Anda di halaman 1dari 32

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Ketuban Pecah Dini

Ketuban pecah dini (premature rupture of the membrane - PROM ) adalah kondisi
dimana ketuban pecah sebelum proses persalinan dan usia gestasi 37 minggu. Jika ketuban
pecah pada usia gestasi <37 minggu, maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan
prematur (PPROM = preterm premature rupture of the membrane - preterm amniorrhexis).(1)
Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan ketuban sebelum terjadinya proses inpartu setelah
kehamilan 22 minggu.

Epidemiologi
Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% kehamilan. Pecahnya selaput ketuban
berkaitan dengan perubahan proses biokimia yangterjadi dalam kolagen matriks ekstra seluler
amnion, korion, dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap
stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan membran pereduksi mediator
seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang merangsang aktivitas matrix
degrading enzym.
Insiden KPD di Indonesia berkisar antara 2 5 %. Kejadian ini berhubungan dengan
meningkatnya angka kejadian prematuritas dan infeksi, yang selanjutnya akan berpengaruh
terhadap angka mortalitas dan morbiditas ibu dan janin. Kejadian infeksi akibat KPD di negara
berkembang adalah 13 47 %. Sementara itu, angka kejadian neonatal mortality rate (NMR)
adalah 18 per 1000 kelahiran hidup, dimana prematuritas berperan sebagai salah satu penyebab
pada 26 % kasus dan infeksi sebesar 28 % dari keseluruhan kasus. Faktor yang dideteksi
sebagai penyebab adalah ketuban pecah lebih dari 24 jam pada 1,8 6,7 %.(3) KPD diduga
dapat berulang kembali pada kehamilan berikutnya, diperkirakan 21% rasio KPD akan
berulang, sedangkan penelitian lain yang lebih baru menduga rasio berulangnya mencapai
angka 32%. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya risiko morbiditas pada ibu atau pun
janin.
Etiologi
Penyebab KPD yaitu berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan
intraauterine atau oleh kedua faktor tersebut dan akibat berkurangnya kekuatan membrane
disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks.
Penyebab ketuban pecah dini secara individual pada kebanyakan kasus masih sulit
diketahui, namun biasanya ketuban pecah dini disebabkan oleh kelemahan selaput ketuban dan
peningkatan tekanan distensi.
Kelemahan selaput ketuban dapat terjadi oleh karena:
1. Abnormalitas atau rendahnya struktur kolagen, akibat :
Berkurangnya ketebalan kolagen
Adanya enzim kolagenase dan protease yang menyebabkan depolimerisasi
kolagen, sehingga elastisitas dari kolagen berkurang
2. Infeksi bakteri melalui mekanisme :
Aktivitas enzim fosfolipase A2 yang merangsang pelepasan prostaglandin, sel
interleukin
Endoktoksin bakteri
Produksi enzim proteolitik yang menyebabkan lemahnya selaput ketuban
Lepasnya radikal bebas dan reaksi peroksidase yang merusak selaput ketuban
Peningkatan jumlah lisolesitin dalam cairan amnion yang dapat mengaktivasi
fosfolipid A2
Ascending infection oleh bakteri.
Peningkatan tekanan distensi misalnya pada kehamilan ganda, polihidramnion,
makrosomia, solusio plasenta. Adapun faktor risiko ketuban pecah dini anatara lain, riwayat
kehamilan sebelumnya dengan ketuban pecah dini, flora servikovaginal, defisiensi Cu, Zn,
Vitamin C, merokok, aktivitas seksual, Sindroma Ehlers Danlos dan trauma.
Patofisiologi
Membran fetus terdiri dari amnion yang mengelilingi ruang amnion dan korion yang
melekat pada desidua maternal. Amnion dan korion merupakan lapisan yang terpisah
dihubungkan oleh lapisan jaringan ikat yang kaya akan kolagen dan membentuk lapisan yang
kuat. Amnion tersusun dari 5 lapisan berbeda. Susunan lapisan pertama yang terdekat dengan
fetus adalah lapisan epithelium, terdiri dari sel-sel epitel amnion yang menghasilkan kolagen
dan glikoprotein dan menyusun membran basal di atasnya. Lapisan kedua adalah lapisan padat
jaringan ikat yang melekat dengan membran basal membentuk rangka amnion dan berperan
untuk mempertahankan integritas dari amnion. Lapisan berikutnya adalah lapisan yang paling
tebal yang tersusun dari fibroblas dan sel-sel mesenkim dalam matriks ekstraselular. Lapisan
kelima adalah lapisan spongiosa yang terletak antara amnion dan korion.

Gambar
1.
Struktur
membran
janin
pada usia

kehamilan aterm dan komposisi matriks ekstraselular pada tiap lapis dan tempat produksi
matriks metalloproteinase (MMP) dan inhibitor metaloprotinase jaringan (TIMP).

