Anda di halaman 1dari 32

AMPUTASI

Disusun oleh :
Anisa Nuraisa Djausal, S.Ked
Rifka Humaida, S.Ked
Wayan Ferli, S.Ked
Yusi Farida, S.Ked

Pembimbing :
dr. E. Marudut S., Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RSUD DR H ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Amputasi adalah hilangnya sebagian alat gerak yang menyebabkan ketidakmampuan


seseorang untuk melakukan aktivitas dalam derajat yang bervariasi, tergantung dari
bagianmana alat gerak yang hilang, usia, dan penanganan operasi (untuk kasus kehilangan
alat gerak yang disebabkan amputasi). Kehilangan alat gerak tersebut dapat disebabkan
berbagai hal,seperti penyakit, faktor cacat bawaan lahir, ataupun kecelakaan. Operasi
pengangkatan alatgerak pada tubuh manusia ini disebut dengan amputasi.

Menurut Crenshaw, dalam Vitriana(2002), amputasi pada alat gerak bawah mencapai 85%-
90% dari seluruh amputasi, dimana amputasi bawah lutut (transtibial amputation)
merupakan jenis operasi amputasi yang paling sering dilakukan. Angka kejadian amputasi
yang pasti di indonesia saat ini tidak diketahui, tapi menurut Vitriana (2002) di Amerika
Serikat terjadi 43.000 kasus per tahun dari jumlah penduduk 280.562.489 jiwa atau sekitar
0,02%, sedangkan dalam Raichle et al. (2009) disebutkan bahwa terjadi kasus amputasi
sekitar 158.000per tahun dari jumlah penduduk 307.212.123 atau sekitar 0,05%. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan kasus amputasi di Amerika Serikat,
baik secara jumlah, maupun secara persentase dari jumlah penduduk.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi

Amputasi berasal dari kata amputare yang berarti pancung. Amputasi adalah
penghilangan satu atau lebih bagian tubuh dan bisa sebagai akibat dari malapetaka
atau bencana alam, belum pernah terjadi sebelumnya, seperti kecelakaan, gempa
dengan intensitas kuat, terorisme dan perang, atau dilakukan karena alasan medis
dengan motif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien. Tindakan ini
merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir apabila masalah
organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan
menggunakan teknik lain, atau apabila kondisi organ dapat membahayakan
keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain.

Amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti

sistem integumen, sistem persarafan, sistem muskuloskeletal dan sistem

cardiovaskuler. Lebih lanjut amputasi dapat menimbulkan masalah psikologis

bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas.

Amputasi ekstremitas bawah adalah prosedur pembedahan yang dihasilkan dari

sebuah kondisi medis yang serius seperti diabetes, trauma atau neoplasma,

gangren, deformitas kongenital. Dari semua penyebab tadi, penyakit vaskuler

Perifer merupakan penyebab yang tertinggi amputasi ekstremitas bawah.


Gambar 1. Amputasi Ekstremitas Bawah

B. Etiologi

Penyebab amputasi adalah kelainan ekstremitas yang disebabkan oleh


penyakit DM, Gangren, cedera (trauma), dan tumor ganas.
Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi :
a. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.
b. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.
c. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.
d. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh
lainnya.
e. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.
f. Deformitas organ.

C. Patofisiologi

Amputasi terjadi karena kelainan extremitas yang disebabkan penyakit


pembuluh darah, cedera dan tumor oleh karena penyebab di atas, Amputasi
harus dilakukan karena dapat mengancam jiwa manusia. Adapun pengaruhnya
meliputi :

a. Kecepatan metabolism
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan
penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah
sehingga menurunkan kecepatan metabolisme basal.

b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit


Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih
besar dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid
plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar
keruang interstitial pada bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan
oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga
menyebabkan kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke
hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran ADH, sehingga
terjadi peningkatan diuresis.

c. Sistem respirasi
1. Penurunan kapasitas paru
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka
kontraksi otot intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam
rangka mencapai inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.
2. Perubahan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi
perbedaan rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara
mendadak maka akan terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan
atau infeksi) terjadi hipoksia.
3. Mekanisme batuk tidak efektif

1
Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan
sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih
kental dan mengganggu gerakan siliaris normal.

d. Sistem Kardiovaskuler
1. Peningkatan denyut nadi
Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin
dan mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering
dijumpai pada pasien dengan immobilisasi.
2. Penurunan cardiac reserve
Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini
mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan
isi sekuncup.
3. Orthostatik Hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana
arteriol dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi
lebih panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah banyak
berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi
menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk
memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien
merasakan pusing pada saat bangun tidur serta dapat juga merasakan
pingsan.

e. Sistem Muskuloskeletal
1. Penurunan kekuatan otot
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler
memungkinkan suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan,
demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme akan terganggu
sehingga menjadikan kelelahan otot.

