Anda di halaman 1dari 9

MUTLAQ DAN MUQOYYAD

1. A. Pengertian
Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian
tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata meja, rumah, jalan, kata-
kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada
pengertian makna tertentu yang telah kita pahami,Beberapa pendapat para ualam tentang
mutlak dan muqayyad:

1. Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau
beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2. Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadapmaudhunya
tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada
hakikat sesuatu menurut apa adanya.
3. Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi
petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.[1]
Munurut bahasa yaitu tidak terikat sedangkan muqayyad kebalikan dari mutlak. Sedangkan
menurut istilah adalah suatau kata yang menunjukan suatu materi dengan tanpa
ikatan.Mutlaq dan Muqayad itu sama denganam dan Khasa.[2] Mutlaq adalah Lafaz yang
menunjukan suatu hakikat tanpa suatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjukan kepada
suatu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Lapad mutlaq ini pada umumnya
berbentuk nakirah dalam konteks kalimat positif. Misalnya lapadz 7pt7s%u (seorang
budak ) dalam ayat: stGs 7pt7s%u (maka [wajib atasnya] memerdekakan seorang
budak) (Al-Mujadalah [58]: 3). Peryataan ini di liputi pembebasan seorang budak yang
mencakup segala jenis budak, baiki yang mukmin atau yang kafir. Lapdz raqabah adalah
nakiroh dalam konteks positif. Karena itu pengertian ayat ini adalah, wajib atasnya
memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga. Juga seperti ucapan Nabi: Tak ada
pernikahan tanpa seorang wali. (Hadist Ahmad dan empat imam). Wali di sini adalah
mutlak, meliputi semua jenis wali baik yang berakal atau tidak. Oleh karena itu Ulama Ushul
mendefinisikan mutlak dengan suatu ungkapan dengan isim nakirah dalam kontek positif.
Pengecualin isim nakirah dalam konteks negatif (nafi) karna nakirah dalam konteks negatif
memeliki arti umum menyangkup semua individu yang termasuik jenisnya.
Muqayad adalah lapadz yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid(batasan), seperti kata-
kata raqabah yang dibatasi dengan iman dalam ayat: stGs 7pt6s%u
7poYBs B (maka [henedaklah pembunuh itu] memerdekakan budak yang beriman). An-
Nisa [4]: 92).
Para ulam berkata:kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat
(menjadikan muqayad),maka yang mutlaq itu ditafsirkan denganya. Dan jika tidak
ditemukan, maka juga tidak. Tetapi yang mutlaq itu tetap pada kemutlakanya. Dan
yang muqayad tetap pada maknanya. Karna Allah menurunkan firman-Nya kepada kita
dengan Bahasa Arab.
B. Kaidah Mutlaq dan Mukoyyad
v Jika tempat pengambunganya hanya satu maka wajib di taqyidd.

v Jika tempat pengambungan lebih dari satu maka tidak wajib ditaqyyid.

Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan
bentuk muqayyad, maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada
dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi
harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:

a. Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:


)3: (

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi


Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa
terkecuali, karena lafadz dam (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal
lain yang mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah dam (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya
bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
b. Ayat Muqayyad:

Surat al-Anam ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu dam (darah) yang diharamkan.

)145: (

Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir.
Lafadz dam (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti
oleh qarinah atau qayid yaitu lafadz masfuhan (mengalir). Oleh karena itu darah yang
diharamkan menurut ayat ini ialah dam-an masfuhan (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-Anam ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah
sama yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang
mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka
pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad. Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan
harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-Anam ayat 145.
2. Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya
berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepadamuqayyad.
Contoh:

a. Ayat mutlaq :

Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:

)6:( .
.

Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah
Lafadz yad (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang
mengikat lafadz yad (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan
menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau
sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang
menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan
hanya sampai pergelangan tangan.
b. Ayat Muqayyad:

Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu, yaitu:


)6: (

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku
Lafadz yad (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang
mengikatnya yaitu ilal marafiqi (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut
mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu
keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq
sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang
ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang
ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu
tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu yang
mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dengan demikian
ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak
bisa dijadikan satu.
3. Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama,
maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh ;
a. Mutlaq

Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada
istrinya.
)3: (

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur.
Lafadz raqabah (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentukmutlaq karena tidak
ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-
dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus
memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.
b. Muqayyad

Surat an-Nisa ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang tidak sengaja,
yaitu :

)92: (

dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia


memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.
Lafadz raqabah (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyaddengan diikat
lafadz mukminah (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba
sahaya yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain
kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap
diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan
kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.
4. Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada
pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana
yang muqayyad.
Contoh:

a. Mutlaq
Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :

)38: (

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Lafadz yad dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan
tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.
b. Muqayyad

Masalah wudhu yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:


