Anda di halaman 1dari 8

gun1922

Penetapan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah

Gun Adi
3 tahun yang lalu
Iklan

BAB I

PENDAHULUAN

Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan
tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menjerat dan menyediakan unsur hara lebih baik
daripada tanah dengan KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa,
Ca, Mg, K, Na (kejenuhan basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi bila
didominasi oleh kation asam, Al, H (kejenuhan basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah.
Karena unsur-unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan koloid maka unsur-unsur hara tersebut
tidak mudah hilang tercuci oleh air.KTK pada jenis tanah yang ada berbeda-beda, dipengaruhi
oleh faktor lingkungan setempat. KTK tanah pada umumnya digunakan sebagai indikator
pembeda pada proses klasifikasi tanah.

Besarnya KTK suatu tanah dapat ditentukan dengan menjenuhkan kompleks jerapan atau
misel dengan kation tertentu. Misalnya misel dijenuhkan dengan kation Ba2+ atau NH4+ yang
bertujuan agar seluruh kation yang terjerap dapat digantikan oleh ion Ba2+ atau NH4+. Dengan
menghitung jumlah Ba2+ atau NH4+ yang dapat menggantikan seluruh kation terjerap tadi, maka
nilai tersebut adalah KTK tanah yang ditentukan.

Pada suspensi tanah dapat dibedakan permukaan padat yang umumnya bermuatan negatif
dan kation-kation yang bermuatan positif dalam larutan. Penyebaran muatan pada sistem tersebut
dapat disamakan dengan kondensor. Dalam hal ini lempeng bermuatan negatif adalah permukaan
padat dan lempeng bermuatan positif adalah sejumlah kation yang tersebar. Semakin jauh dari
permukaan bahan padat ia menjadi renggang sampai akhirnya merat dilarutkan. Penyebaran
muatan dengan medan listriknya disebut lapis ganda listrik. Dengan adanya tenaga kinetis maka
penyebaran kation bersifat difusi dan lapisan ganda disebut setengah difusi. Kation-kation yang
menyebar disebut ion lawan (counter ion) dari muatan permukaan. Medan listrik makin berkurang
dari permukaan bermuatan kelarutan sampai menjadi nol bila disosiasi ion lawan telah berhenti.
Tebal lapis ganda ditentukan oleh kesetimbangan antara kecenderungan ion-ion untuk menyebar
dan kekuatan tarik permukaan mineral.

Setiap kation mempunyai daya yang berbeda untuk dapat dijerap dan dipertukarkan.
Jumlah yang dijerap biasanya tidak setara dengan jumlah yang dipertukarkan. Ion bervalensi dua
biasanya lebih kuat dipegang dai pada ion bervalensi satu oleh koloid tanah, dengan demikian
akan lebih sukar untuk dipertukarkan. Itulah sebabnya jika ion Ba2+ yang digunakan sebagai
kation penukar, pertukaran tidak terjadi dalam jumlah yang setara. Barium dijerap kuat sekali oleh
liat, tetapi mempunyai daya penetrasi yang rendah. Oleh karena itu jumlah pertukaran yang
diperoleh lebih rendah dari jumlah barium yang dijerap, akan sering memberikan jumlah
pertukaran yang lebih tinggi dari jumlah ion NH4+ yang dijerap. Amonium adalah ion bervalensi
satu yang tentunya akan ditarik oleh koloid liat kurang kuat jika dibandingkan dengan ion barium,
tetapi ion amonium mempunyai daya penetrasi yang lebih tinggi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kapasitas Tukar Kation (KTK) atau Cation Exchange capacity (CEC) merupakan jumlah total
kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid yang bermuatan negative. Berdasarkan
pada jenis permukaan koloid yang bermuatan negative, KTK dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu : a) KTK koloid anorganik atau KTK liat yaitu jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada
permukaan koloid anorganik (koloid liat) yang bermuatan negative, b) KTK koloid organic yaitu
jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid oerganik yang bermuatan
negative, dan c) KTK total atau KTK tanah yaitu jumlah total kation yang dapat dipertukarkan
dari suatu tanah baik kation pada permukaan koloid organic (humus) maupun kation pada
permukaan koloid anorganik (liat) (Madjid, 2007).

