Anda di halaman 1dari 52

BLOK KEGAWATAN MEDIK SKENARIO I

Apakah Saya Alergi

KELOMPOK VIII

ANINDITA HASNA INTAN PRAMONO G0013029


ARIFIN NUR SETYAWAN G0013037
BAGUS HIDAYATULLOH G0013055
ELIAN DEVINA G0013085
FARAH AMANI G0013089
GITA PUSPANINGRUM G0013103
HEGA FITRI NURAGA G0013109
HESTHI KRISNAWATI G0013113
ITSNAINI MAULIDYA NANDAWATI G0013121
NOVI ARIZHA G0013179
REVINA AFIFA SATRIA G0013197
WIDA PRIMA NUGRAHA G0013233

TUTOR : WIDANA PRIMANINGTYAS, dr.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO III
Apakah Saya Alergi

Seorang laki-laki berusia 40 tahun diantar oleh keluarganya ke Instalasi Gawat


Darurat (IGD) Rumah Sakit. Dari anamnesis didapatkan nyeri kepala, nyeri perut,
mual, muntah lebih dai 5 kali diare 10 kali terjadi 1 jam setelah minum susu
kalengan dari kulkas yang sudah terbuka kemasannya. Dari anamnesis didapatkan
riwayat tidak tahan terhadap susu sapi saat masih bayi, tetai setelah dewasa tidak
pernah ada masalah dengan susu sapi.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran apatis,


tekanan darah 70/50 mmHg , laju napas 26x/menit, suhu 370 C dan denyut nadi
110x/menit. Ekstremitas teraba dingin, Capillary refill time > 2 detik. Pada
auskultasi kedua lapang paru, didapatkan suara dalam batas normal. Pasien
dilakukan pemasangan jalur intravena 2 jalur dengan abbocath 18, dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Saat di IGD diberikan terapi Oksigenasi nasal kanul 3
lpm, infuse Ringer Laktat tetesan cepat, injeksi adrenalin dan arang aktif. Pasien
selanjutnya diputuskan untuk rawat Inap dan dilakukan konseling terhadap
keluarganya. Didapatkan Hb 12 gr/dl, Jt 40 %, Leukosit 15.000 mg/dl, trombosit
375.000/ul, ureum 43 mg/dl, kreatinin 1,3 mg/dl, saturasi oksigen 90 %. Na 130
mmol/L, k 3.0 mmol/L, Cl 102 mmol/L.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah


dalam skenario
Dalam skenario kedua ini kami mengklarifikasi beberapa istilah sebagai
berikut :
1. Kesadaran Apatis yaitu kurangnya respon terhadap keadaan sekeliling
ditandai dengan tidak adanya kontak mata atau mata terlihat menerawang
dan tidak fokus. GCS antara 12-13.
2. Capillary Refill Time : merupakan tes cepat yang dilakukan pada bantalan
kuku untuk memeriksa kondisi aliran darah pada jaringan bagian tubuh
yang jauh dari jantung. Tes ini dilakukan dengan memberikan tekanan
pada kuku hingga berwarna putih kemudian melepaskan tekanan. Hasil
yang normal ditunjukkan dengan kembalinya warna merah muda kuku
pada waktu kurang dari 2 detik. Hasil yang abnormal dapat
mengindikasikan adanya dehidrasi, shock, peripheral vascular disease
(PVD), dan hipotermia. Sering juga disebut nail blanch test atau capillary
nail refill test (White, 2016)
3. Ringer Laktat : merupakan larutan steril non pyrogen yang diberikan
melalui jalur intravena sebagai sumber cairan dan elektrolit. Larutan ini
tidak mengandung agen antimikroba. Kandungan ringer laktat :

(Baxter Healthcare Corporation, 2014)

4. Oksigenasi nasal kanul: Nasal kanul adalah selang bantu pernafasan yang
di letakan pada lubang hidung. Tujuan dari nasal kanul itu sendiri adalah
untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh karena mengalami
kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan oksigen. pemberian oksigen
dengan alat yang dimasukkan ke dalam hidung ini dengan kecepatan 1-
6L/menit, saturasinya 22-24%, selang bantu pernapasan yg diletakkan
pada hidung, bahannya dari plastik. 3 lpm= liter per menit. (Perry, 2010)

5. Arang aktif: Karbon Aktif (arang aktif) atau activated charcoal adalah zat
arang yang telah melalui proses sedemikian rupa sehingga memiliki pori-
pori kecil dan memungkinkannya untuk menyerap bahan yang dilalui,
seperti gas yang timbul di dalam usus.Selain berfungsi sebagai adsorben
(zat penyerap) di dalam usus, karbon aktif juga digunakan sebagai obat
antidiare serta penanganan pertama pada kondisi darurat berupa
keracunan. Karbon aktif bekerja dengan cara menyerap racun yang ada di
dalam perut sebelum terserap oleh tubuh manusia. (Achmad, 2004)
6. Intravena 2 jalur: IV dua jalur adalah pemasangan infus dua jalur intravena
dengan jarum besar dipasang untuk membuat akses intravena guna
pemberian cairan. (Moses, 2011)

B. Langkah II : Menentukan/ mendefinisikan permasalahan


1. Mengapa pasien nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah lebih dari 5 kali
dan diare lebih dari 10 kali ?

2. Apakah ada hubungan antara riwayat alergi susu sapi saat anak-anak
dengan kondisi pasien saat ini ?

3. Apakah ada hubungan antara keluhan yang dialami pasien dengan


kandungan susu kaleng yang dikonsumsi ?

4. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan laboratorium ?

5. Mengapa perlu dilakukan cek Na, Cl, dan K pada pasien ?

6. Bagaimana cara pemasangan jalur intravena 2 jalur dan oksigenasi nasal


kanul?

7. Mengapa pasien perlu diberikan penanganan oksigen nasal kanul,


pemasangan infus, pemberian injeksi adrenalin, pemberian arang aktif dan
dirawat inap ?
8. Apakah diagnosis banding, pemeriksaan penunjang dan diagnosis kerja
kasus ini ?

9. Bagaimanakah terapi, komplikasi, dan prognosis pasien di skenario?

10. Apa saja konseling yang diberikan pada pasien dan keluarga sebagai
pencegahan ?

C. Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara


mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)
Pertanyaan di Langkah 2 diurutkan agar membentuk suatu pola pikir yang
terarah.

1. Penyebab pasien nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah lebih dari 5
kali dan diare lebih dari 10 kali

A. Nyeri kepala dan mual muntah lebih dari 5 kali

Terjadi mual, muntah dikarenakan iritasi pada lambung sehingga HCL


dalam lambung meningkat. Makanan yang mengandung bahan kimia
beracun (IFO) dapat menghambat (inktivasi) enzim asrtikolinesterase
tubuh (KhE). Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk
menghidrolisis arakhnoid (AKH) dengan jalan mengikat Akh KhE
yang bersifat inaktif. Bila konsentrasi racun lebih tingggi dengan
ikatan IFO-KhE lebih banyak terjadi. Akibatnya akan terjadi
penumpukan Akh di tempat tempat tertentu, sehingga timbul gejala
gejala rangsangan Akh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek
muscarinik, nikotinik, dan SSP (menimbulkan stimulasi kemudian
depresi SSP) dan juga menghasilkan nyeri pada kepala.

B. Nyeri perut dan diare lebih dari 10 kali

Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis


menjadi diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi
disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi
sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala
klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri
seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda
dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan
lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit
polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang
mengakibatkan
diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan
abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala
dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak
mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak
ditemukan leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat
dibagi menjadi
kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas.
a. Diare osmotik
Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap
meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari
plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi
karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam
magnesium.
b. Diare sekretorik
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik
absorbsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal
ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya
toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak rantai
pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal
seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga
dapat menyebabkan diare sekretorik.
c. Diare eksudatif
Inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi
bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy,
inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.
2. Alergen pada susu sapi
Protein susu sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi
hipersensitivitas pada anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 20
komponen protein yang dapat merangsang produksi antibodi manusia.
Protein susu sapi terdiri 2 fraksi yaitu casein dan whey. Fraksi casein
yang membuat susu berbentuk kental (milky) dan merupakan 76%
sampai 86% dari protein susu sapi. Fraksi casein dapat dipresipitasi
dengan zat
asam pada pH 4,6 yang menghasilkan 5 casein dasar yaitu a, ad , ,
dan .
Beberapa protein whey mengalami denaturasi dengan pemanasan
ekstensif (albumin serum bovin, gamaglobulin bovin, dan a-
laktalbumin). Akan tetapi, dengan pasteurisasi rutin tidak cukup untuk
denaturasi protein ini tetapi sebaliknya meningkatkan sifat alergenitas
beberapa protein susu seperti -laktoglobulin.
Barier saluran cerna terhadap alergen makanan
Fungsi utama saluran cerna ialah memproses makanan yang dikonsumsi
menjadi bentuk yang dapat diserap dan digunakan untuk energi dan
pertumbuhan sel. Selama proses ini berlangsung, mekanisme
imunologik dan non-imunologik berperan dalam pencegahan masuknya
antigen asing ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir kadar SIgA
dalam usus masih rendah sehingga antigen mudah menembus mukosa
usus dan kemudian dibawa ke aliran darah sistemik
3. Hubungan antara keluhan yang dialami pasien dengan susu kaleng
yang dikonsumsi

