TINJAUAN PUSTAKA
Ketuban pecah dini (premature rupture of the membrane - PROM ) adalah kondisi
dimana ketuban pecah sebelum proses persalinan dan usia gestasi 37 minggu. Jika ketuban
pecah pada usia gestasi <37 minggu, maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan
prematur (PPROM = preterm premature rupture of the membrane - preterm amniorrhexis).(1)
Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan ketuban sebelum terjadinya proses inpartu setelah
kehamilan 22 minggu.
Epidemiologi
Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% kehamilan. Pecahnya selaput ketuban
berkaitan dengan perubahan proses biokimia yangterjadi dalam kolagen matriks ekstra seluler
amnion, korion, dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap
stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan membran pereduksi mediator
seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang merangsang aktivitas matrix
degrading enzym.
Insiden KPD di Indonesia berkisar antara 2 5 %. Kejadian ini berhubungan dengan
meningkatnya angka kejadian prematuritas dan infeksi, yang selanjutnya akan berpengaruh
terhadap angka mortalitas dan morbiditas ibu dan janin. Kejadian infeksi akibat KPD di negara
berkembang adalah 13 47 %. Sementara itu, angka kejadian neonatal mortality rate (NMR)
adalah 18 per 1000 kelahiran hidup, dimana prematuritas berperan sebagai salah satu penyebab
pada 26 % kasus dan infeksi sebesar 28 % dari keseluruhan kasus. Faktor yang dideteksi
sebagai penyebab adalah ketuban pecah lebih dari 24 jam pada 1,8 6,7 %.(3) KPD diduga
dapat berulang kembali pada kehamilan berikutnya, diperkirakan 21% rasio KPD akan
berulang, sedangkan penelitian lain yang lebih baru menduga rasio berulangnya mencapai
angka 32%. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya risiko morbiditas pada ibu atau pun
janin.
Etiologi
Penyebab KPD yaitu berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan
intraauterine atau oleh kedua faktor tersebut dan akibat berkurangnya kekuatan membrane
disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks.
Penyebab ketuban pecah dini secara individual pada kebanyakan kasus masih sulit
diketahui, namun biasanya ketuban pecah dini disebabkan oleh kelemahan selaput ketuban dan
peningkatan tekanan distensi.
Kelemahan selaput ketuban dapat terjadi oleh karena:
1. Abnormalitas atau rendahnya struktur kolagen, akibat :
Berkurangnya ketebalan kolagen
Adanya enzim kolagenase dan protease yang menyebabkan depolimerisasi
kolagen, sehingga elastisitas dari kolagen berkurang
2. Infeksi bakteri melalui mekanisme :
Aktivitas enzim fosfolipase A2 yang merangsang pelepasan prostaglandin, sel
interleukin
Endoktoksin bakteri
Produksi enzim proteolitik yang menyebabkan lemahnya selaput ketuban
Lepasnya radikal bebas dan reaksi peroksidase yang merusak selaput ketuban
Peningkatan jumlah lisolesitin dalam cairan amnion yang dapat mengaktivasi
fosfolipid A2
Ascending infection oleh bakteri.
Peningkatan tekanan distensi misalnya pada kehamilan ganda, polihidramnion,
makrosomia, solusio plasenta. Adapun faktor risiko ketuban pecah dini anatara lain, riwayat
kehamilan sebelumnya dengan ketuban pecah dini, flora servikovaginal, defisiensi Cu, Zn,
Vitamin C, merokok, aktivitas seksual, Sindroma Ehlers Danlos dan trauma.