Besarnya KTK tanah tergantung pada tekstur tanah, tipe mineral liat tanah, dan kandungan bahan
organic. Semakin tinggi kadar liat atau tekstur semakin halus maka KTK tanah akan semakin
besar. Demikian pula pada kandungan bahan organic tanah, semakin tinggi bahan oerganik tanah
maka KTK tanah akan semakin tinggi (Mukhlis, 2007).

Kapasitas Tukar Kation (KTK) setiap jenis tanah berbeda-beda. Humus yang berasal dari bahan
organic mempunyai KTK jauh lebih tinggi (100-300 meq/100g). Koloid yang bersal dari batuan
memiliki KTK lebih rendah (3-150 meq/100g). Secara kualitatif KTK tanah dapat diketahui dari
teksturnya. Tanah dengan kandungan pasir yang tinggi memiliki KTK yang lebih rendah
dibandingkan dengan tanah dengan kandungan liat atau debu. KTK tanah yang rendah dapat
ditingkatkan dengan menambahkan bahan organic seperti kompos atau pupuk kandang,
penambahan hancuran batuan zeolit secara signifikan juga dapat meningkatkan KTK tanah
(Novizan, 2005).

Kapasitas tukar kation tanah tergantung pada tipe dan jumlah kandungan liat, kandungan bahan
organik, dan pH tanah. Kapasitas tukar kation tanah yang memiliki banyak muatan tergantung pH
dapat berubah-ubah dengan perubahan pH. Keadaan tanah yang masam menyebabkan tanah
kehilangan kapasitas tukar kation dan kemampuan menyimpan hara kation dalam bentuk dapat
tukar, karena perkembangan muatan positif. Kapasitas tukar kation kaolinit menjadi sangat
berkurang karena perubahan pH dari 8 menjadi 5,5. KTK tanah adalah jumlah kation yang dapat
dijerap 100 gram tanah pada pH 7 (Pairunan, dkk., 1999).

Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca++, Mg+, K+, Na+, NH4+, H+, Al3+, dan
sebagainya. Di dalam tanah kation-kation tersebut terlarut di dalam air tanah atau dijerap oleh
koloid-koloid tanah. Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah per
satuan berat tanah (biasanya per 100 g) dinamakan kapasitas tukar kation (KTK). Kation-kation
yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh air gravitasi, tetapi dapat diganti
oleh kation lain yang terdapat dalam larutan tanah. Hal tersebut dinamakan pertukaran kation.
Jenis-jenis kation yang telah disebutkan di atas merupakan kation-kation yang umum ditemukan
dalam kompleks jerapan tanah.(Rosmarkam dan Yuwono, 2002)

Pertukaran kation merupakan pertukaran antara satu kation dalam suatu larutan dan kation lain
dalam permukaan dari setiap permukaan bahan yang aktif. Semua komponen tanah mendukung
untuk perluasan tempat pertukaran kation, tetapi pertukaran kation pada sebagaian besar tanah
dipusatkan pada liat dan bahan organic. Reaksi tukar kation dalam tanah terjadi terutama di dekat
permukaan liat yang berukuran seperti klorida dan partikel-partikel humus yang disebut misel.
Setiap misel dapat memiliki beribu-ribu muatan negative yang dinetralisir oleh kation yang
diabsorby (Soares et al., 2005).

Pada kebanyakan tanah ditemukan bahwa pertukaran kation berubah dengan berubahnya pH
tanah. Pada pH rendah, hanya muatan permanen liat, dan sebagian muatan koloid organik
memegang ion yang dapat digantikan melalui pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif
rendah.(Harjowigeno, 2002)

KTK tanah berbanding lurus dengan jumlah butir liat. Semakin tinggi jumlah liat suatu jenis tanah
yang sama, KTK juga bertambah besar. Makin halus tekstur tanah makin besar pula jumlah koloid
liat dan koloid organiknya, sehingga KTK juga makin besar. Sebaliknya tekstur kasar seperti pasir
atau debu, jumlah koloid liat relatif kecil demikian pula koloid organiknya, sehingga KTK juga
relatif lebih kecil daripada tanah bertekstur halus.(Hakim, 1986)

Pengaruh bahan organik tidak dapat disangkal terhadap kesuburan tanah. Telah dikemukakan
bahwa organik mempunyai daya jerap kation yang lebih besar daripada koloid liat. Berarti
semakin tinggi kandungan bahan organik suatu tanah makin tinggi pula lah KTKnya.(Rosmarkam
dan Yuwono, 2002)

