Anda di halaman 1dari 10

PAPER KONFLIK PEMERINTAH DENGAN

PT. FREEPORT INDONESIA


Dosen : Muhammad Eko Atmojo, S.IP., M.I.P.

Di Susun Oleh :

Yumna Rofifah ( 20160520042 )

Dita Winda Hastuti (20160520088)

Amalia Ramadhanty (20160520115)

Nur Laela Dian Latifah ( 20160520121 )

Cordylin Beta Strata ( 20160520124 )

Diyah Tri Yuniawati ( 20160520154 )

Lifia Hardyanti (20160520159)

Kelas : B

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi berbagai

nikmat dan kesehatan serta kekuatan, sehingga bisa menyusun makalah ini.

Penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu pemenuhan tugas mata Kuliah Metodologi

Pemerintahan.

Makalah ini sudah kami susun semaksimal mungkin, tapi terlepas dari itu semua kami

menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata

bahasanya.

Mohon maaf apabila makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena sesungguhnya,

kesempurnaan hanya milik Allah, dan kami disini hanya sebagai mahasiswa yang masih belajar

dan berusaha untuk memenuhi tugas dalam perjalanan kami selama belajar. Semoga makalah ini

bermanfaat bagi kita semua.


PEMBAHASAN

Manusia sebagai khalifah di muka bumi harus senantiasa menjaga kekayaan alam

yang terdapat di dalamnya. Tetapi kenyataanya masih banyak manusia yang merusak alam.

Salah satunya alam yang dirusak manusia adalah kekayaan hasil tambang di Papua yang

dilakukan oleh PT.Freeport asal Amerika Serikat. Perusahaan ini berdiri sejak 1967 sampai

sekarang. Mereka mengeksplorasi tambang, emas dan perak.

Sejak tahun 1967, PT. Freeport telah bekerjasama dengan pemerintah Indonesia.

Pada awal periode permerintahan Soeharto, Indonesia mengalami krisis ekonomi. Maka, PT.

Freeport melihat peluang itu dan mengajukan kontrak kerja sama dengan Indonesia. Awal

berdirinya perusahaan ini, perekonomian masyarakat Papua meningkat karena mereka

masuk ke wilayah sekitar tambang. Tetapi lama kelamaan lingkungan menjadi terkena

dampak dari pertambangan tersebut.

Pemerintah dinilai telah melupakan masalah strategis terkait dengan kontrak PT

Freeport Indonesia yang akan segera berakhir. Selama ini, pemerintah terlalu asyik

memperkarakan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Padahal, itu

hanya sekelumit bagian dari amandemen kontrak.

Demikian pandangan yang disampaikan oleh Ketua Working Group Kebijakan

Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Budi Santoso. Budi

mengingatkan, hal penting yang seharusnya menjadi fokus utama pemerintah saat ini adalah

masalah perpanjangan. Pasalnya, hal ini terkait dengan manfaat yang didapat bangsa

Indonesiaatas keberadaan Freeport selama ini. "Langkah pemerintah memperpanjang

negosiasi amendemen kontrak dengan Freeport menunjukan pemerintah terjebak pada


substansi kontrak karya," kata Budi di Jakarta, Kamis (5/2). Lebih lanjut ia menyampaikan,

keputusan terkait dengan perpanjangan kontrak harus diambil berdasarkan pertimbangan

kepentingan bangsa. Ia menengarai, pada akhir kontrak di 2021 nanti perusahaan asal

Amerika Serikat itu tidak akan lagi mengenal kontrak karya, tapi izin pertambangan khusus.

Sementara itu, berdasarkan pengamatannya, Budi menilai bahwa keberadaan Freeport

selama ini tidak memberi manfaat ekonomi yang lebih besar. Padahal, seharusnya dengan

sumber daya alam Indonesia yang sangat banyak dimanfaatkan oleh Freeport, perusahaan itu

mampu membawa dampak besar. Freeport, kata dia, sudah semestinya memberikan

multiplier effect yang lebih besar, bukan hanya sekadar memberikan kontribusi pada

pemerintah. Menurut Budi, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kemampuan

mengelola sumber daya alam sendiri. Dia berpendapat, kontribusi Freeport terhadap negara

perlu ditingkatkan untuk memperbaiki pendapatan asli daerah (PAD).