Patofisiologi
Membran fetus terdiri dari amnion yang mengelilingi ruang amnion dan korion yang
melekat pada desidua maternal. Amnion dan korion merupakan lapisan yang terpisah
dihubungkan oleh lapisan jaringan ikat yang kaya akan kolagen dan membentuk lapisan yang
kuat. Amnion tersusun dari 5 lapisan berbeda. Susunan lapisan pertama yang terdekat dengan
fetus adalah lapisan epithelium, terdiri dari sel-sel epitel amnion yang menghasilkan kolagen
dan glikoprotein dan menyusun membran basal di atasnya. Lapisan kedua adalah lapisan padat
jaringan ikat yang melekat dengan membran basal membentuk rangka amnion dan berperan
untuk mempertahankan integritas dari amnion. Lapisan berikutnya adalah lapisan yang paling
tebal yang tersusun dari fibroblas dan sel-sel mesenkim dalam matriks ekstraselular. Lapisan
kelima adalah lapisan spongiosa yang terletak antara amnion dan korion.
Gambar
1.
Struktur
membran
janin
pada usia
kehamilan aterm dan komposisi matriks ekstraselular pada tiap lapis dan tempat produksi
matriks metalloproteinase (MMP) dan inhibitor metaloprotinase jaringan (TIMP).
Bagan 1. Skema variasi mekanisme yang dapat menyebabkan ruptur membran pada
kehamilan preterm.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat menegakkan 90% dari diagnosis. Kadang kala cairan seperti urin
dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa basah dari
vaginanya atau mengeluarkan cairan banyak dari jalan lahir. Riwayat keluarnya air
ketuban berupa cairan jernih yang keluar dari vagina kadang disertai tanda-tanda lain
dari persalinan.(1) Pasien dengan ketuban pecah dini mengeluh adanya keluar air
ketuban warna putih keruh, jernih, kuning, hijau, atau kecoklatan sedikit-sedikit atau
sekaligus banyak. Kebocoran cairan jernih dari vagina merupakan gejala yang khas.
Dapat disertai demam jika sudah ada infeksi. Pasien tidak sedang dalam masa
persalinan. Tidak ada nyeri maupun kontraksi uterus. Riwayat haid pasien, umur
kehamilan pasien diperkirakan dari hari haid terakhir dan umur kehamilan lebih dari 20
minggu.
2. Inspeksi
Pengamatan biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah,
dan jumlah airnya masih banyak, pemeriksaan ini akan makin jelas.
3. Pemeriksaan Inspekulo
Merupakan langkah pertama untuk mendiagnosis KPD karena pemeriksaan dalam
seperti vaginal toucher dapat meningkatkan resiko infeksi, cairan yang keluar dari
vagina perlu diperiksa : warna, bau, dan PH nya, yang dinilai adalah
Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan perdarahan dari serviks.
Dilihat juga prolapsus tali pusat atau ekstremitas janin. Bau dari amnion yang khas
juga harus diperhatikan.
Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung diangnosis KPD.
Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien untuk batuk untuk memudahkan
melihat pooling
Cairan amnion di konfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test. Kertas
lakmus akan berubah menjadi biru jika PH 6 6,5. Sekret vagina ibu memiliki PH
4 5, dengan kerta nitrazin ini tidak terjadi perubahan warna. Kertas nitrazin ini
dapat memberikan positif palsu jika tersamarkan dengan darah, semen atau
vaginisis trichomiasis.
4. Mikroskopis (tes pakis). Jika terdapat pooling dan tes nitrazin masih samar dapat
dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang diambil dari forniks posterior.
Cairan diswab dan dikeringkan diatas gelas objek dan dilihat dengan mikroskop.
Gambaran ferning menandakan cairan amnion
5. Dilakukan juga kultur dari swab untuk chlamydia, gonnorhea, dan stretococcus group
Pemeriksaan Lab
1. Pemeriksaan alpha fetoprotein (AFP), konsentrasinya tinggi didalam cairan amnion
tetapi tidak dicairan semen dan urin
2. Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisa
3. Tes pakis
4. Tes lakmus
Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri.
Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban sedikit (Oligohidramnion atau anhidramnion).
Oligohidramnion ditambah dengan hasil anamnesis dapat membantu diagnosis tetapi bukan
untuk menegakkan diagnosis rupturnya membran fetal. Selain itu dinilai amniotic fluid index
(AFI), presentasi janin, berat janin, dan usia janin.