Membran amnion secara fisiologis mengalami perubahan seiring bertambahnya usia


kehamilan. Perubahan ini menggambarkan perubahan struktur, jenis kolagen, matriks
ekstraselular dan apoptosis selular yang progresif yang menyebabkan melemahnya membran,
terutama di daerah os servikalis interna. Melemahnya membran dapat distimulasi oleh matriks
metaloproteinase lokal (MMP-1, MMP-2, MMP-3), penurunan kadar inhibitor matriks
metaloproteinase jaringan membran (TIMP-1, TIMP-2), dan peningkatan pembelahan oleh
polimerase.
Ruptur membran saat intrapartum disebabkan oleh melemahnya membran secara
menyeluruh saat terjadi kontraksi uterus dan perengangan membran berulang sehingga
menyebabkan kekuatan rengangan membran semakin berkurang. Ruptur membran pada
kehamilan preterm menunjukan adanya defek fokal pada membran amnion dimana terjadi
perubahan morfologis ekstrim pada daerah tersebut. Tampak adanya pembengkakan dan
pemisahan struktur fibrilar kolagen pada lapisan padat, lapisan fibroblas dan lapisan spongiosa.
Pada ketuban pecah dini pada kehamilan preterm terjadi akselerasi proses yang terjadi pada
ruptur membran spontan saat persalinan aterm.
Ketahanan antara kekuatan rengangan membran janin menggambarkan keseimbangan
antara proses sintesis dan degradasi komponen matriks ekstraselular. Dimana terjadi perubahan
pada membran seperti penurunan komponen kolagen, perubahan struktur kolagen dan
peningkatan aktivitas kolagenase berkaitan dengan ketuban pecah dini. Penyakit jaringan ikat
seperti Ehler Danlos syndrome, defisiensi nutrisi seperti tembaga dan asam askorbat, dan pada
perokok dengan kandungan cadmium yang tinggi dapat berperan pada melemahnya membran
janin dan peningkatan insidens ketuban pecah dini preterm.
Salah satu mediator penting dalam terjadinya persalinan adalah prostaglandin.
Prostaglandin menyebabkan kontraksi miometrium, merangsang pematangan serviks,
pecahnya membran amnion dan mencetuskan aktifasi desidua. Mendekati akhir kehamilan,
kadar Prostaglandin endoperioxide synthase-2 (PTGS-2) meningkat pada amnion disertai
dengan penurunan enzim 15-hydroxyprostaglandin dehydrogenase (PGDH) yang
mendegradasi prostaglandin di chorion. Proses biokimia yang terjadi setelah aktifasi
prostaglandin adalah prostaglandin dan oksitosin (G-protein coupled to membrane
phospholipase C) akan merangsang otot polos rahim melalui peningkatan kadar Calsium yang
akan meningkatkan regulasi dari myosin light chain kinase (MLCK). MLCK meregulasi
fosforilasi myosin dan menyebabkan pemendekan dari filamen aktin myosin otot rahim.
Prostglandin merangasang pecahnya membran amnion dan pematangan serviks melalui
sintesis matrix metalloproteinases (MMP-1, MMP-2, MMP-9) dan turut berperan menghambat
fungsi progesteron.
Infeksi intrauterin dapat berperan sebagai penyebab ataupun sebagai akibat dari ruptur
membran amnion. Infeksi sekunder disebabkan pecahnya membran amnion sehingga terjadi
penjalaran asenden mikroorganisme yang terutama berasal dari traktus genitalis kemudian
terbentuk kolonisasi bakteri. Respon inflamasi terhadap infeksi bakteri dimediasi oleh neutrofil
polimorfonuklear dan makrofag yang dikerahkan ke lokasi infeksi dan memproduksi sitokin,
matriks metaloproteinase dan prostaglandin. Sitokin yang diproduksi oleh monosit yang
teraktivasi turut meningkatkan prostaglandin-E2 dan menginduksi siklooksigenase II untuk
mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin. Dengan proses-proses tersebut maka kadar
prostaglandin semakin meningkat dan mempengaruhi terjadinya kontraksi uterus.
Kolonisasi bakteri akibat penjalaran asenden dari traktus genitalis dapat menyebabkan
infeksi intramnion, desiduitis dan infeksi pada fetus. Beberapa mikroorganisme dapat
menghasilkan kolagenase, musinase dan protease yang menyebabkan melemahnya amnion dan
korion. Mikroorganisme patologik pada flora vagina setelah membran ruptur dapat
diidentifikasinya sesaat setelah membran ruptur. Organisme yang sering ditemukan ialah
streptokokus grup B, Staphylococcus aureus, Trichomonas vaginalis dan Gardenella
vaginalis. Maka dari itu pemberian antibiotik pada kasus ketuban pecah dini bertujuan untuk
mencegah terjadinya proses infeksi intrauterine yang berdampak pada morbiditas ibu dan janin.
Mikroba akan merangsang pembentukan sitokin dan kemokin inflamasi, seperti IL-1,
IL-6, IL-8, IL-1, dan TNF-, oleh makrofag melalui aktifasi toll-like receptors dan
desidua.Produk dari mikroba dan sitokin proinflamasi akan merangsang pembentukan
prostaglandin, mediator inflamasi lainnya, serta enzim pendegradasi matriks. Prostaglandin
akan merangsang terjadinya kontraksi myometrium dan degradasi selaput amnion yang
berujung pada pecahnya ketuban sebelum persalinan pada kehamilan preterm.
Mekanisme lain terjadinya infeksi intrauterine adalah melalui transplasenta dari
penyebaran secara hematogen dari kolonisasi mikroba pada bagian tubuh lain seperti mulut
(Haemophilus influenza atau F.Nucleatum). Selain itu, infeksi secara iatrogenic pada saat
invasif prosedur, seperti chorionic villous sampling, amniocentesis, dan cordocentesis juga
dapat terjadi. Penyebaran secara retrogradedari tuba falopii atau kolonisasi pada endometrium
sebelum implantasi juga dapat terjadi.
Interaksi biokimia dan neurohormon antara ibu, fetus, dan plasenta merupakan syarat
proses persalinan normal. Pada proses ini, kematangan axis hipotalamus-pituitari-adrenal-
plasenta fetus menunjukkan hal yang normal. Peran plasenta ini terjadi melalui aktifasi
berbagai jalur enzimatik, seperti 11-hydroxysteroid dehydrogenase (11-HSD) meregulasi
pengiriman kortisol oleh plasenta, yang merupakan glukokortikoid yang akan mengaktifasi
axis hipotalamus-pituitari-adrenal.
Infeksi, begitu juga kondisi peradangan dan perdarahan, berperan dalam aktifasi aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal fetus dan secara tidak langsung akan mengatur peningkatan
produksi prostaglandin pada plasenta dan jaringan ibu. Proses tersebut terjadi melalui
peningkatan kadar Corticotropin Releasing Hormone (CRH) di hipotalamus dan plasenta.
Corticotropin akan memberikan feedback positif pada kelenjar adrenal fetus untuk
memproduksi kortisol lebih banyak. Kortisol yang tinggi akan menekan efek inhibisi
progesterone terhadap gen CRH plasenta.

