Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

Pasien Dengan Post Divided Colostomy Dan Post PSARP Et Causa Malformasi
Anorektal Letak Tinggi Tanpa Fistel Dengan Hirschsprung Disease

Oleh :
Endra Ramadhan

Pembimbing :
Prof. Dr. dr. Farid Nur Mantu, Sp.B,SP.BA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PENYAKIT HIRSCHSPRUNG

PASIEN DENGAN POST DIVIDED COLOSTOMY dan POST PSARP ET CAUSA


MALFORMASI ANOREKTAL LETAK TINGGI TANPA FISTEL DENGAN HIRSCHSPRUNG
DISEASE

Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar

ABSTRAK

Latar Belakang : Hubungan antara hirschsprung disease dengan malformasi anorektal sangat
jarang terjadi. Insiden Hirschsprung Disease dengan malformasi anorektal yang telah
dilaporkan sekitar 2,3 sampai 3,4% pada semua kasus malformasi anorektal.

Kasus : Anak umur 5 tahun dengan diagnosis MAR letak tinggi tanpa fistel yang telah
dilakukan operasi divided colostomy dan posterior sagital anorectoplasty (PSARP).
Direncakan untuk dilakukan anastomosis namun didapatkan gambaran mikrokolon descenden
dengan dilatasi rectum pada distal loopografi sehingga diputuskan untuk melakukan reseksi
pada colon descenden. Dari hasil pemeriksaan Patologi Anatomi didapatkan hasil sediaan
mengandung sel-sel ganglion sehingga pada pasien dilakukan distal loopografi ulang 2 bulan
setelah reseksi mikrokolon dengan hasil distal loopografi normal. Kemudian dilakukan
operasi reanastomosis dengan bishop prosedur dan intraoperatif didapatkan temuan cacing
ascaris mulai dari jejenum hingga kolon transversum.

Diskusi : Hubungan antara hirschsprung dan malformasi anorektal masih belum jelas.
penegakan diagnosis hirschsprung disease seringkali terlambat karena diagnosis awalnya
adalah malformasi anorektal dan biasanya terjadi disfungsi bagian proximal kolostomi dari
usus yang aganglionik sehingga pada kasus ini diperlukan biopsi pada bagian proximal
stoma.

Kata Kunci : Hirshsprung Disease, Malformasi Anorektal, PSARP


LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Muh. Aswad
Umur : 5 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
MRS : 11 Agustus 2017
Ruang Perawatan : Lontara 2 Atas Depan Kmr. 12 Bed 6
RM : 582349

II.ANAMNESIS
Keluhan Utama : Tidak ada lubang anus
Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak pasien lahir. Menurut ibunya, saat lahir anaknya tidak memilki lubang anus
dan perutnya semakin membesar. tidak ada riwayat buang air kecil bercampur dengan feces
Saat ini pasien tidak demam, tidak ada muntah, tidak ada batuk. Pasien memiliki nafsu makan
yang menurun dan berat badan yang tidak bertambah disertai anak mudah lelah dan lemas.
Riwayat keluar cacing dari hidung sekitar 8 bulan yang lalu . Pasien riwayat operasi
pembuatan colostomy pada tanggal 6-12-2012. Riwayat operasi pembuatan anus pada tanggal
26-08-2013. Riwayat operasi redo PSARP karena anus yg dibuat menyempit. Riwayat
operasi redo PSARP lagi pada tanggal 24-10-2016 karena anus yang dibuat menyempit.
Operasi terakhir pada tanggal 26-05-2017 dilakukan reseksi colon ascenden karena
microcolon descenden.
Riwayat kehamilan : Ibu rajin kontrol (4 kali) di bidan, mendapat suntikan TT 2 kali,
mendapat vitamin dan penambah darah, selama hamil ibu mual dan muntah-muntah sampai
trimester I kehamilan, riwayat minum obat-obatan dan jamu-jamuan tidak ada.
Riwayat persalinan : Bayi lahir secara spontan di rumah, ditolong oleh bidan, segera
menangis, ketuban jernih serta mendapat injeksi vitamin K. Berat badan bayi saat lahir 3000
gr.
III.PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis : Sakit sedang/ gizi kurang/ sadar (BB: 13 kg, TB: 110 cm, 50 percentile)