Muntah dan diare merupakan efek yang umum dari keracunan makanan
yang merupakan usaha tubuh untuk membersihkan diri dari racun yang
tertelan. Kram perut yang timbul bisa membuat muntah dan diare menjadi
lebih parah. Jika muntah dan diare berlangsung terus menerus bisa
menyebabkan hilangnya nutrisi penting. Perut nyeri Kram perut umumnya
terjadi segera setelah mengonsumsi makanan, atau dalam waktu 12-72
jam. Kondisi ini merupakan salah satu usaha penolakan tubuh terhadap zat
beracun. Kram perut umumnya hilang sendiri dalam waktu 4-7 hari,

4. Interpretasi pemeriksaan fisik dan laboratorium


A. GCS
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya. 14-15
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh. 12-13
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal. 10-11
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal. 7-9
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri. 4-6
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya). 3

B. Tekanan Darah 70/50 : hipotensi (Normal 110/70 mmHg)


C. Respiration Rate 26X/menit : takipneu
D. Suhu 37 : normal
E. Denyut nadi 110x/m : takikardi
F. Capillary Refill Time memanjang utama ditemukan pada pasien yang
mengalami keadaan hipovolemia (dehidrasi,syok), dan bisa terjadi pada
pasien yang hipervolumia yang perjalanan selanjutnya mengalami
ekstravasasi cairan dan penurunan cardiac output dan jatuh pada keadaan
syok.
G. Ekstremitas dingin : mengindikasikan jika aliran oksigen ke jaringan
terutama di ekstremitas kurang.
H. Auskultasi paru normal.

Pemeriksaan lab
Pengecatan Gram untuk feses dan pengecatan Leoffler methylene blue untuk
sel darah putih: guna membedakan jenis yang invasif dan bukan invasif.
Pemeriksaan mikroskopik feses, mendeteksi apakah ada parasit atau telur
parasit.
Kultur bakteri untuk patogen enterik. Diharuskan jika sampel feses
menunjukkan positif sel darah putih atau darah, atau jika pasien memiliki
gejala persisten yang lebih lama dari 3-4 hari.
Kultur darah jika pasien memiliki demam tinggi.
Penilaian C difficile guna membantu menentukan diare yang dihubungkan
dengan penggunaan antibiotik, atau pada mereka yang memiliki riwayat
penggunaan antibiotik baru-baru saja.

5. Alasan pasien perlu diberikan penanganan oksigen nasal kanul,


pemasangan infus, pemberian injeksi adrenalin, pemberian arang
aktif dan dirawat inap ?

- Oksigenasi nasal kanul 3 lpm : untuk memperbaiki saturasi O2


pasien yang hanya 90% dikembalikan hingga 100%
- Infus Ringer Laktat tetesan cepat : untuk memberikan terapi cairan,
mengatasi adanya indikasi syok pada pasien yang ditemukan dari
pemeriksaan fisik maupun laboratorium.

- Injeksi adrenalin : sebagai vasokonstriktor / pemicu sistem


saraf simpatis, mencegah terjadinya syok berkelanjutan pada pasien, dan
sebagai antagonis langsung histamine, dengan demikian efek histamine
dapat segera dihentikan pada pasien.

- Arang aktif : menyerap racun racun dalam tubuh pasien, terutama


pada sistem gastrointestinal.

A. Oksigenasi nasal kanul 3 lpm


a. Definisi
Nasal kanul adalah selang bantu pernafasan yang di letakan pada
lubang hidung. Tujuan dari nasal kanul itu sendiri adalah untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh karena mengalami
kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan oksigen. Sebelum kita
melakukan nasal kanul ada beberapa persiapan yang harus di
lakukan yaitu cek perencanaan keperawatan klien dan klien di beri
penjelasan tentang prosedur yang akan di lakukan. Selain itu juga
harus mempersiapkan alat-alat di antaranya adalah tabung oksigen
yang sudah dilengkapi dengan socket dan manometer, humedifier
yang di isi aquadest sampai pembatas yang sudah di lakukan, nasal
kanul.
FiO2 estimation :Flows FiO2
i) 1 Liter /min : 24 %
ii) 2 Liter /min : 28 %
iii) 3Liter /min : 32 %
iv) 4 Liter /min : 36 %
v) 5 Liter /min : 40
vi) 6 Liter /min : 44 %
b. Keuntungan
Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan
teratur, pemasangannya mudah dibandingkan kateter nasal, murah,
disposibel, klien bebas makan, minum, bergerak, berbicara, lebih
mudah ditolerir klien dan terasa nyaman dan dapat digunakan pada
pasien dengan pernafasan mulut.c
c. Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen lebih dari 44%,
suplai oksigen berkurang bila klien bernafas melalui mulut, mudah
lepas karena kedalaman kanul hanya 1 - 1.5 cm, tidak dapat
diberikan pada pasien dengan obstruksi nasal. Kecepatan aliran
lebih dari 4 liter/menit jarang digunakan, sebab pemberian flow
rate yang lebih dari 4 liter tidak akan menambah FiO2, bahkan
hanya pemborosan oksigen dan menyebabkan mukosa kering dan
mengiritasi selaput lendir. Dapat menyebabkan kerusakan kulit
diatas telinga dan di hidung akibat pemasangan yang terlalu ketat.
Simple Mask
a. Definisi
Simple mask(sungkup muka sederhana)Digunakan untuk konsentrasi
oksigen rendah sampai sedang.Merupakan alat pemberian oksigen
jangka pendek, kontinyu atau selang seling. Aliran 5 8 liter/mnt
dengan konsentrasi oksigen 40 60%. Masker ini kontra indikasi pada
pasien dengan retensi karbondioksida karena akan memperburuk
retensi. Aliran O2 tidak boleh kurang dari 5 liter/menit untuk
mendorong CO2 keluar dari masker.
FiO2 estimation Flows FiO2
i) 5-6 Liter/min : 40 %
ii) 6-7 Liter/min : 50 %
iii) 7-8 Liter/min : 60 %

b. Keuntungan
Konsentrasi oksigen yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau
kanula nasal, sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan
sungkup berlubang besar,dapat digunakan dalam pemberian terapi
aerosol.
c. Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.Menyekap, tidak
memungkinkan untuk makan dan batuk.Bisa terjadi aspirasi bila pasien
mntah. Perlu pengikat wajah, dan apabila terlalu ketat menekan kulit
dapat menyebabkan rasa pobia ruang tertutup, pita elastik yang dapat
disesuaikan tersedia untuk menjamin keamanan dan kenyamanan.
d. Indikasi
Efektif diberikan pada klien yang mengalami :
i) Gagal nafas
Ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial
normal O2 dan CO2 di dalam darah, disebabkan oleh gangguan
pertukaran O2 dan CO2 sehingga sistem pernapasan tidak mampu
memenuhi metabolisme tubuh.
ii) Gangguan jantung (gagal jantung)
Ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan
oksigen.
iii) Kelumpuhan alat pernafasan
Suatu keadaan dimana terjadi kelumpuhan pada alat pernapasan untuk
memenuhi kebutuhan oksigen karena kehilangan kemampuan ventilasi
secara adekuat sehingga terjadi kegagalan pertukaran gas O2dan CO2.
iv) Perubahan pola napas.
Hipoksia (kekurangan oksigen dalam jaringan), dyspnea (kesulitan
bernapas, misal pada pasien asma),sianosis (perubahan warna menjadi
kebiru-biruan pada permukaan kulit karena kekurangan oksigen),
apnea (tidak bernapas/ berhenti bernapas), bradipnea (pernapasan lebih
lambat dari normal dengan frekuensi kurang dari 16x/menit), takipnea
(pernapasan lebih cepat dari normal dengan frekuensi lebih dari
24x/menit (Tarwoto&Wartonah, 2010:35)
v) Keadaan gawat (misalnya : koma)
Pada keadaan gawat, misal pada pasien koma tidak dapat
mempertahankan sendiri jalan napas yang adekuat sehingga
mengalami penurunan oksigenasi.
vi) Trauma paru
Paru-paru sebagai alat penapasan, jika terjadi benturan atau cedera
akan mengalami gangguan untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi.
vii) Metabolisme yang meningkat : luka bakar
Pada luka bakar, konsumsi oksigen oleh jaringan akan meningkat dua
kali lipat sebagai akibat dari keadaan hipermetabolisme.
viii) Post operasi
Setelah operasi, tubuh akan kehilangan banyak darah dan pengaruh
dari obat bius akan mempengaruhi aliran darah ke seluruh tubuh,
sehingga sel tidak mendapat asupan oksigen yang cukup.
ix) Keracunan karbon monoksida
Keberadaan CO di dalam tubuh akan sangat berbahaya jika dihirup
karena akan menggantikan posisi O2yang berikatan dengan
hemoglobin dalam darah.
(Aryani, 2009:53)
e. Kontraindikasi
Tidak ada konsentrasi pada pemberian terapi oksigen dengan syarat
pemberian jenis dan jumlah aliran yang tepat. Namun demikan,
perhatikan pada khusus berikut ini
i) Pada klien dengan PPOM (Penyakit Paru Obstruktif Menahun)
yang mulai bernafas spontan maka pemasangan masker partial
rebreathing dan non rebreathing dapat menimbulkan tanda dan
gejala keracunan oksigen. Hal ini dikarenakan jenis masker
rebreathing dan non-rebreathing dapat mengalirkan oksigen
dengan konsentrasi yang tinggi yaitu sekitar 90-95%
ii) Face mask tidak dianjurkan pada klien yang mengalami
muntah-muntah
iii) Jika klien terdapat obstruksi nasal maka hindari pemakaian
nasal kanul.

