KELOMPOK VIII
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO III
Apakah Saya Alergi
4. Oksigenasi nasal kanul: Nasal kanul adalah selang bantu pernafasan yang
di letakan pada lubang hidung. Tujuan dari nasal kanul itu sendiri adalah
untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh karena mengalami
kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan oksigen. pemberian oksigen
dengan alat yang dimasukkan ke dalam hidung ini dengan kecepatan 1-
6L/menit, saturasinya 22-24%, selang bantu pernapasan yg diletakkan
pada hidung, bahannya dari plastik. 3 lpm= liter per menit. (Perry, 2010)
5. Arang aktif: Karbon Aktif (arang aktif) atau activated charcoal adalah zat
arang yang telah melalui proses sedemikian rupa sehingga memiliki pori-
pori kecil dan memungkinkannya untuk menyerap bahan yang dilalui,
seperti gas yang timbul di dalam usus.Selain berfungsi sebagai adsorben
(zat penyerap) di dalam usus, karbon aktif juga digunakan sebagai obat
antidiare serta penanganan pertama pada kondisi darurat berupa
keracunan. Karbon aktif bekerja dengan cara menyerap racun yang ada di
dalam perut sebelum terserap oleh tubuh manusia. (Achmad, 2004)
6. Intravena 2 jalur: IV dua jalur adalah pemasangan infus dua jalur intravena
dengan jarum besar dipasang untuk membuat akses intravena guna
pemberian cairan. (Moses, 2011)
2. Apakah ada hubungan antara riwayat alergi susu sapi saat anak-anak
dengan kondisi pasien saat ini ?
10. Apa saja konseling yang diberikan pada pasien dan keluarga sebagai
pencegahan ?
1. Penyebab pasien nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah lebih dari 5
kali dan diare lebih dari 10 kali
Muntah dan diare merupakan efek yang umum dari keracunan makanan
yang merupakan usaha tubuh untuk membersihkan diri dari racun yang
tertelan. Kram perut yang timbul bisa membuat muntah dan diare menjadi
lebih parah. Jika muntah dan diare berlangsung terus menerus bisa
menyebabkan hilangnya nutrisi penting. Perut nyeri Kram perut umumnya
terjadi segera setelah mengonsumsi makanan, atau dalam waktu 12-72
jam. Kondisi ini merupakan salah satu usaha penolakan tubuh terhadap zat
beracun. Kram perut umumnya hilang sendiri dalam waktu 4-7 hari,
Pemeriksaan lab
Pengecatan Gram untuk feses dan pengecatan Leoffler methylene blue untuk
sel darah putih: guna membedakan jenis yang invasif dan bukan invasif.
Pemeriksaan mikroskopik feses, mendeteksi apakah ada parasit atau telur
parasit.
Kultur bakteri untuk patogen enterik. Diharuskan jika sampel feses
menunjukkan positif sel darah putih atau darah, atau jika pasien memiliki
gejala persisten yang lebih lama dari 3-4 hari.
Kultur darah jika pasien memiliki demam tinggi.
Penilaian C difficile guna membantu menentukan diare yang dihubungkan
dengan penggunaan antibiotik, atau pada mereka yang memiliki riwayat
penggunaan antibiotik baru-baru saja.
b. Keuntungan
Konsentrasi oksigen yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau
kanula nasal, sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan
sungkup berlubang besar,dapat digunakan dalam pemberian terapi
aerosol.
c. Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.Menyekap, tidak
memungkinkan untuk makan dan batuk.Bisa terjadi aspirasi bila pasien
mntah. Perlu pengikat wajah, dan apabila terlalu ketat menekan kulit
dapat menyebabkan rasa pobia ruang tertutup, pita elastik yang dapat
disesuaikan tersedia untuk menjamin keamanan dan kenyamanan.
d. Indikasi
Efektif diberikan pada klien yang mengalami :
i) Gagal nafas
Ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial
normal O2 dan CO2 di dalam darah, disebabkan oleh gangguan
pertukaran O2 dan CO2 sehingga sistem pernapasan tidak mampu
memenuhi metabolisme tubuh.
ii) Gangguan jantung (gagal jantung)
Ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan
oksigen.
iii) Kelumpuhan alat pernafasan
Suatu keadaan dimana terjadi kelumpuhan pada alat pernapasan untuk
memenuhi kebutuhan oksigen karena kehilangan kemampuan ventilasi
secara adekuat sehingga terjadi kegagalan pertukaran gas O2dan CO2.
iv) Perubahan pola napas.
