Anda di halaman 1dari 12

c.

Revolusi Perancis Pergeseran kekuasaan pemerintahan dari tangan raja ke


tangan rakyat.

Revolusi Perancis dan Amerika pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX juga
mempengaruhi perkembangan hukum internasional lewat internasionalisasi hubungan antar
bangsa (Eropa, Amerika, Asia dan Afrika). Internnasionalisasi hubungan
antar bangsa ini melahirkan asas-asas dan gagasan-gagasan baru yang memperkaya
hukum internasional. Gagasan-gagasan tersebut antara lain:

1. hak suatu bangsa untuk mengubah atau menyusun pemerintahannya, (monarchi =>
Republik)
2. Serangan kepada suatu negara dianggap sebagai serangan terhadap semua bangsa,
3. kepentingan manusia di atas kepentingan negara,
4. Perlakuan manusiawi kepada tawanan, netralitas dan lain-lain.[45]

Selanjutnya melalui Kongres Wina (1815) yang mengakhiri Perang Napoleon


ditetapkan kembali
1. Garis batas negara-negara di Eropa
2. Larangan perbudakan secara internasional.
3. Di bidang diplomasi diciptakan suatu Protokol yang disebut Protokol Aix-la-
Capelle (1818) yang masih bertahan sampai sekarang.
Perlawanan terhadap Napoleon digalang lewat Persekutuan Sempurna atau lebih
terkenal dengan sebutan the Consert of Europe. Negara-negara sekutu ini terdiri
atas Austria, Inggris, Prusia, Rusia, dan setelah tumbangnya Napoleon ditambah
dengan Perancis. Melalui Concert of Europe ini ditingkatkan kerjasama di Eropa
dalam berbagai bidang berdasarkan hukum internasional.[46]
Di antara negara-negara besar di Eropa sendiri terjadi pertentangan internal,
antara negara-negara yang ingin mempertahankan absolutisme dan yang ingin
menghapuskannya. Untuk mempertahankan absolutisme tersebut, negara-negara
Austria, Prusia dan Rusia membentuk Persekutuan Suci (Holy Alliance, 1815) dengan
memasukkan segi-segi keagamaan di dalamnya. Usaha negara-negara ini gagal,
karena tidak dapat membendung pikiran-pikiran baru yang lebih demokratis.
Pergolakan yang terjadi di Eropa merambah pula ke Benua Amerika. Untuk
mempertahankan Amerika dari dominasi Eropa melaluiHoly Aliance, dikeluarkan
suatu doktrin yang dikenal dengan sebutan Doktrin Monroe pada tahun 1823.
Menurut doktrin ini Benua Amerika tidak lagi dipandang sebagai berada di bawah
penjajahan Eropa di masa yang akan datang. [47]
Perkembangan ini terjadi selama abad ke-19. Abad ini dapat dipandang
sebagai puncak kejayaan dalam tingkat kedewasaan negara nasional. Perkembangan
ini sangat didukung oleh munclnya negara-negara baru yang kuat di Eropa dan di
luar Eropa, perluasan peradaban Eropa, pemodernan pengangkutan dunia,
kehancuran dahsyat oleh prang modern dan pengaruh temuan-temuan baru.
Keadaan ini mendesak untuk adanya aturan yang mengatur perilaku negara dalam
urusan internasional. Selama abad ini terjadi perkembangan yang menonjol di
bidang hukum perang dan netralitas, penyelesaian sengketa melalui lembaga
perwasitan, dan timbulnya kebiasaan negara merundingkan perjanjian umum untuk
mengatur kepentingan timbal balik.[48]
Kejadian terpenting di abad ke-19 dilihat dari sudut perkembangan hukum
internasional adalah Konferensi Perdamaian tahun 1856 dan Konferensi Jenewa
tahun 1864. Kedua Konferensi memelopori Perjanjian Perdamaian Den Haag di
akhir abad ke-19 (tahun 1899), yang penting sekali artinya dalam perkembangan
hukum internasional. Pentingnya konferensi-konferensi ini, karena untuk pertama
kalinya konferensi internasional dipergunakan secara sadar untuk melahirkan
konvensi-konvensi internasional yang membentuk perjanjian-perjanjian yang
berlaku umum dan dilaksanakan secara berkala.[49]
Perkembangan penting berikutnya, terjadi pada abad ke-20. Pada
permulaan abad ini diadakan Perjanjian Perdamaian Den Haag II, tahun 1907. Hasil
terpenting dari Konferensi Perdamaian Den Haag I dan II selain dari Konvensi-
konvensi di bidang hukum perang adalah
1. dibentuknya Mahkamah Arbitrasi Permanen.
2. Kemudian, pada tahun 1921 dibentuk pula Mahkamah Internasional
Permanen Mahkamah Arbitrasi Permanen, yang setelah bubar pada tahun
1946 digantikan oleh Mahkamah Internasional yang dibentuk pada tahun
1945.[50]
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Konferensi Perdamaian Den Haag 1899
dan 1907 mengakhiri tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional yang
didasarkan atas negara kebangsaan, dan dimasukinya tahap kedua, yaitu tahap
konsolidasi. Tahap konsolidasi masyarakat internasional ini memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:[51]
1. Negara sebagai kesatuan politik teritorial yang terutama didasarkan atas kebangsaan
telah menjadi kenyataan. Jika dalam tahap pertama pertumbuhan masyarakat
internasional yaitu setelah terjadinya perjanjian West Phalia, kekuasaan nyata
negara masih berada di tangan raja; setelah terjadinya revolusi Perancis kekuasaan
yang dipegang beralih ke tangan rakyat sehingga negara kebangsaan telah benar-
benar menjadi negara nasional dalam arti yang sesungguhnya, bukan lagi kerajaan