2
2. Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya
penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi
dan paralisis otot.
3. Kontraktur sendi
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta
adanya keterbatasan gerak.
4. Osteoporosis
Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan
persenyawaan organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis
dan tulang menjadi keropos.

f. Sistem Pencernaan
1. Anoreksia
Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi
sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi
serta penurunan kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya
nafsu makan.
2. Konstipasi
Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan
spincter anus menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat
dalam colon, menjadikan faeces lebih keras dan orang sulit buang air
besar.

g. Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing
berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya
gravitasi dan pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat
menyebabkan :

3
- Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu
ginjal.
- Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang
biaknya kuman dan dapat menyebabkan ISK.

h. Sistem integumen
Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan
bokong akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah
dan nutrisi ke jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia,
hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit
dimasase untuk meningkatkan suplai darah.

D. Jenis-jenis amputasi
Berdasarkan tujuannya amputasi dibagi atas
a. Amputasi sementara. Amputasi ini mungkin diperlukan jika
penyembuhan primer tidak mungkin terjadi. Alat gerak diamputasi
sedistal mungkin, kemudian dibuat flap kulit yang dijahit secara
longgar diatas gumpalan kasa. Re-amputasi kemudian dilakukan saat
kondisi stump memungkinkan.
b. Defenitive end bearing amputation. Amputasi ini dilakukan jika
kemudian akan diberikan beban berat badan pada ujung stump. Pada
keadaan ini parut amputasi tidak boleh terletak diujung stump dan
tulang harus padat tidak berongga. Untuk itu tulang harus dipotong
melewati sendi atau mendekati sendi. Contohnya adalah amputasi
melewati sendi lutut dan Symes amputation.
c. Defenitive non-end bearing amputation. Ini merupakan amputasi
yang paling sering dilakukan. Seluruh amputasi anggota gerak atas dan
kebanyakan amputasi anggota gerak bawah termasuk dalam jenis ini.
Karena beban berat badan tidak akan ditumpukan pada ujung stump,
maka parut luka dapat terletak terminal.

4
Berdasarkan teknik yang dipakai secara garis besar amputasi dibagi atas :

1. Amputasi terbuka (open amputation)


Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana
pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Amputasi
terbuka dilakukan pada luka yang kotor, seperti luka perang atau infeksi
berat antara lain gangrene, dibuat sayatan dikulit secara sirkuler
sedangkan otot dipotong sedikit proximal dari sayatan kulit dan digergaji
sedikit proximal dari otot.

ujung stump tidak ditutup dengan flap kulit dan amputasi ini dilakukan
sebagai tindakan sementara yang akan diikuti dengan penjahitan sekunder,
re-amputasi, revisi, dan rekonstruksi plastik. Open amputation bertujuan
untuk mencegah atau menghilangkan infeksi sehingga penutupan stump
dapat dilakukan tanpa resiko terbukanya kembali jahitan. Indikasinya
adalah bagi luka yang terinfeksi dan kerusakan jaringan lunak luas atau
kontaminasi tinggi.

Open amputation terbagi dua jenis, yaitu open amputation with inverted
skin flaps dan circular open amputation. Pada jenis yang pertama
penutupan luka dilakukan kemudian setelah 10-14 hari tanpa memerlukan
pemendekan stump. Pada jenis kedua penyembuhan luka sering lama dan
dipengaruhi oleh tarikan kulit terus menerus diujung stump yang
cenderung menarik seluruh jaringan ke ujung stump. Circular open
amputation juga diikuti oleh pembentukan parut diujung stump yang akan
menyulitkan pemasangan prosthesis. Untuk menghindari penyembuhan
yang lama dan letak parut yang tidak baik, circuler open amputation sering
diikuti dengan re-amptation yang lebih proksimal.