Hipoksia (kekurangan oksigen dalam jaringan), dyspnea (kesulitan
bernapas, misal pada pasien asma),sianosis (perubahan warna menjadi
kebiru-biruan pada permukaan kulit karena kekurangan oksigen),
apnea (tidak bernapas/ berhenti bernapas), bradipnea (pernapasan lebih
lambat dari normal dengan frekuensi kurang dari 16x/menit), takipnea
(pernapasan lebih cepat dari normal dengan frekuensi lebih dari
24x/menit (Tarwoto&Wartonah, 2010:35)
v) Keadaan gawat (misalnya : koma)
Pada keadaan gawat, misal pada pasien koma tidak dapat
mempertahankan sendiri jalan napas yang adekuat sehingga
mengalami penurunan oksigenasi.
vi) Trauma paru
Paru-paru sebagai alat penapasan, jika terjadi benturan atau cedera
akan mengalami gangguan untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi.
vii) Metabolisme yang meningkat : luka bakar
Pada luka bakar, konsumsi oksigen oleh jaringan akan meningkat dua
kali lipat sebagai akibat dari keadaan hipermetabolisme.
viii) Post operasi
Setelah operasi, tubuh akan kehilangan banyak darah dan pengaruh
dari obat bius akan mempengaruhi aliran darah ke seluruh tubuh,
sehingga sel tidak mendapat asupan oksigen yang cukup.
ix) Keracunan karbon monoksida
Keberadaan CO di dalam tubuh akan sangat berbahaya jika dihirup
karena akan menggantikan posisi O2yang berikatan dengan
hemoglobin dalam darah.
(Aryani, 2009:53)
e. Kontraindikasi
Tidak ada konsentrasi pada pemberian terapi oksigen dengan syarat
pemberian jenis dan jumlah aliran yang tepat. Namun demikan,
perhatikan pada khusus berikut ini
i) Pada klien dengan PPOM (Penyakit Paru Obstruktif Menahun)
yang mulai bernafas spontan maka pemasangan masker partial
rebreathing dan non rebreathing dapat menimbulkan tanda dan
gejala keracunan oksigen. Hal ini dikarenakan jenis masker
rebreathing dan non-rebreathing dapat mengalirkan oksigen
dengan konsentrasi yang tinggi yaitu sekitar 90-95%
ii) Face mask tidak dianjurkan pada klien yang mengalami
muntah-muntah
iii) Jika klien terdapat obstruksi nasal maka hindari pemakaian
nasal kanul.
B. Injeksi adrenalin
Pada saat pasien tampak sangat kesakitan dan benar-benar diragukan
kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500mcg
(5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan
kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan.
Pada anak-anak dapat diberi dosis 10mcg/kgBB (0,1ml/kgBB dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000 dengan injeksi intravena lambat
selama beberapa menit.
Adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah,
menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan
histamine dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin
meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan
mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan
otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi
jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir
dalam waktu pendek (Aprilisyawati, 2009).
Cara pemberian adrenalin dalam menangani syok anafilaktik yaitu:
i) Adrenalin subcutan
Absorbsi lambat namun konstan karena terjadi vasokonstriksi pada
jaringan sekitar, sehingga perlu dilakukan pemijatan.
ii) Adrenalin Intramuscular
Pemberian secara intramuskuler merupakan pilihan pertama dari
cara pemberian adrenalin pada penatalaksanaan syok anafilaktik.
Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian
intramuskuler dan pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Pasien dengan alergi berat dianjurkan untuk pemberian
sendiri injeksi intramuskuler adrenalin. Volume injeksi adrenalin
1:1000 (1mg/ml) untuk injeksi intramuskuler pada syok
anafilaksis.
Karbon Aktif (arang aktif) atau activated charcoal adalah zat arang
yang telah melalui proses sedemikian rupa sehingga memiliki pori-pori
kecil dan memungkinkannya untuk menyerap bahan yang dilalui,
seperti gas yang timbul di dalam usus.
Dikonsumsi
oleh Dewasa dan anak.
Peringatan
Penderita yang sedang berada pada kondisi tidak sadar atau penurunan
kesadaran.
Penderita yang memiliki alergi terhadap jenis obat-obatan ini atau pada
pengawet dan pewarna makanan serta hewan.
Hindari penggunaan karbon aktif tanpa sepengetahuan dokter karena
pada beberapa kondisi dapat membuat penyakit pasien memburuk.