Bagan 1. Skema variasi mekanisme yang dapat menyebabkan ruptur membran pada
kehamilan preterm.

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat menegakkan 90% dari diagnosis. Kadang kala cairan seperti urin
dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa basah dari
vaginanya atau mengeluarkan cairan banyak dari jalan lahir. Riwayat keluarnya air
ketuban berupa cairan jernih yang keluar dari vagina kadang disertai tanda-tanda lain
dari persalinan.(1) Pasien dengan ketuban pecah dini mengeluh adanya keluar air
ketuban warna putih keruh, jernih, kuning, hijau, atau kecoklatan sedikit-sedikit atau
sekaligus banyak. Kebocoran cairan jernih dari vagina merupakan gejala yang khas.
Dapat disertai demam jika sudah ada infeksi. Pasien tidak sedang dalam masa
persalinan. Tidak ada nyeri maupun kontraksi uterus. Riwayat haid pasien, umur
kehamilan pasien diperkirakan dari hari haid terakhir dan umur kehamilan lebih dari 20
minggu.

2. Inspeksi
Pengamatan biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah,
dan jumlah airnya masih banyak, pemeriksaan ini akan makin jelas.
3. Pemeriksaan Inspekulo
Merupakan langkah pertama untuk mendiagnosis KPD karena pemeriksaan dalam
seperti vaginal toucher dapat meningkatkan resiko infeksi, cairan yang keluar dari
vagina perlu diperiksa : warna, bau, dan PH nya, yang dinilai adalah
Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan perdarahan dari serviks.
Dilihat juga prolapsus tali pusat atau ekstremitas janin. Bau dari amnion yang khas
juga harus diperhatikan.
Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung diangnosis KPD.
Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien untuk batuk untuk memudahkan
melihat pooling
Cairan amnion di konfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test. Kertas
lakmus akan berubah menjadi biru jika PH 6 6,5. Sekret vagina ibu memiliki PH
4 5, dengan kerta nitrazin ini tidak terjadi perubahan warna. Kertas nitrazin ini
dapat memberikan positif palsu jika tersamarkan dengan darah, semen atau
vaginisis trichomiasis.
4. Mikroskopis (tes pakis). Jika terdapat pooling dan tes nitrazin masih samar dapat
dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang diambil dari forniks posterior.
Cairan diswab dan dikeringkan diatas gelas objek dan dilihat dengan mikroskop.
Gambaran ferning menandakan cairan amnion
5. Dilakukan juga kultur dari swab untuk chlamydia, gonnorhea, dan stretococcus group
Pemeriksaan Lab
1. Pemeriksaan alpha fetoprotein (AFP), konsentrasinya tinggi didalam cairan amnion
tetapi tidak dicairan semen dan urin
2. Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisa
3. Tes pakis
4. Tes lakmus

Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri.
Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban sedikit (Oligohidramnion atau anhidramnion).
Oligohidramnion ditambah dengan hasil anamnesis dapat membantu diagnosis tetapi bukan
untuk menegakkan diagnosis rupturnya membran fetal. Selain itu dinilai amniotic fluid index
(AFI), presentasi janin, berat janin, dan usia janin.

Penatalaksanaan
a. UMUR KEHAMILAN < 28 MINGGU
Ketuban yang pecah sebelum umur kehamilan 28 minggu akan memperberat
sindrom Potter, akibat agenesis ginjal yang menyebabkan oligohidramnion dan
menimbulkan deformitas pada ekstremitas, wajah dan hipoplasia pulmonal. Selain itu
komplikasi jangka panjang akan menyebabkan cerebral palsy, kelainan perkembangan
saraf, penyakit paru kronis dan hidrosefalus. Hal ini harus diberitahukan pada pasien
yang memilih terapi konservatif. Bila memilih terapi konservatif maka
penatalaksanaannya sama dengan umur kehamilan < 34 minggu.