Penatalaksanaan
a. UMUR KEHAMILAN < 28 MINGGU
Ketuban yang pecah sebelum umur kehamilan 28 minggu akan memperberat
sindrom Potter, akibat agenesis ginjal yang menyebabkan oligohidramnion dan
menimbulkan deformitas pada ekstremitas, wajah dan hipoplasia pulmonal. Selain itu
komplikasi jangka panjang akan menyebabkan cerebral palsy, kelainan perkembangan
saraf, penyakit paru kronis dan hidrosefalus. Hal ini harus diberitahukan pada pasien
yang memilih terapi konservatif. Bila memilih terapi konservatif maka
penatalaksanaannya sama dengan umur kehamilan < 34 minggu.
Infeksi
Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban Pecah Dini. Pada ibu terjadi
korioamnionitis dan pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya
terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada Ketuban Pecah Dini prematur, infeksi
lebih sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada Ketuban Pecah Dini
meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.(1) Komplikasi pada ibu yang dapat terjadi
antara lain endometritis, penurunan aktifitas miometrium (distonia, atonia), sepsis (daerah
uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi sangat banyak), syok septik sampai kematian ibu.
Komplikasi janin yang dapat terjadi adalah asfiksia janin, sepsis perinatal sampai kematian
janin.
Pencegahan
Pada pasien perokok, diskusikan tentang pengaruh merokok selama kehamilan usaha
untuk menghentikan, motivasi untuk menambah berat badan yang cukup selama hamil,
anjurkan pasangan agar menghentikan koitus pada trimester akhir. Pencegahan komplikasi
amnionitis dapat dilakukan dengan menghindari VT yang teralalu sering dan hindari coitus,
pemakaian vaginal douche, tampon.
Prognosis
Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung pada usia kehamilan,
adanya infeksi / sepsis, faktor resiko / penyebab dan ketepatan diagnosis awal dan
penatalaksanaan. Prognosis dari KPD tergantung pada waktu terjadinya, lebih cepat kehamilan,
lebih sedikit bayi yang dapat bertahan. Bagaimanapun, umumnya bayi yang lahir antara 34 dan
37 minggu mempunyai komplikasi yang tidak serius dari kelahiran prematur.
Definisi PPI
Diagnosis PPI dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu
mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang dapat berhubungan
dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain mengatakan PPI adalah
persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama
haid terakhir (AJOG 1995). Namun, batas bawah usia kehamilan yang digunakan untuk
membedakan PPI dengan abortus spontan bervariasi menurut lokasi. Himpunan Kedokteran
Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa PPI adalah persalinan yang
terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.
Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas indikasi ibu
ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea; (2) PPI spontan dengan
selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya
dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan
indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang
didahului ketuban pecah dini.
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada wanita kulit
putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita
kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut
usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme
prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity),
sekitar 20% pada usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia
kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka kejadian
PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas
indikasi.
Gambar 2.1 Gambaran angka kejadian PPI di USA, 1989-2000
Etiologi
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab PPI multifaktorial dan sesuai dengan usia
kehamilan. Diantaranya ialah:
1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau polihidramnion),
3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau trikomonas),
6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus genitourinaria
atau infeksi sistemik),
7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal, baik
pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau janin), dan
8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I, penyalahgunaan obat,
merokok, atau konsumsi alkohol).
Tabel 2.1 Etiologi dan alur PPI yang diakui secara umum
Faktor Risiko
Meskipun patofisiologi PPI kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak faktor risiko
yang diketahui berperan pada PPI, dan pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting
dalam menilai kemungkinan terjadinya PPI. Namun sayangnya upaya untuk menilai faktor
risiko tersebut tidaklah mudah, karena lebih dari setengah dari PPI terjadi pada wanita yang
tidak memiliki faktor risiko yang jelas.
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya PPI:
Faktor risiko mayor
1. Kehamilan multipel
2. Polihidramnion
3. Anomali uterus
4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu
5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua
6. Riwayat PPI sebelumnya
7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop electrosurgical
excision procedure)
8. Penggunaan cocaine atau amphetamine
9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.