B. Injeksi adrenalin
Pada saat pasien tampak sangat kesakitan dan benar-benar diragukan
kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500mcg
(5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan
kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan.
Pada anak-anak dapat diberi dosis 10mcg/kgBB (0,1ml/kgBB dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000 dengan injeksi intravena lambat
selama beberapa menit.
Adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah,
menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan
histamine dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin
meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan
mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan
otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi
jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir
dalam waktu pendek (Aprilisyawati, 2009).
Cara pemberian adrenalin dalam menangani syok anafilaktik yaitu:
i) Adrenalin subcutan
Absorbsi lambat namun konstan karena terjadi vasokonstriksi pada
jaringan sekitar, sehingga perlu dilakukan pemijatan.
ii) Adrenalin Intramuscular
Pemberian secara intramuskuler merupakan pilihan pertama dari
cara pemberian adrenalin pada penatalaksanaan syok anafilaktik.
Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian
intramuskuler dan pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Pasien dengan alergi berat dianjurkan untuk pemberian
sendiri injeksi intramuskuler adrenalin. Volume injeksi adrenalin
1:1000 (1mg/ml) untuk injeksi intramuskuler pada syok
anafilaksis.

C. Pemasangan infus 2 jalur


IV dua jalur adalah pemasangan infus dua jalur intravena dengan
jarum besar dipasang untuk membuat akses intravena guna pemberian
cairan. Pada pasien dengan kondisi syok hipovolemik diperlukan
penggantian cairan dan darah. Diluar memperbaiki penyebab utama
penurunan volume intravaskular, penggantian cairan (juga disebut
sebagai resusitasi cairan) adalah juga menjadi perhatian utama.
Setidaknya dua jalur intravena dengan jarum besar dipasang untuk
membuat akses intravena guna pemberian cairan. Dua akses intravena
memungkinkan pemberian secara simultan terapi cairan dan komponen
darah jika diperlukan. Karena tujuan penggantian cairan adalah untuk
memulikhan volume intravaskular, penting artinya untuk memberikan
cairan yang akan tetap berada dalam kompartemen intravaskular dan
dengan demikian menghindari terciptanya perpindahan cairan dari
kompartemen intravaskuler ke dalam kompertemen intraseluler.

Macam-macam Ukuran Abocath


Menurut Potter (1999) ukuran jarum infuse yang biasa digunakan
adalah :
Ukuran 16G warna abu-abu
Guna : Dewasa, Bedah Mayor, Trauma, Apabila sejumlah besar cairan
perlu diinfuskan
Pertimbangan Perawat : Sakit pada insersi, Butuh vena besar
Ukuran 18G Warna hijau
Guna : Anak dan dewasa, Untuk darah, komponen darah, dan infus
kental lainnya
Pertimbangan Perawat : Sakit pada insersi, Butuh vena besar
Ukuran 20G Warna merah muda
Guna : Anak dan dewasa, Sesuai untuk kebanyakan cairan infus, darah,
komponen darah, dan infus kental lainnya
Pertimbangan Perawat : Umum dipakai
Ukuran 22G Warna biru
Guna : Bayi, anak, dan dewasa (terutama usia lanjut), Cocok untuk
sebagian besar cairan infus
Pertimbangan Perawat : Lebih mudah untuk insersi ke vena yang kecil,
tipis dan rapuh, Kecepatan tetesan harus dipertahankan lambat, Sulit
insersi melalui kulit yang keras
Ukuran 24G Warna kuning, 26 Warna putih
Guna : Nenonatus, bayi, anak dewasa (terutama usia lanjut), Sesuai
untuk sebagian besar cairan infus, tetapi kecepatan tetesan lebih lambat
Pertimbangan Perawat : Untuk vena yang sangat kecil, Sulit insersi
melalui kulit keras
Selain ukuran di atas, ada jarum infus yang mirip sayap kupu-kupu
yang kita sebut sebagai wing. Jarumnya padat dan sangat halus.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan :


Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru
Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda
infeksi
Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain
Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan
Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir
Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum
infus perlahan, periksa ujung kateter terhadap adanya embolus
Bersihkan lokasi penusukan dengan anti septik. Bekas-bekas plester
dibersihkan memakai kapas alkohol atau bensin (jika perlu).
Gunakan alat alat-alat yang steril saat pemasangan, dan gunakan tehnik
sterilisasi dalam pemasangan infus.
Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena
yang telah rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil.
Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus adalah tanggung jawab
perawat.
Masalah yang dapat muncul apabila perawat tidak memperhatikan
regulasi infus adalah hipervolemia dan hipovolemia. Untuk mengatur
tetesan infus, perawat harus mengetahui volume cairan yang akan
dimasukkan dan waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan cairan
infus. Penghitungan cairan yang sering digunakan adalah penghitungan
millimeter perjam (ml/h) dan penghitungan tetes permenit. Perhitungan
Tetesan Infus dapat dibagi menjadi 2 yaitu makro dan mikro.

D. Pemberian arang aktif

Karbon Aktif (arang aktif) atau activated charcoal adalah zat arang
yang telah melalui proses sedemikian rupa sehingga memiliki pori-pori
kecil dan memungkinkannya untuk menyerap bahan yang dilalui,
seperti gas yang timbul di dalam usus.

Selain berfungsi sebagai adsorben (zat penyerap) di dalam usus,


karbon aktif juga digunakan sebagai obat antidiare serta penanganan
pertama pada kondisi darurat berupa keracunan. Karbon aktif bekerja
dengan cara menyerap racun yang ada di dalam perut sebelum terserap
oleh tubuh manusia. Bagaimanapun juga, penggunaan karbon aktif
sebagai penyerap racun harus melalui diagnosis dokter karena tidak
semua jenis keracunan dapat ditangani oleh jenis obat ini.

Tentang Karbon aktif


Jenis obat Antidiare.

Golongan Obat bebas.


Sebagai adsorben untuk mengobati keracunan.

Manfaat Sebagai antidiare.

Dikonsumsi
oleh Dewasa dan anak.

Bentuk Bubuk, suspensi oral, tablet.

Peringatan

Wanita yang merencanakan kehamilan, wanita hamil, wanita menyusui,


anak-anak, serta lansia dianjurkan untuk berkonsultasi kepada dokter
sebelum mengonsumsi jenis obat ini.
Penderita yang mengalami pendarahan, penyumbatan, atau memiliki
lubang pada sistem pencernaan.

Penderita yang sedang mengalami dehidrasi.

Penderita yang baru melalui prosedur operasi.

Penderita yang sedang berada pada kondisi tidak sadar atau penurunan
kesadaran.

Penderita dengan proses pencernaan yang lambat.

Penderita yang sedang mengonsumsi obat-obatan lain di saat yang


bersamaan.