Penanganan keracunan
dalam bentuk bubuk pada Dosis biasanya dimulai dari 25-
anak dan dewasa 100 g, lalu dicampur dengan air
Penanganan keracunan
dalam bentuk suspensi Dosis biasanya dimulai dari 25-
oral pada anak dan dewasa 100 g
Penanganan keracunan
dalam bentuk suspensi Dosis biasanya dimulai dari 25-
oral pada anak usia 1-12 50 g atau 0.5-1 gram per
tahun kilogram berat badan
Karbon aktif dapat dikonsumsi bersama makanan atau tidak dan pasien
dianjurkan untuk berkonsultasi kepada dokter terlebih dahulu sebelum
menggunakan obat ini. Di Indonesia, obat ini tersedia dalam bentuk
tablet dengan dosis sebesar 250 mg.
Belum ditemukan adanya efek samping lain dari karbon aktif, namun
segera temui dokter jika Anda mengalami diare, muntah-muntah, atau
konstipasi.
E. Rawat inap
RPS: RPD:
Minum susu kaleng terbuka Alergi susu sapi
Gejala:
Nyeri kepala, nyeri
perut, mual,
muntah, diare.
Terapi
Injeksi Pemberian
oksigenasi Infus Ringer Laktat
adrenalin arang aktif
nasal kanul 3 (RL) tetesan cepat
lpm
Diagnosis
banding
Diagnosis
Natrium adaiah salah satu mineral yang banyak terdapat pada cairan
elektrolit ekstraseluler (di luar sel), mempunyai efek menahan air,
berfungsi untuk mempertahankan cairan dalam tubuh, mengaktifkan
enzim, sebagai konduksi impuls saraf.
Kalium (K)
Nilai normal :
Klorida (Cl)
Nilai normal :
Nilai normal :
9-11 mg/dl (di serum) ; <150 mg/24 jam (di urin & diet rendah
Dewasa
Ca) ; 200 300 mg/24 jam (di urin & diet tinggi Ca)
Bayi baru
7,4 -14 mg/dl.
lahir
3. Nasal kanul
Alat sederhana yang murah dan sering digunakan untuk menghantarkan
oksigen. Nasal kanul terdapat dua kanula yang panjangnya masing-masing
1,5 cm (1/2 inci) menonjol pada bagian tengah selang dan dapat
dimasukkan ke dalam lubang hidung untuk memberikan oksigen dan yang
memungkinkan klien bernapas melalui mulut dan hidungnya. Oksigen
yang diberikan dapat secara kontinyu dengan aliran 1-6
liter/menit.Konsentrasi oksigen yang dihasilkan dengan nasal kanul sama
dengan kateter nasal yaitu 24 % - 44 %. Berikut ini adalah aliran FiO2
yang dihasilkan nasal kanul:
1 Liter /min : 24 %
2 Liter /min : 28 %
3 Liter /min : 32 %
4 Liter /min : 36 %
5 Liter /min : 40 %
6 Liter /min : 44 %
Formula : ( Flows x 4 ) + 20 % / 21 %
Indikasi dan Kontraindikasi (Suparmi, 2008 & Ignatavicius, 2006)
Indikasi:
1) Pasien yang bernapas spontan tetapi membutuhkan alat bantu nasal
kanula untuk memenuhi kebutuhan oksigen (keadaan sesak atau tidak
sesak).
2) Pasien dengan gangguan oksigenasi seperti klien dengan asthma,
PPOK, atau penyakit paru yang lain
3) Pada pasien yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang
Kontraindikasi:
1) Pada pasien dengan obstruksi nasal
2) Pasien yang apneu
Hal-hal yang harus diperhatikan (Potter & Perry, 2010):
1) Pastikan jalan napas harus paten tanpa adanya sumbatan di nasal
2) Hati-hati terhadap pemakaian kanul nasal yang terlalu ketat dapat
menyebabkan kerusakan kulit ditelinga dan hidung.
3) Jangan terlalu sering menggunakan aliran > 4 liter/menit karena
dapat menimbulkan efek pengeringan pada mukosa
Keuntungan dan Kerugian (Ni Luh Suciati, 2010)
Keuntungan:
1) Pemasangannya lebih mudah dibandingkan dengan kateter nasal
2) Lebih murah dan disposibel
3) Pasien lebih mudah makan, minum dan berbicara
4) Pasien lebih mudah mentolerir dan merasa nyaman
5) Pemberian oksigen lebih stabil dengan volume tidal dan laju
pernafasan yang teratur
Kerugian:
1) Konsentrasi yang diberikan tidak bisa lebih dari 44%
2) Mudah lepas karena kedalaman kanul hanya 1-1.5 cm
3) Oksigen bisa berkurang jika pasien bernapas melalui mulut
4) Aliran Oksigen > 4 liter/menit jarang digunakantidak akan
menambah FiO2 dan bisa menyebabkan iritasi selaput lender serta mukosa
kering
5) Pemasangan selang nasal yang terlalu ketat dapat mengiritasi kulit
di daerah telinga dan hidung
5. ADRENALIN
Adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati
syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah,
menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan
histamine dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin
meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan
mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan
otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi
jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir
dalam waktu pendek (Aprilisyawati, 2009).