dalam bentuk baru;
2. Konferensi-konferensi internasional yang dimaksudkan sebagai konferensi untuk
mengadakan perjanjian internasional yang bersifat umum yang meletakkan kaidah-
kaidah hukum yang berlaku universal. Diadakannya konferensi semacam ini secara
berkala merupakan langkah maju ke arah suatu masyarakat internasional sebagai
masyarakat hukum. Konferensi yang bersifat umum dan universal ini, sedikit banyak
memenuhi fungsi legislatif masyarakat internasional. Konferensi-konferensi
perdamaian ini dapat dipandang sebagai pelopor usaha yang lebih terarah di
kemudian hari kepada pembentukan hukum internasional melalui perjanjian, yaitu
uaha kodifikasi hukum internasional dalam rangka Liga Bangsa-Bangsa dan
kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa.
3. Pembentukan Mahkamah Internasional Arbitrasi Permanen merupakan kejadian
penting dalam mewujudkan masyarakat hukum internasional. Terbentuknya
Mahkamah Arbitrasi Permanen ini dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian
pertikaian antar bangsa di Abad Perterngahan. Pembentukan Arbitrasi Internasional
Permanen ini kemudian diikuti pula dengan pembentukan Mahkamah Internasional
Permanen tahun 1921, yang merupakan mahkamah untuk mengadili perkara-
perkara internasional menurut hukum. Dibentuknya lembaga-lembaga dengan
wewenang penyelesaian sengketa internasional tanpa menggunakan kekerasan
senjata, merupakan tanda bahwa masyarakat internasional telah memasuki tahap
kedewasaan. Dari sudut perkembangan masyarakat hukum kejadian ini penting
karena dengan pembentukan kedua Mahkamah ini berarti telah diambil langkah-
langkah pertama dalam memperjuangkan kekuasaan peradilan sebagai salah satu
fungsi yang sangat penting dalam masyarakat hukum.
Dalam masa sesudah Perjanjian Perdamaian Den Haag 1907 telah timbul pula
kejadian-kejadian penting bagi perkembangan masyarakat internasional, yaitu (1)
Perjanjian Larangan Perang sebagai cara mencapai tujuan nasional, yakni Briand-
Kellog Pact yang diadakan di Paris tahun 1928, dan (2) Didirikannya Liga Bangsa-
Bangsa dengan Perjanjian Versailles sesudah Perang Dunia I dan Perserikatan
Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia II.[52]
Kemunculan dua organisasi internasional tersebut menambah dimensi baru
bagi masyarakat internasional modern yang sangat penting artinya bagi
perkembangan hukum internasional modern, yaitu gejala organisasi atau lembaga
internasional yang melintasi batas-batas negara yang mempunyai wewenang dan
tugas di samping dan kadang-kadang di atas kekuasaan negara nasional.
Tahap berikutnya dari perkembangan masyarakat dan hukum internasional
adalah tahap emansipasi politik negara-negara yang melepaskan diri dari belenggu
penjajahan ke dalam masyarakat internasional yang merdeka dan berdaulat. Tahap
ini telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia I dan mencapai puncaknya setelah
berakhirnya Perang Dunia II. Dalam tahap ini, negara-negara bekas jajahan,
terutama di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ikut serta secara aktif di dalam
merumuskan ketentuan-ketentuan hukum internasional baru di berbagai forum
internasional.[53]
Pada masa sebelum tahap perkembangan yang disebut terakhir ini, hukum
internasional tidak berlaku secara universal dan seragam. Pada masa ini hukum
internasional bekerja pada dua bidang yang berbeda. Di satu sisi, hukum
internasional sesuai dengan tipe hubungan yang dibentuk di antara bangsa-bangsa
beradab (civilized states) dan dunia sisanya, hubungan yang sebagian besar
tergantung pada kenyataan gejala penguasaan oleh sebagian kecil negara terhadap
negara-negara lain. Di sisi lain hukum internasional sesuai dengan hubungan inter
se, hubungan ini terbatas pada Negara-negara Anggota Klub sejauh klub tersebut
menjamin satu dengan lainnya memiliki kedaultan dan kemerdekaan atas dasar
timbal balik penuh (full reciprocity). Dengan cara ini, hukum beroperasi dalam
lingkungan yang agak berbeda yang mengatur di satu sisi suatu masyarakat
internasional yang terbatas pada klub ekslusif, dan di sisi lain, sekumpulan bangsa
asing (overseas peoples) yang dikeluarkan dari masyarakat internasional ini.[54]
Hukum ini, yang oleh Bedjaoui disebut sebagai hukum internasional klasik,
tidak lain daripada hukum Eropa. Hukum internasional klasik ini merupakan suatu
sistem norma dengan muatan geografis (hukum Eropa), ilham etik dan agama
(hukum Kristen), motivasi ekonomi (hukum perniagaan) dan tujuan politik (hukum
imperialistik). Dan, sesuai dengan tatanan ekonomi pada waktu itu, hukum
initernasional ini juga merupakan (a) Hukum Oligarkis (Oligarchic law) yang
mengatur hubungan di antara negara-negara berada yang termasuk pada klub
tersebut, (b) Hukum Plutokratik (Plutocatic law) yang memperkenankan negara-
negara tersebut mengekploitasi negara-negara yang lebih lemah; (c) Sejauh
mungkin merupakan hukum non intervensi (Non interventionist law).. [55]

