. Tahapan DMT2
Tahapan Analisis Glukosa Manifestasi Klinis Tujuan Intevensi
8

Darah dan Insulin


Tahap I GDP100-125 mg/dL Dengan atau tanpa Intervensi umum
Prediabetes (5,6-6,9 mM) penyakit lain seperti (edukasi, terapi
[GDPT], hipertensi, nutrisi, olahraga,
2-hPP dengan TTGO dislipidemia, dan monitor dan kontrol
140-199 mg/dL (7,8- kelebihan berat badan. kadar glikemik) dan
11,0 mM) [TGT], pengobatan gejala
HbA1C 5,7-6,4% penyerta
Tahap II HbA1c 6,5% , Dengan atau tanpa Intervensi umum,
DMT2 GDP 126 mg/dL keluhan gejala klasik pengobatan penyakit
tanpa (7,0 mM), hiperglikemia atau lain, obat
Komplikasi 2-hPP dengan TTGO tanda dari resistensi hipoglikemik oral,
200 mg/dL (11,1 insulin atau insulin
mM),
GDS 200 mg/dL
(11,1 mM) pada
pasien dengan
keluhan gejala klasik
hiperglikemi atau
krisis glikemi
Tahap III Hiperglikemia Mikroalbuminuria, Kontrol glikemi dan
DMT2 dan/atau kadar diabetes retinopati penundaan
dengan plasma insulin puasa (mikroaneurisma, dan komplikasi DMT2
Komplikasi atau pro insulin atau pendarahan ringan) Intervensi umum,
Ringan C-peptide yang tinggi pengobatan penyakit
atau normal yang lainnya,
monitor komplikasi,
obat hipoglikemik
oral atau insulin,
9

ACE inhibitor, dan


ARBs. Mencegah
dan/atau menunda
terjadinya onset
munculnya DMT2
nefropati
Tahap IV Hiperglikemi dengan Komplikasi ringan Kontrol glikemik,
DMT2 defisiensi insulin hingga sedang (seperti pengobatan untuk
dengan absolut yang ditandai diabetik nefropati tanpa penyakit lain,
defisiensi dengan tanda klinis gagal ginjal, diabetik pengawasan
insulin atau hasil retinopati tanpa komplikasi, obat
absolut laboratorium. Kadar diabetik retinopati yang hipoglikemik oral,
plasma insulin puasa berproliferasi (termasuk insulin
atau pro insulin, atau oral dan injeksi)
C-peptide lebih
rendah daripada
normal, atau kadar 2
jam plasma insulin
atau pro insulin, atau
C-peptide selama
TTGO, 5 kali kadar
plasma insulin puasa
atau pro insulin, atau
C-peptide selama
TTGO
Tahap V Hiperglikemi Krisis hiperglikemi: Kontrol glikemik
DMT2 dan/atau kadar DMT2 ketoasidosis, dan
dengan plasma insulin puasa keadaan hiperglikemik penundaan/pengobat
Komplikasi atau pro insulin, atau hiperosmolar. an untuk komplikasi
10

Serius C-peptide tinggi, Mikrovaskular : diabetes. Intervensi


rendah, atau normal retinopati umum, obat
(neovaskularisasi, hipoglikemi oral,
pendarahan vitreus dan insulin
atau pre retinal),
neuropati (sensoris,
termasuk riwayat luka
di kaki dan saraf
otonom termasuk di
dalamnya disfungsi
seksual dan
gastroparesis),
kardiomiopati
makrovaskular :
penyakit jantung
koroner, penyakit,
cerebrovaskular,
penyakit arteri perifer,
amputasi dan kaki
diabetes
Definisi DMT2 yang terkendali baik adalah apabila kadar glukosa darah,
kadar lipid, HbA1c mencapai kadar yang diharapkan, serta status gizi dan tekanan
darah sesuai target yang ditentukan. Kriteria keberhasilan pengendalian DMT2 antara
lain (PERKENI, 2015):
1. IMT : 18,5 - < 23 (kg/m2)
2. Tekanan darah : < 140/90 mmHg
3. GDP : 80-130 mg/dl, GD2hPP : < 180 mg/dl, HbA1c : < 7 %
4. Kolesterol Low Density Lipid (LDL) : < 100 mg/dl (< 70 mg/dl bila resiko
kardiovaskular sangat tinggi)
11

5. Kolesterol High Density Lipid (HDL) : laki-laki : > 40 mg/dl ; perempuan : >
50 mg/dl
6. Trigliserida : < 150 mg/dl

2.2 Pola Makan


2.2.1 Pola Makan yang Sesuai untuk Penderita DMT2
2.2.2 Gambaran Pola Makan dengan Semi Kualitatif FFQ
2.2.3 Gambaran Pola Makan dengan 24 hour food recall

2.3.Aktivitas Fisik
Menurut Fatimah (2011) dalam Ryoto (2012) aktivitas fisik adalah pergerakan
tubuh akibat aktivitas otot-otot skelet yang mengakibatkan pengeluaran energi.
Kegiatan fisik sangat mempengaruhi semua komponen kesegaran jasmani yang di
dalamnya termasuk kekuatan otot (Ryoto, 2012). Menurut Baecke (1982) terdapat
tiga aspek yang dapat menggambarkan tingkat aktivitas fisik seseorang yaitu
pekerjaan, olahraga, dan kegiatan waktu luang. Aktivitas fisik yang teratur
memberikan efek positif terhadap sistem muskuloskeletal, kardiovaskular, respiratori,
dan endokrin. Salah satu metode yang digunakan untuk mengukur tingkat aktivitas
fisik adalah dengan metode Baecke (Baecke dkk., 1982). Untuk aktivitas fisik yang
diukur adalah indeks pekerjaan, indeks oleh raga, dan indeks waktu luang (cara
pengukuran pada lampiran 3).

2.4.Status Gizi Commented [U1]: Kak ongky cai pengertian status gizi ya, ntr
gabung sama IMT yang dibawahnya
Status gizi adalah
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah cara untuk menggambarkan berat badan
dalam hubungannya dengan tinggi badan. IMT dihitung dengan berat badan (kg)
dibagi kuadrat tinggi badan (m2). IMT pada umumnya akan terus meningkat sesuai
usia. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan lemak tubuh dan penurunan tinggi
badan, massa otot, kifosis, osteoporosis dan perubahan morfologi kolumna vetebralis.
12

IMT biasa digunakan untuk menentukan status gizi individu (Ryoto, 2012). Pada
orang Asia, IMT diklasifikasikan seperti pada Tabel 2.2 (WHO, 2004).
Tabel 2.2 Klasifikasi IMT pada orang Asia
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Underweight <18,5
Normal 18,5-22,9
Overweight 23,0-24,9
Obesitas I 25,0-29,9
Obesitas II >30

2.5.Status Gizi pada Penderita DMT2

Anda mungkin juga menyukai