Gubernur Papua Lukas Enembe menegaskan bahwa dirinya mendukung sikap

pemerintah pusat yang ingin menguasai saham mayoritas PT Freeport Indonesia yang sudah

48 tahun beroperasi di Papua. "Kita setuju kalau negara menguasai 51 persen saham

Freeport karena sektor ekonomi yang dikuasai oleh asing membuat kita tertinggal jauh,"

ucapnya di Jayapura, Selasa (21/2/2017). "Kalau kita menguasai 51 persen saham Freeport,

maka Freeport-lah yang menjadi karyawan karena hanya menguasai (saham) 49 persen,"

ujarnya. Ia mengatakan, sebagai perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia, Freeport

harus tunduk dan taat terhadap aturan yang berlaku, apalagi mereka sudah banyak meraup

keuntungan dari hasil mengeksplorasi kekayaan alam Papua. "Ini sudah waktunya setelah 48

tahun Freeport menambang di Papua, sudah waktunya dia tunduk dan taat kepada UU di

Indonesia. Kita sekarang minta sahamnya 51 persen, Freeport hanya bisa memberi 49
persen," katanya. "Ini wajib hukumnya karena UU Nomor 4 Tahun 2009 ditambah dengan

Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2017. Menurut dia, Papua kini menjadi incaran bagi

negara-negara maju yang ingin mengelola potensi tambang yang ada. Namun, Enembe

menekankan yang terpenting adalah kesejahteraan rakyat yang harus dikedepankan. Papua

ini letaknya sangat strategis dan menjanjikan bagi semua negara. China dan Amerika

berlomba-lomba memperebutkan kawasan ini. "Oleh karena itu, sebagai negara yang

berdaulat, sektor-sektor ekonomi harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-

besarnya untuk kemakmuran rakyat," katanya.

Sebelumnya, President dan CEO Freeport McMoran Inc Richard C Adkerson

mengaku akan menggugat Pemerintah Indonesia jika belum juga mendapatkan keputusan

negosiasi kontrak yang kini masih dalam perdebatan. Richard dalam jumpa pers di Jakarta,

Senin (20/2/2017), mengatakan, Jumat (17/2/2017) lalu PT Freeport Indonesia telah

mengirimkan surat pemberitahuan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan mengenai

tindakan wanprestasi dan pelanggaran Kontrak Karya oleh Pemerintah Indonesia.

Menurut dia, Freeport tidak dapat melakukan ekspor tanpa mengakhiri Kontrak Karya yang

ditandatangani 1991 silam itu. Ia juga menilai KK tersebut tidak dapat diubah sepihak oleh

Pemerintah Indonesia melalui izin ekspor yang diberikan jika beralih status menjadi izin

usaha pertambangan khusus (IUPK). Oleh karena itu, melalui surat tersebut, diharapkan bisa

didapat solusi atas kontrak perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu. "Dalam surat itu,

ada waktu 120 hari bagi Pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-

perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase,"

katanya. Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan

meminta PT Freeport Indonesia untuk menghormati aturan yang ada di Tanah Air terkait
perdebatan perubahan status Kontrak Karya menjadi izin usaha pertambangan khusus.

Menurut Luhut yang ditemui di Kemenko Kemaritiman Jakarta, Senin, posisi pemerintah

jelas dalam hal tersebut dan tidak akan mundur dari aturan yang telah disusun. "Freeport

harus menyadari ini adalah B to B (business to business). Jadi, tidak ada urusan ke negara.

Freeport sudah hampir 50 tahun di sini, jadi mereka juga harus menghormati undang-

undang.

A. ALASAN KEPRIHATINAN

1. Pertama bahwa : keprihatinan terhadap situasi dan kondisi yang dialami oleh penduduk

asli suku Amungme dan Kamoro serta kondisi lingkungan fisik yang berubah karena

eksploitasi pertambangan.

2. Kedua bahwa : telah sangat terang benderang kondisi kehidupan sebagian besar

penduduk asli suku Amungme dan Kamoro yang belum pernah beruntung secara

berkelanjutan di hadapan PT. Freeport telah menimbulkan keprihatinan karena

perusahaan ini telah bekerja selama 50 tahun (1967-2017) atau 1/2 abad, belum

menjawab ketentraman dan kenyamanan batin dari sebagian besar anggota masyarakat

asli suku Amungme dan Kamoro yang menjadi penerima dampak langsung dari aktifitas

PT. Freeport.

3. Ketiga bahwa : pemerintah Indonesia dan PT. Freeport telah bersama-sama bersepakat

untuk menggali dan membuang tanah yang ada di gunung tanah ulayat adat suku

Amungme dan mengambil biji-biji tembaga serta emas, dan membuang tanah (B3)

sebagai tailing dari ulayat Amungme masuk ke ulayat adat Kamoro. Panorama ini sangat

memprihatinkan dan menyedihkan manakala tidak ada solusi yang baik dan adil terhadap

masyarakat Amungme dan Kamoro dalam konflik antara Pemerintah Indonesia dan PT.
Freeport. Hal ini menjadi semakin nyata bahwa baik suku Amungme maupun Kamoro

telah dan sedang masuk dalam catatan sejarah dunia pelanggaran HAM berat yang

dilakukan oleh PT. Freeport dan/atau PEmerintah Indonesia terhadap hak-hak ekonomi

dan social budaya (ecosob) kedua suku tersebut.

4. Keempat bahwa : prioritas penyelesaian konflik pemerintah Indonesia dan PT. Freeport

dengan masyarakat suku Amungme dan Kamoro adalah memperbaiki lingkungan yang

telah rusak akibat operasi penambangan PT. Freeport dan Pemerintah Indonesia dan

menjawab tuntutan penduduk asli yang dirugikan selama 50 tahun perusahaan beroperasi.