Status vitalis :

Tekanan Darah : 90/60 mmHg


Heart Rate : 98 kali/ menit
Pernapasan : 24 kali/ menit (irregular)
Suhu (aksila) : 36,8 C

Status Lokalis

Regio Abdomen

Inspeksi : datar , ikut gerak napas, tidak terdapat darm contour dan darm
steifung, tidak hiperemis, tampak colostomy divided dengan stoma
proximal pada lateral kesan viable dengan produksi feces ada dan
stoma distal pada medial kesan viable

Auskultasi : Peristaltik ada kesan normal

Palpasi : Tidak ada defans , tidak teraba massa tumor, tidak ada nyeri tekan

Perkusi : Timpani, nyeri ketok tidak ada

Status Regionalis

Kepala
Rambut : hitam, lurus dan sukar dicabut
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : rhinorrhea tidak ada, epistaksis tidak ada
Bibir : sianosis tidak ada

Leher
Regio colli anterior :
Inspeksi : Tidak tampak massa tumor
Palpasi : Tidak teraba massa tumor, nyeri tekan tidak ada

Regio colli posterior :


Inspeksi : Tidak tampak massa tumor
Palpasi : Tidak teraba massa tumor, nyeri tekan tidak ada

Thoraks
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding thorax simetris kiri dan kanan, pernapasan tipe
thorakoabdominal, frekuensi 40x/menit
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak ada, sensasi raba dan nyeri sama
pada seluruh lapangan toraks
Perkusi : sonor
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikular, tidak ada bunyi tambahan

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas kanan jantung linea parasternalis dextra, batas kiri
jantung linea midclavicularis sinistra, batas atas ICS II sinistra, batas bawah
ICS V sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II, murni regular, bising tidak ada

Ekstremitas
a. Ekstremitas superior dekstra et sinistra
Inspeksi : Simetris, warna kulit sama dengan sekitarnya, tidak tampak jejas dan edema
tidak ada.
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada
ROM : Dalam batas normal
NVD : Arteri radialis kiri dan kanan teraba, sensibilitas dalam batas normal, dan
capillary refill time kurang dari 2 detik
b. Ekstremitas inferior dekstra et sinistra
Inspeksi : Warna kulit sama dengan sekitarnya, tidak tampak jejas dan edema tidak ada
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada
ROM : Dalam batas normal
NVD : Arteri dorsalis kiri dan kanan teraba, sensibilitas dalam batas normal, dan
capillary refill time kurang dari 2 detik
IV. FOTO KLINIS

V.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (14/08/2017)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

3
WBC 11,10x 10 /L 4,00-10,00
6
RBC 4,97 x 10 /L 4,00-6,00

Hb 12,3 gr/dL 15,0-23,5


PLT 360/L 150-400
HCT 38% 37,0-48,0
GDS 104 mg/dL < 140
Ureum 41 mg/dL 10-50
Kreatinin 0,9 mg/dL <1,1
SGOT 37 /L < 38
SGPT 16 /L < 41
Na 143 mmol/L 136-145
K 4,9 mmol/L 3,5-5,1
Cl 107 mmol/L 97-111
PT 10,2 4-10
APTT 38,9 1-7

Foto Radiologi
Foto Thorax AP (06/08/2017)

Kesan :
Tidak tampak kelainan pada foto thorax ini
Cor dan pulmo normal
Distal Loopografi (16/05/2017)

Kontras barium sebanyak 70 cc dimasukkan melalui kateter yang terpasang di


anus
Dengan fluoroscope tampak kontras memasuki rektum, kolon sigmoid, kolon
descenden
Tampak kaliber kolon descenden mengecil
Kaliber lumen lainnya, dan haustra dalam batas normal
Tidak tampak filling defect maupun additional shadow.
Kesan :
Mikrocolon Descenden
Distal Loopografi (16/05/2017)

Kontras iodine sebanyak 120 cc dimasukkan melalui kateter yang terpasang


pada stoma distal

Dengan fluoroscopy, tampak kontras mengisi kolon descenden, kolon


sigmoid dan rectum kemudian kontras keluar melalui anus.