b. UMUR KEHAMILAN 28 37 MINGGU


Diperlukan pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru pada umur
kehamilan 28 34 minggu. Untuk umur kehamilan 34 37 minggu sudah tidak
diperlukan pematangan paru lagi. Regimen obat yang dapat digunakan adalah
deksametason 2 x 6 mg im ( 2 hari ) atau betametason 2 x 12 mg im ( 1 hari ).(8) Tokolitik
diberikan selama pemberian kortikosteroid tersebut ataupun bila akan dilakukan
rujukan ke pusat pelayanan yang lebih tinggi. Setelah pemberian kortikosteroid selesai,
maka sudah tidak direkomendasikan lagi penggunaan tokolitik. Kontraindikasi untuk
dilakukan terapi konservatif adalah kesejahteraan janin yang buruk, korioamnionitis
dan ditemukan tanda - tanda inpartu. Diagnosis korio-amnionitis ditegakkan bila
ditemukan salah satu dari fetal takikardi atau ibu takikardi atau ibu demam atau uterus
nyeri dan tegang.
Bila umur kehamilan 34 minggu sebaiknya dilakukan terminasi kehamilan
mengingat kemungkinan terjadinya ascending infection, sudah ada maturitas paru
dengan ada atau tidak pemberian kortikosteroid. Masih banyak kontroversi pada
pengelolaan KPD pada umur kehamilan 32 34 minggu. Jika memungkinkan dapat
dilakukan tes pematangan paru dari pemeriksaan invasif amniosintesis. Bila
kematangan paru telah tercapai maka dapat dilakukan terminasi kehamilan. Bila paru
belum matang, maka dilanjutkan pemberian kortikosteroid. Namun bila tes pematangan
paru ini tidak mungkin dilakukan maka dapat dilakukan pengelolaan ekspektatif tanpa
pemberian kortikosteroid maupun tokolitik. Serta terus dilakukan pemantauan
kesejahteraan janin setiap hari dan evaluasi kemungkinan korioamnionitis. Jika kondisi
ibu dan janin selama pemantauan baik dapat ditunggu sampai umur kehamilan
mencapai 34 minggu. Untuk terminasi kehamilan sama dengan pengelolaan untuk umur
kehamilan 37 minggu.

c. UMUR KEHAMILAN 37 MINGGU


Bila KPD terjadi pada umur kehamilan aterm maka sebaiknya dilakukan
terminasi kehamilan. Pilihan pervaginam maupun bedah seksio sesaria tergantung
kondisi ibu, janin dan kehamilan.(9) Pematangan serviks dengan misoprostol 25 ug per
vaginam setiap 6 jam selama 2 kali pemberian bila skor Bishop 5. Bila setelah 2 kali
pemberian skor Bishop tidak ada peningkatan maka dilanjutkan dengan induksi
persalinan oksitosin. Selama dilakukan induksi persalinan maupun priming misoprostol
tetap dilakukan evaluasi denyut jantung janin maupun kemungkinan korioamnionitis.
Tanda-tanda amnionitis yaitu demam, leukositosis (>18.000), nyeri tekan pada uterus,
takikardia (>100x/menit), fetal takikardi (>160x/menit), C-reaktif protein positif.
Bagan 2.
Alur Pengeloaan Ketuban Pecah Dini
Komplikasi
Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung
umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada
kehamilan antara 28-34 minggu persalinan dalam 24 jam.Pada kehamilan kurang dari 26
minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.

Infeksi
Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban Pecah Dini. Pada ibu terjadi
korioamnionitis dan pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya
terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada Ketuban Pecah Dini prematur, infeksi
lebih sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada Ketuban Pecah Dini
meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.(1) Komplikasi pada ibu yang dapat terjadi
antara lain endometritis, penurunan aktifitas miometrium (distonia, atonia), sepsis (daerah
uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi sangat banyak), syok septik sampai kematian ibu.
Komplikasi janin yang dapat terjadi adalah asfiksia janin, sepsis perinatal sampai kematian
janin.

Hipoksia dan Asfiksia


Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga
terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan
oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.

Sindrom Deformitas Janin


Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, kelainan disebabkan oelh kompresi muka dan anggota badan janin serta hipoplasi
pulmonary.

Pencegahan
Pada pasien perokok, diskusikan tentang pengaruh merokok selama kehamilan usaha
untuk menghentikan, motivasi untuk menambah berat badan yang cukup selama hamil,
anjurkan pasangan agar menghentikan koitus pada trimester akhir. Pencegahan komplikasi
amnionitis dapat dilakukan dengan menghindari VT yang teralalu sering dan hindari coitus,
pemakaian vaginal douche, tampon.
Prognosis

Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung pada usia kehamilan,
adanya infeksi / sepsis, faktor resiko / penyebab dan ketepatan diagnosis awal dan
penatalaksanaan. Prognosis dari KPD tergantung pada waktu terjadinya, lebih cepat kehamilan,
lebih sedikit bayi yang dapat bertahan. Bagaimanapun, umumnya bayi yang lahir antara 34 dan
37 minggu mempunyai komplikasi yang tidak serius dari kelahiran prematur.
Definisi PPI
Diagnosis PPI dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu
mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang dapat berhubungan
dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain mengatakan PPI adalah
persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama
haid terakhir (AJOG 1995). Namun, batas bawah usia kehamilan yang digunakan untuk
membedakan PPI dengan abortus spontan bervariasi menurut lokasi. Himpunan Kedokteran
Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa PPI adalah persalinan yang
terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.

Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas indikasi ibu
ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea; (2) PPI spontan dengan
selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya
dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan
indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang
didahului ketuban pecah dini.
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada wanita kulit
putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita
kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut
usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme
prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity),
sekitar 20% pada usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia
kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka kejadian
PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas
indikasi.
Gambar 2.1 Gambaran angka kejadian PPI di USA, 1989-2000
Etiologi
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab PPI multifaktorial dan sesuai dengan usia
kehamilan. Diantaranya ialah:
1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau polihidramnion),
3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau trikomonas),
6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus genitourinaria
atau infeksi sistemik),
7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal, baik
pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau janin), dan
8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I, penyalahgunaan obat,
merokok, atau konsumsi alkohol).
Tabel 2.1 Etiologi dan alur PPI yang diakui secara umum

Faktor Risiko
Meskipun patofisiologi PPI kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak faktor risiko
yang diketahui berperan pada PPI, dan pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting
dalam menilai kemungkinan terjadinya PPI. Namun sayangnya upaya untuk menilai faktor
risiko tersebut tidaklah mudah, karena lebih dari setengah dari PPI terjadi pada wanita yang
tidak memiliki faktor risiko yang jelas.
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya PPI:
Faktor risiko mayor
1. Kehamilan multipel
2. Polihidramnion
3. Anomali uterus
4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu
5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua
6. Riwayat PPI sebelumnya
7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop electrosurgical
excision procedure)
8. Penggunaan cocaine atau amphetamine
9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.