5
2. Amputasi tertutup (closed amputation)

Gambar 3. Metode tertutup

Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan


dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan
memotong kurang lebih 5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang.
Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya
meliputi perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga
kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan
persiapan untuk penggunaan protese ( mungkin ) pada amputasi jenis ini,
ujung stum ditutup dengan flap kulit. Amputasi jenis ini memerlukan
pemasangan drain yang biasanya dibiarkan selama 48-72 jam setelah
operaasi. Ujung stump akan memiliki bentuk yang lebih baik dengan letak
parut yang diatur tidak pada ujung stump sehingga memudahkan

6
pemakaian prostesis kemudian. Amputasi seperti ini dilakukan pada
keadaan yang tidak disertai infeksi berat dengan kerusakan jaringan lunak
atau kontaminasi yang minimal.

E. Indikasi Amputasi
Indikasi amputasi adalah 3D
a. dead (dying), penyakit pembuluh darah perifer bertanggung jawab
terhadap hampir 90% dari seluruh amputasi. Penyebab lainnya adalah
trauma parah, luka bakar, dan frost bite.
b. dangerous, penyakit yang tergolong berbahaya adalah tumor ganas, sepsis
yang potensial lethal dan crush injury. Pada crush injury pelepasan
torniquet atau penekanan lain akan berakibat pada kegagalan ginjal (crush
syndrome).
c. damn nuisance, ada keadaan dimana mempertahankan anggota gerak
dapat lebih buruk daripada tidak mempunyai anggota gerak sama sekali.
Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh nyeri, malformasi berat, sepsis
berulang atau kehilangan fungsi yang berat. Kombinasi antara deformitaas
dan kehilangan sensasi khususnya merupakan masalah yang berat dan
pada alat gerak bawah cenderung untuk menyebabkan ulserasi karena
tekanan.

Adapun suatu penilaian apakah suatu ekstremitas dapat dipertahankan atau


harus diamputasi dapat dilakukan dengan penilaian Mangled Extremity
Severity Score (MESS) yang dapat dihitung dengan melakukan evaluasi
terhadap ektremitas yang terluka. Adapun evaluasi yang dilakukan ialah
sebagai berikut:

7
poin kurang dari 7 menandakan bahwa ekstremitas dapat dipertahankan dan
skor 7 atau lebih mengindikasikan amputasi ekstremitas.

F. Lokasi

Kebanyakan amputasi pada anggota gerak bawah dilakukan pada lokasi


dibawah dari tempat paling distal dimana pulsasi arteri masih teraba.
Kadangkala, khususnya pada amputasi transtibial (below knee) level dapat
dimodifikasi dengan pengukuran transcutaneus oxygen pressure. Lokasi
amputasi dilakukan oleh tuntutaan desain prothesis dan fungsi lokal. Stump
yang terlalu pendek akan membuat prosthesis cenderung tergelincir, stump
yang terlalu panjang akan mendapatkan sirkulasi yang tidak adekuat dan akan

8
terasa nyeri atau mengalami ulserasi, disamping itu juga akan menyulitkan
pemasangan prosthesis. Namun dengan semakin meningkatnya ketrampilan
para ahli prosthesis, amputasi dapat dilakukan pada lokasi dimanapun.

Gambar 2. Lokasi penentuan amputasi

9
G. Prinsip Tehnik Amputasi

Torniquet selalu digunakan kecuali jika terdapat insufisiensi arterial. Flap


kulit dibuat sedemikian rupa sehingga panjang gabungan keseluruhan flap
sama dengan 1,5 x lebar anggota gerak pada level amputasi. Sebagai suatu
ketetapan, flap anterior dan posterior dengan panjang yang sama dipakai
untuk amputasi pada anggota gerak atas dan amputasi transfemoral (above
knee), uhntuk amputasi below knee falp posterior dibuat lebih panjang.

Otot dipotong distal dari tempat pemotongan tulang, kelompok otot yang
saling berhadapan kemudian dijahit diatas ujung tulang dan juga keperiosteum
(myoplasty) sehingga memberikan kontrol otot yang lebih baik dan juga
sirkulasi yang lebih baik. Saraf dipotong proksimal dari tempat pemotongan
tulang. Harus benar-benar diperhatikan agar ujung saraf yang terpotong tidak
mendapatkan tekanan karena tumpuan berat badan.