Tidak tampak fistula

Kaliber lumen, haustrasi, dan mukosa dalam batas normal

Tidak tampak filling defect dan additional shadow.

Kesan :

Foto distal loopografi dalam batas normal


Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi (30/05/2017)

V. RESUME
Seorang anak laki-laki berumur 5 tahun masuk RS Wahidin Sudirohusodo pada
tanggal 11 Agustus 2017 dengan keluhan riwayat tidak ada lubang anus sejak lahir dan telah
dilakukan operasi colostomy. Dialami sejak pasien lahir. Menurut ibunya, saat lahir anaknya
tidak memilki lubang anus dan perutnya semakin membesar. tidak ada riwayat buang air kecil
bercampur dengan feces Saat ini pasien tidak demam, tidak ada muntah, tidak ada batuk.
Pasien memiliki nafsu makan yang menurun dan berat badan yang tidak bertambah disertai
anak mudah lelah dan lemas. Riwayat keluar cacing dari hidung sekitar 8 bulan yang lalu .
Pasien riwayat operasi pembuatan colostomy pada tanggal 6-12-2012. Riwayat operasi
pembuatan anus pada tanggal 26-08-2013. Riwayat operasi redo PSARP karena anus yg
dibuat menyempit. Riwayat operasi redo PSARP lagi pada tanggal 24-10-2016 karena anus
yang dibuat menyempit. Operasi terakhir pada tanggal 26-05-2017 direncanakan untuk
reanastomosis colon namun didapatkan kelainan pada colon descenden yaitu mikrokolon
sehingga dipustuskan untuk dilakukan reseksi colon ascenden.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan keadaan sakit sedang, gizi kurang
dan compos mentis. Pada pemeriksaan status vitalis didapatkan dengan tekanan darah 90/60
mmHg heart rate 98 kali per menit, pernapasan 24 kali per menit, suhu tubuh (aksila) 36,8
o
C. Bentuk kepala normocephal. Sklera tidak ikterus. Konjungtiva tidak anemis. Bibir tidak
sianosis. Pupil bulat isokor, reflex cahaya langsung dan tidak langsung positif. Pada
pemeriksaan leher, thoraks, jantung, dan ekstremitas tidak ditemukan kelainan. Pada
abdomen, datar , ikut gerak napas, tidak terdapat darm contour dan darm steifung, tidak
hiperemis, tampak colostomy divided dengan stoma proximal pada lateral kesan viable
dengan produksi feces ada dan stoma distal pada medial kesan viable, Peristaltik ada kesan
normal, Tidak ada defans , tidak teraba massa tumor, tidak ada nyeri tekan, timpani

Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 14 Agustus 2017, diperoleh nilai


hemogblobin 12,3 g/dL, hematokrit 38 %, trombosit 360.000/L, leukosit 11.900/L,
eritrosit 4,97 x 106/L. Didapatkan ureum 41, kreatinin 0,39, SGOT 37, SGPT 16, HbSAg
non reaktif, anti HCV non reaktif. Pada pemeriksaan foto thorax tanggal 6 Juli 2017
didapatkan kesan Cor dan pulmo dalam batas normal.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang di atas, pasien
dapat didiagnosis dengan Post Divided Colostomy Et Causa Malformasi Anorektal Letak
Tinggi tanpa Fistel dengan Suspek Hirschsprung Disease.

VI. DIAGNOSIS
Post Divided Colostomy Et Causa Malformasi Anorektal Letak Tinggi tanpa Fistel dengan
Suspek Hirschsprung Disease.

