Anda di halaman 1dari 8

Bab 2

Landasan Teori

2.1 Teori Kebudayaan.

Istilah Kebudayaan dan Culture . Kata kebudayaan berasal dari kata

Sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi

atau akal. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2005:72) adalah seluruh sistim

gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan

bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Menurut Soekanto (2002:2)

mengenai kebudayaan adalah mencakup semua yang didapat atau dipelajari oleh manusia

sebagai anggota masyarakat yang meliputi segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola

perikelakuan normatif yang mencakup segala cara atau pola pikir, merasakan, dan

bertindak.

Menurut Koentjaraningrat (2005:74-75) kebudayaan memiliki empat wujud yang

secara simbolis dinyatakan dalam empat lingkaran kosentris, yaitu:

1. Lingkaran yang paling luar, melambangkan kebudayaan sebagai artifacts, atau

benda- benda fisik. Sebagai contoh bangunan- bangunan megah seperti Candi

Borobudur, benda- benda bergerak seperti kapal tangki, komputer, piring, gelas,

dan lain- lain. Sebutan khusus bagi kebudayaan dalam wujud konkret ini adalah

kebudayaan fisik.

2. Lingkaran berikutnya melambangkan kebudayaan sebagai sistim tingkah laku dan

tindakan yang berpola. Sebagai contoh menari, berbicara, tingkah laku dalam

memperlakukan suatau pekerjaan, dan lain- lain. Hal ini merupakan pola-pola

tingkah laku manusia yang disebut sistem sosial.


13
3. Lingkaran yang berikutnya lagi melambangkan kebudayaan sebagai sistim

gagasan. Wujud gagasan dari kebudayaan ini berada dalam kepala tiap individu

warga kebudayaan yang bersangkutan, yang dibawanya kemanapun ia pergi.

Kebudayaan dalam wujud gagasan juga berpola dan berdasarkan sistim tertentu

yang disebut sistem budaya.

4. Lingkaran yang letaknya paling dalam dan merupakan inti dari keseluruhan

melambangkan kebudayaan sebagai sistim gagasan yang ideologis. Yaitu

gagasan- gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu kebudayaan sejak

usia dini, dan karena itu sangat sukar diubah. Istilah untuk menyebut unsur- unsur

kebudayaan yang merupakan pusat dari semua unsur yang lain itu adalah nilai-

nilai budaya.

2.1.1 Teori Akulturasi Budaya.

Mengenai akulturasi Koentjaraningrat (2005:155) mengatakan bahwa akulturasi

merupakan istilah yang dalam antropologi mempunyai beberapa makna (Acculturation,

atau Culture Contact). Ini semua menyangkut konsep mengenai proses sosial yang timbul

apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-

unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur- unsur asing itu lambat laun diterima

dan diolah kedalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian

kebudayaan itu.

Proses akulturasi memang sudah ada sejak dulu kala, tetapi proses akulturasi

dengan sifat yang khusus baru ada ketika kebudayaan- kebudayaan bangsa- bangsa Eropa

Barat mulai menyebar ke daerah- daerah lain di muka bumi pada awal abad ke-15 dan

mulai mempengaruhi masyarakat- masyarakat suku bangsa di Afrika, Asia, Oceania,

14
Amerika Utara dan Amerika Latin. Mereka membangun pusat- pusat kekuatan di

berbagai tempat di sana yang menjadi pangkal dari pemerintah- pemerintah jajahan, dan

yang berakhir pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 mencapai puncak kejayaan.

2.1.2 Teori Asimilasi Budaya.

Arti dari kata asimilasi menurut Koentjaraningrat (2005: 160) adalah suatu proses

sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan

yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif , sehingga sifat khas dari unsur-

unsur kebudayaan golongan- golongan itu masing- masing berubah menjadi unsur- unsur

kebudayaan campuran.

Koentjaraningrat (1990: 255) mengatakan bahwa asmilasi timbul bila ada:

1. Golongan- golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda- beda.

2. Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama sehingga

3. Kebudayaan- kebudayaan golongan- golongan tadi masing- masing berubah sifat

khasnya, dan juga unsur- unsurnya masing- masing berubah wujudnya menjadi

unsur- unsur kebudayaan campuran.

Biasanya suatu proses asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dan

golongan minoritas. Dalam peristiwa seperti itu biasanya golongan minoritas yang

berubah dan menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas, sehingga sifat- sifat khas

dari kebudayaan lambat- laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan

mayoritas.

15
2.1.3 Teori Politik Kebudayaan.