Tulang dipotong pada tempat yang telah ditentukan. Pada amputasi transtibial
bagian depan tibia biasanya dibuat serong dan dikikir agar terbentuk tepi yang
halus dan membulat. Fibula dipotong 3 cm lebih pendek. Pembuluh darah
utama diikat, dan setiap sumber perdarahan diikat dengan baik. Pada closed
amputation kulit dijahit tanpa tegangan, drain dipasang dan kemudian stump
dibalut erat. Jika terbentuk hematoma,harus segera dievakuasi. Pembalutan
berulang dengan pembalut elastis dilakukan untuk membantu pengerutan
stump dan menciptakan bentuk ujung yang konikal. Otot-otot harus tetap
dilatih, sendi tetap dijaga agar bergerak dan pasien diajarkan untuk
menggunakan prosthesisnya.

10
H. Level Amputasi

Amputasi dilakukan pada bagian terdistal yg masih berhasil sembuh. Prinsip


penentuan level amputasi adalah menyelamatkan alat gerak sepanjang
mungkin dan fungsi yang paling baik.

Penentuan level yang optimum untuk amputasi secara akurat sulit dilakukan
hanya berdasarkan pemeriksaan klinis (tidak adanya denyut nadi) dan
viabilitas (vaskularisasi) jaringan saja selama operasi. Saat ini, penilaian
selain dilakukan secara klinis dan pada saat operasi juga diperkuat dengan
sejumlah metode-metode uji pra operasi seperti; arteriografi pra amputasi,
pengukuran tekanan darah segmental dengan mempergunakan ultrasound
Doppler dan teknik lainnya, penentuan aliran darah ke kulit yang diukur oleh
xenon radioactive clearance, dan pengukuran tekanan oksigen secara
transcutaneous. Seluruh hal tersebut bila dilakukan akan memberikan hasil
yang baik untuk menilai keberhasilan penyembuhan luka(3,5,9).

Level amputasi ditentukan 2 faktor:

a. Sirkulasi pada bagian yang diamputasi


b. Functional usefulness (seperti, kebutuhan pemakaian prosthesis).

11
Level Amputasi Ekstremitas Atas

Level Amputasi Ekstremitas Atas dan Bawah

12
13
I. Jenis Amputasi

Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :


a. Amputasi selektif/terencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan
mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus.
Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir.

b. Amputasi akibat trauma


Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak
direncanakan.Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi
lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.

c. Amputasi darurat
Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan.
Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat
seperti pada traumadengan patah tulang multiple dan
kerusakan/kehilangan kulit yang luas.

Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada
trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang
luas. Jenis amputasi yang dikenal adalah :
a. Amputasi terbuka
b. Amputasi tertutup

Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana


pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Amputasi tertutup
dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit
untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 sentimeter
dibawah potongan otot dan tulang.Setelah dilakukan tindakan pemotongan,

14
maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka operasi/mencegah
terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah kontraktur,
mempertahankan intaks jaringan, dan persiapan untuk penggunaan protese
(mungkin).

J. Tingkatan Amputasi

Pada cedera, ditentukan oleh peredaran darah yang adekuat.


Pada tumor, ditentukan oleh daerah bebas tumor dan bebas resiko
kekambuhan lokal.
Pada penyakit pembuluh darah, ditentukan oleh vaskularisasi sisa
ekstremitas dan daya sembuh luka puntung

a. Ekstremitas atas
Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau
kiri. Hal ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan,
minum, mandi, berpakaian dan aktivitas yang lainnya yang melibatkan
tangan.
b. Ekstremitas bawah
Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian
dari jari-jari kaki yang menimbulkan seminimal mungkin
kemampuannya.Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas
ini dibagi menjadi dua letak amputasi yaitu :
1) Amputasi dibawah lutut (below knee amputation).
Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada
nonischemic limb dan inschemic limb.
2) Amputasi diatas lutut
Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada
pasien dengan penyakit vaskuler perifer.