Cara pemberian adrenalin dalam menangani syok anafilaktik yaitu:
1. Adrenalin subcutan
Absorbsi lambat namun konstan karena terjadi vasokonstriksi pada
jaringan sekitar, sehingga perlu dilakukan pemijatan.
2. Adrenalin Intramuskular
Pemberian secara intramuskuler merupakan pilihan pertama dari cara
pemberian adrenalin pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin
memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler dan pada
pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebihg cepat dan lebih
baik dari pada pemberian subkutan. Pasien dengan alergi berat dianjurkan
untuk pemberian sendiri injeksi intramuskuler adrenalin. Volume injeksi
adrenalin 1:1000 (1mg/ml) untuk injeksi intramuskuler pada syok
anafilaksis.
3. Adrenalin Intravena
Pada saat pasien tampak sangat kesakitan dan benar-benar diragukan
kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500mcg
(5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan
kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan.
Pada anak-anak dapat diberi dosis 10mcg/kgBB (0,1ml/kgBB dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000 dengan injeksi intravena lambat
selama beberapa menit.
6. DIAGNOSIS BANDING
A. Keracunan Pangan Akibat Bakteri Patogen
Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk
pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Namun, dapat pula timbul
penyakit yang disebabkan oleh pangan. Keracunan pangan atau foodborne
disease (penyakit bawaan makanan), terutama yang disebabkan oleh
bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius di berbagai negara
termasuk Indonesia. Seringkali diberitakan terjadinya keracunan pangan
akibat mengkonsumsi hidangan pesta, makanan jajanan, makanan catering,
bahkan pangan segar. Terdapat tiga faktor kunci yang umumnya
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan akibat bakteri,
yaitu kontaminasi bakteri patogen harus ada dalam pangan;
pertumbuhan dalam beberapa kasus, bakteri patogen harus memiliki
kesempatan untuk berkembang biak dalam pangan untuk menghasilkan
toksin atau dosis infeksi yang cukup untuk menimbulkan penyakit; daya
hidup (survival) jika berada pada kadar yang membahayakan, bakteri
patogen harus dapat bertahan hidup dalam pangan selama penyimpanan
dan pengolahannya.
Bakteri dapat menyebabkan keracunan pangan melalui dua mekanisme,
yaitu intoksikasi dan infeksi.
Intoksikasi
2. Clostridium botulinum
Clostridium botulinum merupakan bakteri Gram-positif yang dapat
membentuk spora tahan panas, bersifat anaerobik, dan tidak tahan
asam tinggi. Toksin yang dihasilkan dinamakan botulinum, bersifat
meracuni saraf (neurotoksik) yang dapat menyebabkan paralisis.
Toksin botulinum bersifat termolabil. Pemanasan pangan sampai suhu
800 C selama 30 menit cukup untuk merusak toksin. Sedangkan spora
bersifat resisten terhadap suhu pemanasan normal dan dapat bertahan
hidup dalam pengeringan dan pembekuan.
Gejala keracunan:
Gejala botulism berupa mual, muntah, pening, sakit kepala,
pandangan berganda, tenggorokan dan hidung terasa kering, nyeri
perut, letih, lemah otot, paralisis, dan pada beberapa kasus dapat
menimbulkan kematian. Gejala dapat timbul 12-36 jam setelah
toksin tertelan. Masa sakit dapat berlangsung selama 2 jam sampai
14 hari.
Penanganan:
Tidak ada penanganan spesifik untuk keracunan ini, kecuali
mengganti cairan tubuh yang hilang.
Kebanyakan keracunan dapat terjadi akibat cara pengawetan pangan
yang keliru (khususnya di rumah atau industri rumah tangga),
misalnya pengalengan, fermentasi, pengawetan dengan garam,
pengasapan, pengawetan dengan asam atau minyak.
3. Staphilococcus aureus
Gejala keracunan:
Gejala keracunan dapat terjadi dalam jangka waktu 4-6 jam, berupa
mual, muntah (lebih dari 24 jam), diare, hilangnya nafsu makan,
kram perut hebat, distensi abdominal, demam ringan. Pada beberapa
kasus yang berat dapat timbul sakit kepala, kram otot, dan perubahan
tekanan darah.