Menurut S. Hall dalam Storey (2003) adanya kaitan- kaitan Cultural Studies

(pembelajaran budaya) dengan persoalan- persoalan kekuasaan dan politik , dengan

kebutuhan akan perubahan dan representasi dari kelompok- kelompok sosial yang

terpinggirkan, terutama representasi yang menyangkut klan, gender, dan ras. Yang

menjadi lingkup Cultural studies menurut Barker (2004), adalah:

1. Hubungan relasi antara kebudayaan dan kekuasaan.

2. Seluruh praktik, institusi dan sistim klasifikasi yang tertanam dalam nilai- nilai

partikular, kepercayaan, kompetensi, kebiasaan hidup.

3. Pelbagai kaitan antara bentuk- bentuk kekuasaan, gender, ras, klan dan

sebagainya dengan pengembangan cara- cara berpikir tentang kebudayaan dan

kekuasaan yang bisa digunakan oleh agen- agen dalam mengejar perubahan.

4. Pelbagai kaitan wacana di luar dunia dan akademis dengan gerakan- gerakan

sosial dan politik, para pekerja di lembaga- lembaga kebudayaan dan manajemen.

2.2 Konsep Modernisasi.

Kuwabara (1983) mengenai modernisasi mengatakan bahwa modernisasi terdiri

dari enam elemen yaitu:

1. Demokrasi dalam politik.

2. Kapitalisme dalam ekonomi.

3. Pergantian barang buatan tangan dan sistem pabrik pra modern menjadi produksi

pabrik disertai dengan pengetahuan, teknologi, dan mekanisasi yang maju.

4. Pendidikan massa.

5. Adanya kekuatan militer nasional.

16
6. Kebebasan (Liberation).

Modernisasi pada kenyataannya menjadi sinonim dengan westernisasi. Bagi orang Jepang

berbicara mengenai Eropa dan Jepang adalah hal yang mengenai negara mereka sendiri

dalam hubungannya dengan beberapa negara Barat yang menjadikan negara Barat

sebagai model atau acuan pada bagian penting saat modernisasi.

Dari enam elemen konsep modernisasi menurut Kuwabara (1983) yang akan

penulis pakai dalam menganalisis bab 3 adalah elemen nomer 3. Elemen tersebut adalah

pergantian barang buatan tangan dan sistem pabrik pra modern menjadi produksi pabrik

disertai dengan pengetahuan, teknologi, dan mekanisasi yang maju.

2.2.1 Pengertian Westernisasi

Menurut The Free Encyclopedia, Westernization (2006) westernisasi adalah

sebuah proses perubahan dari suatu masyarakat yang sebelumnya telah memiliki

kebudayaan sendiri yang kemudian terpengaruh kebudayaan Barat (western culture)

dalam bidang industri, teknologi, hukum, politik, ekonomi, gaya hidup, bahasa, agama,

serta nilai-nilai sosial.

Dalam The Free Encyclopedia, Westernization (8 Juni 2006) juga dijelaskan

bahwa westernisasi juga dapat diartikan sebagai proses akulturasi. Akulturasi adalah

perubahan yang terjadi di dalam suatu masyarakat dimana terdapat dua grup berbeda

yang membaur menjadi satu kebudayaan baru. Secara khusus, westernisasi lebih

mengarah kepada pengaruh pendudukan dan kolonialisme Barat di suatu negara.

Westernisasi juga dapat menyebabkan eropanisasi, kolonialisasi, globalisasi, dan lain-lain.

17
2.3 Teori Persamaan Derajat Manusia

Fukuzawa (1988) mengenai derajat manusia mengatakan bahwa

Yang artinya Langit yang ada diatas

manusia bukan buatan manusia, jadi manusia juga tidak membuat dibawah manusia.

Selain itu mengenai persamaan derajat manusia Fukuzawa (1985: 60) juga

mengatakan bahwa:

Heaven never created a man above another nor a man below another, it is said.
Therefore, when people are born, heavens idea is that all should be equal to all
others without distinction of high and low or noble and mean, and that they
should all work with their bodies and minds with a dignity deserving of the lords
of creation, which they are, and make use of all things in the world to satisfy their
needs in clothing, food, and dwelling, freely but without interfering with others.

Langit tidak menciptakan manusia dengan derajat/ kedudukan yang satu diatas
yang lain, ataupun yang satu dibawah yang lain. Oleh karena itu ketika manusia
lahir, pemikiran langit adalah semua kedudukannya harus sama dengan yang lain
tanpa adanya perbedaan antara yang tinggi dan rendah atau orang bangsawan
dengan orang biasa, dan mereka harus bekerja dengan tubuh dan pikiran mereka
dengan rasa bangga sebagai makhluk ciptaan tuhan dan mendayagunakan seluruh
potensi yang terdapat di bumi untuk memenuhi kebutuhan mereka akan sandang,
pangan dan papan secara bebas tanpa mengganggu pihak lain.