15
a. Nekrosis
Pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu terapi konservatif, bila
tidak berhasil dilakukan reamputasi dengan level yang lebih tinggi.
b. Kontraktur
Kontraktur sendi dapat dicegah dengan mengatur letak stump amputasi
serta melakukan latihan sedini mungkin. Terjadinya kontraktur sendi
karena sendi terlalu lama diistirahatkan atau tidak di gerakkan.
c. Neuroma.
Terjadi pada ujung-ujung saraf yang dipotong terlalu rendah sehingga
melengketdengan kulit ujung stump. Hal ini dapat dicegah dengan
memotong saraf lebih proximal dari stump sehingga tertanam di dalam
otot.
d. Phantom sensation.
Hampir selalu terjadi dimana penderita merasakan masih utuhnya
ekstremitas tersebut disertai rasa nyeri. Hal ini dapat diatasi dengan
obat-obatan,stimulasi terhadap saraf dan juga dengan cara kombinasi.

Amputasi Atas Lutut

Tempat terbaik untuk membagi femur adalah 8-10 cm ( selebar satu


tangan). Gunakan spidol kulit untuk merencanakan insisi, yang harus
membuat flap anterior maupun flap posterior memiliki panjang sama
atau yang anterior sedikit lebih panjang. Bagi kulit dan jaringan
subkutan sepanjang garis yang direncanakan. Hemostasis biasanya tidak
sukar pada anggota gerak yang iskemik namun bisa terjadi perdarahan
hebat pada anggota gerak yang septik. Ikat semua vena dengan
menggunakan jarum serap 2/0. Perdalam insisi anterior sampai tulang,
sambil memotong tendon quadriceps femoris. Vasa femoralis bersama-

16
sama nervus poplitea media dan lateral dijumpai pada posisi
posteromedial. Ikat rangkap pembuluh darah dengan benang serap.

Sebelum memotong saraf, beri tegangan pada saraf sehingga saraf


tertarik ke dalam puntung pada amputasi. Jika amputasi dilakukan pada
tingkat yang lebih tinggi, nervus sciaticus bisa dijumpai. Nervus
sciaticus diikuti oleh arteri yang harus didiseksi secara terpisah dan
diikat sebelum saraf dipotong. Setelah memotong semua otot di
sekeliling femur, ikat pembuluh yang tinggal dan hindari pemakaian
diatermi. Periksa titik amputasi yang tepat dari femur dan kerok
periosteum dari tulang di daerah ini. Otot-otot paha harus diretraksi ke
arah proksimal untuk memberikan cukup ruang dalam menggunakan
gergaji. Ini bisa dilakukan dengan bantuan beberapa pembalut abdomen
atau retraktor khusus. Setelah memotong femur dan melepas tungkai
bawah, tempatkan handuk bersih di bawah puntung dan istirahatkan
puntung pada mangkok yang dibalik.

Gunakan kikir untuk menghaluskan pinggir femur, kemudian bawa otot-


otot depan dan belakang bersamaan menutup tulang dengan jahitan
terputus benang serap ukuran 1. Pasang suction drain Insisi kulit Titik
pemotongan tulang di bawah lapisan otot. Tempatkan jahitan lapis
kedua yang lebih superfisial dalam otot dan jaringan subkutan karena ini
akan membantu mendekatkan flap kulit. Jahit pinggir kulit dengan
beberapa jahitan putus dengan benang non serap 2/0. Hindari memetik
pinggir kulit dengan forsep bergigi. Tutup puntung dengan kasa dan
kapas dan balut dengan crepe bandage.

17
Amputasi Bawah Lutut

Amputasi bawah lutut secara statistic merupakan jenis amputasi yang


paling sering dilakukan pada alat gerak bawah. Luka amputasi pada
level ini akan sembuh dengan baik pada sebagian besar pasien dengan
iskemia yang memerlukan ablasi alat gerak.

Amputasi bawah lutut merupakan suatu prosedur rekonstruktif yang


memerlukan perhatian cermat terhadap detail tekniknya. Level ini
dipilih berdasarkan ketersediaan jaringan yang sehat termasuk
pemahaman potensi penyembuhan dari daerah yang iskemi. Sisi
pemotongan adalah level dimana terdapat cukup jaringan lunak untuk
menghasilkan puntung yang dapat sembuh dengan baik dan mempunyai
toleransi yang baik terhadap prostetik. Panjang puntung sebaiknya
dipertahankan setinggi hingga pertemuan 1/3 tengah dan bawah tibia-
fibula.