Abad ke-19 bersifat praktikal, ekspansionis dan era positivis. Kongres diVienna, yang mana
menandai akhir dari perang Napoleon, mengabadikan ketentraman Internasional baru yang
berdasarkan atas keseimbangan kekuatan di Eropa. Hukum Internasional menjadi berpusat di
Eropa, pemeliharaan dari yang beradab, Negara- Negara Kristen, penyeberangan laut dan
Negara asing yang dapat masuk hanya dengan persetujuan dan dalam kondisi yang ditetapkan
oleh kekuatan-kekuatan di Barat. Abad ini jugamelihat kedatangan kemerdekaan di
AmerikaLatin dan tempaan dari pendekatan yang berbeda kepada elemen-
elemen tertentu dariHukum Internasional oleh Negara-Negara padadaerah tersebut, terutama
denganmemperhatikan pada, misalnya, suakadiplomatik dan perlakuan oleh perusahaan-
perusahaan asing dan warga Negara.Terdapat banyak ciri-ciri yangmenandai abad ke-19.
Demokrasi dan nasionalisme, keduanya
menghimbau peperangan pada revolusi Perancis dankerajaan, menyebar sepanjang benua
danmengubah inti dari hubungan Internasional.Demokrasi dibawa kepada pengaruh
politikindividual dan perkataan di
dalam pemerintahan. Hal ini juga membawa pulangkenyataan berupa tanggung jawab,
untuk peperangan yang menjadi perhatian bagisemua. Revolusi Industri berpusat di
Eropa,menciptakan pembagian ekonomi menjadi dua,yakni kapital dan buruh dan
mendorong pengaruh Barat keseluruh dunia. Semua faktorini menciptakan pertambahan
jumlah yangsangat besar dan variasi dari LembagaInternasional baik publik maupun privat,
danHukum Internasional berkembang dengan pesatuntuk menampung mereka. Aksi dari
Kongresdi Vienna mewujudkan dasar-dasar darikebebasan bernavigasi dengan
memperhatikanterusan Internasional dan mengatur KomisiSentral dari Rhine untuk
mengaturkegunaannya. Pada tahun 1856 Komisi untukDanube diciptakan dan sejumlah
sungai diEropa juga menjadi subyek dari persetujuandan pengaturan Internasional. Pada
tahun 1865Persatuan Telegraf Internasional diciptakan
dan pada tahun 1874 didirikan Universal PostalUnion.Komite Palang Merah
Internasionaldidirikan pada 1863, membantumempromosikan sejumlah seri dari
KonvensiGeneva dimulai pada tahun 1864
yang berurusan dengan konflik kemanusiaan, danKonverensi Hague pada tahun 1899 dan
1907didirikan Permanent Court of Arbitration dan

