Revolusi Perancis dan Amerika pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX juga
mempengaruhi perkembangan hukum internasional lewat internasionalisasi hubungan antar
bangsa (Eropa, Amerika, Asia dan Afrika). Internnasionalisasi hubungan
antar bangsa ini melahirkan asas-asas dan gagasan-gagasan baru yang memperkaya
hukum internasional. Gagasan-gagasan tersebut antara lain:
1. hak suatu bangsa untuk mengubah atau menyusun pemerintahannya, (monarchi =>
Republik)
2. Serangan kepada suatu negara dianggap sebagai serangan terhadap semua bangsa,
3. kepentingan manusia di atas kepentingan negara,
4. Perlakuan manusiawi kepada tawanan, netralitas dan lain-lain.[45]
Abad ke-19 bersifat praktikal, ekspansionis dan era positivis. Kongres diVienna, yang mana
menandai akhir dari perang Napoleon, mengabadikan ketentraman Internasional baru yang
berdasarkan atas keseimbangan kekuatan di Eropa. Hukum Internasional menjadi berpusat di
Eropa, pemeliharaan dari yang beradab, Negara- Negara Kristen, penyeberangan laut dan
Negara asing yang dapat masuk hanya dengan persetujuan dan dalam kondisi yang ditetapkan
oleh kekuatan-kekuatan di Barat. Abad ini jugamelihat kedatangan kemerdekaan di
AmerikaLatin dan tempaan dari pendekatan yang berbeda kepada elemen-
elemen tertentu dariHukum Internasional oleh Negara-Negara padadaerah tersebut, terutama
denganmemperhatikan pada, misalnya, suakadiplomatik dan perlakuan oleh perusahaan-
perusahaan asing dan warga Negara.Terdapat banyak ciri-ciri yangmenandai abad ke-19.
Demokrasi dan nasionalisme, keduanya
menghimbau peperangan pada revolusi Perancis dankerajaan, menyebar sepanjang benua
danmengubah inti dari hubungan Internasional.Demokrasi dibawa kepada pengaruh
politikindividual dan perkataan di
dalam pemerintahan. Hal ini juga membawa pulangkenyataan berupa tanggung jawab,
untuk peperangan yang menjadi perhatian bagisemua. Revolusi Industri berpusat di
Eropa,menciptakan pembagian ekonomi menjadi dua,yakni kapital dan buruh dan
mendorong pengaruh Barat keseluruh dunia. Semua faktorini menciptakan pertambahan
jumlah yangsangat besar dan variasi dari LembagaInternasional baik publik maupun privat,
danHukum Internasional berkembang dengan pesatuntuk menampung mereka. Aksi dari
Kongresdi Vienna mewujudkan dasar-dasar darikebebasan bernavigasi dengan
memperhatikanterusan Internasional dan mengatur KomisiSentral dari Rhine untuk
mengaturkegunaannya. Pada tahun 1856 Komisi untukDanube diciptakan dan sejumlah
sungai diEropa juga menjadi subyek dari persetujuandan pengaturan Internasional. Pada
tahun 1865Persatuan Telegraf Internasional diciptakan
dan pada tahun 1874 didirikan Universal PostalUnion.Komite Palang Merah
Internasionaldidirikan pada 1863, membantumempromosikan sejumlah seri dari
KonvensiGeneva dimulai pada tahun 1864
yang berurusan dengan konflik kemanusiaan, danKonverensi Hague pada tahun 1899 dan
1907didirikan Permanent Court of Arbitration dan
Hukum bangsa-bangsa mempunyai nama baru sebagai hukum internasionl, oleh Jeremy
Bentham.[2] Pengertian baru ini berpengaruh pada isi hukum internasional itu sendiri, yaitu
adanya pemisahan antara persoalan domestik dengan internasional. Pembedaan ini sebagai
akibat munculnya konsep kedaulatan dari perjanjian the Peace of Westphalia yang ditujukan
untuk mengakhiri perang antar kelompok antar agama yang berlangsung lebih dari 30 tahun
di Eropa.[3] Menurut Mochtar Kusumaatmaja, perdamaian Westphalia dianggap sebagai
peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional moderen dan meletakkan dasar-dasar
masyarakat moderen. Bentuk negara-negara tidak lagi berdasarkan kerajaan tetapi didasarkan
atas negara-negara nasional, serta adanya pemisahan antara gereja dengan urusan
Perkembangan masayarakat internasioan khususnya negara negara pada fase ini mulai
merumuskan penyelsaian sengketa dengan cara cara damai, misalanya mulalui perundingan
perundingan, baik lanagsung maupun dengan perantraan pihak ketiga, dengan
menyelenggarakan konpresnsi konspresnsi ataupun kongres internasional. Dalam
perkembangan sekanjutnya , konspirasi atau kongres internasional itu tidak lagi hanya
sebagai sarana penyelsaian sengketa, melainakan berkembang menjadi sarana membentuk
atau merumuskan prinsip prinsip dan kaidah kaidah hukum internasional dalan bentuk
perjanjian perjanjian atau konvensi konvensi internasioanal mengenai suatu bidang tertentu,
sebagai contoh adalah kofrensi perdamaian denhaag I tahun 1889 dan II tahun 1907 yang
menghasilkan prinsip prinsip dan kaidah hukum perang internasioal yang dalam
perkembangannya sekrang ini disebut hukum humaniter
Konferensi yang dimulai pada tanggal 20 Mei 1899 itu berlangsung selama 2 bulan
menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899. Adapun tiga
konvensi yang dihasilkan adalah :
V. Hak dan Kewajiban Negara dan Orang Netral Bilamana Terjadi Perang Darat
Deklarasi I. yang isinya memperluas isi Deklarasi II dari Konferensi 1899 untuk mencakup
jenis-jenis lain dari pesawat terbang.