Titik optimum untuk amputasi adalah 14 cm dari tibial plateau, fibula


dipotong 2 cm proksimal dari ini. Beri tanda insisi, dengan flap anterior
berakhir tepat distal dari garis pemotongan tulang pada tibia dan flap
posterior meluas ke bawah sampai tendon Achilles. Buat insisi
sepanjang garis yang telah diberi tanda. Di posterior potong tendon
Achilles dan perdalam insisi untuk memotong sisa otot dan tendon
sampai tulang. Potong otot ke dalam sampai melintasi bagian depan.
Fibula dipotong miring dengan gergaji Gigli, kemudian belah tibia 2 cm
distal dari ini. Bersihkan otot dari tulang dengan elevator periosteum.
Potong bevel anterior pertama kali dengan gergaji diagonal kemudian
potong tegak lurus tibia. Bentuk sudut pada ujung bawah tibia ke arah
atas dan pisahkan massa otot dari aspek posteriornya. Ikat rangkap
semua pembuluh darah dan potong setiap saraf yang tegang. Lepas

18
tungkai bagian distal. Flap posterior ditarik ke atas membungkus
puntung tulang dan dijahit ke flap anterior. Flap posterior mungkin perlu
dikurangi dengan eksisi jaringan otot. Tempatkan benang serap di antara
otot di bagian posterior dan jaringan subkutan di anterior dan
meninggalkan suction drain di bawah otot. Satukan pinggir kulit dengan
jahitan putus benang non-serap 2/0. Pangkas sudut-sudut flap posterior
jika perlu agar bentuknya rapi. Tutup puntung dengan katun dan balut
ketat dengan crepe bandage.

K. Penatalaksanaan Amputasi

Amputasi dianggap selesai setelah dipasang prostesis yang baik dan berfungsi.
Ada 2 cara perawatan post amputasi yaitu :
a. Rigid dressing

Yaitu dengan menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar


operasi. Pada waktu memasang harus direncanakan apakah penderita
harus immobilisasi atau tidak. Bila tidak diperlukan pemasangan segera
dengan memperhatikan jangan sampai menyebabkan konstriksi stump
dan memasang balutan pada ujung stump serta tempat-tempat tulang yang
menonjol. Keuntungan cara ini bisa mencegah oedema, mengurangi nyeri
dan mempercepat posisi berdiri. Setelah pemasangan rigid dressing bisa
dilanjutkan dengan mobilisasi segera, mobilisasi setelah 7 10 hari post
operasi setelah luka sembuh, setelah 2 3 minggu, setelah stump sembuh
dan mature. Namun untuk mobilisasi dengan rigid dressing ini
dipertimbangkan juga faktor usia, kekuatan, kecerdasan penderita,
tersedianya perawat yang terampil, therapist dan prosthetist serta kerelaan
dan kemauan dokter bedah untuk melakukan supervisi program
perawatan. Rigid dressing dibuka pada hari ke 7 10 post operasi untuk

19
melihat luka operasi atau bila ditemukan cast yang kendor atau tanda-
tanda infeksi local atau sistemik.

b. Soft dressing

Yaitu bila ujung stump dirawat secara konvensional, maka digunakan


pembalut steril yang rapi dan semua tulang yang menonjol dipasang
bantalan yang cukup. Harus diperhatikan penggunaan elastik verban
jangan sampai menyebabkan konstriksi pada stump. Ujung stump
dielevasi dengan meninggikan kaki tempat tidur, melakukan elevasi
dengan mengganjal bantal pada stump tidak baik sebab akan
menyebabkan fleksi kontraktur. Biasanya luka diganti balutan dan drain
dicabut setelah 48 jam. Ujung stump ditekan sedikit dengan soft dressing
dan pasien diizinkan secepat mungkin untuk berdiri setelah kondisinya
mengizinkan. Biasanya jahitan dibuka pada hari ke 10 14 post operasi.
Pada amputasi diatas lutut, penderita diperingatkan untuk tidak
meletakkan bantal dibawah stump, hal ini perlu diperhatikan untuk
mencegah terjadinya kontraktur.