berurusan dengan cara memperlakukantawanan dan kontrol dari peperangan.Teori positivis


mendominasi abad ini.Pendekatan telah dipindahkan kedalamkejadian Internasional dan
segera berhadapandengan realita dari kekurangan terhadapkewenangan tertinggi. Semenjak
Hukumsepenuhnya tergantung kepada kehendak darikekuasaan yang mengatur di sistem
nasional,hal ini terlihat bahwa Hukum Internasional ikuttergantung pada keinginan dari
Negara-Negaradengan kekuasaan yang mengatur.Hal ini menyiratkan kebingungan
atas pembuat undang-
undang tertinggi di dalam Negara dengan Negara itu sendiri dankemudian positivisme
harus menerima identitasmetafisis dari suatu Negara. Suatu Negaramemiliki kehidupan dan
keinginannya sendiridan kemudian menjadi dapat untukmendominasi Hukum Internasional.
Tekananatas kondisi abstrak alami suatu Negara initidak muncul pada segala teori positivis
danterlambat dikembangkan.Pertumbuhan dari kesepakatanInternasional, adat, dan peraturan
membujukteori-teori positivis untuk menggasak masalahini di Hukum Internasional dan
Negara; dansebagai hasilnya dua aliran pemikiran muncul.Penganut Monis mengakui
bahwaterdapat satu prinsip fundamental yangmendasari baik Hukum nasional maupunHukum
Internasional. Penganut Dualis, yang berjumlah lebih dan cenderung berpikirandalam aliran
positivis, menekankan elemen dari persetujuan.Bagi Triepel, seorang teoris Jermanlainnya,
Hukum Internasional dan HukumDomestik ada pada latar atau bidang yang berbeda, hal yang
dulunya mengatur hubunganInternasional, hubungan akhir antara individudengan individu
dan antara individu dengan Negara.Hal ini merujuk kepada suatu paradox.Dapatkah
pengaturan umum ini mengikat Negara-Negara individual, dan, apabila iya,kenapa? Hal ini
akan muncul untuk mengarahkepada kesimpulan bahwa keinginan sautukekuasaan Negara
dapat memberikan kelahirankepada peraturan yang mana hal itu tidakmemiliki kontrol.Abad
ke-19 juga melihat publikasi darisejumlah pekerjaan dari Hukum Internasional,yang mana
menekankan praktek suatu Negaradan kepentingan dari sikap sautu Negaraterhadap
perkembangan dari peraturan- peraturan dalam Hukum Internasional.

Hukum bangsa-bangsa mempunyai nama baru sebagai hukum internasionl, oleh Jeremy
Bentham.[2] Pengertian baru ini berpengaruh pada isi hukum internasional itu sendiri, yaitu
adanya pemisahan antara persoalan domestik dengan internasional. Pembedaan ini sebagai
akibat munculnya konsep kedaulatan dari perjanjian the Peace of Westphalia yang ditujukan
untuk mengakhiri perang antar kelompok antar agama yang berlangsung lebih dari 30 tahun
di Eropa.[3] Menurut Mochtar Kusumaatmaja, perdamaian Westphalia dianggap sebagai
peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional moderen dan meletakkan dasar-dasar
masyarakat moderen. Bentuk negara-negara tidak lagi berdasarkan kerajaan tetapi didasarkan
atas negara-negara nasional, serta adanya pemisahan antara gereja dengan urusan

[1] Arsensius, op. cit.