)6: (

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.
Lafadz yad dalam ayat wudhu ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz ilal
marafiqi (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan
sampai siku.
Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz yad. Ayat pertama
berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad.Keduanya mempunyai sebab
dan hukum yang berbeda. Yang mutlaqberkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus
potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu yang mengharuskan
membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yangmutlaq tidak bisa
dipahami menurut yang muqayyad.
1. Macam- macam Mutlak dan Muqayad dan Setatus Hukum Masing-maisng
Mutlak dan Muqayad memiliki bentuk aqliyah dan sebagai realitas bentukya kami
kemukakan berikut ini:
1. Sebab dan hukumnya sama, sepertu puasa untuk kafarah sumpah. Lpadz itu
dalam qaraah mutawatir yang tgerdapat dalam mushaf dan di ungkapkan secara mutlak:
x. ot y79s 4 &P$u s psWn=rO 5Q$ r yJs O9 gs `
s) OFn=ym 4# &N3YyJ r

(Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah [dan kamu
langgar]).[3]Dan ia muqayyad di batasi denag tatabu (berturut turut) dalam qiraah Ibn
Masud (Maka kafarahnya puasa selam tiga hari berturut-turut). Dalam hal seprti ini,
pengertian lapadz yang mutlaq dibawa kepada lapadz yang muqayyad (dengan arti ) yang di
maksud lapadz mutlaq adalah sama dengan yang di maksud dengan lapadz muqayyad, karana
sebab yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh karna itu seglong
berpendapat bahwa puasa atiga hari tersebut harus di lakukan tiga hari berturu-turut.[4]Maka
dalam kasusu ini dipandang tidak ada mukoyyas hyang karana nya lapadz mutlaq dibawa
kepadnya.
1. Sebab sama namun hukum bebeda, seperti kata tangan dalam wudhu dan tayamum.
Membasuh tangan dalam wudhu di batasi sampai dengan siku Allah berfirman:
) o4qn=9$# <%!$# (#qYtB#u #s) OFJ% n pk rt $
) ,#tyJ9$#<ur n&r(#q=$$s N3ydq_r N3t

( Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku).
ur &rqJJu tFs #Y | $Y6hs (#qs|B$$s N6dq_q/ N3 #((
mYiB 4

(Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu).
Dalam hal ada yang berependapat lapadz yang mutlaq tidak di bawa kepada
lapad muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun Al-Ghazali menukil dari mayoritas
ulam Syafii bahwa mutlaq disi dibawa kepada muqayyadmengingat sebab nya sama
sekalipun berbeda hukumnya.
1. Membawa Hukum Mutlaq kepada Muqayyad
Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan
bentuk muqayyad, maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada
dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat
yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:

a) Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:


)3: (

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi


Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa
terkecuali, karena lafadz dam (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal
lain yang mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah dam (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya
bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
b) Ayat Muqayyad:

Surat al-Anam ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu dam (darah) yang diharamkan.

)145: (

Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir.
Lafadz dam (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti
oleh qarinah atau qayid yaitu lafadz masfuhan (mengalir). Oleh karena itu darah yang
diharamkan menurut ayat ini ialah dam-an masfuhan (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-Anam ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah
sama yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang
mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka
pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad. Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan
harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-Anam ayat 145.
v Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:


)3: (

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi


Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa
terkecuali, karena lafadz dam (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal
lain yang mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah dam (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya
bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
v Ayat Muqayyad:

Surat al-Anam ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu dam (darah) yang diharamkan.

)145: (

Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir.
Lafadz dam (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti
oleh qarinah atau qayid yaitu lafadz masfuhan (mengalir). Oleh karena itu darah yang
diharamkan menurut ayat ini ialah dam-an masfuhan (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-Anam ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah
sama yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang
mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka
pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad. Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan
harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-Anam ayat 145.
ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.

v Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:


)3: (
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa
terkecuali, karena lafadz dam (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal
lain yang mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah dam (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya
bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
v Ayat Muqayyad:

Surat al-Anam ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu dam (darah) yang diharamkan.

)145: (

Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir.
Lafadz dam (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti
oleh qarinah atau qayid yaitu lafadz masfuhan (mengalir). Oleh karena itu darah yang
diharamkan menurut ayat ini ialah dam-an masfuhan (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-Anam ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah
sama yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang
mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka
pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad. Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan
harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-Anam ayat 145.
PENUTUP
Mutlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi
oleh lafadz lainnya. Contoh: lafadz hamba sahaya/ raqabah . Muqayyad adalah lafadz yang
menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Contoh: hamba sahaya yang
mukmin/ raqabah muminah yang berarti budak mukmin bukan budak lainnya.. Kaidah
Mutlaq adalah Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang
membatasinya dari kemutlakan itu, sedangkan Kaidah Muqayyad adalah Wajib mengerjakan
yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya.

Anda mungkin juga menyukai