Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

TEORI SMART TEXTILE


Aplikasi Biosensor Amperometrik pada Pakaian Pendeteksi Kadar NaCl dalam
Keringat

Disusun oleh :
Kelompok 2
Piranti Handayani (14020088)

Dosen : Ida N., S.ST.,M.Sc.


Kelas : 3K4

POLITEKNIK STTT BANDUNG


2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia mempunyai banyak kelenjar dalam tubuh yang dapat menghasilkan keringat.
Salah satu kelenjar yang menghasilkan kelenjar keringat terbanyak berada di bagian
ketiak lengan manusia. Salah satu zat yang dihasilkan oleh keringat adalah
garam(NaCl). Setiap harinya manusia dewasa normal pada umumnya memproduksi
256 gram garam.
Kapasitas atau volume keringat yang dihasilkan manusia berbeda-beda bergantung
pada jenis aktifitas yang dilakukan dan dari kondisi fisik seseorang. Keringat
merupakan hasil ekresi yang dihasilkan dari dalam tubuh dan keluar melalui lubang
pori-pori kulit kita. Banyak indikasi penyakit yang dapat diidentifikasi melalui kapasitas
atau volume keringat seseorang. Seperti halnya penyakit jantung, hipoglikemia,
dehidrasi dan lainnya.

1.2 Maksud & Tujuan


1.2.1 Maksud
Membuat pakaian yang dapat mendeteksi kadar NaCl dalam keringat manusia
1.2.2 Tujuan

Untuk mengaplikasikan biosensor amperometrik pada pakaian benang konduktif


yang dapat mendeteksi kadar NaCl dalam keringat
BAB II
TINJAUAN PUSTAK

2.1 Biosensor dan Aplikasinya

Biosensor sendiri didefinisikan sebagai suatu perangkat sensor yang menggabungkan


senyawa biologi dengan suatu tranduser. Dalam proses kerjanya senyawa aktif biologi
akan berinteraksi dengan molekul yang akan dideteksi yang disebut molekul sasaran.
Hasil interaksi yang berupa besaran fisik seperti panas, arus listrik, potensial listrik
atau lainnya akan dimonitor oleh transduser. Besaran tersebut kemudian diproses
sebagai sinyal sehingga diperoleh hasil yang dapat dimengerti.

2.2 Macam-macam Biosensor


Secara umum, sensor sebenarnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu sensor fisika
dan sensor kimia. Sensor fisika lebih kepada kemampuannya untuk mendeteksi
kondisi besaran fisika seperti tekanan, gaya, tinggi permukaan air laut, kecepatan
angin, dan sebagainya. Sedangkan sensor kimia merupakan alat yang mampu
mendeteksi fenomena kimia seperti komposisi gas, kadar keasaman, susunan zat
suatu bahan makanan, dan sebagainya. Termasuk ke dalam sensor kimia ini adalah
biosensor. Dewasa ini, biosensor telah banyak diteliti dan dikembangkan oleh para
peneliti dan industri, dan dalam dunia biosensor research, topik yang sedang
berkembang sekarang ini adalah biosensor yang berbasis DNA (genosensor).

Biosensor terdiri atas:

Elemen biologis sensitif seperti jaringan, mikroorganisme, organel, reseptor


sel, enzim, antibodi, asam nukleat, dan sebagainya, adalah material biologis yang
berinteraksi dengan komponen yang dipelajari. Elemen sensitif tersebut juga bisa
dibuat dengan rekayasa biologis.
Transduser yang bekerja secara fisikokimia (optis, piezoelektris, elektrokimia,
dan sebagainya) yang mengubah sinyal yang dihasilkan dari interaksi dengan
komponen yang diuji sehingga bisa diukur dengan mudah.
Alat pembaca biosensor yang terkait dengan elektronika atau pemroses
sinyal untuk ditampilkan.
Contoh yang paling umum dari biosensor adalah pengukur gula darah, yang
menggunakan enzim glukosa oksidase untuk memecah gula darah. Biosensor ini
bekerja dengan mengoksidasi glukosa terlebih dahulu dengan menggunakan dua
elektron untuk mereduksi FAD (komponen dari enzim) menjadi FADH2. Lalu FADH2
dioksidasi oleh elektroda dan menerima dua elektron dari elektroda dalam beberapa
tahap. Hasilnya adalah arus listrik yang mengukur konsentrasi glukosa. Dalam kasus
ini, elektroda adalah transduser dan enzim adalah elemen biologis sensitif.

Saat ini, serangkaian detektor molekul, yang disebut dengan hidung elektronik, telah
diaplikasikan untuk menjadikan pola respon alat tersebut sebagai fingerprint dari suatu
senyawa.