[2] Ibid.,
[3] Ibid.,

pemerintahan. Dasar-dasar perjanjan Westphalia kemudian diperkuat lagi dengan


adanya perjanjian Utrecht, yaitu dengan menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas
politik internasional.[1]
Ada kecendrungan dari para ahli hukum untuk lebih mengemukakan kaidah-kaidah
hukum internasional terutama dalam bentuk traktat dan kebiasaan dan mengurangi sedikit
mungkin hukum alam sebagai sumber dari prinsip-prinsip tersebut.[2] Para penulis
terkemuka pada abad ke 17 dan 18 antara lain: Cornelis Van Bynkershoek (1673-1743), yang
mengemukakan pentingnya actual practice dari negara-negara dari pada hukum alam.
Sumbangan pemikiran lainnya teori tentang hak dan kewajiban dari negara netral. Christian
Wolf (1632-1694), mengemukakan teori mengenai Civitas Maxima yang sebagai negara
dunia meliputi negara-negara dunia. Von Martens (1714-1767), dalam Receuil des Traites
yaitu suatu kumpulan perjanjian yang masih merupakan suatu kumpulan berharga hingga
sekarang.Emmerich De Vattel (1714-1767) memperkenalkan prinsip persamaan antar
negara-negara.
2. Pada abad ke 19

Hukum internasional berkembang lebih jauh lagi. Beberapa faktor yang


mempengaruhi perkembangan ini adalah adanya kebangkitan negara-negara baru, baik di
dalam maupun di luar benua Eropa, Moderenisasi sarana angkutan dunia, penemuan-
penemuan baru, terutama di bidang persenjataan militer untuk perang. Kesemuanya
itu menimbulkan kebutuhan akan adanya sistem hukum internasional yang bersifat tegas
untuk mengatur hubungan-hubungan internasional tersebut. Pada abad ini juga mengalami
perkembangan kaidah-kaidah tentang perang dan netralitas, serta meningkatnya
penyelesaian perkara-perkara internasional melalui lembaga Arbitrase internasional.
Praktek negara-negara juga mulai terbiasa dengan pembuatan traktat-traktat untuk mengatur
hubungan-hubungan antar negara. Hasil karya para ahli hukum, lebih memusatkan perhatian
pada praktek yang berlaku dan menyampingkan konsep hukum alam, meskipun tidak
meninggalkan pada reason dan justice, terutama apabila sesuatu hal tidak diatur oleh traktat
atau kebiasaan.[3]
Para ahli hukum yang terkemuka pada masa ini antara lain : Henry Wheaton,
menulis buku Elements of International Law; De Martens, menulis buku yang semata-
mata didasarkan atas praktek negara-negara tidak menurut hukum alam; Kent, Kluber,
Philimore, Calvo, Fiore, Hall.

Berdirinya organiasi internasional yang menampung para ahli hukum


internasional adalam wadah the Law International Association dan Institut De Droit
International. Hukum internasional juga menjadi objek studi dalam skala yang luas dan
memungkinkan penaganan persoalan internasional secara lebih profesional.

Perkembangan masayarakat internasioan khususnya negara negara pada fase ini mulai
merumuskan penyelsaian sengketa dengan cara cara damai, misalanya mulalui perundingan
perundingan, baik lanagsung maupun dengan perantraan pihak ketiga, dengan
menyelenggarakan konpresnsi konspresnsi ataupun kongres internasional. Dalam
perkembangan sekanjutnya , konspirasi atau kongres internasional itu tidak lagi hanya
sebagai sarana penyelsaian sengketa, melainakan berkembang menjadi sarana membentuk
atau merumuskan prinsip prinsip dan kaidah kaidah hukum internasional dalan bentuk
perjanjian perjanjian atau konvensi konvensi internasioanal mengenai suatu bidang tertentu,
sebagai contoh adalah kofrensi perdamaian denhaag I tahun 1889 dan II tahun 1907 yang
menghasilkan prinsip prinsip dan kaidah hukum perang internasioal yang dalam
perkembangannya sekrang ini disebut hukum humaniter