L. Perawatan Pasca Amputasi

a. Perawatan luka pada umumnya dan penggunaan balutan yang halus akan
mengontrol udem, mencegah trauma, menurunkan nyeri, dan membuat
mobilisasi lebih awal demikian juga rehabilitasinya
b. Rehabilitasi dengan pembuatan prostesis yang sesuai

M. Pengaruh Amputasi terhadap Sistem Tubuh


Adapun pengaruhnya meliputi :
a. Kecepatan metabolisme

20
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan
penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah
sehingga menurunkan kecepatan metabolisme basal.

b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit


Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih
besar dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid
plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar
keruang interstitial pada bagian tubuh yang rendah sehingga
menyebabkan oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi
klien sehingga menyebabkan kecemasan yang akan memberikan
rangsangan ke hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran
ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis.

c. Sistem respirasi
1) Penurunan kapasitas paru
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka
kontraksi otot intercostarelatif kecil, diafragma otot perut dalam
rangka mencapai inspirasi maksimal danekspirasi paksa.
2) Perubahan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi
perbedaan rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara
mendadak maka akan terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan
atau infeksi) terjadi hipoksia.
3) Mekanisme batuk tidak efektif
4) Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan
sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih
kental dan mengganggu gerakan siliaris normal.

21
d. Sistem Kardiovaskuler
1) Peningkatan denyut nadi
Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin
dan mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering
dijumpai pada pasien dengan immobilisasi.
2) Penurunan cardiac reserve
Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini
mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan
isi sekuncup.
3) Orthostatik Hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana
anterior danvenula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi
lebih panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah banyak
berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi
menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk
memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien
merasakan pusing pada saat bangun tidur serta dapat juga merasakan
pingsan

e. Sistem Muskuloskeletal
1) Penurunan kekuatan otot
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler
memungkinkan suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan,
demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme akan terganggu
sehingga menjadikan kelelahan otot.
2) Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya
penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi
dan paralisis otot.

22
3) Kontraktur sendi
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta
adanya keterbatasan gerak.
4) Osteoporosis
Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan
persenyawaan organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis
dan tulang menjadi keropos.

f. Sistem Pencernaan
1) Anoreksia
Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi
sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi
serta penurunan kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya
nafsu makan.
2) Konstipasi

Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan


spincter anus menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat
dalam colon, menjadikan faeces lebih keras dan orang sulit buang air
besar.

g. Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing
berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya
gravitasi, pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat menyebabkan:
1. Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk
batu ginjal.
2. Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang
biaknya kuman dan dapat menyebabkan ISK.

23
h. Sistem integument
Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan
bokong akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah
dan nutrisi ke jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia,
hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit
dimasase untuk meningkatkan suplai darah.

N. Komplikasi

- Komplikasi Dini

Disamping komplikasi operasi yang lazim (khususnya perdarahan


sekunder karena infeksi), terdapat 3 komplikasi khusus yaitu hematoma,
terbukanya kembali flap dan gangren gas.

Hemostasis yang baik sebelum penutupan luka serta pemakaian suction


drainage akan memperkecil frekwensi terjadinya hematoma. Hematoma
dapat memperlambat penyembuhan luka dan menjadi media yang baik
bagi pertumbuhan bakteri. Hematoma harus diaspirasi, dan kemudian
dibalut dengan erat.

Terbukanya kembali skin flap dapat disebabkan oleh iskemia, jahitan


yang terlalu tegang, atau (pada amputasi below knee) disebabkan oleh
tibia yang ditinggalkan terlalu panjang dan menekan flap. Clostridia dan
spora penyebab gangren gas yang berasal dari perineum dapat
menginfeksi amputasi above knee yang terletak tinggi (atau re-
amputasi) khususnya jika dilakukan pada jaringan yang sudah iskemik.

24
- Komplikasi Lanjut

Komplikasi lanjut dapat terjadi pada kulit, otot, arteri, saraf, sendi, dan
tulang.

Pada kulit komplikasi yang sering terjadi adalah eksim yang disertai
pembengkakan purulen yang nyeri di inguinal. Pada keadaan ini
diindikasikan untuk tidak memakai prothesis untuk sementara.

Ulserasi biasanya terjadi karena sirkulasi yang tidak baik, dan untuk itu
diperlukan amputasi pada level yang lebih tinggi. jika sirkulasi baik dan
kulit disekitar ulkus sehat, maka eksisi 2.5 cm tulang yang dilanjutkan
dengan penjahitan kembali sudah memadai. Jika terlalu banyak otot
yang disisakan diujung stump, efek bantalan yang tidak stabil akan
menyebabkan pemakaian prothesis terganggu. Pada keadaan ini jaringan
lunak yang berlebihan harus dibuang.