Penderita yang memiliki alergi terhadap jenis obat-obatan ini atau pada
pengawet dan pewarna makanan serta hewan.
Hindari penggunaan karbon aktif tanpa sepengetahuan dokter karena
pada beberapa kondisi dapat membuat penyakit pasien memburuk.

Dosis Karbon aktif

Kondisi Dosis awal

Penanganan keracunan
dalam bentuk bubuk pada Dosis biasanya dimulai dari 25-
anak dan dewasa 100 g, lalu dicampur dengan air

Dosis biasanya dimulai dari 25-


Penanganan keracunan 50 g lalu dicampur dengan air
dalam bentuk bubuk pada atau 0.5-1 gram per kilogram
anak usia 1-12 tahun berat badan

Penanganan keracunan
dalam bentuk suspensi Dosis biasanya dimulai dari 25-
oral pada anak dan dewasa 100 g

Penanganan keracunan
dalam bentuk suspensi Dosis biasanya dimulai dari 25-
oral pada anak usia 1-12 50 g atau 0.5-1 gram per
tahun kilogram berat badan

Dosis karbon aktif pada pemakaian selanjutnya dapat ditentukan


berdasarkan berat badan, usia, dan respons tubuh pasien terhadap obat.
Dosis dapat berbeda-beda pada tiap pasien, termasuk frekuensi dan
selang waktu pemberian obat akan ditentukan dokter berdasarkan
diagnosis penyakit. Selalu perhatikan instruksi dokter dalam
penggunaan obat ini.

Karbon aktif dapat dikonsumsi bersama makanan atau tidak dan pasien
dianjurkan untuk berkonsultasi kepada dokter terlebih dahulu sebelum
menggunakan obat ini. Di Indonesia, obat ini tersedia dalam bentuk
tablet dengan dosis sebesar 250 mg.

Mengonsumsi Karbon aktif dengan Benar

Beberapa pengobatan dapat menimbulkan efek samping jika


dikonsumsi bersamaan dengan obat atau makanan jenis tertentu. Selain
makanan, waspadai penggunaan karbon aktif bersamaan dengan
minuman, tembakau, sirop cokelat, es krim atau sorbet karena dapat
memicu timbulnya reaksi alergi atau reaksi penyakit lain.

Hindari mengonsumsi obat-obatan lain dalam jangka waktu dua jam


bersamaan dengan waktu konsumsi karbon aktif karena dapat
mencegah obat-obatan tersebut diserap oleh tubuh. Pastikan Anda
membaca dan mengikuti instruksi dokter dan keterangan yang ada
pada kemasan obat dengan saksama.

Kenali Efek Samping dan Bahaya Karbon aktif

Karbon aktif yang sedang dikonsumsi dapat menyebabkan rasa sakit


pada perut atau menimbulkan pembengkakan. Reaksi-reaksi ini
tergolong wajar dan akan menghilang seiring tubuh beradaptasi dengan
efek obat ini. Reaksi lain yang mungkin ditimbulkan adalah warna
kehitaman pada daerah anus. Meski begitu, kondisi ini juga dianggap
normal selama periode pengobatan karbon aktif.

Belum ditemukan adanya efek samping lain dari karbon aktif, namun
segera temui dokter jika Anda mengalami diare, muntah-muntah, atau
konstipasi.
E. Rawat inap

Terdapat tanda kegawat daruratan dalam bernafas dan kekurangan


cairan (syok hipovolemik) serta digunakan untuk mengevaluasi
kemungkinan keracunan makanan pada pasien.
D. Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan
pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III

RPS: RPD:
Minum susu kaleng terbuka Alergi susu sapi

Gejala:
Nyeri kepala, nyeri
perut, mual,
muntah, diare.

Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan


Lemah, apatis, Laboratorium:
hipotensi, takipneu, Hb menurun,
suhu normal, hematokrit meningkat,
takikardi. leukosit meningkat,
Akral dingin pada trombosit normal.
ekstremitas, CRT Ureum meningkat,
melambat, auskultasi kreatinin normal,
ditemukan hasil saturasi O2 menurun,
normal. Na menurun, K
menurun, Cl Normal

Tata laksana awal pada


kegawatdaruratan

Terapi
Injeksi Pemberian
oksigenasi Infus Ringer Laktat
adrenalin arang aktif
nasal kanul 3 (RL) tetesan cepat
lpm

Diagnosis
banding

Diagnosis

Komplikasi Terapi Prognosis


Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario ketiga ini adalah
menjelaskan tentang :
1. Hubungan riwayat tidak tahan susu sapi dengan keluhan sekarang

2. Alasan perlu dilakukan vena dua jalur

3. Alasan diberi oksigenasi nasal kanul

4. Diagnosis banding, diagnosis dan pemeriksaan penunjang kasus di skenario

5. Terapi, komplikasi dan prognosis kasus di skenario

6. Konseling yang diberikan untuk pasien

E. Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru


Masing-masing anggota kelompok kami telah mencari sumber sumber
ilmiah dari beberapa buku referensi maupun akses internet yang sesuai dengan
topik diskusi tutorial ini secara mandiri untuk disampaikan dalam pertemuan
berikutnya.

F. Langkah VII : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru


yang diperoleh.

1. Mekanisme Terjadinya Alergi Makanan


Struktur limfoepiteal usus yang dikenal dengan istilah GALT (Gut-
Associated Lymphoid Tissues) terdiri dari tonsil, patch payer, apendiks,
patch sekal dan patch koloni. Pada keadaan khusus GALT mempunyai
kemampuan untuk mengembangkan respon lokal bersamaan dengan
kemampuan untuk menekan induksi respon sistemik terhadap antigen
yang sama.
Pada keadaan normal penyerapan makanan,merupakan peristiwa
alami sehari-hari dalam sistem pencernaan manusia. Faktor-faktor dalam
lumen intestinal (usus), permukaan epitel (dinding usus) dan dalam lamina
propia bekerja bersama untuk membatasi masuknya benda asing ke dalam
tubuh melalui saluran cerna. Sejumlah mekanisme non imunologis dan
imunologis bekerja untuik mencegah penetrasi benda asing seperti bakteri,
virus, parasit dan protein penyebab alergi makanan ke dinding batas usus
(sawar usus).
Pada paparan awal, alergen maknan akan dikenali oleh sel penyaji
antigen untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T secara langsung
atau melalui sitokin. Sel T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B
menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe. Alergen yang intak akan
diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel
pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan orgalimfoid usus. Pada
umumnya anak-anak membentuk antibodi dengan subtipe IgG, IgA dan
IgM. Pada anak atopi terdapat kecenderungan lebih banyak membentuk
IgE, selanjutnya mengadakan sensitisasi sel mast pada saluran cerna,
saluran napas, kulit dan banyak organ tubuh lainnya. Sel epitel intestinal
memegang peranan penting dalam menentukan kecepatan dan pola
pengambilan antigen yang tertelan. Selama terjadinya reaksi yang
dihantarkan IgE pada saluran cerna, kecepatan dan jumlah benda asing
yang terserap meningkat. Benda asing yang larut di dalam lumen usus
diambil dan dipersembahkan terutama oleh sel epitel saluran cerna dengan
akibat terjadi supresi (penekanan) sistem imun atau dikenal dengan istilah
toleransi. Antigen yang tidak larut, bakteri usus, virus dan parasit utuh
diambil oleh sel M (sel epitel khusus yang melapisi patch peyeri) dengan
hasil terjadi imunitas aktif dan pembentukan IgA. Ingesti protein diet
secara normal mengaktifkan sel supresor TCD8+ yang terletak di jaringan
limfoid usus dan setelah ingesti antigen berlangsung cukup lama. Sel
tersebiut terletak di limpa. Aktivasi awal sel-sel tersebut tergantung pada
sifat, dosis dan seringnya paparan antigen, umur host dan kemungkinan
adanya lipopolisakarida yang dihasilkan oleh flora intestinal dari host.
Faktor-faktor yang menyebabkan absorpsi antigen patologis adalah digesti
intraluminal menurun, sawar mukosa terganggu dan penurunan produksi
IgA oleh sel plasma pada lamina propia.
IMATURITAS USUS
Alergi makanan sering terjadi pada usia anak dibandingkan pada
usia dewasa. Fenomena lain adalah bahwa sewaktu bayi atau usia anak
mengalami alergi makanan tetapi dalam pertambahan usia membaik. Hal
itu terjadi karena belum sempurnanya saluran cerna pada anak. Secara
mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung
masuknya alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan
enzim pencernaan menyebabkan denaturasi allergen. Secara imunologik
sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat
menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur (tidak
matang) sistem pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal
berfungsi sehingga memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh. Pada
bayi baru lahir sel yang mengandung IgA, Imunoglobulin utama di sekresi
eksternal, jarana ditemui di saluran cerna. Dalam pertambahan usia akan
meningkat sesuai dengan maturasi (kematangan) sistem kekebalan tubuh.
Dilaporkan persentasi sampel serum yang mengandung antibodi
terhadap makanan lebih besar pada bayi berumur kurang 3 bulan
dibandingkan dengan bayi yang terpapar antigen setelah usia 3 bulan.
Penelitian lain terhadap 480 anak yang diikuti secara prospektif dari lahir
sampai usia 3 tahun. Sebagian besar reaksi makanan terjadi selama tahun
pertama kehidupan.