1. 1. Konvensi Den Haag 1899


Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den
Haag (18 Mei-29 Juli 1899). Konferensi ini merupakan prakarsa Tsar Nicolas II dari Russia
yang berusaha mengulangi usaha pendahulunya Tsar Alexander I yang menemui kegagalan
dalam mewujudkan suatu Konferensi Internasional di Brussel pada tahun 1874. Ide
fundamental untuk menghidupkan lagi Konferensi Internasional yang gagal itu adalah
Rencana Konsepsi Persekutuan Suci (Holy Alliance tanggal 26 September 1815 antara
Austria, Prussia dan Russia. Seperti diketahui bahwa Quadruple Alliance yang ditandatangani
oleh Austria, Prussia dan Inggris tanggal 20 November 1815 merupakan kelanjutan dari
Kongres Wina september 1814-Juni 1815 untuk mengevaluasi kembali keadaan di Eropa
setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan di Waterloo pada tanggal 18 Juni 1815. Untuk
melaksanakan kehendak Tsar Nicolas II itu maka pada tahun 1898 menteri Luar Negeri
Russia Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua kepala Perwakilan Negara-
negara yang diakreditir di St. Petersburg berupa ajakan Tsar untuk berusaha mempertahankan
perdamaian Dunia dan mengurangi persenjataan.

Konferensi yang dimulai pada tanggal 20 Mei 1899 itu berlangsung selama 2 bulan
menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899. Adapun tiga
konvensi yang dihasilkan adalah :

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional


2. Konvensi II TENTANG Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
3. Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864
tentang hukum perang di laut.
Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak


sempurna menutupi bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh
manusia).
2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka lima
tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang.
3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang.
1. 2. Konvensi Den Haag 1907
Konferensi perdamaian yang kedua diadakan pada tahun 1907. Konferensi ini secara umum
gagal dan hanya menghasilkan beberapa keputusan. Namun, bertemunya negara-negara besar
dalam konferensi ini menjadi model bagi upaya-upaya kerja sama internasional yang
dilakukan di kemudian hari di abad ke-20. Konferensi yang kedua ini sebenarnya telah
diserukan akan diadakan pada tahun 1904, atas saran Presiden Theodore Roosevelt, tetapi
ditunda karena terjadinya perang antara Rusia dan Jepang. Konferensi Perdamaian Kedua
tersebut kemudian diadakan dari tanggal 15 Juni sampai dengan 18 Oktober 1907 untuk
memperluas isi Konvensi Den Haag yang semula, dengan mengubah beberapa bagian dan
menambahkan sejumlah bagian lain, dengan fokus yang lebih besar pada perang laut. Pihak
Inggris mencoba mengegolkan ketentuan mengenai pembatasan persenjataan, tetapi usaha ini
digagalkan oleh sejumlah negara lain, dengan dipimpin oleh Jerman, karena Jerman khawatir
bahwa itu merupakan usaha Inggris untuk menghentikan pertumbuhan armada Jerman.
Jerman juga menolak usulan tentang arbitrase wajib. Namun, konferensi tersebut berhasil
memperbesar mekanisme untuk arbitrase sukarela dan menetapkan sejumlah konvensi yang
mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban negara netral.
Perjanjian Final ditandatangani pada tanggal 18 Oktober 1907 dan mulai berlaku pada
tanggal 26 Januari 1910. Perjanjian ini terdiri dari tiga belas seksi, yang dua belas di
antaranya diratifikasi dan berlaku:

I. Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional

II. Pembatasan Penggunaan Kekuatan untuk Penagihan Utang Kontrak

III. Pembukaan Permusuhan

IV. Hukum dan Kebiasaan Perang Darat

V. Hak dan Kewajiban Negara dan Orang Netral Bilamana Terjadi Perang Darat

VI. Status Kapal Dagang Musuh Ketika Pecah Permusuhan

VII. Konversi Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang

1. Penempatan Ranjau Kontak Bawah Laut Otomatis


IX. Pemboman oleh Pasukan Angkatan Laut di Masa Perang

X. Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa terhadap Perang Laut

XI. Pembatasan Tertentu Menyangkut Pelaksanaan Hak Menangkap dalam Perang


Laut

XII. Pendirian Pengadilan Hadiah Internasional (Tidak diratifikasi)

1. Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang Laut


Selain itu ditandatangani pula dua deklarasi:

Deklarasi I. yang isinya memperluas isi Deklarasi II dari Konferensi 1899 untuk mencakup
jenis-jenis lain dari pesawat terbang.