2.4 Konsep Masyarakat Jepang Era Taisho

Konsep masyarakat Jepang pada era Taisho merupakan peristiwa sejarah yang

terjadi pada masa itu yang mempengaruhi perubahan Kimono. Berbagai macam peristiwa

sejarah yang terjadi pada era Taisho penulis kutip dari berbagai macam sumber, kutipan

mengenai konsep tersebut adalah:

1. Konsep mengenai terlibatnya Jepang dalam Perang Dunia I menurut Rosidi (1981:

20):

Dalam Perang Dunia I (1914-1918) Jepang terlibat di dalamnya karena terikat


oleh perjanjian kerjasama dengan Inggris untuk merebut teluk Kiaochow dan

18
kepulauan Pasifik di sebelah selatan yang di sewa Jerman. Sementara itu situasi
dalam negri mengalami ketegangan, yaitu ketegangan antara pemerintah dengan
Diet yang kian memuncak. Selain itu juga pada tahun 1923 terjadi gempa bumi
yang menghancurkan seluruh kota Yokohama dan setengah kota Tokyo

2. Konsep mengenai penerapan pemikiran Barat di era Taisho menurut Surajaya (2001):

Dibidang pemikiran diterapkan pemikiran dari Barat yaitu: manusia semuanya


bebas dan sederajat, dan mempunyai hak yang sama untuk menuntut pemikiran
untuk mendapat keadilan dalam mencapai kebahagiaan dan kebebasannya
sehingga pemikiran ini akhirnya meluas di masyarakat.

3. Konsep mengenai adanya Boxy Style Obi di era Taisho menurut Stevens, dan

Wada Japanese Adoption of Western Dress (1996):

The ideal body of the Western woman in the early 20th century was S- curve.
How ever, a very subtle penetration of this idealized form did occur in the shape
of ladies Wafuku even as Japanese women determined not to wear Western style
dress. During this time period, a Boxy style of Obi came into style, which is worn
higher, and the shape is larger. Thus the Kimono silhouette was very similar to the
idealized Western silhouette.

Bentuk ideal tubuh bagi wanita Barat pada awal abad 20 adalah yang menyerupai
lekuk huruf S. Bagaimanapun juga masuknya budaya Barat yang secara perlahan
mempengaruhi bentuk pakaian wanita Jepang, meskipun sebagai wanita Jepang
tidak menetapkan untuk memakai pakaian ala Barat. Selama periode ini Obi
dengan gaya Boxy menjadi tren, dimana pemakaian Obi menjadi lebih tinggi, dan
bentuk yang lebih lebar. Bayangan bentuk Kimono seperti ini sangat menyerupai
dengan bayangan idealnya pakaian Barat.

4. Konsep mengenai pakaian seragam sekolah pria di era Taisho menurut The Free

Encyclopedia, Zaman Meiji dan Zaman Taisho (2006):

Model seragam sekolah anak laki- laki ditiru dari model seragam tentara
Angkatan Darat. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri
yang mengelilingi leher dan tidak jatuh kepundak. (Stand up Collar) persis model
kerah seragam tentara Angkatan Darat Inggris.

19
5. Konsep mengenai pakaian seragam sekolah wanita di era Taisho menurut The Free

Encyclopedia, Zaman Meiji dan Zaman Taisho( 2006):

Pada zaman Taisho periode lanjut, seiring dengan kebijakan pemerintah


memiliterisasi seluruh negri, seragam sekolah anak perempuan yang selama ini
berupa Andon Hakama (Kimono dengan celana Hakama) diganti dengan pakaian
ala Barat yang disebut Serafuku, yakni setelan rok dan baju blus yang mirip yang
sering dipakai oleh pelaut.

Selain itu juga mengenai pakaian seragam sekolah wanita, penulis mengutip dari

Japanese School Uniform, Sailor Girl(2005), mengatakan bahwa:

The reason for these militaristic uniforms (apart from the fact that they look
Kawaii, an important factor in Japan) goes back to the 19th century, when Japan
was opening up to Western ideas, and had decided that modernising the country to
western standards was first priorty. Japan had close ties to European countries like
Germany, Holland and Britain, and the first sailor suits atau (Sailor Fuku) were
modelled after the British Royal Navy uniform.

Yang menjadi alasan seragam bergaya militer (bagian dari kenyataan bahwa
mereka terlihat cantik, yang merupakan faktor penting di Jepang) kembali ke awal
abad ke-19 ketika Jepang membuka diri dari pemikiran Barat sebagai standar
prioritas. Jepang memiliki ikatan yang kuat dengan negara Eropa seperti Jerman,
Belanda dan Inggris. Pakaian Sailor pertama (Sailor Fuku) merupakan model dari
seragam Angkatan Laut Inggris.

20

Anda mungkin juga menyukai