2. Nilai lab normal


Natrium (Na)

Natrium adaiah salah satu mineral yang banyak terdapat pada cairan
elektrolit ekstraseluler (di luar sel), mempunyai efek menahan air,
berfungsi untuk mempertahankan cairan dalam tubuh, mengaktifkan
enzim, sebagai konduksi impuls saraf.

Nilai normal dalam serum :

Dewasa 135-145 mEq/L


Anak 135-145 mEq/L

Bayi 134-150 mEq/L

Nilai normal dalam urin : 40 220 mEq/L/24 jam

Penurunan Na terjadi pada diare, muntah, cedera jaringan, bilas lambung,


diet rendah garam, gagal ginjal, luka bakar, penggunaan obat diuretik (obat
untuk darah tinggi yang fungsinya mengeluarkan air dalam tubuh).

Peningkatan Na terjadi pada pasien diare, gangguan jantung krohis,


dehidrasi, asupan Na dari makanan tinggi,gagal hepatik (kegagalan fungsi
hati), dan penggunaan obat antibiotika, obat batuk, obat golongan
laksansia (obat pencahar).

Sumber garam Na yaitu: garam dapur, produk awetan (cornedbeef, ikan


kaleng, terasi, dan Iain-Iain.), keju,/.buah ceri, saus tomat, acar, dan Iain-
Iain.

Kalium (K)

Kalium merupakan elektrolit tubuh yang terdapat pada cairan vaskuler


(pembuluh darah), 90% dikeluankan melalui urin, rata-rata 40 mEq/L atau
25 -120 mEq/24 jam walaupun masukan kalium rendah.

Nilai normal :

Dewasa 3,5 5,0 mEq/L

Anak 3,6 5,8 mEq/L

Bayi 3,6 5,8 mEq/L


Peningkatan kalium (hiperkalemia) terjadi jika terdapat gangguan ginjal,
penggunaan obat terutama golongan sefalosporin, histamine, epinefrin,
dan Iain-Iain.

Penurunan kalium (hipokalemia) terjadi jika masukan kalium dari


makanan rendah, pengeluaran lewat urin meningkat, diare, muntah,
dehidrasi, luka pembedahan.

Makanan yang mengandung kalium yaitu buah-buahan, sari buah, kacang-


kacangan, dan Iain-Iain.

Klorida (Cl)

Merupakan elektrolit bermuatan negatif, banyak terdapat pada cairan


ekstraseluler (di luar sel), tidak berada dalam serum, berperan penting
dalam keseimbangan cairan tubuh, keseimbangan asam-basa dalam tubuh.
Klorida sebagian besar terikat dengan natrium membentuk NaCI (natrium
klorida).

Nilai normal :

Dewasa 95-105 mEq/L

Anak 98-110 mEq/L

Bayi 95 -110 mEq/L

Bayi baru lahir 94-112 mEq/L

Penurunan klorida dapat terjadi pada penderita muntah, bilas lambung,


diare, diet rendah garam, infeksi akut, luka bakar, terlalu banyak keringat,
gagal jantung kronis, penggunaan obatThiazid, diuretik, dan Iain-lain.

Peningkatan klorida terjadi pada penderita dehidrasi,cedera kepala,


peningkatan natrium, gangguan ginjal,penggunaan obat kortison,
asetazolamid, dan Iain-Iain.
Kalsium (Ca)

Merupakan elektrolit dalam serum, berperan dalam keseimbangan


elektrolit, pencegahan tetani, dan dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi
gangguan hormon tiroid dan paratiroid.

Nilai normal :

9-11 mg/dl (di serum) ; <150 mg/24 jam (di urin & diet rendah
Dewasa
Ca) ; 200 300 mg/24 jam (di urin & diet tinggi Ca)

Anak 9 -11,5 mg/dl

Bayi 10 -12 mg/dl

Bayi baru
7,4 -14 mg/dl.
lahir

Penurunan kalsium dapat terjadi pada kondisi malabsorpsi saluran cerna,


kekurangan asupan kalsium dan vitamin D, gagal ginjal kronis, infeksi
yang luas, luka bakar, radang pankreas, diare, pecandu alkohol, kehamilan.
Selain itu penurunan kalsium juga dapat dipicu oleh penggunaan obat
pencahar, obat maag, insulin, dan Iain-Iain.

Peningkatan kalsium terjadi karena adanya keganasan (kanker) pada


tulang, paru, payudara, kandung kemih, dan ginjal. Selain itu, kelebihan
vitamin D, adanya batu ginjal, olah raga berlebihan, dan Iain-Iain, juga
dapat memacu peningkatan kadar kalsium dalam tubuh (yayasan spiritia,
2010)

3. Nasal kanul
Alat sederhana yang murah dan sering digunakan untuk menghantarkan
oksigen. Nasal kanul terdapat dua kanula yang panjangnya masing-masing
1,5 cm (1/2 inci) menonjol pada bagian tengah selang dan dapat
dimasukkan ke dalam lubang hidung untuk memberikan oksigen dan yang
memungkinkan klien bernapas melalui mulut dan hidungnya. Oksigen
yang diberikan dapat secara kontinyu dengan aliran 1-6
liter/menit.Konsentrasi oksigen yang dihasilkan dengan nasal kanul sama
dengan kateter nasal yaitu 24 % - 44 %. Berikut ini adalah aliran FiO2
yang dihasilkan nasal kanul:
1 Liter /min : 24 %
2 Liter /min : 28 %
3 Liter /min : 32 %
4 Liter /min : 36 %
5 Liter /min : 40 %
6 Liter /min : 44 %
Formula : ( Flows x 4 ) + 20 % / 21 %
Indikasi dan Kontraindikasi (Suparmi, 2008 & Ignatavicius, 2006)
Indikasi:
1) Pasien yang bernapas spontan tetapi membutuhkan alat bantu nasal
kanula untuk memenuhi kebutuhan oksigen (keadaan sesak atau tidak
sesak).
2) Pasien dengan gangguan oksigenasi seperti klien dengan asthma,
PPOK, atau penyakit paru yang lain
3) Pada pasien yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang
Kontraindikasi:
1) Pada pasien dengan obstruksi nasal
2) Pasien yang apneu
Hal-hal yang harus diperhatikan (Potter & Perry, 2010):
1) Pastikan jalan napas harus paten tanpa adanya sumbatan di nasal
2) Hati-hati terhadap pemakaian kanul nasal yang terlalu ketat dapat
menyebabkan kerusakan kulit ditelinga dan hidung.
3) Jangan terlalu sering menggunakan aliran > 4 liter/menit karena
dapat menimbulkan efek pengeringan pada mukosa
Keuntungan dan Kerugian (Ni Luh Suciati, 2010)
Keuntungan:
1) Pemasangannya lebih mudah dibandingkan dengan kateter nasal
2) Lebih murah dan disposibel
3) Pasien lebih mudah makan, minum dan berbicara
4) Pasien lebih mudah mentolerir dan merasa nyaman
5) Pemberian oksigen lebih stabil dengan volume tidal dan laju
pernafasan yang teratur
Kerugian:
1) Konsentrasi yang diberikan tidak bisa lebih dari 44%
2) Mudah lepas karena kedalaman kanul hanya 1-1.5 cm
3) Oksigen bisa berkurang jika pasien bernapas melalui mulut
4) Aliran Oksigen > 4 liter/menit jarang digunakantidak akan
menambah FiO2 dan bisa menyebabkan iritasi selaput lender serta mukosa
kering
5) Pemasangan selang nasal yang terlalu ketat dapat mengiritasi kulit
di daerah telinga dan hidung

4. Tipe-tipe Cairan Intravena


1. Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum
(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut
dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik
dari dalam pembulu hdarah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan
berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya
mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaans el mengalami
dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialysis) dalam terapi diuretik,
juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan
ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah
perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,
menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial
(dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan
Dekstrosa 2,5%.
2. Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati
serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di
osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair
dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan
tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya
overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan
normalsaline / larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
3. Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum,
sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam
pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan
produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya
kontradiktif dengan cairan Hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45%
hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%,
produkdarah (darah), dan albumin. (Perry & Potter, 2006)
Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:
a. Cairan Kristaloid: bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah
volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu
yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera.
Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
b. Cairan Koloid: ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar
sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam
pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari
luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid (Perry &
Potter, 2006).