Faktor risiko minor


1. Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu
2. Riwayat pielonefritis
3. Merokok lebih dari 10 batang perhari
4. Riwayat abortus satu kali pada trimester kedua
5. Riwayat abortus > 2 kali pada trimester pertama.
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau dua atau
lebih faktor risiko minor; atau keduanya.
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat
sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status sosioekonomi yang rendah, ras,
stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya (seperti infeksi maternal, preeklamsia-
eklamsia, plasenta previa, kehamilan yang diperoleh melalui bantuan medikasi, terlambat atau
tidak melakukan asuhan antenatal). Merupakan langkah penting dalam pencegahan PPI adalah
bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian memberikan asuhan prenatal serta
penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.

Patogenesis
Penyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain. Berikut
beberapa alur yang umum terjadi pada PPI:

Aktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu: stres

Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang mengancam
atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan mengakibatkan akitivasi prematur
hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor
risiko penting untuk PPI. Beberapa penelitian telah menemukan 50% hingga 100% kenaikan
angka kelahiran preterm berhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan
gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan, kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin,
kekebalan tubuh, dan proses perilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan PPI terkait stres.
Namun, proses yang paling penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran preterm ialah
neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini dimediasi oleh
corticotrophin-releasing hormone (CRH) plasenta. Penelitian in vitro pada sel plasenta
manusia menunjukan CRH dilepaskan dari kultur sel plasenta manusia dalam dosis yang sesuai
responnya terhadap semua efektor biologi utama stres, termasuk kortisol, katekolamin,
oksitosin, angiotensin II, dan interleukin-1 (IL-1). Dalam penelitian in vivo juga ditemukan
hubungan yang signifikan antara stres psikososial ibu dan kadar CRH, ACTH, dan kortisol
plasma ibu. Beberapa penelitian menghubungkan kadar awal CRH plasma ibu dengan waktu
persalinan. Hobel dkk. melakukan penilaian kadar CRH serial selama kehamilan dan
menemukan bahwa dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm, wanita yang
melahirkan preterm memiliki kadar CRH yang meningkat secara signifikan, dengan
mempercepat peningkatan kadar CRH selama kehamilan. Selain itu, mereka menemukan
bahwa tingkat stres psikososial ibu pada pertengahan kehamilan secara

Gambar 2.2 Alur yang umum terjadi pada PPI


signifikan dapat memprediksi besarnya peningkatan CRH ibu di antara pertengahan kehamilan
dan setelahnya.
Data ini menunjukan bahwa hubungan antara stres psikologis ibu dan prematuritas
dimediasi oleh peningkatan prematur dari ekspresi CRH plasenta. Pada persalinan term,
aktivasi CRH plasenta sebagian besar didorong oleh aksis HPA janin dalam suatu feedback
positif pada pematangan janin. Pada PPI, aksis HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH
plasenta. Stres pada ibu, tanpa adanya penyebab PPI lainnya, seperti infeksi akan menyebabkan
peningkatan efektor biologi dari stres termasuk kortisol dan epinefrin, yang mengaktifkan
ekspresi CRH plasenta. CRH plasenta, pada gilirannya, dapat menstimulasi janin untuk
mensekresi kortisol dan dehydroepiandrosterone synthase (DHEA-S) (melalui aktivasi aksis
HPA janin) dan menstimulasi plasenta untuk mensintesis estriol dan prostaglandin, sehingga
mempercepat PPI.
Stres dapat berkonstribusi pada peningkatan angka kejadian PPI di antara orang Afrika-
Amerika di Amerika serikat. Asfiksia dapat mewakili hasil akhir yang umum pada berbagai
alur yang meliputi stres, perdarahan, preeklampsia, dan infeksi. Asfiksia memainkan peranan
penting dalam PPI, bayi lahir mati, dan perkembangan neonatal yang merugikan. Asfiksia
kronik yang berhubungan dengan insufisiensi sirkulasi uteroplasenta dapat terjadi pada infeksi
plasenta seperti malaria, atau penyakit ibu (seperti diabetes, preeklamsia, hipertensi kronik),
dan ditandai oleh aktivasi aksis HPA janin dan berikutnya kelahiran preterm.