Nilai kapasitas tukar kation tanah pada umumnya berkisar antara 25-45 cmol/kg sampai dengan
kedalaman 1 meter. Besarnya nilai KTK sangat dipengaruhi oleh kadar lempung, C-organik, dan
jenis mineral lempungnya. Pengaruh kadar lempung dan C-organik terhadap nilai KTK tanah
terlihat dari grafik hubungan sifat-sifat fisik-kimia. Kadar lempung berpengaruh cukup tinggi
terhadap KTK dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.62. Makin tinggi kadar lempung maka
makin tingi nilai KTK, sedangkan untuk C-organik pengaruhnya kacil terhadap KTK (R2 = 0.29),
hal ini mungkin karena kadar C-organik yang rendah, selain itu jenis mineral lempung pun
berpengaruh terhadap nilai KTK (Al-Jabri, 2008).

Dalam kondisi tertentu kation teradsorpsi terikat secara kuat oleh lempung sehingga tidak dapat
dilepaskan kembali oleh reaksi pertukaran, kation ini disebut kation terfiksasi. Mineral lempung
yang banyak menyumbang fiksasi K+ dan NH4+ antara lain : zeolit, mika, dan ilit. Fiksasi K
penting didalam tanah pasiran untuk mencegah dari pelindian dan pemupukan K+ dan NH4+ yang
terus menerus yang dapat menurunkan fiksasi K (Aragno dan Michel, 2005).

Masukan kapur akan menaikkan pH tanah. Pada tanah-tanah yang bermuatan tergantung pH,
seperti tanah kaya montmorillonit atau koloid organik, maka KTK akan meningkat dengan
pengapuran. Di lain pihak pemberian pupuk-pupuk tertentu dapat menurunkan pH tanah, sejalan
dengan hal itu KTK pun akan turun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh
pengapuran dan pemupukan ini berkaitan erat dengan perubahan pH, yang selanjutnya
memperngaruhi KTK tanah (Hakim, dkk., 1986).

BAB III

BAHAN DAN METODA

3.1 Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan adalah Amonium Asetat pH 7, H2SO4 0,1 N, Alkohol 96%,
Natrium Hidroksida 40%, indicator Conway, Asam Borat, Aquadest. Alat yang digunakan adalah
timbngan analitik, alat destilasi amoniak, gelas piala, batang pengaduk, gelas arloji, gelas ukur 50
ml, botol semprot, corong, kertas saring, labu ukur 100 ml, pipet, buret, Erlenmeyer, dan labu
kjedahl 1000 ml.

3.2 Metode

Metode yang digunakan adalah Leaching (pencucian) dengan Amonium Asetat 1N pH 7.

3.3 Cara Kerja


masukkan 2,5 g sampel tanah kering angin kedalam botol film, lalu tambahkan 25 ml larutan
ammonium asetat kocok selama 15 menit dengan mesin pengocok dan biarkan semalam.
Setelah itu larutan disaring dengan kertas saring dan ditampung dengan labu ukur 50 ml, sisa
sampel tanah yang ada di kertas saring pada gelas piala dicuci dengan 20-30 ml ammonium asetat
dan diulang sampai beberapa kali sampai filtrate yang ditampung mencapai 50 ml. pindahkan ke
labu ukur dan tepatkan volumenya sampai 50 ml dengan ammonium asetat pH 7.
Cuci sampel tanah pada kertas saring dengan 25-30 ml Alkohol untuk setiap kali pencucian.
Pindahkan sampel tanah pada kertas saring kedalam labu kjedahl dan tambahkan 40 ml Aquadest
dan tambahkan 20 ml NaOH 40%. Kemudian hubungkan dengan alat destilasi.
Hasil dstilasi ditampung dengan Erlenmeyer yang berisi 15 ml Asam Borat dan 3 tetes indicator
Conway. Destilasi dihentikan setelah destilat mencapai 40 ml dan berubah menjadi hijau kebiru-
biruan.
Destilat dititrasi dengan asam sulfat 0,1 N sehingga warna biru berubah menjadi merah muda.
Denag cara yang sama dilakukan untuk blanko.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Jenis Tanah

Nilai (me/100 g tanah)

Kriteria

Ultisol

0,107

Sangat Rendah

Regosol

0,216

Sangat Rendah
Histosol

0,322

Sangat Rendah

4.2 Pembahasan

Perbedaan nilai KTK terjadi karena penggunaan sampel tanah yang berbeda. Nilai KTK
tanah Histosol lebih tinggi dibandingkan dengan tanah Regosol, dan nilai KTK tanah lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai KTK tanah Ultisol (KTK Histosol > KTK Regosol > KTK Ultisol).
Meskipun ada yang memiliki nilai KTK yang tinggi pada ketiga tanah tersebut, namun
berdasarkan pada table kriteria, nilai KTK ketiga tanah tersebut memiliki nilai KTK yang sangat
rendah.