Sirkulasi yang tidak baik akan menyebabkan stump yang dingin dan
kebiruan yang mudah membentuk ulkus. Masalah seperti ini sering
terjadi pada amputasi below knee dan karenanya diperlukan amputasi
ulang. Saraf yang terpotong selalu membentuk gumpalan (neuroma) dan
kadangkala ini terasa nyeri. Dengan mengeksisi 3 cm saraf diatas
neuroma kadangkala akan menghilangkan keluhan. Cara lain adalah
dengan mengelupas seluruh epidural dan fasikulus saraf sepanjang 5 cm.
Dan kemudian ditutup dengan perekat jaringan sintesis atau ditanam
kedalam otot atau tulang jauh daari titik yang mendapat tekanan.

Phantom limb adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan


suatu sensasi dimana kaki yang telah dipotong masih dirasakan
keberadaannya. Pasien harus diberitahukan tentang kenyataan

25
sebenarnya dan pada akhirnya sensasi tersebut akan berkurang dan
menghilang.Phantom limb yang teraas nyeri akan sulit ditanagani.
Menekuk-nekuk ujung limb secara intermiten dapat dilakukan untuk
mengatasi gangguan phantom limb dan nyeri karena neuroma.

Sendi diatas level amputasi mungkin akan kaku atau mengalami


deformitas. Deformitas yang sering terjadi adalah fixed flexion atau
fixed abduction pada sendi panggul karena amputasi above knee
(disebabkan otot adduktor dan hamstring yang telah dipotong).
Deformitas ini dapat dicegah dengan melakukan latihan. Jika deformitas
ini telah terlanjur terjadi, osteotomy subtrochanteric mungkin
diperlukan. Fixed flexion pada lutut juga dapat akan menyebabkan
kesulitan berjalan dan karenanya harus dicegah.

Spur sering terbentuk diujung tulang, tetapi biasanya tidak nyeri. Jika
terdapat infeksi spur mungkin akan berukuran besar dan nyeri sehingga
mungkin diperlukan eksisi ujung tulang bersamaan spur. Jika tulang
akan menyebabkan sedikit pembebanan maka akan terjadi osteoporosis
yang dapat menimbulkaan fraktur. Fraktur seperti ini paling baik
ditangani dengan fiksasi interna.

26
BAB III
KESIMPULAN

Amputasi adalah hilangnya sebagian alat gerak yang menyebabkan ketidakmampuan


seseorang untuk melakukan aktivitas dalam derajat yang bervariasi, tergantung dari
bagian mana alat gerak yang hilang, usia, dan penanganan operasi (untuk kasus kehilangan alat
gerak yang disebabkan amputasi). Kegiatan amputasi merupakan tindakan yang
melibatkan beberapa sistem tubuh seperti system integumen, sistem persyarafan, sistem
muskuloskeletal dan sisten cardiovaskuler. Labih lanjut dapat menimbulkan masalah psikologis bagi
klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas.

Keputusan untuk mengamputasi melewati suatu proses emosional yang sering


bersama dengan suatu kegagalan perilaku atau gangguan perilaku yang ada hubungan
dengan nilai pendekatan yang dianut adalah pendekatan yang positif dan rekonstruktif
yang tidak berlebihan. Guna mencapai fungsi yang maksimal, amputasi kedepan
memerlukan pemahaman yang jelas tentang operasi amputasi itu sendiri, dalam
penggunaan prostetik post operatif, rehabilitasi amputasi dan jenis prostetiknya,
untuk itu dibutuhkan suatu team yang dapat melakukan pendekatan, termasuk
menerima masukan dari perawat, ahli prostetik, kelompok pendorong para amputama,
yang dapat memberi dorongan dan pengertian sehingga para amputama dapat hidup
layak.

27
DAFTAR PUSTAKA

Apley A G, Solomon L. 1993. Apleys System of Orthopaedics and Fractures 7th ed.
Butterworth Heinmann; London.

Bentley G. 2014. European Surgical Orthopaedics and Traumatology. London: Effort

Brunicardi FC. 2010. Schwartzs Principles of Surgery, Ninth Edition. Access


Surgery

Sjamsuhidajat R, Jong W D. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. 2008: Jakarta; EGC.

28

Anda mungkin juga menyukai