VI. PENATALAKSANAAN
Non-operatif
- Pemberian antibiotic
- Rawat Stoma
Operatif
Tindakan Reanastomosis Dengan Bishop Procedure
Prosedur Operasi
1. Pasien berbaring dalam posisi supine dibawah pengaruh general anestesi
2. Dilakukan desinfeksi dan drapping procedure
3. Insisi Kulit disamping stoma proximal perdalam sampai peritoneum
4. Buka peritoneum bebaskan stoma proximal dari perlengketan dan reseksi ujung stoma
5. Dilakukan eksplorasi, tampak cacing ascaris pada jejenum hingga colon transversum,
diputuskan untuk evakuasi cacing ascaris.
6. Identifikasi stoma distal bebaskan dari perlengketan
7. Dilanjutkan dengan bishop procedure end proximal to side distal
8. Kontrol perdarahan, cuci rongga abdomen dengan NaCl 0,9%
9. Pasang 1 buah drain, jahit luka operasi lapis demi lapis
10. Operasi selesai
DISKUSI

I. Anatomi Anorektal

Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3
bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal
terletak dirongga abdomen dan relatif mobile.Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum
reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior.Saluran anal (anal
canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang
lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang
mengatur pasase isi rektum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas,
medial dan depan .

Gambar 1. Diagram rektum dan saluran anal

Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan medialis


(a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh a.uterina) yang
merupakan cabang dari a.mesenterika inferior.Sedangkan arteri hemorrhoidalis inferior adalah
cabang dari a.pudendalis interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal
dan daerah anus.
Gambar 2. Pendarahan anorektal

Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis
(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf parasimpatis
(n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus.Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk
pleksus rektalis.Sedangkan muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4.Nervus
pudendalis mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis.Syaraf simpatis tidak
mempengaruhi otot rektum.Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus
(parasimpatis).Walhasil, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan
n.splanknikus pelvik (syaraf parasimpatis). Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus
terdiri dari 3 pleksus :

1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal

2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler

3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.

Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut.
Gambar 3. Innervasi daerah perineum (laki-laki)

II. Fisiologi Saluran Anal

Pubo-rectal sling dan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawab atas penutupan
saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat, akan menimbulkan regangan pada
sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan peristaltik tersebut ( seperti mencegah flatus )
maka diperlukan kontraksi spinkter eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and
sling dapat membedakan antara gas, benda padat, benda cair, maupun gabungan, serta dapat
mengeluarkan salah satu tanpa mengeluarkan yang lain.

Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.Kontinensia


adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada wakru dan tempat yang
diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks, namun dapat
dikelompokkan atas 4 tahapan:

a. Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke
rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari) serta
refleks gastrokolik.
b. Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex, yakni
upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna secara
involunter.
c. Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter.
Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat kegagalan
kontraksi spinkter itu sendiri.
d. Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara
volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga defekasi
dapat terjadi.

Gambar 4. Skema syaraf autonom intrinsik usus

III. Epidemiologi

Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara
5000 kelahiran hidup.Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah
laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada
penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat
ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki
angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%).
Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks
vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria mencapai 1/3 dari jumlah seluruh
kasus.