5. ADRENALIN
Adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati
syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah,
menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan
histamine dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin
meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan
mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan
otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi
jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir
dalam waktu pendek (Aprilisyawati, 2009).
Cara pemberian adrenalin dalam menangani syok anafilaktik yaitu:
1. Adrenalin subcutan
Absorbsi lambat namun konstan karena terjadi vasokonstriksi pada
jaringan sekitar, sehingga perlu dilakukan pemijatan.
2. Adrenalin Intramuskular
Pemberian secara intramuskuler merupakan pilihan pertama dari cara
pemberian adrenalin pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin
memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler dan pada
pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebihg cepat dan lebih
baik dari pada pemberian subkutan. Pasien dengan alergi berat dianjurkan
untuk pemberian sendiri injeksi intramuskuler adrenalin. Volume injeksi
adrenalin 1:1000 (1mg/ml) untuk injeksi intramuskuler pada syok
anafilaksis.
3. Adrenalin Intravena
Pada saat pasien tampak sangat kesakitan dan benar-benar diragukan
kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500mcg
(5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan
kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan.
Pada anak-anak dapat diberi dosis 10mcg/kgBB (0,1ml/kgBB dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000 dengan injeksi intravena lambat
selama beberapa menit.
6. DIAGNOSIS BANDING
A. Keracunan Pangan Akibat Bakteri Patogen
Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk
pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Namun, dapat pula timbul
penyakit yang disebabkan oleh pangan. Keracunan pangan atau foodborne
disease (penyakit bawaan makanan), terutama yang disebabkan oleh
bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius di berbagai negara
termasuk Indonesia. Seringkali diberitakan terjadinya keracunan pangan
akibat mengkonsumsi hidangan pesta, makanan jajanan, makanan catering,
bahkan pangan segar. Terdapat tiga faktor kunci yang umumnya
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan akibat bakteri,
yaitu kontaminasi bakteri patogen harus ada dalam pangan;
pertumbuhan dalam beberapa kasus, bakteri patogen harus memiliki
kesempatan untuk berkembang biak dalam pangan untuk menghasilkan
toksin atau dosis infeksi yang cukup untuk menimbulkan penyakit; daya
hidup (survival) jika berada pada kadar yang membahayakan, bakteri
patogen harus dapat bertahan hidup dalam pangan selama penyimpanan
dan pengolahannya.
Bakteri dapat menyebabkan keracunan pangan melalui dua mekanisme,
yaitu intoksikasi dan infeksi.
Intoksikasi

Keracunan pangan yang disebabkan oleh produk toksik bakteri


patogen (baik itu toksin maupun metabolit toksik) disebut intoksikasi.
Bakteri tumbuh pada pangan dan memproduksi toksin Jika pangan ditelan,
maka toksin tersebut yang akan menyebabkan gejala, bukan bakterinya.

Beberapa bakteri patogen yang dapat mengakibatkan keracunan pangan


melalui intoksikasi adalah:
1. Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri yang berbentuk batang, tergolong
bakteri Gram-positif, bersifat aerobik, dan dapat membentuk
endospora. Keracunan akan timbul jika seseorang menelan bakteri atau
bentuk sporanya, kemudian bakteri bereproduksi dan menghasilkan
toksin di dalam usus, atau seseorang mengkonsumsi pangan yang telah
mengandung toksin tersebut.
Ada dua tipe toksin yang dihasilkan oleh Bacillus cereus, yaitu toksin
yang menyebabkan diare dan toksin yang menyebabkan muntah
(emesis). Gejala keracunan: Bila seseorang mengalami keracunan yang
disebabkan oleh toksin penyebab diare, maka gejala yang timbul
berhubungan dengan saluran pencernaan bagian bawah berupa mual
nyeri perut seperti kram, diare berair, yang terjadi 8-16 jam
setelah mengkonsumsi pangan.
Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin
penyebab muntah, gejala yang timbul akan bersifat lebih parah dan
akut serta berhubungan dengan saluran pencernaan bagian atas, berupa
mual dan muntah yang dimulai 1-6 jam setelah mengkonsumsi pangan
yang tercemar.
Bakteri penghasil toksin penyebab muntah bisa mencemari pangan
berbahan beras, kentang tumbuk, pangan yang mengandung pati, dan
tunas sayuran. Sedangkan bakteri penghasil toksin penyebab diare bisa
mencemari sayuran dan daging.
Tindakan pengendalian khusus bagi rumah tangga atau penjual
makanan terkait bakteri ini adalah pengendalian suhu yang efektif
untuk mencegah pertunasan dan pertumbuhan spora. Bila tidak
tersedia lemari pendingin, disarankan untuk memasak pangan dalam
jumlah yang sesuai untuk segera dikonsumsi. Toksin yang berkaitan
dengan sindrom muntah bersifat resisten terhadap panas dan
pemanasan berulang, proses penggorengan pangan juga tidak akan
menghancurkan toksin tersebut.

2. Clostridium botulinum
Clostridium botulinum merupakan bakteri Gram-positif yang dapat
membentuk spora tahan panas, bersifat anaerobik, dan tidak tahan
asam tinggi. Toksin yang dihasilkan dinamakan botulinum, bersifat
meracuni saraf (neurotoksik) yang dapat menyebabkan paralisis.
Toksin botulinum bersifat termolabil. Pemanasan pangan sampai suhu
800 C selama 30 menit cukup untuk merusak toksin. Sedangkan spora
bersifat resisten terhadap suhu pemanasan normal dan dapat bertahan
hidup dalam pengeringan dan pembekuan.

Gejala keracunan:
Gejala botulism berupa mual, muntah, pening, sakit kepala,
pandangan berganda, tenggorokan dan hidung terasa kering, nyeri
perut, letih, lemah otot, paralisis, dan pada beberapa kasus dapat
menimbulkan kematian. Gejala dapat timbul 12-36 jam setelah
toksin tertelan. Masa sakit dapat berlangsung selama 2 jam sampai
14 hari.

Penanganan:
Tidak ada penanganan spesifik untuk keracunan ini, kecuali
mengganti cairan tubuh yang hilang.
Kebanyakan keracunan dapat terjadi akibat cara pengawetan pangan
yang keliru (khususnya di rumah atau industri rumah tangga),
misalnya pengalengan, fermentasi, pengawetan dengan garam,
pengasapan, pengawetan dengan asam atau minyak.

Bakteri ini dapat mencemari produk pangan dalam kaleng yang


berkadar asam rendah, ikan asap, kentang matang yang kurang baik
penyimpanannya, pie beku, telur ikan fermentasi, seafood, dan
madu.

Tindakan pengendalian khusus bagi industri terkait bakteri ini adalah


penerapan sterilisasi panas dan penggunaan nitrit pada daging yang
dipasteurisasi. Sedangkan bagi rumah tangga atau pusat penjualan
makanan antara lain dengan memasak pangan kalengdengan seksama
(rebus dan aduk selama 15 menit), simpan pangan dalam lemari
pendingin terutama untuk pangan yang dikemas hampa udara dan
pangan segar atau yang diasap. Hindari pula mengkonsumsi pangan
kaleng yang kemasannnya telah menggembung.

3. Staphilococcus aureus

Terdapat 23 spesies Staphilococcus, tetapi Staphilococcus aureus


merupakan bakteri yang paling banyak menyebabkan keracunan
pangan.

Staphilococcus aureus merupakan bakteri berbentuk kokus/bulat,


tergolong dalam bakteri Gram-positif, bersifat aerobik fakultatif, dan
tidak membentuk spora. Toksin yang dihasilkan bakteri ini bersifat
tahan panas sehingga tidak mudah rusak pada suhu memasak normal.
Bakteri dapat mati, tetapi toksin akan tetap tertinggal. Toksin dapat
rusak secara bertahap saat pendidihan minimal selama 30 menit.
Pangan yang dapat tercemar bakteri ini adalah produk pangan yang
kaya protein, misalnya daging, ikan, susu, dan daging unggas;
produk pangan matang yang ditujukan dikonsumsi dalam keadaan
dingin, seperti salad, puding, dan sandwich; produk pangan yang
terpapar pada suhu hangat selama beberapa jam; pangan yang
disimpan pada lemari pendingin yang terlalu penuh atau yang
suhunya kurang rendah; serta pangan yang tidak habis dikonsumsi
dan disimpan pada suhu ruang.