Infeksi dan inflamasi


Patogenesis dari PPI masih belum dimengerti dengan benar. Namun, infeksi tampaknya
menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam PPI. Meskipun demikian, patogenesis
infeksi hingga menyebabkan PPI pun hingga kini belum jelas benar, namun diduga berkaitan
dengan sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh aktivasi fosfolipase A2 yang dihasilkan oleh
banyak mikroorganisme. Fosfolipase A2 akan memecah asam arakidonat dari selaput amnion
janin, sehingga asam arakidonat bebas meningkat untuk sintesis prostaglandin. Selain itu,
endotoksin (lipopolisakarida) bakteri dalam cairan amnion akan merangsang sel desidua untuk
menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang dapat menginisiasi proses persalinan. Berbagai
sitokin, termasuk interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumour necrosis factor (TNF)
adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan PPI. Sementara itu, platelet activating factor
(PAF) yang ditemukan dalam cairan amnion terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan
sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan oleh paru dan ginjal janin. Oleh karenanya, janin
tampaknya memainkan suatu peran yang sinergik untuk inisiasi kelahiran preterm yang
disebabkan oleh infeksi bakterial. Secara teleologis, hal ini kemungkinan menguntungkan bagi
janin yang ingin melepaskan dirinya dari lingkungan yang terinfeksi.
Endotoksin mikroba dan proinflammantori sitokin akan merangsang produksi
prostaglandin, mediator inflammatory lainnya, serta matrix-degrading enzymes. Prostaglandin
akan merangsang kontraksi uterus, dan berperan dalam mengatur metabolisme matriks
ekstraselular yang terkait dengan pematangan serviks saat dimulainya persalinan, sedangkan
degradasi dari matriks ekstraselular pada membran amnion akan menyebabkan ketuban pecah
dini yang kemudian menyebabkan PPI.
Endotoksin mikroba akan merangsang produksi progesteron melalui pemecahan asam
arakidonat, dan bersama sitokin akan meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H
synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase).
Meningkatnya PGHS-2 akan menstimulasi sintesis prostaglandin. Sedangkan downregulation
PGDH akan meningkatkan ratio prostaglandin (PG) terhadap prostaglandin metabolite (PGM),
yang akan meningkatkan aktivitas uterus, pematangan serviks, dan rupturnya membran
amnion.
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi infeksi
intrauterin, infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria asimptomatik, dan
periodontitis ibu. Mikroorganisme yang umum dilaporkan pada rongga amnion adalah genital
Mycoplasma spp, dan Ureaplasma urealyticum. Beberapa mikroorganisme yang umum pada
saluran genitalia bawah, seperti Streptococcus agalactiae, jarang tampak pada rongga amnion
sebelum selaput amnion pecah. Rongga amnion biasanya steril dari bakteri, dan adanya bakteri
yang jumlahnya cukup signifikan pada membran amnion diduga melalui mekanisme sebagai
berikut:
1. Secara ascending dari vagina dan serviks
2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.

Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah penyebaran
secara ascending dari vagina dan serviks. Hal ini dapat ditunjukkan oleh suatu kondisi yang
disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah kondisi ketika flora normal vagina
predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri
anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan ini
telah lama dikaitkan dengan ketuban pecah dini, PPI, dan infeksi amnion, terutama bila pada
pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0.

Gambar 2.3 Jalur masuknya kuman penyebab infeksi

Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)


Perdarahan desidua dapat menyebabkan PPI. Lesi vaskular dari plasenta biasanya
dihubungkan dengan PPI dan ketuban pecah dini. Lesi plasenta dilaporkan 34% dari wanita
dengan PPI, 35% dari wanita dengan ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa
komplikasi. Lesi ini dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari
arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan mekanisme yang
menghubungkan lesi vaskular dengan PPI ialah iskemi uteroplasenta. Meskipun
patofisiologinya belum jelas, namum trombin diperkirakan memainkan peran utama.
Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease multifungsi
yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan otot halus miometrium.
Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos longitudinal miometrium, secara in
vitro. Baru-baru ini, observasi in vitro mengenai trombin dan kontraksi miometrium yang
diperkuat oleh penelitian in vivo menunjukan bahwa kontraksi miometrium secara signifikan
menurun dengan pemberian heparin yang diketahui merupakan inhibitor trombin. Penelitian in
vitro dan in vivo memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai peningkatan
aktivitas uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta PPI yang mengikuti
perdarahan pada trimester pertama dan kedua.
Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah dini. Matrix
metaloproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari membran janin dan
choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di bawah ini. Secara in vitro,
trombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan MMP-9 pada sel-sel desidua dan
membran janin yang dikumpulkan dari kehamilan term tanpa komplikasi. Trombin juga
menimbulkan peningkatan IL-8 desidua, sebuah sitokin yang bertanggung jawab terhadap
recruitment neutrofil. Abrupsi plasenta terbuka, sebuah contoh ekstrim dari perdarahan
desidua, ditandai infiltrasi neutrofil pada desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs. Ini
mungkin melengkapi mekanisme ketuban pecah dini (KPD) pada perdarahan desidua.

Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)


Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai PPI yang
berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan makrosomia. Kehamilan
multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu oleh tekhnologi (assisted
reproduction technologies (ART)), termasuk induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan
merupakan satu dari penyebab yang paling penting dari PPI di negara-negara maju. Di Amerika
Serikat misalnya, ART merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi 17% dari semua
kehamilan multipel; 53% neonatus hasil dari ART pada tahun 2003 merupakan anak kembar.
Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan PPI masih belum jelas.
Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi ekspresi protein gap junction, seperti
connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi protein lainnya yang berhubungan dengan
kontraksi, seperti reseptor oksitosin. Pada penelitian in vitro, regangan miometrium juga
meningkatkan prostaglandin H synthase 2 (PGHS-2) dan prostaglandin E (PGE). Regangan
otot pada segmen menunjukan peningkatan produksi IL-8 dan kolagen, yang pada gilirannya
akan memfasilitasi pematangan serviks. Namun, penelitian eksperimental pada hewan
mengenai uterine overdistension hingga saat ini belum ada, dan penelitian pada manusia
sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.

Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada trimester
kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks berhubungan
dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup luas, termasuk PPI.
Insufisiensi serviks secara tradisi telah diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat
pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima
penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero
diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur operasi seperti
Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization; (4) kerusakan yang bersifat
traumatis; dan (5) infeksi.
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan cervical
cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan kasus insufisiensi
serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan pemendekan serviks prematur dari
proses patofisiologi lainnya yang mana cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik
diprediksi oleh panjang serviks yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal.
Panjang serviks yang diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding
terbalik dengan risiko PPI. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari
kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan PPI dengan panjang serviks pada kehamilan
berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat obstetri dari insufisiens serviks dan
panjang serviks pada kehamilan berikutnya.
Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan pemendekan serviks
lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling serviks prematur, hasil dari proses
patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin memainkan peranan penting dalam pemendekan dan
dilatasi serviks prematur. Lima puluh persen dari pasien dievaluasi dengan amniosintesis
sehubungan dengan dilatasi serviks asimptomatik pada trimester kedua, dan 9% dari pasien
memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks terbukti mengalami infeksi
intraamnion. Data ini menunjukan suatu peranan penting infeksi intraamnion yang menyebar
secara ascending.

Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga meningkat pada
perokok. Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita yang merokok sampai saat ini
belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang rokok, yang masing-masing
efek biologisnya sebagian besar tidak diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida
merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta
menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya
pertumbuhan janin dan PPI.
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah uteroplasenta
atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal
(HPA) janin, yang ditunjukkan dengan peningkatan corticotrophin-releasing hormone (CRH)
oleh hipotalamus, yang kemudian memacu sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH)
oleh hipofisis anterior. ACTH pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol
dari korteks adrenal. Kortisol kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H
synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase).
Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik yang juga
dianggap dapat meningkatkan risiko PPI, melalui peningkatan produksi sitokin.

Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman PPI. Diferensiasi dini
antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan sebelum adanya pendataran
dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri dapat menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons
Hicks. Kontraksi ini digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak
begitu sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar
dalam penegakan diagnosis PPI. Tidak jarang, wanita yang melahirkan sebelum aterm
mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons Hicks, yang mengarahkan
ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI, yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit
sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa tekanan
intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau telah
terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The American
Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis PPI ialah sebagai
berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan kali
dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan PPI ialah, apakah ini memang PPI.
Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara
klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat janin, jumlah dan
keadaan cairan amnion, persentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital.

Bila proses PPI masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah dilakukan segala
upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter spesialis kesehatan
anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm, atau berapa persen yang akan
hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma gawat nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan bayi preterm
dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan rencana
perawatan intensif neonatus.

Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan tanda-tanda PPI
perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal outcomes.

Manajemen PPI tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:


1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat bilamana
selaput ketuban sudah pecah.
2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm.
3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan makin perlu
dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila TBJ > 2000 gram, atau
kehamilan > 34 minggu.
a. Usia kehamilan 34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer, mengingat
prognosis relative baik.
b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas
perawatan neonatus yang memadai.
4. Penyebab/komplikasi PPI.
5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah morbiditas
dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1. Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,
2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
3. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.

Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak ada yang
benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila dijumpai
kontraksi uterus yang regular disertai perubahan serviks pada kehamilan preterm.

Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah:


1. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
2. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan paru janin
3. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengkap
4. Optimalisasi personil.

Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:


1. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam
sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya hanya diperlukan 20 mg.
Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi berulang.Dan dosis perawatan 3x10 mg.
2. Obat -mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat digunakan,
tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.
Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 g/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-4
kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 g/menit,
subkutan: 250 g setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam
(maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia, hipokalemia,
hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru.
3. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara bolus
selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat ini jarang
digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu ataupun janin.7
Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan
(pada ibu dan bayi).
4. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat
menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs)
yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat
COX yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac
memiliki efek samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide
saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.

Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi aktivitas
atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.

Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine terbukti


tidak baik, seperti:
a. Oligohidramnion
b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c. Preeklamsia berat
d. Hasil nonstrees test tidak reaktif
e. Hasil contraction stress test positif
f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien stabil dan
kesejahteraan janin baik
g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.

Akselerasi pematangan fungsi paru


Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru janin,
menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah perdarahan
intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan
kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35
minggu.
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini tidak
diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus tunggal kortikosteroid
ialah:
1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.

Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing hormone 400
ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat meningkatkan
produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol merupakan
komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan.
Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang tepat dapat
menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum.9 Antibiotika hanya
diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD.
Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat
pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika
lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko necrotising
enterocolitis.7
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun anaerob.
Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah itu dilakukan deteksi
dan penanganan terhadap faktor risiko PPI, bila tidak ada kontra indikasi, diberi tokolisis.
Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti: apakah
sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama pada berat janin
yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk melindungi kepala janin,
dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi
trauma kepala. Bila janin presentasi kepala maka diperbolehkan partus pervaginam dengan
episiotomi lebar dan perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu.
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan
merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk
melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik.
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah, oligohidramnion, dan
cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan sebagainya).