Berbagai jenis hewan telah digunakan sebagai biosensor dan diidentifikasi melalui
perilakunya terhadap rangsangan yang diterimanya, seperti serangga dari ordo
Hymenoptera untuk mendeteksi narkoba dan bahan peledak, dan burung kenariuntuk
mendeteksi keberadaan gas berbahaya di dalam tambang.

2.3 Prinsip Kerja Biosensor

Pada dasarnya biosensor terdiri dari tiga unsur yaitu unsur biologi (reseptor biologi),
transduser, dan sistem elektronik pemroses sinyal. Unsur biologi yang umumnya
digunakan dalam mendesain suatu biosensor dapat berupa enzim, organel, jaringan,
antibodi, bakteri, jasad renik, dan DNA. Unsur biologi ini biasanya berada dalam
bentuk terimmobilisasi pada suatu transduser. Immobilisasi sendiri dapat dilakukan
dengan berbagai cara baik dengan (1) adsorpsi fisik, (2) dengan menggunakan
membran atau perangkap matriks atau (3) dengan membuat ikatan kovalen antara
biomolekul dengan transduser.

Untuk transduser, yang banyak digunakan dalam suatu biosensor adalah transduser
elektrokimia, optoelektronik, kristal piezoelektronik, field effect transistor dan temistor.
Proses yang terjadi dalam transduser dapat berupa calorimetric biosensor,
potentiometric biosensor, amperometric biosensor, optical biosensor maupun piezo-
electric biosensor. Sinyal yang keluar dari transduser ini kemudian di proses dalam
suatu sistem elektronik misalnya recorder atau komputer.

2.4 Conductive Yarn


Conductive atau dalam Bahasa Indonesia disebut penghantar adalah suatu materi
atau zat yang dapat menghantarkan arus listrik. Material yang memiliki sifat
menghantarkan listrik atau konduktif seperti ini sering disebut juga sebagai konduktor.
Jadi yang dimaksud dengan conductive yarn atau benang konduktif adalah benang
yang memiliki sifat dapat menghantarkan arus listrik. Sampai saat ini setidaknya ada
tiga metoda5 yang biasa digunakan untuk membuat benang konduktif, yaitu sbb:
1. Penambahan karbon atau logam pada benang dalam berbagai bentuknya, baik
sebagai kawat, serat atau partikel.
2. Penggunaan polimer yang bersifat konduktif.
3. Memberikan lapisan (coating) dengan material yang bersifat konduktif.
Sebuah perusahaan yang bermarkas di Jerman, Novonic8, misalnya telah membuat
benang konduktif dengan menggunakan prinsip metoda pertama, yaitu dengan cara
melilitkan kawat (metal wire) pada benang inti yang bersifat elastis (elastic core), lalu
bagian luarnya dibungkus dengan bahan serat lainnya (outside textile layer) seperti
terlihat pada gambar ini. Benang ini dibuat dengan tujuan untuk dapat mentransfer
data, akan tetapi pada saat yang bersamaan ia memiliki sifat fleksibilitas yang baik
karena benang intinya bersifat elastis. Sementara itu bagian benang luarnya berfungsi
sebagai pelindung terhadap gesekan-gesekan dan tarikan-tarikan yang berlebihan.

Ada juga peneliti lain2 yang membuat benang konduktif dengan sistem
pemintalan spun-core yarn di mana logam dari tembaga dan stainless diperlakukan
sebagai bahan inti (core material), sedangkan benang rayon dan TR (poliester/rayon)
berfungsi sebagai bahan pembungkus (cover material). Dia juga memvariasikan
beberapa parameter; bahan inti, roving, twist dan nomor benang serta pengaruhnya
terhadap kekuatan (tenacity) dan bulu (hairiness). Sementara Vorbach4 membuat
benang konduktif dengan menggunakan campuran serat yang bersifat konduktif. Dia
memodifikasi proses pembuatan serat selulosa dan filamen dengan metoda Lyocell
bebas-CS2 (CS2-freien Lyocell-Verfahren) sehingga dapat menghasilkan benang
yang dapat menghantarkan arus listrik. Serat yang dihasilkan memiliki kehalusan 0,3
tex dengan bagian konduktif terbuat dari partikel karbon arang sebesar 35% pada
serat selulosa. Sedangkan dengan kehalusan sekitar 1 tex dapat dihasilkan bagian
karbon konduktif sampai 100%. Sementara itu, banyak ahli juga yang telah
mengembangkan benang konduktif dengan menggunakan metoda ketiga, yaitu
proses pelapisan (coating). Salah satunya adalah seperti yang telah diteliti oleh
Koncar dkk7. Mereka menggunakan polianilin (PANI) sebagai zat pelapis pada serat
polietilena tereftalat (PET). Hasilnya adalah serat yang memiliki sifat ketahanan arus
listrik. Sebenarnya masih banyak lagi metoda yang telah dikembangkan untuk
menghasilkan benang konduktif dan telah dikomersialkan. Beberapa makalah hasil
penelitian lainnya bisa menjadi rujukan yang menarik, misalnya penelitian oleh Kim
dan Koncar1 dengan judul Polyaniline-Coated PET Conductive Yarns: Study of
Electrical, Mechanical, and Electro-Mechanical Properties. Ada juga Fugetsu
dkk2 dengan judul The Production of Soft, Durable, and Electrically Conductive
Polyester Multifilament Yarns by Dye-Printing Them with Carbon Nanotubes.
Sementara untuk tingkat komersialisasi bisa kita lihat misalnya pada produk benang
konduktif Silver Plated Nylon 66 Yarn + SS 595/1 dari sebuah perusahaan yang
bermarkas di AS, Shieldex Trading GmbH6.