Gejala keracunan:

Gejala keracunan dapat terjadi dalam jangka waktu 4-6 jam, berupa
mual, muntah (lebih dari 24 jam), diare, hilangnya nafsu makan,
kram perut hebat, distensi abdominal, demam ringan. Pada beberapa
kasus yang berat dapat timbul sakit kepala, kram otot, dan perubahan
tekanan darah.
Penanganan:
Penanganan keracunannya adalah dengan mengganti cairan dan
elektrolit yang hilang akibat muntah atau diare. Pengobatan antidiare
biasanya tidak diperlukan. Untuk menghindari dehidrasi pada
korban, berikan air minum dan larutan elektrolit yang banyak dijual
sebagai minuman elektrolit dalam kemasan. Untuk penanganan lebih
lanjut, hubungi puskesmas atau rumah sakit terdekat.

B. Infeksi
Bakteri patogen dapat menginfeksi korbannya melalui pangan yang
dikonsumsi. Dalam hal ini, penyebab sakitnya seseorang adalah akibat
masuknya bakteri patogen ke dalam tubuh melalui konsumsi pangan yang
telah tercemar bakteri. Untuk menyebabkan penyakit, jumlah bakteri yang
tertelan harus memadai. Hal itu dinamakan dosis infeksi.

Beberapa bakteri patogen yang dapat menginfeksi tubuh melalui pangan


sehingga menimbulkan sakit adalah:
1. Salmonella

Salmonella merupakan bakteri Gram-negatif, bersifat anaerob fakultatif,


motil, dan tidak menghasilkan spora. Salmonella bisa terdapat pada bahan
pangan mentah, seperti telur dan daging ayam mentah serta akan
bereproduksi bila proses pamasakan tidak sempurna. Sakit yang
diakibatkan oleh bakteri Salmonella dinamakan salmonellosis.
Cara penularan yang utama adalah dengan menelan bakteri dalam pangan
yang berasal dari pangan hewani yang terinfeksi. Pangan juga dapat
terkontaminasi oleh penjamah yanng terinfeksi, binatang peliharaan dan
hama, atau melalui kontaminasi silang akibat higiene yang buruk.
Penularan dari satu orang ke orang lain juga dapat terjadi selama infeksi.

Gejala keracunan:
Pada kebanyakan orang yang terinfeksi Salmonella, gejala yang terjadi
adalah diare, kram perut, dan demam yang timbul 8-72 jam setelah
mengkonsumsi pangan yang tercemar. Gejala lainnya adalah menggigil,
sakit kepala, mual, dan muntah. Gejala dapat berlangsung selama lebih
dari 7 hari. Banyak orang dapat pulih tanpa pengobatan, tetapi infeksi
Salmonella ini juga dapat membahayakan jiwa terutama pada anak-anak,
orang lanjut usia, serta orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan
tubuh.

Penanganan:
Untuk pertolongan dapat diberikan cairan untuk menggantikan cairan
tubuh yang hilang. Lalu segera bawa korban ke puskesmas atau rumah
sakit terdekat.

2. Clostridium perfringens

Clostridium perfringens merupakan bekteri Gram-positif yang dapat


membentuk endospora serta bersifat anaerobik. Bakteri ini terdapat di
tanah, usus manusia dan hewan, daging mentah, unggas, dan bahan pangan
kering. Clostridium perfringens dapat menghasilkan enterotoksin yang
tidak dihasilkan pada makanan sebelum dikonsumsi, tetapi dihasilkan oleh
bakteri di dalam usus.

Gejala keracunan:

Gejala keracunan dapat terjadi sekitar 8-24 jam setelah mengkonsumsi


pangan yang tercemar bentuk vegetatif bakteri dalam jumlah besar. Di
dalam usus, sel-sel vegetatif bakteri akan menghasilkan enterotoksin yang
tahan panas dan dapat menyebabkan sakit. Gejala yang timbul berupa
nyeri perut, diare, mual, dan jarang disertai muntah. Gejala dapat berlanjut
selama 12-48 jam, tetapi pada kasus yang lebih berat dapat berlangsung
selama 1-2 minggu (terutama pada anak-anak dan orang lanjut usia).
Penanganan:

Tidak ada penanganan spesifik, kecuali mengganti cairan tubuh yang


hilang.

Tindakan pengendalian khusus terkait keracunan pangan akibat bakteri ini


bagi rumah tangga atau pusat penjual makanan antara lain dengan
melakukan pendinginan dan penyimpanan dingin produk pangan matang
yang cukup dan pemanasan ulang yang benar dari masakan yang disimpan
sebelum dikonsumsi.

3. Escherichia coli

Bakteri Escherichia coli merupakan mikroflora normal pada usus


kebanyakan hewan berdarah panas. Bakteri ini tergolong bakteri Gram-
negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, kebanyakan bersifat
motil (dapat bergerak) menggunakan flagela, ada yang mempunyai kapsul,
dapat menghasilkan gas dari glukosa, dan dapat memfermentasi laktosa.
Kebanyakan strain tidak bersifat membahayakan, tetapi ada pula yang
bersifat patogen terhadap manusia, seperti Enterohaemorragic
Escherichia coli (EHEC). Escherichia coli O157:H7 merupakan tipe
EHEC yang terpenting dan berbahaya terkait dengan kesehatan
masyarakat.

E. coli dapat masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui konsumsi


pangan yang tercemar, misalnya daging mentah, daging yang dimasak
setengah matang, susu mentah, dan cemaran fekal pada air dan pangan.
Gejala keracunan:

Gejala penyakit yang disebabkan oleh EHEC adalah kram perut, diare
(pada beberapa kasus dapat timbul diare berdarah), demam, mual, dan
muntah. Masa inkubasi berkisar 3-8 hari, sedangkan pada kasus sedang
berkisar antara 3-4 hari.

C. Vibrio cholerae
Vibrio cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan
menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat
terjadi setelah 3 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera
dapat mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan
meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorpsi cairan.
Penyebaran kolera dari makanan dan air yang terkontaminasi. Gejala awal
adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat menjadi diare
berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit dan
volume darah. Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang
signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses
dapat ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif.
Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah
memerlukan cairan intravena.
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare.
Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg
sebagai dosis tunggal, merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang
agresif pada kehilangan cairan menurunkan angka kematian (biasanya < 1
%). Vaksin kolera oral memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan
dengan vaksin parenteral.

7. Gejala Keracunan Pangan dan Penatalaksanaannya


Gejala keracunan bergantung pada tipe pencemar dan jumlah yang
tertelan. Gejala keracunan pangan yang tercemar bakteri patogen biasanya
dimulai 2-6 jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar. Namun,
waktunya bisa lebih panjang (setelah beberapa hari) atau lebih pendek,
tergantung pada cemaran pada pangan. Gejala yang mungkin timbul antara
lain mual dan muntah; kram perut; diare (dapat disertai darah); demam dan
menggigil; rasa lemah dan lelah; serta sakit kepala.

Untuk keracunan pangan yang umum, biasanya korban akan pulih setelah
beberapa hari. Namun demikian ada beberapa kasus keracunan pangan
yang cukup berbahaya. Korban keracunan yang mengalami muntah dan
diare yang berlangsung kurang dari 24 jam biasanya dapat dirawat di
rumah saja. Hal penting yang harus diperhatikan adalah mencegah
terjadinya dehidrasi dengan cara segera memberikan air minum pada
korban untuk mengganti cairan tubuh yang hilang karena muntah dan
diare. Pada korban yang masih mengalami mual dan muntah sebaiknya
tidak diberikan makanan padat. Alkohol, minuman berkafein, dan
minuman yang mengandung gula juga sebaiknya dihindarkan.

Untuk penanganan lebih lanjut, sebaiknya segera bawa korban ke


puskesmas atau rumah sakit terdekat.
Korban keracunan yang mengalami diare dan tidak dapat minum
(misalnya karena mual dan muntah) akan memerlukan cairan yang yang
diberikan melalui intravena.
Pada penanganan keracunan pangan jarang diperlukan antibiotika. Pada
beberapa kasus, pemberian antibiotika dapat memperburuk keadaan.
Jika korban keracunan pangan adalah bayi, anak kecil, orang lanjut usia,
wanita hamil, dan orang yang mengalami gangguan sistem pertahanan
tubuh (imun) maka perlu segera dibawa ke puskesmas atau rumah sakit
terdekat untuk mendapatkan pertolongan.