IV. Patofisiologi

Pada penyakit ini, kolon mulai dari yang paling distal sampai pada bagian usus yang
berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion parasimpatik intramural. Bagian
kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu.
Akibat gangguan defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang
tertimbun, membentuk megakolon.
Pleksus mesenterik (Auerbach) dan pleksus submukosal (Meissner) tidak ditemukan,
menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan funsi lainnya. Mekanisme akurat mengenai
perkembangan penyakit ini tidak diketahui. Sel ganglion enteric berasal dari diferensiasi sel
neuroblast. Selama perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada
minggu ke 7 usia gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi.
Kemungkinan salah satu etiologi Hirschsprung adalah adanya defek pada migrasi sel
neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi neuroblast yang normal
dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast dalam bertahan, berpoliferase, atau
berdiferensiasi pada segmen aganglionik distal. Distribusi komponen pada usus yang
aganglionik adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan faktor
neurotrophic.
Sebagai tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon anganglionik menunjukkan
bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan elektrofisiologi, hal ini
menunjukkan adanya kelainan myogenik pada perkembangan penyakit Hirschsprung.
Kelainan pada sel Cajal, sel pacemaker yang menghubungkan antara saraf enteric dan otot
polos usus, juga telah dipostulat menjadi factor penting yang berkontribusi. Terhadap tiga
pleksus neuronal yang menginnervasi usus, Ketiga pleksus neuronal yang menginnervasi
usus, pleksus submukosal (Meissner), Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mucosal.
Ketiga pleksus ini terintegrasi dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk
absorbs, sekresi, motilitas, dan aliran darah.

Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsic. Ganglia ini
mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi mendominasi. Fungsi
usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali ekstrinsik utamanya melalui serat
kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik ini menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergic
menyebabkan inhibisi. Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak
ditemukan sehingga control intrinsic menurun, menyebabkan peningkatan control persarafan
ekstrinsik. Innervasi dari system adrenergik diduga mendominasi system kolinergik,
mengakibatkan peningkatan tonus otot polos usus. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsic,
peningkatan tonus tidak diimbangi dan mengakibatkan ketidak seimbangan kontraktilitas otot
polos, peristaltic yang tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fungsional.

Klasifikasi keadaan anganlianik dapat dibedakan menjadi segmen sangat pendek (sekitar
2 cm dari garis mukokutan). Segmen pendek (aganglionik sepanjang netosigmoid), segmen
panjang bila aganglianik sepanjang rectum ke udon transversum, segmen total sepanjang
nektum ke sekan dan segmen universal bila aging lionik mencakup hampir seluruh usus.

V. Klasifikasi
Hirschprung Disease diklasifikasikan berdasarkan keluasan segmen
agangliosinosisnya, yaitu:
1. Hirschprung disesase (HD) klasik (75%), segmen aganglionik tidak melewati bagian
atas segmen sigmoid.
2. Long segment HD (20%)
3. Total colonic aganglionosis (3-12%)

Beberapa lainnya terjadinya jarang, yaitu:


1. Total intestinal aganglionosis
2. Ultra-short-segment HD (melibatkan rektum distal dibawah lantai pelvis dan anus.

VI. Gambaran Klinis

Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala
klinis mulai terlihat:

a. Periode Neonatal.
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang
terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.Pengeluaran mekonium yang terlambat
(lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans.Muntah hijau
dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat
dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang
serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia
kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai
pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk
dan disertai demam.

b. Anak.
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan
gizi buruk (failure to thrive).Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding
abdomen.Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.Penderita biasanya
buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk
defekasi.

VII. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit


Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak
rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan
yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema,
dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah
dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung,
maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium
dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feces kearah proksimal kolon.Sedangkan pada penderita yang bukan
Hirschsprung tetapi disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di
daerah rektum dan sigmoid.
Gambar 5.Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum
yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang
melebar.

VIII. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion


pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan
terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan
akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase,
suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan
pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin.

Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi


seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik.Secara
tekhnis, metode ini sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan
inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif. Noblett
tahun 1969 mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan menggunakan alat khusus, untuk
mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus
Meissner.
Gambar 6. Gambaran histopatologi Hirschprung

IX. Manometri anorektal

Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari


fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam
prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis
dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser
yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat
seperti poligraph atau komputer.
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah:
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik;
3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah
distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan

X. Diagnosis Banding
Diagnosis banding kelainan ini antara lain mekonium ileus akibat penyakit fibrokistik,
atresia ileum, atresia rekti, malrotasi, duplikasi intestinal dan sindrom pseudo obstruksi
intestinal. Puri (1997) menyatakan banyak kelainan-kelainan yang menyerupai penyakit
Hirschsprung akan tetapi pada pemeriksaan patologi anatomi ternyata didapatkan sel-sel
ganglion. Kelainan-kelainan tersebut antara lain Intestinal neuronal dysplasia,
Hypoganglionosis, Immature ganglia, Absence of argyrophyl plexus, Internal sphincter
achalasia dan kelainan-kelainan otot polos (Puri, 1997).