Hasil KTK yang diperoleh diatas sesuai dengan pendapat Foth, Henry (1998) yang menyatakan
bahwa semakin tinggi tingkat kemasaman tanah maka semakin rendah kemampuan kapasitas tukar
kation tanah / nila KTK tanah. Sebagaimana tingkat kemasaman tanah tersebut, ultisol lebih
masam dibandingkan regosol dan histosol, karena itu tanah ultisol memiliki nilai KTK paling
rendah dan histosol mempunyai KTK paling besar.

Kemasaman tanah ultisol terjadi karena tanah ultisol adalah tanah yanag terbentuk
didaerah yang lembab. Tanah ultisol bersifat masam dengan kejenuhan basa-basa rendah, karena
adanya pencucian basa-basa. Adanya keberadaan suhu yang cukup pans dan pencucian yang lama,
terjadi pelapukan yang intensif pada mineral yag mudah lapuk.

Tanah ultisol, regosol dan histosol merupakan tanah yang masam dan sangat tidak subur. Karen itu
taah ini tidak begitu baik untuk usaha pertanian. Namun, usaha pertanian pada tanah ini tetap bisa
dilakukan pada tanah ini denga cara menaikkan pH tanah. Hal ini bisa dibantu dengan pemberian
memberikan kapur dan bahan organic kepada tanah tersebut. Kapur akan menaikkan pH tanah,
sedangkan bahan organic akan bertindak untuk menambah ketersediaan unsur hara bagi tanah
untuk perkembangan dan pertumbuhan tanaman.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa ketiga sampel tanah
yang digunakan memiliki nilai kapasitas tukar kation yang sangat rendah. Hal ini terjadi karena
karena ketiga tanah adalah tanah dengan pH masam. Rendahnya KTK tanah berarti sanagt
sedikitnya unsur hara yang terdapat didalam tanah. Tanah dengan KTK rendah tidak bagus bila
digunakan untuk usaha pertanian. Kemasaman tanah ini perlu diperbaiki dengan pemberian kapur
dan penambahan bahan organic.

5.2 Saran

Untuk praktikum selanjutnya, praktikan diharapkan menggunakan sampel tanah yang


memiliki nilai KTK yang tinggi agar dapat membandingkan perlakuan yang diberikan untuk
sampel tanah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabri, M. 2008. Kajian penetapan kapasitas tukar kation zeolit sebagai pembenah tanah untuk
lahan pertanian terdegradasi. Jurnal Standardisasi 10 : 56-59

Aragno, M dan J. Michel. 2005. The Living Soil. Science Publishers. Inc, New Jersey.

Hakim, N., M. Yusuf Nyakpa, A. M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Amin Diha, Go Ban Hong,
H. H. Bailey, 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung

Hardjowigeno, H. Sarwono., 2002. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta

Madjid, A. 2007. Kapasitas Tukar Kation. <http://dasarilmutanah.blogspot.com>. Diakses tanggal


8 Mei 2011.

Muklis. 2007. Analisis Tanah dan Tanaman. Universitas Sumatera Utara Press, Medan.

Novizan. 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. PT Agro Media Pustaka, Tangerang.

Pairunan, Anna K., J. L. Nanere, Arifin, Solo S. R. Samosir, Romualdus Tangkaisari, J. R.


Lalopua, Bachrul Ibrahim, Hariadji Asmadi, 1999. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Badan Kerjasama
Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur, Makassar

Rosmarkam dan Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. 2002. Kanisius, Jakarta

Soares, M. R., R. F. A. Luis, P. V. Torrado, M. Cooper. 2005. Mineralogy ion exchange properties
of the partide size fractions of some brazilian soils in tropical humid areas. Goderma 125 : 355-
367.

Iklan

Kategori: Uncategorized
Tinggalkan sebuah Komentar
gun1922
Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
Kembali ke atas

Anda mungkin juga menyukai