Patogenesis
Penyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain. Berikut
beberapa alur yang umum terjadi pada PPI:
Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang mengancam
atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan mengakibatkan akitivasi prematur
hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor
risiko penting untuk PPI. Beberapa penelitian telah menemukan 50% hingga 100% kenaikan
angka kelahiran preterm berhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan
gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan, kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin,
kekebalan tubuh, dan proses perilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan PPI terkait stres.
Namun, proses yang paling penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran preterm ialah
neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini dimediasi oleh
corticotrophin-releasing hormone (CRH) plasenta. Penelitian in vitro pada sel plasenta
manusia menunjukan CRH dilepaskan dari kultur sel plasenta manusia dalam dosis yang sesuai
responnya terhadap semua efektor biologi utama stres, termasuk kortisol, katekolamin,
oksitosin, angiotensin II, dan interleukin-1 (IL-1). Dalam penelitian in vivo juga ditemukan
hubungan yang signifikan antara stres psikososial ibu dan kadar CRH, ACTH, dan kortisol
plasma ibu. Beberapa penelitian menghubungkan kadar awal CRH plasma ibu dengan waktu
persalinan. Hobel dkk. melakukan penilaian kadar CRH serial selama kehamilan dan
menemukan bahwa dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm, wanita yang
melahirkan preterm memiliki kadar CRH yang meningkat secara signifikan, dengan
mempercepat peningkatan kadar CRH selama kehamilan. Selain itu, mereka menemukan
bahwa tingkat stres psikososial ibu pada pertengahan kehamilan secara
Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah penyebaran
secara ascending dari vagina dan serviks. Hal ini dapat ditunjukkan oleh suatu kondisi yang
disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah kondisi ketika flora normal vagina
predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri
anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan ini
telah lama dikaitkan dengan ketuban pecah dini, PPI, dan infeksi amnion, terutama bila pada
pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0.
Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada trimester
kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks berhubungan
dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup luas, termasuk PPI.
Insufisiensi serviks secara tradisi telah diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat
pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima
penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero
diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur operasi seperti
Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization; (4) kerusakan yang bersifat
traumatis; dan (5) infeksi.
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan cervical
cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan kasus insufisiensi
serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan pemendekan serviks prematur dari
proses patofisiologi lainnya yang mana cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik
diprediksi oleh panjang serviks yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal.
Panjang serviks yang diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding
terbalik dengan risiko PPI. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari
kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan PPI dengan panjang serviks pada kehamilan
berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat obstetri dari insufisiens serviks dan
panjang serviks pada kehamilan berikutnya.
Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan pemendekan serviks
lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling serviks prematur, hasil dari proses
patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin memainkan peranan penting dalam pemendekan dan
dilatasi serviks prematur. Lima puluh persen dari pasien dievaluasi dengan amniosintesis
sehubungan dengan dilatasi serviks asimptomatik pada trimester kedua, dan 9% dari pasien
memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks terbukti mengalami infeksi
intraamnion. Data ini menunjukan suatu peranan penting infeksi intraamnion yang menyebar
secara ascending.
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga meningkat pada
perokok. Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita yang merokok sampai saat ini
belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang rokok, yang masing-masing
efek biologisnya sebagian besar tidak diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida
merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta
menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya
pertumbuhan janin dan PPI.
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah uteroplasenta
atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal
(HPA) janin, yang ditunjukkan dengan peningkatan corticotrophin-releasing hormone (CRH)
oleh hipotalamus, yang kemudian memacu sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH)
oleh hipofisis anterior. ACTH pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol
dari korteks adrenal. Kortisol kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H
synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase).
Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik yang juga
dianggap dapat meningkatkan risiko PPI, melalui peningkatan produksi sitokin.
Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman PPI. Diferensiasi dini
antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan sebelum adanya pendataran
dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri dapat menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons
Hicks. Kontraksi ini digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak
begitu sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar
dalam penegakan diagnosis PPI. Tidak jarang, wanita yang melahirkan sebelum aterm
mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons Hicks, yang mengarahkan
ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI, yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit
sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa tekanan
intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau telah
terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The American
Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis PPI ialah sebagai
berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan kali
dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan PPI ialah, apakah ini memang PPI.
Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara
klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat janin, jumlah dan
keadaan cairan amnion, persentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital.
Bila proses PPI masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah dilakukan segala
upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter spesialis kesehatan
anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm, atau berapa persen yang akan
hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma gawat nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan bayi preterm
dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan rencana
perawatan intensif neonatus.
Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan tanda-tanda PPI
perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal outcomes.
Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak ada yang
benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila dijumpai
kontraksi uterus yang regular disertai perubahan serviks pada kehamilan preterm.
Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi aktivitas
atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing hormone 400
ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat meningkatkan
produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol merupakan
komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan.
Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang tepat dapat
menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum.9 Antibiotika hanya
diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD.
Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat
pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika
lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko necrotising
enterocolitis.7
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun anaerob.
Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah itu dilakukan deteksi
dan penanganan terhadap faktor risiko PPI, bila tidak ada kontra indikasi, diberi tokolisis.
Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti: apakah
sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama pada berat janin
yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk melindungi kepala janin,
dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi
trauma kepala. Bila janin presentasi kepala maka diperbolehkan partus pervaginam dengan
episiotomi lebar dan perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu.
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan
merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk
melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik.
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah, oligohidramnion, dan
cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan sebagainya).
Komplikasi
Pada ibu, setelah PPI, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga mengakibatkan
sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Sedangkan bagi bayi, PPI menyebabkan
70% kematian prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka pendek maupun
jangka panjang. Morbiditas jangka pendek diantaranya ialah respiratory distress syndrome
(RDS), perdarahan intra/periventrikular, necrotising enterocolitis (NEC), displasia bronko-
pulmoner, sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang yang
meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan,
hilangnya pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang
kurang baik.
Pencegahan
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan PPI dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Pencegahan primer
Ditujukan untuk semua wanita, sebelum atau selama kehamilan untuk mencegah dan
mengurangi risiko. Berikut beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan
primer:
Pencegahan primer sebelum pembuahan dan selama kehamilan
1. Memberikan pendidikan: kepada semua wanita usia reproduksi diberikan pendidikan
mengenai faktor-faktor risiko dari PPI. Sehingga faktor-faktor risiko yang dapat
dimodifikasi seperti pengambilan keputusan mengenai prosedur invasif (kuretase
uterus dan biopsi endometrium), kehamilan yang dibantu oleh teknologi, dan merokok
dapat dihindari.
2. Kebijakan publik: terdapat kebijakan yang diterapkan oleh suatu pemerintahan dalam
melindungi wanita yang sedang hamil, seperti menerapkan waktu cuti minimal 14
minggu pada wanita hamil yang bekerja, memberikan izin bagi wanita yang berkerja
untuk menghadiri asuhan prenatal, menghindarkan wanita hamil dari jam kerja malam,
serta perlindungan wanita hamil terhadap bahaya lingkungan kerja.
3. Mengkonsumsi suplemen nutrisi: wanita yang sedang merencanakan kehamilan
disarankan untuk mulai mengkonsumsi berbagai suplemen nutrisi, hingga selama
kehamilan untuk mengurangi risiko masalah kehamilan. Berdasarkan penelitian,
morbiditas respiratori menurun pada bayi yang dilahirkan oleh wanita yang
mengkonsumsi tambahan vitamin.
4. Menghentikan konsumsi rokok sejak direncanakannya kehamilan, mengingat adanya
hubungan antara merokok dengan PPI.
5. Melakukan asuhan prenatal. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang melakukan
asuhan prenatal yang adekuat memiliki angka kejadian PPI yang lebih rendah dibanding
mereka yang melakukan asuhan prenatal tidak memadai, atau yang tidak melakukan
asuhan prenatal.