Deklarasi II. mengenai arbitrase wajib.

Delegasi Brazil dipimpin oleh negarawan Ruy Barbosa, yang kontribusinya sangat penting
bagi dipertahankannya prinsip kesetaraan hukum negara-negara. Delegasi Inggris
beranggotakan antara lain 11th Lord Reay (Donald James Mackay), Sir Ernest Satow,
dan Eyre Crowe. Delegasi Rusia dipimpin oleh Fyodor Martens.
Protokol Jenewa untuk Konvensi Den Haag meskipun tidak dirundingkan di Den Haag,
Prokol Jenewa untuk Konvensi Den Haag dianggap sebagai tambahan untuk Konvensi
tersebut. Protokol yang ditandatangani pada tanggal 17 Juni 1925 dan mulai berlaku pada
tanggal 8 Februari 1928 ini secara permanen melarang penggunaan segala bentuk cara perang
kimia dan cara perang biologi. Protokol yang hanya mempunyai satu seksi ini berjudul
Protokol Pelarangan atas Penggunaan Gas Pencekik, Gas Beracun, atau Gas-gas Lain dalam
Perang dan atas Penggunaan Cara-Cara Berperang dengan Bakteri (Protocol for the
Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of
Bacteriological Methods of Warfare). Protokol ini disusun karena semakin meningkatnya
kegusaran publik terhadap perang kimia menyusul dipergunakannya gas mustard dan agen-
agen serupa dalam Perang Dunia I dan karena adanya kekhawatiran bahwa senjata kimia dan
senjata biologi bisa menimbulkan konsekuensi-konsekuensi mengerikan dalam perang di
kemudian hari. Hingga hari ini, protokol tersebut telah diperluas dengan Konvensi Senjata
Biologi (Biological Weapons Convention) (1972) dan Konvensi Senjata Kimia (Chemical
Weapons Convention) (1993).
Dalam hubungannnya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Deen Haag pada
tahun 1907 itu maka F.Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya
Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan
Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang
(Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi
Hindia Belanda.

Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia
Serikat pada tnaggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban Hindia Belanda beralih
kepada Republik Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran
Induk Perjanjian KMB di Den Haag.

Ketika susunan Negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi
Republik Indonesia Kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi jembatan
penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali
melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-
hal yang belum diatur oeh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap konvensi Den Haag
tersebut.
C.2. Pada abad ke 19

Hukum internasional berkembang lebih jauh lagi. Beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan ini adalah adanya kebangkitan negara-negara baru, baik di dalam maupun di
luar benua Eropa, Moderenisasi sarana angkutan dunia, penemuan-penemuan baru, terutama
di bidang persenjataan militer untuk perang. Kesemuanya itu menimbulkan kebutuhan
akan adanya sistem hukum internasional yang bersifat tegas untuk mengatur hubungan-
hubungan internasional tersebut. Pada abad ini juga mengalami perkembangan kaidah-
kaidah tentang perang dan netralitas, serta meningkatnya penyelesaian perkara-perkara
internasional melalui lembaga Arbitrase internasional. Praktek negara-negara juga mulai
terbiasa dengan pembuatan traktat-traktat untuk mengatur hubungan-hubungan antar
negara. Hasil karya para ahli hukum, lebih memusatkan perhatian pada praktek yang
berlaku dan menyampingkan konsep hukum alam, meskipun tidak meninggalkan
pada reason dan justice, terutama apabila sesuatu hal tidak diatur oleh traktat atau kebiasaan.
. (Ibid: 8) Para ahli hukum yang terkemuka pada masa ini antara lain : Henry Wheaton,
menulis buku Elements of International Law; De Martens, menulis buku yang semata-
mata didasarkan atas praktek negara-negara tidak menurut hukum alam; Kent,
Kluber, Philimore, Calvo, Fiore, Hall.

Anda mungkin juga menyukai