Hal ini menjadi keprihatinan karena bilamana tak ada solusi untuk mendamaikan

pemerintah Indonesia dan PT.Freeport, maka lembaga mana yang akan

bertanggungjawab memperbaiki kerusakan lingkungan selama sekian tahun.

B. FAKTA KASUS

Pada suatu kesempatan, di kantor Yayasan Lingkungan Hidup (YALI) Papua,

Freeport pernah menjawab sebuah pertanyaan, bahwa siapa yang bertanggung jawab atas

sejumlah pelanggaran HAM dan pencemaran lingkungan yang terjadi di area konsesi PT.

Freeport merespon pertanyaan itu, melalui seorang expert, bahwa soal pelanggaran HAM

dan pencemaran lingkungan, bukan urusan kami; itu urusan pemerintah Indonesia.

Kedatangan / pertemuan antara PT. Freeport dan YALI Papua sebagai akibat dari publikasi

hasil studi YALI Papua yang menunjukan adanya unsur logam berat berbahaya di dalam

pangan lokal (tambelo) masyarakat Kamoro, yang terdampak limbah tailing.

Apakah isi kontrak karya memuat pertanggungjawaban masalah hukum, HAM dan

lingkungan adalah merupakan tanggung jawab Pemerintah Indonesia dan/atau PT Freeport?

Tahun 2016, Walhi Papua melakukan monitoring di wilayah pesisir suku Kamoro, Kampung
Pasir Hitam. Hasil dialog dengan masyarakat setempat menunjukan adanya permasalahan

tentang akses pemenuhan hidup sehari-hari, seperti yang dijelaskan masyarakat di bawah ini:

bahwa, sebelum Freeport ada disini (melakukan operasi tambang), aktifitas kami

(masyarakat), tidak mengalami gangguan. Hasil tangkapan ikan yang dulunya selesai

mencari, bisa tinggal beberapa saat sebelum dibawa ke pasar. Saat ini setelah mencari atau

menangkap, jika tidak segera memasukkan es batu (pendingin), ikan-ikan tersebut akan

membusuk; perairan yang dulunya kami lalui untuk pergi ke pasar menjual (memasarkan),

hasil tangkapan, tanpa ada masalah, saat ini mengalami kesulitan untuk menyebrang karena

wilayah tersebut telah dangkal. Pendangkalan ini terjadi sebagai akibat dari limbah tailing.

Sehingga apabila air pasang surut, maka kami akan menunggu air kembali naik, untuk

membantu kami menyeberang. Untuk menunggu air naik kembali, kami harus menunggu

dari pagi hingga siang hari. Dengan kondisi seperti ini beberapa ikan sudah tidak layak

dijual (membusuk).

Cerita duka atau permasalahan yang disampaikan oleh masyarakat seperti yang telah

disebutkan diatas, merupakan fakta bahwa Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport secara

bersama-sama melakukan pengrusakan terhadap akses dan sumber penghidupan yang

dihidupi masyarakat secara turun-temurun sejak operasi penambangan. Pemerintah

Indonesia dan PT. Freeport, sebelum melanjutkan pembuatan kontrak baru, perlu dengan

sungguh-sungguh menyelesaikan permasalahan masa depan kehidupan masyarakat adat

kedua suku yang ada;

Dunia telah tahu bahwa perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar di dunia

berada di Kabupaten Mimika, Papua. Dengan demikian bilamana pemerintah Indonesia

mengganti mitra perusahaan tambang PT. Freeport dengan perusahaan lain maka hal utama
dan terutama yang dilakukan adalah, menyelesaikan konflik kehidupan masa lalu saat ini,

dan masa depan dari suku Amungme dan Kamoro, di wilayah tersebut.

Kepada Pemerintah Indonesia dalam memperbaiki (amandemen) kontrak karya (KK)

maupun IUPK, wajib memposisi masyarakat adat pemilik hak ulayat dengan jelas dan tegas

dalam dokumen tersebut dengan memasukan pasal-pasal yang memuat dan menjamin

tuntutan kehidupan masyarakat suku Amungme dan Kamoro untuk masa depan kehidupan

mereka yang telah menerima dampak dari operasi penambangan. Pemerintah diminta

bersikap tegas mencari solusi mengatasi jumlah pengganguran sebagai akibat dari

penghentian sementara operasi penambangan.

C. SOLUSI YANG DI TAWARKAN

1. Adanya jalan arbitrase sebagai langkah hukum dalam menyelesaikan permasalahan

dengan Freeport yang terkait dengan pihak-pihak di negara lain. Dan Indonesia telah

terbiasa menempuh jalur ini dalam berbagai permasalahan.

2. Freeport harus taat terhadap pemerintah Indonesia dan harus sesuai janjinya yang

telah disepakati.

3. Freeport harus menaati UU Nomor 4 Tahun 2009 yang berisi tentang pertambangan

dan mineral batu bara.


SUMBER BERITA

Kumparan.com
Kompas.com
Liputan6.com

Anda mungkin juga menyukai