Komplikasi
Pada ibu, setelah PPI, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga mengakibatkan
sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Sedangkan bagi bayi, PPI menyebabkan
70% kematian prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka pendek maupun
jangka panjang. Morbiditas jangka pendek diantaranya ialah respiratory distress syndrome
(RDS), perdarahan intra/periventrikular, necrotising enterocolitis (NEC), displasia bronko-
pulmoner, sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang yang
meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan,
hilangnya pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang
kurang baik.
Pencegahan
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan PPI dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Pencegahan primer
Ditujukan untuk semua wanita, sebelum atau selama kehamilan untuk mencegah dan
mengurangi risiko. Berikut beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan
primer:
Pencegahan primer sebelum pembuahan dan selama kehamilan
1. Memberikan pendidikan: kepada semua wanita usia reproduksi diberikan pendidikan
mengenai faktor-faktor risiko dari PPI. Sehingga faktor-faktor risiko yang dapat
dimodifikasi seperti pengambilan keputusan mengenai prosedur invasif (kuretase
uterus dan biopsi endometrium), kehamilan yang dibantu oleh teknologi, dan merokok
dapat dihindari.
2. Kebijakan publik: terdapat kebijakan yang diterapkan oleh suatu pemerintahan dalam
melindungi wanita yang sedang hamil, seperti menerapkan waktu cuti minimal 14
minggu pada wanita hamil yang bekerja, memberikan izin bagi wanita yang berkerja
untuk menghadiri asuhan prenatal, menghindarkan wanita hamil dari jam kerja malam,
serta perlindungan wanita hamil terhadap bahaya lingkungan kerja.
3. Mengkonsumsi suplemen nutrisi: wanita yang sedang merencanakan kehamilan
disarankan untuk mulai mengkonsumsi berbagai suplemen nutrisi, hingga selama
kehamilan untuk mengurangi risiko masalah kehamilan. Berdasarkan penelitian,
morbiditas respiratori menurun pada bayi yang dilahirkan oleh wanita yang
mengkonsumsi tambahan vitamin.
4. Menghentikan konsumsi rokok sejak direncanakannya kehamilan, mengingat adanya
hubungan antara merokok dengan PPI.
5. Melakukan asuhan prenatal. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang melakukan
asuhan prenatal yang adekuat memiliki angka kejadian PPI yang lebih rendah dibanding
mereka yang melakukan asuhan prenatal tidak memadai, atau yang tidak melakukan
asuhan prenatal.
6. Melakukan perawatan periodontal. Risiko kelahiran preterm berhubungan dengan
keparahan penyakit periodontal, dan risiko meningkat ketika penyakit periodontal
berkembang selama kehamilan, tetapi dasar mengenai hubungan ini masih belum jelas.
Peningkatan risiko PPI ini dapat disebabkan oleh penyebaran secara hematogen dari
mikroba pathogen rongga mulut ke organ genital, atau lebih mungkin karena respon
inflamasi terhadap mikroba pada rongga mulut dan traktus genitalis.
7. Melakukan skrining wanita risiko rendah. Skrining dan terapi bakteriuria asimptomatik
telah dilaporkan menurunkan tingkat PPI. Namun, skrining dan protokol terapi yang
optimum dalam mencegah PPI masih belum jelas benar. Pencegahan PPI sebagian
besar didasarkan pada riwayat PPI sebelumnya dan adanya faktor risiko kehamilan
seperti kehamilan multipel dan perdarahan, tetapi lebih dari 50% PPI terjadi pada
kehamilan tanpa faktor risiko yang jelas. Sebagian besar faktor risiko yang didasarkan
pada riwayat persalinan sebelumnya ini, memiliki sensitivitas yang rendah dalam
memprediksi PPI. Namun, Goldenberg dkk melaporkan bahwa jumlah dan usia PPI
sebelumnya, merupakan faktor risiko PPI yang kuat, begitu juga dengan adanya
fibronektin janin pada cairan servikovaginal, panjang serviks, dan vaginosis bacterial,
juga merupakan faktor risiko PPI spontan yang kuat.

Pencegahan sekunder
Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi risiko pada wanita yang diketahui
memiliki faktor risiko PPI. Sehingga dilakukan pada wanita yang terbukti memiliki risiko PPI
berdasarkan riwayat persalinan (misalnya, PPI sebelumnya atau adanya anomali uterus) atau
adanya risiko kehamilan saat ini (misalnya kehamilan multipel atau perdarahan). Pencegahan
ini memerlukan identifikasi dan penurunan faktor risiko, yang keduanya terbukti sulit
dilakukan.
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan sekunder diantaranya
ialah:
1. Pencegahan sekunder sebelum konsepsi: koreksi anomali duktus Mullerian, pemberian
progesteron profilaksis, mengontrol penyakit-penyakit seperti diabetes, seizures, asma
atau hipertensi.
2. Pencegahan sekunder setelah konsepsi:
a. Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan kerja, dan menurunkan aktivitas
seksual, sering disarankan untuk menurunkan kemungkinan PPI)
b. Pemberian suplemen nutrisi (omega-3 polyunsaturated fatty acids dianggap dapat
menurunkan konsentrasi proinflammasi sitokin)
c. Peningkatan perawatan bagi wanita yang berisiko (asuhan prenatal yang intensif,
meliputi dukungan sosial, kunjungan ke rumah, serta pendidikan pada wanita hamil)
d. Terapi antibiotik (masih kontroversial, memberikan antibiotik pada wanita yang
mengalami PPI sebelumnya dengan dugaan dikarenakan bakterial vaginosis)
e. Pemberian progesteron (progesteron dianggap sebagai antagonis oksitosin, sehingga
menyebabkan relaksasi otot, selain itu progesteron memelihara integritas serviks, dan
memiliki efek antiinflamasi).

Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang umum dilakukan. Dimulai setelah
proses persalinan terjadi, dengan tujuan untuk mencegah kelahiran preterm atau meningkatkan
outcome dari bayi preterm. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan
tersier diantaranya ialah pengiriman ibu dengan PPI ke rumah sakit yang dilengkapi perawatan
bayi preterm dalam sistem regionalisasi, yang memberikan pelatihan dan pengembangan
keterampilan dan perawatan fasilitas, pemberian terapi tokolisis, kortikosteroid antenatal,
antibiotik dan PPI atas indikasi pada waktu yang tepat.

Anda mungkin juga menyukai