XI. Penatalaksanaan

Tindakan Bedah

a. Tindakan Bedah Sementara


Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa
kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.Tindakan ini
dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai
salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah : menurunkan
angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber
usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan
anastomose.

b. Tindakan Bedah Definitif


1. Prosedur Swenson
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan
operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada
penyakit Hirschsprung.Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah
rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani.Dengan meninggalkan 2-3 cm
rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah
aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai
spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode
operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu
dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum.
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan
biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan
cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum
diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi
terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya
telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal.
Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian
anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose
end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose
dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose
selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan
reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.

2. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan
diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik
kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum
yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan
dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga
baru dengan anastomose end to side.
3. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959
untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi.Namun oleh Soave
tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.Tujuan
utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang
aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk
kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.

4. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan
anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot
levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang
dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting
melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis (Swenson dkk,1990).

5. Prosedur Miomektomi Anorektal


Pada pasien-pasien dengan penyakit Hirschsprung segmen ultra pendek,
pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior rektum dapat
dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal, dimana dengan lebar 1
cm satu strip dinding rektum ekstramukosa diangkat, mulai dari proksimal linea
dentata sampai daerah yang berganglion (Teitelbaum at al, 2003).

6. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through


Tehnik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah dilakukan
dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan povidon-iodine, mukosa
rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata. Dengan diseksi
tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah
proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai
melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa (Tore,
2000 ).
Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi lebih
singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding dapat diberikan
lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada. Akan tetapi masih
didapatkan komplikasi enterokolitis, konsipasi dan striktur anastomosis.

Permasalahan-Permasalahan Pembedahan
Permasalahan pembedahan yang sering dijumpai adalah masalah komplikasi pasca
bedah. Kebocoran anastomosis, stenosis, gangguan fungsi sfingter ani ,enterokolitis serta
mortalitas masih merupakan permasalahan yang serius. Komplikasi yang timbul dalam 4
minggu pertama merupakan komplikasi dini pasca bedah. Prosedur bedah manapun yang
dipilih mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan komplikasi. Usia pada saat
pembedahan, keadaan umum prabedah, prosedur bedah yang digunakan, ketrampilan dan
pengalaman ahli bedah, antibiotika yang dipakai serta perawatan pasca bedah sangat
berpengaruh untuk terjadinya komplikasi. Lebih muda usia pasien serta keadaan umum
praoperasi yang kurang optimal umumnya lebih sering mengalami komplikasi (Rehbein,
1966; Langer, 2005).
Prosedur prosedur operasi tersebut dapat menyebabkan trauma pada persarafan
traktus genitourinarius dan otot-otot dasar panggul yang akan mengakibatkan masalah pada
traktus urinarius bagian bawah. Inkontinensia urin yang terjadi setelah operasi dengan
prosedur Rehbein 5,4%, prosedur Swenson 10,4%, prosedur Soave 15,3% dan prosedur
Duhamel 14,3%.

Perawatan Pasca Operasi.