6. Melakukan perawatan periodontal. Risiko kelahiran preterm berhubungan dengan
keparahan penyakit periodontal, dan risiko meningkat ketika penyakit periodontal
berkembang selama kehamilan, tetapi dasar mengenai hubungan ini masih belum jelas.
Peningkatan risiko PPI ini dapat disebabkan oleh penyebaran secara hematogen dari
mikroba pathogen rongga mulut ke organ genital, atau lebih mungkin karena respon
inflamasi terhadap mikroba pada rongga mulut dan traktus genitalis.
7. Melakukan skrining wanita risiko rendah. Skrining dan terapi bakteriuria asimptomatik
telah dilaporkan menurunkan tingkat PPI. Namun, skrining dan protokol terapi yang
optimum dalam mencegah PPI masih belum jelas benar. Pencegahan PPI sebagian
besar didasarkan pada riwayat PPI sebelumnya dan adanya faktor risiko kehamilan
seperti kehamilan multipel dan perdarahan, tetapi lebih dari 50% PPI terjadi pada
kehamilan tanpa faktor risiko yang jelas. Sebagian besar faktor risiko yang didasarkan
pada riwayat persalinan sebelumnya ini, memiliki sensitivitas yang rendah dalam
memprediksi PPI. Namun, Goldenberg dkk melaporkan bahwa jumlah dan usia PPI
sebelumnya, merupakan faktor risiko PPI yang kuat, begitu juga dengan adanya
fibronektin janin pada cairan servikovaginal, panjang serviks, dan vaginosis bacterial,
juga merupakan faktor risiko PPI spontan yang kuat.
Pencegahan sekunder
Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi risiko pada wanita yang diketahui
memiliki faktor risiko PPI. Sehingga dilakukan pada wanita yang terbukti memiliki risiko PPI
berdasarkan riwayat persalinan (misalnya, PPI sebelumnya atau adanya anomali uterus) atau
adanya risiko kehamilan saat ini (misalnya kehamilan multipel atau perdarahan). Pencegahan
ini memerlukan identifikasi dan penurunan faktor risiko, yang keduanya terbukti sulit
dilakukan.
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan sekunder diantaranya
ialah:
1. Pencegahan sekunder sebelum konsepsi: koreksi anomali duktus Mullerian, pemberian
progesteron profilaksis, mengontrol penyakit-penyakit seperti diabetes, seizures, asma
atau hipertensi.
2. Pencegahan sekunder setelah konsepsi:
a. Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan kerja, dan menurunkan aktivitas
seksual, sering disarankan untuk menurunkan kemungkinan PPI)
b. Pemberian suplemen nutrisi (omega-3 polyunsaturated fatty acids dianggap dapat
menurunkan konsentrasi proinflammasi sitokin)
c. Peningkatan perawatan bagi wanita yang berisiko (asuhan prenatal yang intensif,
meliputi dukungan sosial, kunjungan ke rumah, serta pendidikan pada wanita hamil)
d. Terapi antibiotik (masih kontroversial, memberikan antibiotik pada wanita yang
mengalami PPI sebelumnya dengan dugaan dikarenakan bakterial vaginosis)
e. Pemberian progesteron (progesteron dianggap sebagai antagonis oksitosin, sehingga
menyebabkan relaksasi otot, selain itu progesteron memelihara integritas serviks, dan
memiliki efek antiinflamasi).
Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang umum dilakukan. Dimulai setelah
proses persalinan terjadi, dengan tujuan untuk mencegah kelahiran preterm atau meningkatkan
outcome dari bayi preterm. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan
tersier diantaranya ialah pengiriman ibu dengan PPI ke rumah sakit yang dilengkapi perawatan
bayi preterm dalam sistem regionalisasi, yang memberikan pelatihan dan pengembangan
keterampilan dan perawatan fasilitas, pemberian terapi tokolisis, kortikosteroid antenatal,
antibiotik dan PPI atas indikasi pada waktu yang tepat.