Penanganan:
Penanganan keracunannya adalah dengan mengganti cairan dan
elektrolit yang hilang akibat muntah atau diare. Pengobatan antidiare
biasanya tidak diperlukan. Untuk menghindari dehidrasi pada
korban, berikan air minum dan larutan elektrolit yang banyak dijual
sebagai minuman elektrolit dalam kemasan. Untuk penanganan lebih
lanjut, hubungi puskesmas atau rumah sakit terdekat.
B. Infeksi
Bakteri patogen dapat menginfeksi korbannya melalui pangan yang
dikonsumsi. Dalam hal ini, penyebab sakitnya seseorang adalah akibat
masuknya bakteri patogen ke dalam tubuh melalui konsumsi pangan yang
telah tercemar bakteri. Untuk menyebabkan penyakit, jumlah bakteri yang
tertelan harus memadai. Hal itu dinamakan dosis infeksi.
Gejala keracunan:
Pada kebanyakan orang yang terinfeksi Salmonella, gejala yang terjadi
adalah diare, kram perut, dan demam yang timbul 8-72 jam setelah
mengkonsumsi pangan yang tercemar. Gejala lainnya adalah menggigil,
sakit kepala, mual, dan muntah. Gejala dapat berlangsung selama lebih
dari 7 hari. Banyak orang dapat pulih tanpa pengobatan, tetapi infeksi
Salmonella ini juga dapat membahayakan jiwa terutama pada anak-anak,
orang lanjut usia, serta orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan
tubuh.
Penanganan:
Untuk pertolongan dapat diberikan cairan untuk menggantikan cairan
tubuh yang hilang. Lalu segera bawa korban ke puskesmas atau rumah
sakit terdekat.
2. Clostridium perfringens
Gejala keracunan:
3. Escherichia coli
Gejala penyakit yang disebabkan oleh EHEC adalah kram perut, diare
(pada beberapa kasus dapat timbul diare berdarah), demam, mual, dan
muntah. Masa inkubasi berkisar 3-8 hari, sedangkan pada kasus sedang
berkisar antara 3-4 hari.
C. Vibrio cholerae
Vibrio cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan
menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat
terjadi setelah 3 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera
dapat mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan
meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorpsi cairan.
Penyebaran kolera dari makanan dan air yang terkontaminasi. Gejala awal
adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat menjadi diare
berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit dan
volume darah. Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang
signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses
dapat ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif.
Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah
memerlukan cairan intravena.
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare.
Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg
sebagai dosis tunggal, merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang
agresif pada kehilangan cairan menurunkan angka kematian (biasanya < 1
%). Vaksin kolera oral memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan
dengan vaksin parenteral.
Untuk keracunan pangan yang umum, biasanya korban akan pulih setelah
beberapa hari. Namun demikian ada beberapa kasus keracunan pangan
yang cukup berbahaya. Korban keracunan yang mengalami muntah dan
diare yang berlangsung kurang dari 24 jam biasanya dapat dirawat di
rumah saja. Hal penting yang harus diperhatikan adalah mencegah
terjadinya dehidrasi dengan cara segera memberikan air minum pada
korban untuk mengganti cairan tubuh yang hilang karena muntah dan
diare. Pada korban yang masih mengalami mual dan muntah sebaiknya
tidak diberikan makanan padat. Alkohol, minuman berkafein, dan
minuman yang mengandung gula juga sebaiknya dihindarkan.
PENATALAKSANAAN
Kebutuhan cairan =
b. Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses,
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau
penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien
immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan
tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi
kuman.
3) Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau
smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap
bahan infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa
usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang
sekresi elektrolit.
4) Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk
kolloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi
dan konsistensi feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan
elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air
atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.
5) Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria
atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di
saluran cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk
nutrisi dan reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan
mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang
adekuat.
8. KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera
kehilangan cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik
yang cepat. Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke
hipokalemia dan asidosis metabolik. Pada kasus-kasus yang terlambat
meminta pertolongan medis, sehingga syok hipovolemik yang terjadi
sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul tubular nekrosis akut
pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat
sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal.
PROGNOSIS
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung,
dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius
hasilnya sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal.
A. Kesimpulan
Arisman (2009). Buku ajar ilmu gizi keracunan makanan. Jakarta: EGC
Siregar, SP (2001). Alergi makanan pada bayi dan anak. Sari Pediatri : 3(3), 168-
174. Diakses pada Mei 2016.
Smeltzer, Suzanne C., Brenda G. Bare. 2001. Buku ajar keperawatan medikal-
bedah. Volume. 1. Jakarta: EGC.
Zein U (2004). Diare akut infeksius pada dewasa. Medan : Universitas Sumatera
Utara.
Zein U, Sagala KH, Ginting J (2004). Diare akut disebabkan bakteri. Medan :
Universitas Sumatera Utara.