Pipa lambung dilepas apabila fungsi gastrointestinal telah kembali normal, sedangkan
kateter dilepas pada hari kedua pasca operasi. Antibiotik dapat diberikan sampai 2 hari pasca
operasi. Perhatian khusus ditujukan pada daerah perineum untuk terjadinya eritema dan
selulitis yang dapat merupakan tanda awal dari kebocoran anastomosis (Teitelbaum et al,
2003).
Dilatasi anorektal dapat dilakukan tiga minggu setelah operasi. Pada penderita
neonatus dilatasi anorektal dapat dilakukan dengan insersi Hegar dilator nomer 6-7 yang
dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya striktur anastomosis. Irigasi anorektal
dapat dilakukan tiga bulan setelah operasi untuk mencegah enterokolitis (Teitelbaum et al,
2003).
Beberapa pasien mendapatkan fungsi usus yang normal setelah dilakukan operasi,
akan tetapi pada reseksi usus yang panjang dapat tejadi buang air besar yang frekwen dan
berair sehingga menyebabkan ekskoriasis pada perineum. Pada kasus yang demikian
loperamid dapat diberikan untuk menurunkan frekwensi buang air besar. Agar feses menjadi
padat dapat diberikan kaolin-pectin (Holschneider dan Ure, 2005).
Hartman et al (2006) meneliti masalah fisik dan psikososial penderita penyakit
Hirschsprung yang telah dilakukan operasi dan menyarankan pengamatan pada inkontinensi
feses, inkontinensi urin, konstipasi dan disfungsi sex. Perawatan pasca operasi yang
disarankan adalah dilatasi anus, pemberian laxatif, enema, diet dan toilet. Perawatan medis
harus dilakukan bersama perawatan paramedis yaitu fisioterapi, pengobatan psikososial dan
konsultasi diet.
Diet
Makanan berserat tinggi dan mengandung buah-buahan segar dapat mengoptimalkan
fungsi usus post-operatif pada beberapa pasien.
Aktivitas
Batasi aktivitas fisik selama sekitar 6 minggu untuk penyembuhan luka secara baik.
Medikasi
Tujuan dari farmakoterapi untuk mengeradiksi infeksi, mengurangi morbiditas, dan
mengurangi komplikasi.
Antibiotik
Terapi antimikroba harus komprehensif dan mencakup seluruh patogen terkait dengan
keadaan klinis. Pemilihan antibiotik juga sebaiknya dipandu oleh tes kultur darah dan
sensitivitas.

XII. Komplikasi

Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter.
Sedangkan tujuan utama dari setiap operasi definitif pull-through adalah menyelesaikan
secara tuntas penyakit Hirschsprung, dimana penderita mampu menguasai dengan baik fungsi
spinkter ani dan kontinen. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit
pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi,
prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara
pemberian antibiotik serta perawatan pasca bedah.

Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang


berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan
ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca
operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terjadi akibat
kebocoran anastomose ini bervariasi, mulai dari abses rongga pelvik, abses intraabdominal,
peritonitis, sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat
kolostomi di segmen proksimal.

Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat berakibat


kematian. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis
adalah segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan pipa rektal untuk
dekompresi, melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian
antibiotika yang tepat. Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab / prosedur
operasi yang telah dikerjakan.

XIII. Prognosis
Belum ada penelitian prospektif yang membandingkan masing-masing jenis operasi.
Dalam keseluruhan prosedur, hasil fungsional mengalami perbaikan seiring dengan waktu,
sehingga dalam 10 tahun follow up 90% pasien akan memiliki fungsi usus yang normal'.
DAFTAR PUSTAKA

1. Warner B. W. 2004. Chapter 70 surgery in Townsend Sabiston Textbook of Surgery.


17th edition. Elsevier-Philadelpjia. Page 2113-2114

2. Holschneider A, Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschprungs Disease in: Ashcraft


Pediatric Surgery 3rd edition W.B. saunders Company. Philadelphia. Page 453-468.

3. Hackam D.J, Nelman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 pediatric surgery in:
Schwartzs Principles of Surgery. 8th edition. Mc. Graw-hill. New York. Page 1496-
1498.

4. Zielger M.M., azizkhan R.G., Weber T.R., 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease In:
Operative Pediatric Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.

5. Hansen T.J., Koeppen. 2006. Chapter 35 Digestive System in Netters Atlas of


Humans Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640

Anda mungkin juga menyukai