Penemuan dan aplikasi benang konduktif pada berbagai produk inilah yang menjadi
salah satu dasar bagi berkembangnya cabang advanced textiles lainnya terutama
pada wilayah smart textiles dan medical textiles misalnya. Dan lagi-lagi kita seperti
diingatkan betapa jauh dan dalamnya wilayah pengembangan tekstil. Tekstil tidak
hanya sekedar untuk keperluan sandang, tetapi ia jauh lebih dari itu semua.
BAB III

MEKANISME KERJA

3.1 Mekanisme

Mekanisme kerjanya adalah membuat kain yang berasal dari benang konduktif
dengan sistem pemintalan spun-core yarn . Setelah itu di lakukan pelapisan (coating)
biosensor didaerah kelenjar yag paling banyak menghasilkan keringat pada tubuh
yaitu bagian ketiak dan lengan manusia. Lalu diselipak lampu LED yang berfungsi
sebagai penghantar sinyal pertanda banyaknya kadar NaCl pada tubuh. Keringat
sendiri mengandung beberapa zat salah satunya adalah garam (NaCL). Keringat yang
keluar dari dalam tubuh terserap pada bahan yang konduktif dan tertangkap oleh
biosensor amperometrik lalu akan menghantarkan elektrolit atau menghantarkan
aliran yang dapat membuat nyala LED tersebut. Baju ini berfungsi untuk
mengidentifikasi kadar garam pada manusia melalui keringat. Kadar keringat manusia
dewasa normalnya adalah 256 gram. contoh penyakit yang dapat dideteksi akibat
kelebihan kadar garam adalah Hipoglikemia yaitu biasanya penderita penyakit ini
mengalami keringat yang berlebih tanpa melakukan aktifitas berat dibandingkan
manusia pada umumnya.

3.2 Diagram alir

Pemintalan benang konduktif -> pengcoatingan biosensor pada bagian lengan baju -
> penjahitan baju -> pemberian LED pada bagian lengan

3.3 Alat dan bahan

- Benang konduktif
- Biosensor
- LED
DAFTAR PUSTAKA

Bohwon Kim, Vladan Koncar, dkk (1), Polyaniline-Coated PET Conductive Yarns:
Study of Electrical, Mechanical, and Electro-Mechanical Properties, Journal of Applied
Polymer Science, Vol. 101, 12521256 (2006).

Bunshi Fugetsu, dkk, The production of soft, durable, and electrically conductive
polyester multifilament yarns by dye-printing them with carbon nanotubes, Journal
Carbon 47 (2009) 527544.

Ching-Wen Lou, Process of Complex Core Spun Yarn Containing a Metal Wire, Textile
Res. J. 75(6), 466473 (2005) DOI: 10.177/0040517505053871.

D. Vorbach, Entwicklung von textilen Produkten aus elektrisch leitfhigen


Cellulosefilamenten nach dem Lyocellverfahren

Huseyin Kadoglu, Conductive Yarns and their Use In Technical Textiles.

Shieldex Trading GmbH, Technical Data Sheet.

https://arumsekartaji.wordpress.com/2016/04/19/deteksi-gula-darah-bisa-lewat
keringat/

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Carbon_fiber_reinforced_polymer

http://en.wikipedia.org/wiki/Carbon_%28fiber%29

https://evanputra.wordpress.com/2013/01/04/biosensor-dan-aplikasinya/

http://health.detik.com/read/2017/03/10/121607/3443438/763/peneliti-korea-
kembangkan-tes-gula-darah-pakai-keringat

https://id.wikipedia.org/wiki/Biosensor

http://www.suratkabar.id/38032/internasional/sekarang-ada-gelang-cerdas-yang-
dapat-deteksi-penyakit-melalui-keringat

Anda mungkin juga menyukai