Delegasi Brazil dipimpin oleh negarawan Ruy Barbosa, yang kontribusinya sangat penting
bagi dipertahankannya prinsip kesetaraan hukum negara-negara. Delegasi Inggris
beranggotakan antara lain 11th Lord Reay (Donald James Mackay), Sir Ernest Satow,
dan Eyre Crowe. Delegasi Rusia dipimpin oleh Fyodor Martens.
Protokol Jenewa untuk Konvensi Den Haag meskipun tidak dirundingkan di Den Haag,
Prokol Jenewa untuk Konvensi Den Haag dianggap sebagai tambahan untuk Konvensi
tersebut. Protokol yang ditandatangani pada tanggal 17 Juni 1925 dan mulai berlaku pada
tanggal 8 Februari 1928 ini secara permanen melarang penggunaan segala bentuk cara perang
kimia dan cara perang biologi. Protokol yang hanya mempunyai satu seksi ini berjudul
Protokol Pelarangan atas Penggunaan Gas Pencekik, Gas Beracun, atau Gas-gas Lain dalam
Perang dan atas Penggunaan Cara-Cara Berperang dengan Bakteri (Protocol for the
Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of
Bacteriological Methods of Warfare). Protokol ini disusun karena semakin meningkatnya
kegusaran publik terhadap perang kimia menyusul dipergunakannya gas mustard dan agen-
agen serupa dalam Perang Dunia I dan karena adanya kekhawatiran bahwa senjata kimia dan
senjata biologi bisa menimbulkan konsekuensi-konsekuensi mengerikan dalam perang di
kemudian hari. Hingga hari ini, protokol tersebut telah diperluas dengan Konvensi Senjata
Biologi (Biological Weapons Convention) (1972) dan Konvensi Senjata Kimia (Chemical
Weapons Convention) (1993).
Dalam hubungannnya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Deen Haag pada
tahun 1907 itu maka F.Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya
Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan
Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang
(Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi
Hindia Belanda.
Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia
Serikat pada tnaggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban Hindia Belanda beralih
kepada Republik Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran
Induk Perjanjian KMB di Den Haag.
Ketika susunan Negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi
Republik Indonesia Kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi jembatan
penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali
melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-
hal yang belum diatur oeh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap konvensi Den Haag
tersebut.
C.2. Pada abad ke 19
Hukum internasional berkembang lebih jauh lagi. Beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan ini adalah adanya kebangkitan negara-negara baru, baik di dalam maupun di
luar benua Eropa, Moderenisasi sarana angkutan dunia, penemuan-penemuan baru, terutama
di bidang persenjataan militer untuk perang. Kesemuanya itu menimbulkan kebutuhan
akan adanya sistem hukum internasional yang bersifat tegas untuk mengatur hubungan-
hubungan internasional tersebut. Pada abad ini juga mengalami perkembangan kaidah-
kaidah tentang perang dan netralitas, serta meningkatnya penyelesaian perkara-perkara
internasional melalui lembaga Arbitrase internasional. Praktek negara-negara juga mulai
terbiasa dengan pembuatan traktat-traktat untuk mengatur hubungan-hubungan antar
negara. Hasil karya para ahli hukum, lebih memusatkan perhatian pada praktek yang
berlaku dan menyampingkan konsep hukum alam, meskipun tidak meninggalkan
pada reason dan justice, terutama apabila sesuatu hal tidak diatur oleh traktat atau kebiasaan.
. (Ibid: 8) Para ahli hukum yang terkemuka pada masa ini antara lain : Henry Wheaton,
menulis buku Elements of International Law; De Martens, menulis buku yang semata-
mata didasarkan atas praktek negara-negara tidak menurut hukum alam; Kent,
Kluber, Philimore, Calvo, Fiore, Hall.