PENATALAKSANAAN

a. Penggantian Cairan dan elektrolit


Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga
hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut.
Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua
pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang
memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa. Idealnya, cairan
rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium
bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air.
Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang
mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara
komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan
menambahkan sendok teh garam, sendok teh baking soda, dan 2 4
sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk
diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum cairan tersebut
sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya.
Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan
saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi
kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor
dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan
urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke
cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang
keluar dari
badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai
cara :
BD plasma, dengan memakai rumus :

Kebutuhan cairan =

Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :


- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor

Tabel 1. Skor Daldiyono

b. Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses,
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau
penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien
immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan
tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi
kuman.

Tabel 2. Antibiotik empiris untuk Diare infeksi Bakteri


c. Obat anti diare

1) Kelompok antisekresi selektif


Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara
luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim
enkephalinase sehinggaenkephalin dapat bekerja kembali secara normal.
Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga
keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal.
2) Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta
kombinasi
difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-
60mg 3x sehari, loperamid 2 4 mg/ 3 4x sehari dan lomotil 5mg 3 4 x
sehari. Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi,
peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi
feses dan mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang
benar obat ini cukup aman dan dapat mengurangi frekuensi defekasi
sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala demam dan sindrom disentri
obat ini tidak dianjurkan.

3) Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau
smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap
bahan infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa
usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang
sekresi elektrolit.

4) Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk
kolloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi
dan konsistensi feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan
elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air
atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.

5) Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria
atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di
saluran cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk
nutrisi dan reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan
mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang
adekuat.

8. KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera
kehilangan cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik
yang cepat. Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke
hipokalemia dan asidosis metabolik. Pada kasus-kasus yang terlambat
meminta pertolongan medis, sehingga syok hipovolemik yang terjadi
sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul tubular nekrosis akut
pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat
sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal.
PROGNOSIS
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung,
dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius
hasilnya sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal.

Pencegahan Keracunan Pangan

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya keracunan


pangan akibat bakteri patogen adalah:
a. Mencuci tangan sebelum dan setelah menangani atau mengolah pangan.
Mencuci tangan setelah menggunakan toilet.
b. Mencuci dan membersihkan peralatan masak serta perlengkapan makan
sebelum dan setelah digunakan.
c. Menjaga area dapur/tempat mengolah pangan dari serangga dan hewan
lainnya.
d. Tidak meletakan pangan matang pada wadah yang sama dengan bahan
pangan mentah untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.
e. Tidak mengkonsumsi pangan yang telah kadaluarsa atau pangan dalam
kaleng yang kalengnya telah rusak atau menggembung.
f. Tidak mengkonsumsi pangan yang telah berbau dan rasanya tidak enak.
g. Tidak memberikan madu pada anak yang berusia di bawah satu tahun
untuk mencegah terjadinya keracunan akibat toksin dari bakteri
Clostridium botulinum.
h. Mengkonsumsi air yang telah dididihkan.
i. Memasak pangan sampai matang sempurna agar sebagian besar bakteri
dapat terbunuh. Proses pemanasan harus dilakukan sampai suhu di bagian
pusat pangan mencapai suhu aman (> 700C) selama minimal 20 menit.
j. Menyimpan segera semua pangan yang cepat rusak dalam lemari
pendingin (sebaiknya suhu penyimpanan di bawah 50C).
k. Tidak membiarkan pangan matang pada suhu ruang lebih dari 2 jam,
karena mikroba dapat berkembang biak dengan cepat pada suhu ruang.
l. Mempertahankan suhu pangan matang lebih dari 600C sebelum disajikan.
Dengan menjaga suhu di bawah 50C atau di atas 600C, pertumbuhan
mikroba akan lebih lambat atau terhenti.
m. Menyimpan produk pangan yang harus disimpan dingin, seperti susu
pasteurisasi, keju, sosis, dan sari buah dalam lemari pendingin.
n. Menyimpan produk pangan olahan beku, seperti nugget, es krim, ayam
goreng tepung beku, dll dalam freezer.
o. Menyimpan pangan yang tidak habis dimakan dalam lemari pendingin.
p. Tidak membiarkan pangan beku mencair pada suhu ruang.
q. Membersihkan dan mencuci buah-buahan serta sayuran sebelum
digunakan, terutama yang dikonsumsi mentah.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pada skenario, seorang laki-laki berusia 40 tahun diantar oleh keluarganya ke


Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit. Dari anamnesis didapatkan nyeri
kepala, nyeri perut, mual, muntah lebih dai 5 kali diare 10 kali terjadi 1 jam
setelah minum susu kalengan dari kulkas yang sudah terbuka kemasannya. Gejala
yang muncul pada pasien mengindikasikan terjadinya keracunan akibat susu sapi
yang terkontaminasi. Pada pasien juga didapatkan riwayat tidak tahan terhadap
susu sapi, sehingga perlu dipertimbangkan pula diagnosis intoleransi dan alergi.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran apatis,


tekanan darah 70/50 mmHg , laju napas 26x/menit, suhu 370 C dan denyut nadi
110x/menit. Ekstremitas teraba dingin, Capillary refill time > 2 detik. Hal-hal
tersebut menandakan pasien mengalami syok akibat kehilangan cairan sehingga
perlu segera dilakukan penanganan berupa resusitasi cairan, pemberian injeksi
adrenalin dan pemberian oksigen nasal kanul serta dirawat inap. Pada pasien juga
diberi arang aktif yang berfungsi untuk menyerap toksin pada saluran cerna.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 12 gr/dl, Hct 40 %, Leukosit


15.000 mg/dl, trombosit 375.000/ul, ureum 43 mg/dl, kreatinin 1,3 mg/dl, saturasi
oksigen 90 %. Na 130 mmol/L, K 3.0 mmol/L, Cl 102 mmol/L. Selain itu,
diperlukan pemeriksaan tambahan berupa analisa gas darah dan pemeriksaan
kultur untuk menunjang diagnosis dan menentukan penatalaksanaan lanjut.
Dokter juga perlu memberikan konseling dan edukasi pada keluarga pasien
mengenai mengenai kondisi pasien dan cara pencegahan sehingga kejadian serupa
dapat dihindari.
B. Saran
1. Terkait skenario, keracunan dan alergi adalah dua hal yang berbeda.
Dibutuhkan adanya pemahaman yang mendalam untuk mengetahui konsep
dasar antara keracunan dan alergi.
2. Terkait kegiatan tutorial sebaiknya mahasiswa lebih menguasai materi
tutorial, sehingga seluruh tujuan pembelajaran dapat tercapai.
3. Hal-hal yang mungkin perlu diperbaiki dalam pelaksanaan diskusi tutorial
ini adalah kedisiplinan mahasiswa agar datang lebih tepat waktu lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R (2004). Kimia lingkungan. Yogyakarta : Andi.

Arisman (2009). Buku ajar ilmu gizi keracunan makanan. Jakarta: EGC

Ignatavicius (2006). Medical surgical nursing. Critical thinking for collaborative


care. Edisi 5. United States of America : Elsevier Saunders.

Judarwanto, W (2005). Alergi makanan, diet, dan autisme.


puterakembara.org/archives3/widodo2.pdf. Diakses pada Mei 2016.

Perry, P (2010). Fundamental Keperawatan. Buku 3 Edisi 7. Alih Bahasa: Diah


Nur. Jakarta: EGC.

Siregar, SP (2001). Alergi makanan pada bayi dan anak. Sari Pediatri : 3(3), 168-
174. Diakses pada Mei 2016.

Smeltzer, Suzanne C., Brenda G. Bare. 2001. Buku ajar keperawatan medikal-
bedah. Volume. 1. Jakarta: EGC.

Suciati, N L (2010). Oxygen Therapy. Karangasem: Nursing Community PPNI


Karangasem.

Suparmi, Yulia (2008). Panduan Praktik Keperawatan Kebutuhan Dasar Manusia.


Yogyakarta : Citra Aji Parama.

Suzzane dan Brenda (2008). Brunner and Suddarths Textbook of Medical


Surgical Nursing. Eleventh edition. Philadelphia: Lippincott Williams and wilkins

Syaifoellah, N (1996). Ilmu penyakit dalam. Jakarta : FK UI.

Zakiudin M, Siregar SP (2006). Pentingnya pencegahan dini dan tata laksana


alergi susu sapi. Sari Pediatri : 7(4), 237243. Diakses pada Mei 2016.

Zein U (2004). Diare akut infeksius pada dewasa. Medan : Universitas Sumatera
Utara.
Zein U, Sagala KH, Ginting J (2004). Diare akut disebabkan bakteri. Medan :
Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai