Anda di halaman 1dari 48

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Krisis tiroid merupakan komplikasi hypertiroidisme yang jarang terjadi
tetapi berpotensi fatal. Krisis tiroid harus dikenali dan ditangani berdasarkan
manifestasi klinis karena konfirmasi laboratoris sering kali tidak dapat
dilakukan dalam rentang waktu yang cukup cepat. Pasien biasanya
memperlihatkan keadaan hypermetabolik yang ditandai oleh demam tinggi,
tachycardi, mual, muntah, agitasi, dan psikosis. Pada fase lanjut, pasien dapat
jatuh dalam keadaan stupor atau komatus yang disertai dengan hypotensi.
Krisis tiroid adalah penyakit yang jarang terjadi, yaitu hanya terjadi
sekitar 1-2% pasien hypertiroidisme. Sedangkan insidensi keseluruhan
hipertiroidisme sendiri hanya berkisar antara 0,05-1,3% dimana
kebanyakannya bersifat subklinis. Namun, krisis tiroid yang tidak dikenali
dan tidak ditangani dapat berakibat sangat fatal. Angka kematian orang
dewasa pada krisis tiroid mencapai 10-20%. Bahkan beberapa laporan
penelitian menyebutkan hingga setinggi 75% dari populasi pasien yang
dirawat inap. Dengan tirotoksikosis yang terkendali dan penanganan dini
krisis tiroid, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 20%.
Karena penyakit Graves merupakan penyebab hipertiroidisme terbanyak
dan merupakan penyakit autoimun yang juga mempengaruhi sistem organ
lain, melakukan anamnesis yang tepat sangat penting untuk menegakkan
diagnosis. Hal ini penting karena diagnosis krisis tiroid didasarkan pada
gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Hal lain yang penting
diketahui adalah bahwa krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang
memerlukan perawatan intensif dan pengawasan terus-menerus. Dengan
diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan
baik. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang tepat tentang krisis tiroid,
terutama mengenai diagnosis dan penatalaksaannya.
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa penertian dari krisis tiroid?
2. Apa sajakah etiologi dari krisis tiroid?
3. Bagaimanakah manifestasi klinis dari krisis tiroid?
4. Bagaimanakah patofisiologi dari krisis tiroid?
5. Bagaimanakah penatalaksanaan dari krisis tiroid?
6. Apa sajakah pemeriksaan penunjang yang dilakukan?
7. Apa sajakah komplikasi yang terjadi pada krisis tiroid?
8. Bagaimanakah asuhan keperawatan dari krisis tiroid?
9. Bagaimanakah contoh kasus pada krisis tiroid?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari krisis tiroid?
2. Mengetahui etiologi dari krisis tiroid?
3. Mengetahui manifestasi klinis dari krisis tiroid?
4. Mengerti patofisiologi dari krisis tiroid?
5. Memahamipenatalaksanaan dari krisis tiroid?
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan?
7. Mengetahui komplikasi yang terjadi pada krisis tiroid?
8. Mengerti asuhan keperawatan dari krisis tiroid?
9. Mengerti contoh kasus pada krisis tiroid?
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Teori Krisis Tiroid


1. Pengertian
Krisis tiroid adalah bentuk lanjut dari hipertiroidisme yang sering
berhubungan dengan stres fisiologi atau psikologi. Krisis tiroid adalah
keadaan krisis terburuk dari status tirotoksik. Penurunan kondisi yang sangat
cepat dan kematian dapat terjadi jika tidak segera tertangani (Hudak & Gallo,
1996).
Krisis tiroid merupakan eksaserbasi keadaan hipertiroidisme yang
mengancam jiwa yang diakibatkan oleh dekompensasi dari satu atau lebih
sistem organ (Bakta & Suastika, 1999).

2. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan atau mencetuskan krisis tiroid adalah:
a. Penyakit-penyakit khusus yang dapat menyebabkan hipertiroidisme
meliputi penyakit graves, hipertiroidisme eksogen, tiroititis, goiter
nodular toksik, dan kanker tiroid
b. Obat-obatan dalam prosedur radiografi atau amiodaron (obat
antidisritmia) dapat mencetuskan terjadinya status tirotoksik.

Pasien yang berisiko terhadap terjadinya krisis endokrin pada mereka


yang telah mengetahui adanya gangguan endokrin antara lain :
a. Fakto pencetus :
1) Trauma
2) Infeksi
3) Penyakit medical yang bersamaan (seperti infark miokardium,
penyakit paru)
4) Kehamilan
5) Terpajan pada dingin
b. Pengobatan :
1) Terapi steroid kronik
4

2) Beta bloker
3) Narkotik anastetik
4) Alcohol, antidepresn trisiklik
5) Terapi glukortikoid
6) Terapi insulin
7) Diuretic tiasin
8) Fenitoin
9) Agen-agen kemoterapi
10) Agen-agen antiinflamasi nonsteroid

Pasein yang berisiko terhadap terjadinya krisis endokrin pada mereka


yang kondisi sebelumnya tidak diketahui antara lain dapat dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus:
a. Tumor pituitary
b. Terapi radiasi pada leher dan kepala
c. Penyakit otoimun
d. Prosedur pembedahan neurologi
e. Metastasis malignansi (mis paru, payudara)
f. Pembedahan
g. Penyakit yang berkepanjangan
h. Syok
i. Postpartum
j. Trauma

Ada tiga mekanisme fisiologis yang diketahui dapat menyebabkan krisis


tiroid:
a. Pelepasan seketika hormon tiroid dalam jumlah besar
Hal ini dapat menyebabkan manifestasi hipermetabolik yang terjadi
selama krisis tirois. Analisis laboratorium dari Triiodotironin (T3) atau
Tiroksin (T4) mungkin tidak nyata pada fenomena ini dan mungkin
hanya mencerminkan nilai yang serupa dengan status hipertiroid pasien
yang telah diketahui.
5

b. Hiperaktivitas adrenergik
Meski hormone tiroid dan katekolamin saling mempengaruhi,
Penelitian menunjukan bahwa kadar kaekolamin selama krisis tiroid
berada dalam batas normal. Masih belum diketahui pasi apakah efek
hipersekresi hormone tiroid dan atau peningkatan katekolamin
menyebabkan peningkatan sensitivitas dan fungsi organ efektor. Interaksi
tiroid-katekolamin meningkatkan peningkatan kecepatan reaksi kimia,
konsumsi nutrient, dan oksigen, meningkatkan produksi panas,
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan status katabolic.
c. Lipolisis dan pembentukan asam lemak yang berlebihan
Dengan lipolysis yang berlebihan peningkatan jumlah asam lemak
mengoksidasi dan menghasilkan energy panas yang berlimpah yang sulit
untuk dihilangkan melalui jalan vasodilatasi. Energy panas ini bukan
berbentuk adenosine trifosfat pada tingkat molecular dan juga tidak dapat
digunkan oleh sel (Hudak & Gallo, 1996).

3. Manifestasi klinis
Menutur Hudak dan Gallo (1996), manifestasi klinis dari krisis tiroid, yaitu:
a. Takikardia
b. Hipertermia
c. Takipnea
d. Hiperkalsemia
e. Metabolic Asidosis
f. Kolaps kardiovaskular karena syok kardiogenik, hipovolemia, aritmia
jantung
g. TK tertekan
h. Labilitas emosional
i. Psikosis
j. Hiporefleksia

Menurut Hudak dan Gallo (1996), manifestasi klinis hipertiroidisme


adalah berkeringat banyak, intoleransi terhadap panas, gugup, tremor,
palpitasi, hiperkinesis, dan peningkatan bising usus. Kondisi umum dari tanda
6

gejala ini trutama disertai deman lebih dari 100 derajat F, takikardi yang tidak
sesuai dengan keadaan demam, dan disfungsi Sistem Saraf Pusat (SSP),
merupakan tanda dari tiroid storm. Abnormalitas sistem saraf pusat termasuk
agitasi, kejang, atau koma.

4. Patofisiologi
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing
hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk
menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang
memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini
menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi
terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine
(T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat
dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding
globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi
dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon
tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar
pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya
tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang
diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase,
simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang
merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid
dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan
berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid.
Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin
(Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang
diperantarai oleh 3,5-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain
itu, antibodi ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan
pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam
merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang
melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari
7

tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid


yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid
(dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon
tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini
sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan
kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan
reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan
reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun
norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori
berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid
dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien
dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total
tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang
muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin
merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid
meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek
katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan
munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti
pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau
normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun,
teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar
hormon tiroid pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat
patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang
dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak
kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat
cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat
pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine
(RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi
jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik
pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid
8

sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.

5. Pathway

G3 organik kelenjar G3 Fungsi Hipotalamus /


tiroid hipofisis

Produksi TSH meningkat

Produksi hormone
tiroid meningkat

Metabolisme Peningkatan Peningkatan


Proses
tubuh meningkat aktv SSP rangsangan Aktifitas GI
glikogenesis
SSP meningkat meningkat

Produksi kalor Kebutuhan Perub Peningkatan


meningkat cairan konduksi aktivitas SSP Proses Nafsu
meningkat listrik jantung pembakaran makan
lemak meningkat
meningkat
Peningkatan Disfungsi SSP
suhu tubuh Defisit Beban kerja Penurunan
volume jantung naik berat badan
cairan
Agitasi,
kejang, koma
Aritmia,
takikardi

penurunan curah
jantung
9

6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis pada krisis tiroid mempunyai 4 tujuan yaitu
menangani faktor pencetus, mengontrol pelepasan hormon tiroid yang
berlebihan, menghambat pelepasan hormon tiroid, dan melawan efek
perifer hormon tiroid (Hudak & Gallo, 1996).
Penatalaksanaan medis krisis tiroid meliputi:
1) Koreksi hipertiroidisme
a) Menghambat sintesis hormon tiroid
Obat yang dipilih adalah propiltiourasil (PTU)atau
metimazol. PTU lebih banyak dipilih karena dapat menghambat
konversi T4 menjadi T3 di perifer. PTU diberikan lewat selang
NGT dengan dosis awal 600-1000 mg kemudian diikuti 200-250
mg tiap 4 jam. Metimazol diberikan dengan dosis 20 mg tiap 4
jam, bisa diberikan dengan atau tanpa dosis awal 60-100mg.
b) Menghambat sekresi hormon yang telah terbentuk
Obat pilihan adalah larutan kalium iodida pekat (SSKI) dengan
dosis 5 tetes tiap 6 jam atau larutan lugol 30 tetes perhari dengan
dosis terbagi 4.
c) Menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer
Obat yang digunakan adalah PTU, ipodate, propanolol, dan
kortikosteroid.
d) Menurunkan kadar hormon secara langsung
Dengan plasmafaresis, tukar plasma, dialisis peritoneal, transfusi
tukar, dan charcoal plasma perfusion. Hal ini dilakukan bila
dengan pengobatan konvensional tidak berhasil.
e) Terapi definitif
Yodium radioaktif dan pembedahan (tiroidektomi subtotal atau
total).
2) Menormalkan dekompensasi homeostasis
a) Terapi suportif
(1) Dehidrasi dan keseimbangan elektrolit segera diobati
10

dengan cairan intravena


(2) Glukosa untuk kalori dan cadangan glikogen
(3) Multivitamin, terutama vitamin B
(4) Obat aritmia, gagal jantung kongstif
(5) Lakukan pemantauan invasif bila diperlukan
(6) Obat hipertermia (asetaminofen, aspirin tidak dianjurkan
karena dapat meningkatkan kadar T3 dan T4)
(7) Glukokortikoid
(8) Sedasi jika perlu
b) Obat antiadrenergic
Yang tergolong obat ini adalah beta bloker, reserpin, dan
guatidin. Reserpin dan guatidin kini praktis tidak dipakai lagi,
diganti dengan Beta bloker. Beta bloker yang paling banyak
digunakan adalah propanolol. Penggunaan propanolol ini tidak
ditujukan untuk mengobati hipertiroid, tetapi mengatasi gejala
yang terjadi dengan tujuan memulihkan fungsi jantung dengan
cara menurunkan gejala yang dimediasi katekolamin. Tujuan
dari terapi adalah untuk menurunkan konsumsi oksigen
miokardium, penurunan frekuensi jantung, dan meningkatkan
curah jantung.
3) Pengobatan faktor pencetus
Obati secara agresif faktor pencetus yang diketahui, terutama
mencari fokus infeksi, misalnya dilakukan kultur darah, urine, dan
sputum, juga foto dada (Bakta & Suastika, 1999).
b. Penatalaksanaan keperawatan
Tujuan penatalaksanaan keperawatan mencakup, mengenali efek dari
krisis yang timbul, memantau hasil klinis secara tepat, dan memberikan
perawatan suportif untuk pasien dan keluarga. Intervensi keperawatan
berfokus pada hipermetabolisme yang dapat menyebabkan dekompensasi
sistem organ, keseimbangan cairan dan elektrolit, dan memburuknya
status neurologis. Ini termasuk penurunan stimulasi eksternal yang tidak
perlu, penurunan konsumsi oksigen secara keseluruhan dengan
11

memberikan tingkat aktivitas yang sesuai, pemantauan kriteria hasil.


Setelah periode krisis, intervensi diarahkan pada penyuluhan pasien dan
keluarga dan pencegahan proses memburuknya penyakit (Hudak &Gallo,
1996).

7. Komplikasi
Meski tanpa adanya penyakit arteri coroner, jika tidak diobati dapat
menyebabkan angina pectoris dan infark miokardium, gagal jantung konestif,
kolaps kardiovaskular, koma dan kematian (Hudak & Gallo, 1996).

8. Pemeriksaan penunjang
Tes lab spesifik dilakukan untuk mendiagnosis dan memonitor
perkembangan penyakit tiroid. Sebagai perawat, penting untuk mengingat
bahwa pengobatan tertentu dapat mengganggu hasil tes tiroid, seperti
heparin, dopamine, dan kortikosteroid. Tes tiroksin bebas (free T4) dan TSH
(yang dilepaskan oleh kelenjar pituitary anterior) adalah dua tes lab utama
yang direkomendasikan oleh American Thyroid Association. (Cynthia Lea
Tery & Aurora Weaver, 2013)

Alarm Keperawatan
Tiga poin berikut ini harus ditekankan: (1) Dosis tinggi kortikosteroid dan
infuse dopamine dapat menekan level TSH. (2) Hormon tiroid meningkatkan
metabolism kolesterol. Dengan demikian, orang dengan hipertiroidisme
cenderung memiliki level serum kolesterol yang rendah, sementara orang
dengan hipotiroidisme cenderung memiliki level serum kolesterol yang
tinggi. (3) Hasil tes tidak bias dijadikan kesimpulan pada pasien yang kritis
karena stress akibat penyakit mengganggu produksi dan regulasi hormone
normal.

a. TSH (hormone perangsang tiroid)


Menentukan apakah sebuah masalah disebabkan oleh kelenjar tiroid itu
sendiri atau karena masalah sekunder kelenjar pituitari anterior. Puas
tidak diperlukan untuk tes ini. Nilai normal adalah 2 sampai 5,4 mU/mL.
level TSH akan menjadi sangat tinggi pada kasus hipotiroidisme, dalam
12

upaya untuk menstimulasi kegagalan kelenjar tiroid, dan sangat rendah


pada kasus hipertiroidisme, dalam upaya untuk mengurangi keluaran
hormone tiroid.
b. Konsentrasi serum T4/L-tiroksin total
Mengukur baik T4 bebas dan TGB (thyroxine-binding hemoglobin
/tiroksin yang terikat pada hemoglobin). Nilai normal untuk dewasa
adalah 4 sampai 12 ug/dL. Bayi, anak, wanita hamil, dan orang yang
mengonsumsi kontrasepsi oral memiliki hasil yang lebih tinggi seperti 15
sampai 16,5 ug/dL. Puasa direkomendasikan untuk tes ini. Hasil akan
mengikat pada hipertiroidisme dan penyakit liver serta menurun pada
hipotiroidisme. Harus diperhatikan apakah pasien sudah mengonsumsi
preparat tiroid. Propanolol dan Dilantin bias juga mengganggu
keakuratan hasil tes.
c. T3 (kosentrasi serum triiodotironin)
Pengukuran ini dibutuhkan ketika seseorang memiliki T4 normal tetapi
memiliki gejala klinis tirotoksikosis. Nilai T3 akan meningkat dengan
tirotoksikosis sementara hasil tes yang lain akan tetap dalam batas
normal. Puasa sebelum tes direkomendasikan. Nilai normal dewasa
adalah 110-230 ng/dL.
d. Pemindaian tiroid dan RAIU (radioactive iodine uptake/serapan iodine
radioaktif)
Pemindaian tiroid yang seiring dengan RAIU dilakukan untuk
mengidentifikasi dan mendiagnosis hipo- dan hipertiroidisme, nodul,
kanker tiroid, dan jaringan ektopik tiroid. Tes RAIU mengukur tingkat
penyerapan iodine oleh kelenjar tiroid setelah diberikan iodine 123 secara
intravena, dengan kapsul, atau dengan larutan. Sinar gamma akan diukur
karena mereka dilepaskan dari jejak pemecahan dalam kelenjar tiroid.
Radioaktivitas kelenjar tiroid, leher, dan mediastinum divisualisasikan.
Hasil yang normal akan menampilkan distribusi normal iodine radioaktif
dalam kelenjar tiroid. Citraan yang divisualisasikan sebagai nodul dingin
akan membantu dalam mengonfirmasi kanker kelenjar tiroid.
13

e. Ultrasonografi
Pemeriksaan noninvasive yang menggunakan gelombang suara frekuensi
tinggi untuk menghasilkan citraan kelenjar tiroid. Kista, massa, dan
pembesaran kelenjar tiroid dapat dideteksi.
Biopsy jarum halus (free-needle-biopsy) Alat diagnostic yang dipilih
untuk mengevaluasi massa tiroid atau mendeteksi keganasan nodul tiroid.
Sitologi materi yang dibiopsi akan menunjukkan hasil positif kanker bahkan
jika tes tiroid sebelumnya menunjukkan hasil normal. (Cynthia Lea Tery &
Aurora Weaver.2013)

B. Konsep Asuhan Keperawatan Krisis Tiroid


1. Pengkajian
a. Anamnesa
1) Identitas
Data klien, mencakup ; nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
agama, pekerjaan, suku bangsa, status perkawinan, alamat, diagnosa
medis, No RM/CM, tanggal masuk, tanggal kaji, dan ruangan tempat
klien dirawat.
Data penanggung jawab, mencakup nama, umur, jenis kelamin,
agama, pekerjaan, suku bangsa, hubungan dengan klien dan alamat.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
a) Alasan Masuk Perawatan
Kronologis yang menggambarkan perilaku klien dalam mencari
pertolongan.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya klien mengeluh berat badan turun, tidak tahan
terhadap panas, lemah, berkeringat banyak, palpitasi dan nyeri
dada.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Biasanya pasien pernah mengalami hipertiroid, riwayat
penggunaan hormone tiroid, dan pengobatan lain yang
membahayakan tiroid, masukan diet iodin yang kurang dri
14

cukup, intoleransi pada perubahan suhu gondok atau


pembesaran leher anterior, dan riwayat penyakit tiroid pada
keluarga juga harus dieksplorasi. lingkungan ekstrem, masalah
penglihatan,
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah keluarga pasien pernah mengalami penyakit
yang sama atau penyakit lainnya seperti DM, HT
e) Riwayat Psikososial
Pasien biasanya gelisah, emosi labil dan nervous/gugup.
Apakah pasien merasa terlalu cemas dan gelisah atau hanya
penat, lelah, dan lesu? Apakah ada keluhan otot, tremor,
palpitasi jantung, atau menangis yang meledak-ledak dan
prilaku buruk? Apakah pasien mengalami berkeringat yang
berlebihan dan demam atau apakah kulit, kuku, dan rambut
mereka menjadi kering, rapuh dan bersisik?
b. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Pernapasan
Peningkatan respirasi dapat diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan
oksigen sebagai bentuk kompensasi peningkatan laju metabolisme
yang ditandai dengan takipnea.
2) Sistem Kardiovaskuler
Peningkatan metabolisme menstimulasi produksi katekolamin yang
mengakibatkan peningkatan kontraktilitas jantung, denyut nadi dan
cardiac output. Ini mengakibatkan peningkatan pemakaian oksigen
dan nutrisi. Peningkatan produksi panas membuat dilatasi pembuluh
darah sehingga pada pasien didapatkan palpitasi, takikardia, dan
peningkatan tekanan darah. Pada auskultasi jantung terdengar mur-
mur sistolik pada area pulmonal dan aorta. Dan dapat terjadi
disritmia,atrial fibrilasi,dan atrial flutter. Serta krisis tiroid dapat
menyebabkan angina pectoris dan gagal jantung.
3) Sitem Persyarafan
Peningkatan metabolisme di serebral mengakibatkan pasien menjadi
15

iritabel, penurunan perhatian, agitasi, takut. Pasien juga dapat


mengalami delirium, kejang, stupor, apatis, depresi dan bisa
menyebabkan koma.
4) Sitem Perkemihan
Perubahan pola berkemih (poliuria, nocturia).
5) Sistem Pencernaan
Peningkatan metabolisme dan degradasi lemak dapat mengakibatkan
kehilangan berat badan. Krisis tiroid juga dapat meningkatkan
peningkatan motilitas usus sehingga pasien dapat mengalami diare,
nyeri perut, mual, dan muntah. Tentukan melalui pertanyaan apakah
pasien mengalami perubahan dalam pola tidur, eliminasi, atau pola
makan seperti insomnia versus terlalu banyak tidur, kehilangan atau
penambahan berat badan dengan peningkatan atau penurunan selera
makan, muntah, diare, atau konstipasi.
6) Sistem Muskuloskeletal
Degradasi protein dalam musculoskeletal menyebabkan kelelahan,
kelemahan, dan kehilangan berat badan.
c. Pemeriksaan lain lebih terfokus (Kelenjar tiroid)
Dalam pemeriksaan perawat akan mengamati bahwa kelenjar tiroid yang
berukuran normal tidak secara jelas dapat diamati sebagai gondok atau
penonjolan pada leher bagian depan. Minta pasien menelan untuk melihat
apakah ada pergerakan kelenjar tiroid ke atas.
Bagaimana Caranya Melakukan Pemeriksaan Kelenjar Tiroid?
1. Pemeriksa berdiri belakang pasien dengan pasien berada pada posisi
duduk.
2. Untuk menghindari hiperekstensi leher, pemeriksa meletakan
tanganya pada kedua sisi lobus kelenjar dan ismus dan palpasi
ukurun, bentuk kesimetrisan dan adanya pelunakan.
3. Sumber lain menjelaskan pemeriksaan kelenjar dengan peeriksaan
berdiri didepan pasien dan meminta pasien untuk menelan dan
kemudian memeriksa adanya gerakan keatas dari kelenjar tiroid.
4. Kelenjar tiroid kemudian dipalpasi dengan jari telunjuk dari tengah
kedua tangan di bawah kartilago krikoid pada kedua sisi trakea.
5. Palpasi mungkin akan gagal jika pasien memiliki leher yang pendek
dan besar.
16

6. Tiroid yang membesar yang ditemukan pada palpasi harus


diauskultasi untuk adanya suara abnormal (bruit) sistolik, dan tanda
positif hipertiroidisme. Aliran darah yang bertambah cepat melalui
arteri tiroid menghasilkan getaran yang rendah dan lembut yang
dapat didengakan dengan menempatkan bell stetoskop diatas salah
satu lobus lateral.
7. Pasien harus menahan napas selama perawat mendengarkan untuk
mencegah suara trakeal mengganggu suara abnormal.
8. Suara abnormal dapat dibedakan dri bunyi dengung vena jika
perawat menggunakan jarinya unyuk menghentikan vena jugularis
secara ringan pada sisi yang dikaji perawat sambil tetap melanjutkan
mendengarkan. Menariknya, bunyi dengung vena akan hilang selama
penekanan vena, namun suara abnormal akan tetap terdengar. Secara
definisi, bunyi dengung vena diproduskusi oleh aliran darah
jugularis.

1) Amati massa tubuh dan kaitannya dengan status nutrisi, kondisi


kulit, status emosional, dan tanda eksoftalmos atau mata yang
menonjol.
2) Evaluasi tes hasil diagiagnstik untuk menentukan peningkatan atau
penurunan lvel serum T4 dan T3.
3) Evaluasi glukosa yang menunjukan hiperglikemi dapat terjadi karena
peningkatan nutrisi dan tidak cukupnya pelepasan insulin.
4) Kaji tanda vital melalui palpasi dan auskultasi. Perhatian diberikan
pada suhu tubuh yang ekstrem rendah atau tinggi dan status kardiak
seperti takidistrimia dan PVC.
5) Palpasi kelenjar tiroid menggunakan pendekatan anterior dan
posterior berdasarkan rekomendasi yang bervariasi. Terdapat dua
pendapat tentang bagaimana cara mempalpasi kelenjar tiroid.
d. Pertimbangan Keperawatan Tambahan
1) Ukur berat badan harian untuk mencatat perubahan massa tubuh.
2) Berikan hidrasi yang adekuat untuk mengatasi efek kehilangan
cairan dari mual, diare, dan hipertermia jika komplikasi ini ada.
3) Gunakan selimut penghangat atau pendingin untuk menstabilkan
baik hipo- dan hipertermia.
17

4) Pasien psca pembedahan tiroid mungkin memiliki resiko karena


perdarahan atau cedera saraf laringeal. Perhatikan khusus harus
diberikan terhadap gangguan saluran pernapasan yang mungkin
terjadi.
5) Tanda-tanda badai tiroid yang akan datang harus dikaji dan diatasi.
6) Jika kelenjar paratoroid sudah dihilangkan atau mengalami cedera,
tanda-tanda tetanus juga memungkinkan terjadi.
7) Obat yang diresepkan harus diberikan seoerti asetaminofen untuk
demam dan pengobatan tiroid atau antitiroid tergantung pada kondisi
yang ada.
8) Lanjutkan mengevaluasi hasil lab untuk status kelenjar tiroid, level
glukosa darah, serta ketidakseimbangan cairan dan elktrolit.
9) Pemantauan jantung dan EKG harus terus dilakukan untuk
mengidentifikasi disritma fibrilasi atrium, takikardia sinus,
bradikardi sinus, dan blok jantung.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan status metabolik berkaitan dengan hipertermia dan kehilangan
pengatuturan suhu tubh
b. Penurunan Curah Jatung yang berhubungan dengan peningkatan kerja
jantung sekunder akibat peningkatan aktivitas adrenergik; Kekurangan
Volume Cairan sekunder akibat peningkatan metabolism dan diaforesis.
c. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
interkosta
d. ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan peningkatan metabolism.
(Susan B. Stillwell. 2011)

3. Intervensi Keperawatan (Menurut Susan B. Stillwell. 2011)


a. Gangguan status metabolik berkaitan dengan hipertermia dan kehilangan
pengatuturan suhu tubh
Kriteria hasil :
18

1) Suhu = 36,50C - 37,80C


2) TDS = 90-140 mmHg
Intervensi:
1) Penentuan pasien
1. Pantau suhu inti secara kontinu (jika memungkinkan) untuk
mengevaluasi respon pasien terhadap terapi
2. Pantau TD secara kontinu karenan demam meningkatkan
vasodilatasi perifer yang dapaat menyebabkan hipotensi
2) Pengkajian pasien
a) Kaji pasien untuk mengetahui adanya diaforesis dan
mengigil :menggigil dapat meningkatkan kebutuhan metabolic
b) Kaji pasien untuk mengetahi perkembangan skuele klinis (lihat
table 4-47)
3) Pengkajian diagnostic
Tinjau laporan pemeriksaan kultur untuk mengetahi kemungkinan
infeksi
4) Penatalaksanaan pasien
a) Berikan asetaminofen sesuai intruksi dan evaluasi respon pasien
b) Hindari pemberian aspirasi karena salisilat meningkatakan
hormon tiroid sirkulasi
c) Berikan agens farmakologi antitiroid sesua dengan yang
diresepkan :
(1) Propiltiourasil (PTU): menyekat sintesis hormon tiroid dan
menghambat kompersi T4 menjadi T3: berikut dengan dosis
300 mg setiap 6 jam. Iodida menghambat pelepasan hormon
tiroid dan seharusnya diberikan minimal 2 jam setelah
pemberian dosis pertama PTU, SSKI-1 sampai 2 tetes setiap
2 jam.
(2) Deksametason :dapat digunakan untuk menekan komversi
T4 dan T3 dan mengganti kortisol yang dimetabolisme
dengan cepat .2 mg setiap 6 jam kolesipol:dapat digunakan
pada kasus yang ekstrem,10 g setiap 8 jam
19

5) Lakukan metode pendinginan, selimut hipotermia mungkin


diperlukan untukmenurunkan suhu tubuh.
6) Berikan tindakan kenyamanan, dengan memeriksa adanya
diaphoresis pada pasien dan mengganti pakaian pasien dan seprai
sesuai kebutuhan.
7) Dialisis peritoneum dan plasmaferesis dilaporkan dapat mengurangi
kadar hormone tyroid pada kasus yang ekstrem.

b. Diagnosis Keperawatan : Penurunan Curah Jatung yang berhubungan


dengan peningkatan kerja jantung sekunder akibat peningkatan aktivitas
adrenergik; Kekurangan Volume Cairan sekunder akibat peningkatan
metabolism dan diaforesis.
Kriteria hasil :
1) Pasien sadar dan berorientasi
2) Denyut nadi perifer dapat dipalpasi
3) Paru-paru bersih pada saat di auskultasi
4) Haluaran urine 30 ml/jam atau 0,5 ml/kg/jam
5) TDS 90-140 mmHg
6) MAP 70-105 mmHg
7) FJ 60-100 kali/menit
8) Tidak ada disritmia yang mengancam jiwa
9) SAP 15-30 mmHg
10) DAP 5-15 mmHg
11) PAWP 4-12 mmHg
12) IJ 2,5-4 L/menit/m
13) ITVS 1700-2600 dine/detik/ / m
14) IKIVKi 45-60 g-m/m

Intervensi:
1) Pemantauan pasien
a) Pantau EKG secara kontinu untuk mengetahui adanya disritmia
atau FJ 140 kali/menit yang dapat berpengaruh buruk pada
20

curah jantung dan pantau adanya perubahan segmen ST yang


mengindikasikan iskemia miokardium.
b) Pantau saturasi oksigen secara kontinu dengan oksimetri nadi
(Sp02). Waspada aktivitas pasien atau intervensi yang
berpengaruh buruk pada saturasi oksigen.
c) Pantau tekanan AP,CVP, swcara kontinu (jika dapat dilakukan),
dan TD. Dapatkan hasil pemeriksaan IJ dan PAWP untuk
mengevaluasi fungsi jantung dan respons pasien terhadap terapi.
Pantau MAP; MAP < 60mmHg berpengaruh buruk pada perfusi
serebral dan perfusi ginjal.
d) Pantau status volume cairan: ukur haluaran urine setiap jam, dan
tentukan keseimbangan cairan setiap 8 jam. Bandingkan berat
badan serial; perubahan yang cepat (0,5-1 kg/hari) menunjukkan
ketidakseimbangan cairan.
2) Pengkajian Pasien
a) Kaji status kardiovaskular: bunyi jantung tambahan (S3
merupakan tanda utama gagal jantung), keluhan ortopnea atau
dispnea akibat aktivitas fisik (DOE), peningkatan JVP, bunyi
krekels, dan pengisian kapiler yang lama menunjukkan
terjadinya gagal jantung, yang dapat berlanjut menjadi edema
paru peningkatan dispnea, sputum yang berbusa). Kaji adanya
nyeri iskemia miokardium pada pasien.
b) Kaji status hidrasi (mis; rasa haus, membrane mukosa, turgor
kulit) karena dehidrasi dapat menurunkan volume sirkulasi lebih
lanjut dan menyebabkan gangguan curah jantung.
Kaji pasien untuk mengetahui perkembangan sekuele klinis.
3) Pengkajian diagnostik
a) Tinjau pemeriksaan tyroid jika dapat dilakukan.
b) Tinjau kadar elektrolit serum, glukosa serum, dan kalsium serum
serial untuk mengevaluasi respons pasien terhadap terapi.
c) Tinjau GDA serial untuk mengetahui adanya hipoksemia dan
ketidakseimbangan asam-basa, yang dapat berpengaruh buruk
pada fungsi jantung.
d) Tinjau radiograf dada serial untuk mengetahui adanya
pembesaran jantung dan kongesti paru.
4) Penatalaksanaan Pasien
21

a) Berikan cairan intravena yang mengandung dekstrosa sesuai


instruksi untuk mengoreksi kekurangan cairan dan glukosa. Kaji
pasien secara cermat untuk mengetahui adanya gagal jantung
atau edema paru. Dopamine dapat digunakan untuk mendukung
TD.
b) Berikan oksigen tambahan untuk instruksi untuk membantu
memenuhi peningkatan kebutuhan metabolic. Setelah pasien
stabil secara hemodinamik, berikan hygiene paru untuk
mengurangi komplikasi paru.
c) Berikan agens penyekat beta-adrenergik propranolol untuk
mengontrol takikardia dan hipertensi (juga menghambat
konversi T4 menjadi T3); pemberian agens penyekat beta-
adrenergik 1 mg melalui IV setiap 5 menit bertujuan untuk
mencapai FJ kurang lebih 90- 100 kali/menit dan agens
penyeakt beta-adrenergik dapat diberikan 20-40 mg PO setiap 6
jam. Pantau FJ untuk mengetahui adanya bradikardia dan tekan
AP (jika dapat dilakukan) untuk mengevaluasi fungsi ventrikel
kiri. Agens penyekat beta-adrenergik kerja singkat seperti
esmolol juga dapat di coba.
d) Jika pasien mengalami gagal jantung, agen farmakologis tipikal
untuk terapi gagal jantung juga dapat diindikasikan, termasuk
inhibitor ACE, diuretic, suplemen kalium, penyekat beta, dan
digoksin.
e) Kurangi kebutuhan oksigen: kurangi ansietas, turunkan demam,
kurangi nyeri, dan batasi pengunjung bila perlu. Jadwalkan
waktu istirahat tanpa gangguan.
f) Dekati pasien dengan cara yang tenang jelaskan tentang
prosedur, atau berika informasi untuk mengurangi mis persepsi
g) Pertahankan ruangan tetap sejuk dan bercahaya redup serta
kurangi stimulus eksternal sebanyak mungkin.
h) Antisipasi terapi yang agresif pada factor pencetus.

c. Diagnosis keperawatan: ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan


dengan kelemahan otot interkosta
Kriteria hasil:
1) Pasien sadar dan terorientasi
22

2) P 12-20 kali/menit, eupnea


3) PaO2 80-100 mmHg
4) PaCo2 35-45 mmHg
5) pH &,35-&,45
6) Saturasi O2 95%

Intervensi:
1) Pemantauan Pasien
a) Pantau saturasi oksigen secara kontinu dengan oksimetri nadi
(SpO2). Pantau aktivitas pasien dan intervensi yang dapat
berpengaruh buruk pada saturasi oksigen.
b) Pantau EKG secara kontim]nu untuk mengetahui adanya
disritmia yang mungkin berhubungan dengan hipoksemia atau
ketidakseimbangan asam-basa.
2) Pengkajian Pasien
a) Kaji status pernafasan: catat frekuensi, irama, dan kedalaman
pernafasan serta penggunaan otot bantu nafas. Observasi adanya
pola nafas paradoksikal dan peningkatan kegelisahan,
peningkatan keluhan dispnea dan perubahan tingkat kesadaran,
sianosis merupakan tanda akhir gawat nafas.
b) Kaji pasien untuk mengitahui perkembangan sekuele klinis.
3) Pengkajian diagnostik
a) Tinjau GDA serial untuk mengevaluasi oksigenasi dan
keseimbangan asam-basa.
b) Tinjau radiograf dada serial untuk mengetahui adanya kongesti
paru.
4) Penatalaksanaan Pasien
a) Berikan oksigen tambahan sesuai instruksi.
b) Ubah posisi pasien untuk memperbaiki oksigenasi dan
memobilisasi sekresi. Evaluasi respon pasien terhadap
perubahan posisi dengan menggunakan SpO2 atau GDA guna
menentukan posisi terbaik untuk oksigenasi.
c) Jika kondisi hemodinamik pasien stabil, berikan higiene paru
untuk mencegah komplikasi.
23

d) Kurangi kebutuhan oksigen (mis: turunkan demam, kurangi


ansietas, batasi pengunjung jika perlu, dan jadwalkan waktu
istirahat tanpa gangguan).
e) Berikan obat antitiroid sesuai dengan yang diresepkan.

d. Diagnosis keperawatan: ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari


kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan peningkatan metabolism.
Kriteria hasil:
1) Berat badan stabil
2) Keseimbangan nitrogen positif

Intervensi:
1) Pemantauan pasien
Pantau perubahan berat badan serial; perubahan yang cepat (0,5-1
kg/hari) mengindikasikan ketidakseimbanagn cairan dan bukan
ketidakseimbanagn atara kebutuhan nutrisi dan asupan.

2) Pengkajian pasien
a) Kaji status GI: tidak adanya bising usus atau bising usus
hiperaktif, muntah, diare, atau nyeri abdomen dapat
mengganggu absorbs nutrisi.
b) Kaji pasien untuk mengetahui perkembangan sekuele klinis.
3) Pengkajian diagnostic
a) Tinjau kadar glukosa serum serial untuk mengetahui adanya
hiperglikemia karena hormone tiroid sirkulasi yang berlebihan
meningkatkan glikogenolisis dan menurunkan kadar insulin
b) Tinjau kadar albumin serum; hipoalbuminemia dapat
menunjukkan kerusakan otot.
c) Tinjau nitrogen urea urin (UUN) sesuai indikassi untuk
memperkirakan keseimbangan nitrogen.
4) Penatalaksanaan pasien
a) Lakukan hitung kalori untuk memberikan informasi tentang
keadekuatan asupan yang diperlukan untuk memenuhi
24

kebutuhan metabolic. Konsultasikan dengan ahli gizi untuk


memaksimalkan asupan kalori dan protein guna mengembalikan
keseimbangan nitrogen negative
b) Bantu pasien pada saat memberikan makanan dalam jumlah
kecil dan sering jika pasien dapat menoleransi asupan per oral.
Pemberian makanan enteral mungkin diperlukan.
c) Terapi insulin sliding scale mungkin diperlukan untuk
mengontrol hiperglikemia.
d) Hindari penggunaan produk kafein, yang dapat meningkatkan
peristalsis.

4. Implementasi
Dilaksanakan bersadarkan intervensi.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan sesuai dengan kriteria hasil.

BAB III
TIJAUAN KASUS

1. Ny. A (47 tahun) datang ke IGD pada tanggal 20 maret 2015 dengan keluhan
lemas, panas dan dada berdebar. Ny. A juga mengeluh sering berkeringat,
sebelumnya pasien pernah masuk rumah sakit dengan diagnosa hipertiroid.
Setelah dilakukan pemeriksaan terdapat pembesaran di leher depan dan
dengan hasil TTV yaitu TD : 160/90, Nadi : 140x/menit, Suhu : 38,8C, RR:
24x/menit, BB 55 Kg
25

BAB IV
ASKEP PADA KASUS KRISIS TIROID
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama : Ny. A No. Reg : 297468
Umur : 47 tahun Tgl. MRS : 20 maret 2015 (15.00 WIB)
Jenis Kelamin : P Diagnosis medis : Krisis Tiroid
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Tgl Pengkajian : 22 maret 2015 (Jam 08.00 WIB)
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Alamat : Sendang Rejo, Banjardowo, Jombang

2. Keluhan Utama
Ny. A mengatakan badannya lemas, panas, sering berkeringat dan
dadanya berdebar
26

3. Riwayat Kesehatan :
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. A datang ke IGD dua hari yang lalu dengan keluhan lemas,
badannya panas, sering berkeringat dan dadanya berdebar. Pada
pemeriksaan di dapatkan pembesaran pada leher depan, TD :
160/90, Nadi : 140x/menit, Suhu : 38,8C, RR: 24x/menit, BB 55
Kg
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Ny. A pernah masuk rumah sakit dengan diagnosa medis Hipertiroid
c. Riwayat penyakit keluarga
Ny. A mengatakan keluarganya tidak ada yang menderita Hipertiroid
4. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum Ny. A terlihat lemas dan berkeringat
5. Pemeriksaan Persistem
a. Sistem Pernapasan
1) Hidung
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ditemukan darah/cairan
keluar dari hidung
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada hidung
2) Mulut
Inspeksi : Pucat
3) Leher
Inspeksi : Pembesaran kelenjar thyroid (+)
4) Dada
Inspeksi : Bentuk dada simetris, sesak napas
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-), weezing (-)

b. Sistem Cardiovaskuler
1) Wajah
Inspeksi : Pucat
2) Mata
27

Inspeksi : Ikterus (-), refleks cahaya (+), tanda anemis (-)


3) Leher
Inspeksi : Terdapat benjolan di leher depan
Palpasi : Terdapat nyeri tekan pada leher
4) Dada
Inspeksi : Bentuk dan gerakan dada tetap baik/simetris
Palpasi : Takikardia
Perkusi : Redup
Auskultasi : : Gallop, murmur

c. Sistem Pencernaan-Eliminasi
1) Mulut
Inspeksi : Pucat
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
2) Lidah
Inspeksi : Warna putih, bentuk simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
3) Abdomen
Inspeksi : tidak ada Pembesaran
Auskultasi : Suara peristaltik usus 10x/menit
Perkusi : Timpani
Palpasi : Terdapat nyeri tekan

d. Sistem Muskuloskeletal & Integumen


Inspeksi : Pasien lemas
Palpasi : Turgor kulit menurun

e. Sistem Neurologi
Inspeksi : pasien meringis karena pusing

f. Ekstremitas
1) Ekstremitas Atas
Inspeksi : Tidak ada oedem, turgor kulit menurun
Palpasi : CRT < 2 detik, akral hangat,
28

2) Ekstrimitas Bawah
Inspeksi : Tidak ada oedem, turgor kulit menurun
Palpasi : CRT < 2 detik, akral hangat

6. Pemeriksaan Penunjang
-
7. Terapi Medis
-

B. Diagnosa Keperawatan
Tabel Analisa Data I
Symptoms Etiologi Problem
S: Hipertiroid Gangguan status
-Pasien mengeluh lemas, panas metabolik berkaitan
dan dada berdebar. dengan hipertermia
-Pasien juga mengeluh sering Aktivitas metablik dan kehilangan
berkeringat, meningkat pengaturan suhu tubh
Pasien mengatakan sebelumnya
pasien pernah masuk rumah sakit
dengan diagnosa hipertiroid. Kalor meningkat

O:
-terdapat pembesaran di leher Suhu tubuh meningkat
depan
-TTV yaitu TD : 160/90, Nadi :
140x/menit, Suhu : 38,8C, RR:
24x/menit,
29

-BB 55 Kg
S Kekurangan volume
Ny. A mengatakan badannya cairan
lemas, panas serta berkeringat
O:
Membran mukosa kering
Turgor kulit menurun
Wajah pucat
Nadi : 140x/menit
RR : 24x/ menit
Suhu : 38,5C
BB : 55 Kg
Intake : air putih, cairan IV
Output: BAB 2X, BAK

Masalah Keperawatan :
a. Gangguan status metabolik berkaitan dengan hipertermia dan kehilangan
pengatuturan suhu tubh dtandai dengan Pasien mengeluh lemas, panas dan
dada berdebar, Pasien juga mengeluh sering berkeringat, Pasien
mengatakan sebelumnya pasien pernah masuk rumah sakit dengan diagnosa
hipertiroid, terdapat pembesaran di leher depan , TTV yaitu TD : 160/90,
Nadi : 140x/menit, Suhu : 38,8C, RR: 24x/menit, BB 55 Kg
b. Kekurangan volume cairan b/d diaphoresis d/d Membran mukosa kering
Turgor kulit menurun, Wajah pucat, Nadi : 140x/menit, RR : 24x/ menit,
Suhu : 38,5C , BB : 55 Kg, Intake : air putih, cairan IV, Output: BAB 2X,
BAK
30

C. Intervensi Keperawatan
Tgl Dx Tujuan Tindakan Rasional
I Setelah dilakukan Penentuan pasien
tindakan 1. Pantau suhu inti 1. (jika memungkinkan)
keperawatan selama secara kontinu untuk mengevaluasi
1x24 jam gangguan respon pasien terhadap
status metabolic terapi
2. Pantau TD secara
dapat teratasi dengan 2. karenan demam
kontinu
kriteria hasil : meningkatkan
TTV normal vasodilatasi perifer
yang dapaat
menyebabkan
Pengkajian pasien
hipotensi
3. Kaji pasien untuk
mengetahui adanya 3. menggigil dapat
diaforesis dan meningkatkan
mengigil kebutuhan metabolic
Penatalaksanaan pasien
4. Berikan asetaminofen
sesuai intruksi dan 4. Untuk membantu
31

evaluasi respon pasien menurunkan suhu


5. Berikan agens tubuh
farmakologi antitiroid
5. Menekan hipertiroid
sesua dengan yang
diresepkan :
6. Berikan tindakan
kenyamanan, dengan
6. Menjaga integritas
memeriksa adanya
kulit
diaphoresis pada
pasien dan mengganti
pakaian pasien dan
seprai sesuai
kebutuhan.

II Setelah dilakukan Pemantauan pasien


tindakan 1. Pantau EKG secara 1. Untuk mengetahui
keperawatan selama kontinu. adanya disritmia atau
1x24 jam kekurangan FJ 140 kali/menit
volume cairan dapat yang dapat
teratasi dengan berpengaruh buruk
kriteria hasil : pada curah jantung
Turgor kulit baik 2. Pantau saturasi dan pantau adanya
Terjadi balance oksigen secara kontinu perubahan segmen ST
cairan dengan oksimetri nadi yang mengindikasikan
TTV normal (Sp02). iskemia miokardium
2. Waspada aktivitas
pasien atau intervensi
3. Pantau status volume yang berpengaruh
cairan: ukur haluaran buruk pada saturasi
urine setiap jam, dan oksigen.
tentukan 3. Perubahan yang cepat
keseimbangan cairan (0,5-1 kg/hari)
setiap 8 jam. menunjukkan
Bandingkan berat ketidakseimbangan
badan serial; cairan.
Pengkajian Pasien
32

4. Kaji status
kardiovaskular: bunyi
jantung tambahan (S3
merupakan tanda 4. Peningkatan JVP,
utama gagal jantung), bunyi krekels, dan
keluhan ortopnea atau pengisian kapiler yang
dispnea akibat lama menunjukkan
aktivitas fisik (DOE). terjadinya gagal
jantung, yang dapat
berlanjut menjadi
edema paru
5. Kaji status hidrasi peningkatan dispnea,
(mis; rasa haus, sputum yang berbusa).
membrane mukosa, Kaji adanya nyeri
turgor kulit) Kaji iskemia miokardium
pasien untuk pada pasien
mengetahui 5. Karena dehidrasi
perkembangan sekuele dapat menurunkan
klinis. volume sirkulasi lebih
Pengkajian deiagnostik lanjut dan
6. Tinjau pemeriksaan menyebabkan
tyroid jika dapat gangguan curah
dilakukan. jantung.
7. Tinjau kadar elektrolit
serum, glukosa serum,
dan kalsium serum 6. Menegakan diagosa
serial
Penatalaksanaan Pasien
8. Berikan cairan 7. Untuk mengevaluasi
intravena yang respons pasien
mengandung terhadap terapi.
dekstrosa sesuai
instruksi
8. Untuk mengoreksi
kekurangan cairan dan
9. Kurangi kebutuhan
33

oksigen: kurangi glukosa. Kaji pasien


ansietas, turunkan secara cermat untuk
demam, kurangi nyeri, mengetahui adanya
dan batasi pengunjung gagal jantung atau
bila perlu. Jadwalkan edema paru.
waktu istirahat tanpa Dopamine dapat
gangguan. digunakan untuk
mendukung TD.
9. Menekan laju
metabolic yang
berlebihan

D. Implementasi
Tgl
Dx Implementasi Respon Hasil Paraf
jam
I Penentuan pasien
1. Pantau suhu inti secara 1. Suhu : 38,2 derajat
kontinu
2. Pantau TD secara kontinu 2. TD : 160/90 mmHg
Pengkajian pasien
3. Kaji pasien untuk 3. Pasien tampak
mengetahui adanya diaforesis menggigil dan
dan mengigil berkeringat
Penatalaksanaan pasien
4. Berikan asetaminofen sesuai 4. Pasien kooperatif,
intruksi dan evaluasi respon suhu tubuh menurun
pasien dari 38,2 menjadi 37,5
5. Berikan agens farmakologi C
antitiroid sesua dengan yang
diresepkan : 5. Pasien kooperatif
6. Berikan tindakan dalam pemberian obat
kenyamanan, dengan 6. Pasien selalu
memeriksa adanya diaphoresis mengganti pakaian jika
pada pasien dan mengganti telah basah dengan
pakaian pasien dan seprai berkeringan dan seprai
sesuai kebutuhan. selalu diganti jika sudah
34

basah
II Pemantauan pasien
1. Pantau EKG secara kontinu. 1. EKG normal
2. Pantau saturasi oksigen 2. Saturasi oksigen 98 %
secara kontinu dengan
oksimetri nadi (Sp02).
3. Pantau status volume cairan: 3. Pasien baru kencing 4
ukur haluaran urine setiap x selama dirawat di
jam, dan tentukan rumah sakit. BB pasien
keseimbangan cairan setiap 8 tetap 55 kg
jam. Bandingkan berat badan
serial;
Pengkajian Pasien
4. Kaji status hidrasi (mis; rasa 4. Turgor kulit baik,
haus, membrane mukosa, membrane mukosa bibir
turgor kulit) lembab, pasien tidak
Pengkajian deiagnostik mengeluh haus
5. Tinjau pemeriksaan tyroid 5. Terdapat pembesaran
jika dapat dilakukan. kelenjar tiroid
6. Tinjau kadar elektrolit serum, 6. Kadar elektrolit tidak
glukosa serum, dan kalsium dalam rentang normal
serum serial
Penatalaksanaan Pasien
7. Berikan cairan intravena 7. Telah diberikan
yang mengandung dekstrosa
sesuai instruksi
8. Tinjau ulang kadar elektrolit 8. Kadar elektrolit
serum, glukosa serum, dan membaik normal setelah
kalsium serum serial terapi cairan
9. Kurangi kebutuhan oksigen: 9. Pasien tampak
kurangi ansietas, turunkan beristirahat tanpa
demam, kurangi nyeri, dan gangguan
batasi pengunjung bila perlu.
Jadwalkan waktu istirahat
tanpa gangguan.
35

E. Evaluasi
Tgl Dx Waktu Catatan Perkembangan Paraf
I S : Pasien mengatakan panas badanya sudah
berkurang
O:
Nadi : 100x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 37,7.0C
A : Gangguan metabolic teratasi sebagian
P : Intervensi pemantauan suhu tubuh di
pertahankan
II S : Ny. A mengatakan badannya sudah tidak lemas
O:
KU: cukup,
turgor kulit cukup baik
membran mukosa cukup bail
Nadi : 100x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 37,5.0C
BB : 55 Kg
A : Kekurangan volume cairan teratasi intervensi
dihentikan
P : Pertahankan balance cairan
36

BAB V
PEMBERIAN OBAT MELALUI SYIRING PUMP DAN INFUS PUMP

A. Prosedur Tindakan Menggunakan Syringe Pump


1. Pengertian Syringe Pump

Alat syringe pump merupakan suatu alat yang di gunakan untuk


memberikan cairan atau obat kepada pasien. Secara khusus alat ini
mentitikberatkan atau memfokuskan pada jumlah cairan yang
diamasukan kedalam tubuh pasien, denag satuan mililiter per jam.
Alat ini menggunakan motor sebagai tenaga pendorong syringe yang
berisi cairan atau obat yang akan dimasukan kedalam tubuh pasien. Alat
ini menggunakan sistem elktronik yang berfungsi dalam pengontrolan
dalam pemberian jumlah cairan ke tubuh pasien, sensor dan alarm.
Dalam sistem Mekanik yaitu dengan gerakan motor sebagai tenaga
pendorong.
2. Bagian-Bagian Syringe Pump
a. Operation panel, yang didalamnya terdapat beberapa tombol untuk
mengoperasikan syringe pump
1) Clamp, berfungsi sebagai penjepit syringe (suntikan).
2) Slit, merupakan celah untuk menempatkan syringe.
3) Slider Hook.
4) Cluth.
5) Slider.
6) Dial.
37

b. Panel Pengoperasian (operation panel)

Pada panel pengoperasian atau operation panel terdapat beberapa


bagian, antara lain:
1) Power Display, terdiri dari :
a) [AC/DC] indicator; lampu akan menyala jika syringe pump
menggunakan sumber AC ataupun DC.
b) [BATTERY] indicator.
2) Power Switch, berfungsi untuk menghidupkan dan mematikan
syringe pump.
3) Syringe size Indicator, menunjukkan ukuran dari syringe.
Adapun syringe pump type TE-311 ini mampu mendeteksi
ukuran syringe (suntikan) dengan berbagai ukuran diantaranya
adalah (10, 20, 30, 40, 50 ml).
4) Start Switch, merupakan tombol untuk memulai proses
pemasukan cairan kedalam tubuh pasien.
38

5) Alarm Indicator, terdapat beberapa alarm diantranya:


a) Occlusion Alarm, artinya alarm akan berbunyi jika terjadi
kemacetan pada proses pemasukan cairan kedalam tubuh
pasien.
b) Nearly Empty, artinya alarm akan berbunyi jika cairan yang
terdapat dalam syringe (suntikan) akan habis atau
mendekati habis.
c) Low Battery; alarm akan berbunyi jika tegangan dalam
baterai lemah sehingga perlu dilakukan pengisian kembali
(recharge).
d) (Flow Rate/Delivery Limit/Volume Delivered) Display,
berfungsi menampilkan aliran rata-rata / flow rate dalam
dalam satuan ml/h.

3. Fungsi Syringe Pump

Fungsi dari syringe pump anatara lain:


a. Memasukan cairan atau obat ke tubuh pasien.
b. Untuk mencegah periode kadar obat atau cairan yang dimasukan,
dimanat ingkat obat di dalam darah terlalu tinggi atau terlalu rendah.
39

c. Menghindari penggunaan tablet yang dikarenakan pasien yang


mengalami kesulitan dalam meminum tablet.

4. Konsep Dasar Pemakaian Syringe Pump

Dengan pemberian obat menggunakan syring pump, pasokan obat


yang terlarut dalam tubuh diharapkan dapat mempertahankan jumlah
dosis obat secara tetap tanpa mengalami perubahan.
Dengan konsentrasi obat menetap dalam darah didapatkan
kontinyuitas respon obat terhadap tubuh dapat terjaga dan dapat
meminimalkan terjadinya resistensi.
Untuk mendapatkan efek obat yang maksimal pada tubuh maka
diperlukan pemberian obat dengan dosis tepat secara kontinyu.
Konsep dasar mengoperasikan syringe/infus pump adalah
concentrate (konsentrasi dalam meq/cc), dosis dan speed (kecepatan
dalam ml/jam).

a. Concentrate

Hal yang perlu diperhatikan dalam konsentrasi larutan adalah


kandungan obat dalam sediaan (ampul atau vial) yang dapat dilihat
DI KEMASAN obat.
Norepinefrin Dopamin Dobutamin
40

Setelah mengetahui kandungan obat dalam 1 AMPUL ,maka langkah


selanjutnya adalah PENGENCERAN dan penentuan
KONSENTRASI OBAT dalam syringe. Misal:

b. Dosis
Dosis obat pada tiap individu dapat berbeda bergantung pada
berbagai faktor misalnya segi penyebab (syok kardio, syok septik
dsb).

c. Speed
41

Ada beberapa alat yang menggunakan 2 angka di belakang koma


atau hanya 1 angka di belakang koma. Biasanya SPEED dinaikkan
berhubungan dengan kenaikan DOSIS tiap beberapa menit. Adapun
rumus untuk penentuan speed adalah:
(DOSIS x kgBB x 60)/Konsentrasi
5. Cara Penggunaan Syringe Pump
a. Sebelum pemakaian pertama, mesin disambungkan ke sumber listrik
(charge) selama 15 jam
1) Angkat clamp unit, kemudian pasang plunger syringe/spuit
dengan benar.
2) Tekan clutch kemudian posisikan syringe dengan benar
3) Kembalikan posisi clamp unit pada tempat semula
4) Tekan tombol Power
5) Tekan tombol Rate/D.Limit/ml (SELECT), hingga muncul
RATE pada display, putar dial setting yang berada di bagian
samping pump.
6) Setelah angka delivery rate di-set, tekan tombol START
7) Lampu indikator menyala warna hijau (berputar), berarti mesin
sudah beroperasi
b. Setting Occlusion Limit
1) Mesin dalam kondisi hidup
2) Tekan tombol Stop Silence bersamaan dengan Clear ml
hingga muncul tulisan BEL, 1/2/3 pada display.
3) Setelah itu tahan penekanan pada tombol Stop Silence jangan
dilepas, untuk melakukan pemilihan BEL yang diinginkan,
lakukan penekanan pada Clear ml. Sampai tingkat volume
yang diinginkan tercapai.
c. Setting Bell
1) Mesin dalam kondisi menyala atau hidup
2) Tekan tombol STOP Silence bersamaan dengan Clear ml
hingga muncul tulisan BEL, 1/2/3 pada display.
3) Setelah itu tahan penekanan pada tombol Stop Silence jangan
dilepas, untuk melakukan pemilihan BEL yang diinginkan,
lakukan penekanan pada Clear ml. Sampa tingkat volume
yang diinginkan tercapai.
d. Setting Syringe
1) Mesin dalam kondisi mati (off).
42

2) Tekan tombol Stop Silence, Rate/Limit/ml (Select) and Power


bersamaan hingga muncul tulisan Syr pada display lalu Syr
11.
3) Masukkan nomor kode syringe yang diinginkan dengan
mendial.
4) Untuk menyimpan data tsb tekan tombol START hingga
muncul tulisan GOOD pada display.
5) Setelah itu, matikan kembali mesin dan nyalakan kembali maka
jenis syringe yang di setting akan muncul pad adisplay sesaat
setelah dinyalakan.
e. Setting Nearly Empty
1) Mesin dalam kondisi mati (off).
2) Tekan tombol ON dan STOP bersamaan hingga muncul
tulisan USER, display akan berkedip, masukkan angka 331,
dengan mendial.
3) Tekan tombol Stop hingga muncul tulisan rALI pad display
4. Tekan tombol Select hingga muncul tulisan Spc1, tekan
tombol Select Lagi, muncul tulisan NEAR.
4) Tekan tombol Stop hingga muncul tulisan ---- , masukkan
angka nearly empty yang diinginkan. ( 3 -30 menit / kelipatan
3 ).
5) Untuk menyimpan data tsb tekan tombol START, hingga
muncul tulisan GOOD.
f. Mengaktifkan Tombol Pengunci
1) Pada saat mesin sedang dioperasikan, tekan tombol D LIMIT
selama 2 detik sampai lampu indikator RATE berkedip-kedip.
2) Tombol pengunci diaktifkan maka tombol STOP & START
dalam posisi terkunci.
3) Untuk non-aktifkan kembali fungsi ini. Tekan tombol D
LIMIT selama 2 detik sampai lampu indikator RATE
berhenti berkedip.
4) Tombol STOP dan START berfungsi kembali.
g. Melihat History
1) Tekan ON untuk menghidupkan mesin.
2) Tekan STOP dan START bersamaan, hingga terdengar
bunyi dan display akan menunjukkan H***, *** menunjukkan
history yang ada.
3) Putar dial untuk memilih history yang diinginkan.
43

4) Tekan Select, display akan menunjukkan setiap detil data yang


tersimpan.
h. Mengaktifkan Tombol D Limit (Delivery Limit)
1) Mesin dalam keadaan mati, tekan tombol ON/OF & STOP
secara bersamaan a display 8888 a UsERa0. Pada saat
tampil 0 putar Dial dan enter pswd 331.
2) Tekan tombol STOP a Display rAL1, tekan tombol D L:imit a
Dsiplay SPC1.
3) Tekan tombol STOP a Display a dL on atau dl off.
4) Tekan tombol STOP untuk memilih nilai setting.
5) Tekan dan tahan tombol START selama 1,5 detik, untuk
menyimpan nilai setting, Display a good.
6) Display kembali menampilkan SPC 1.
7) Matikan uni

B. Prosedur Pemakaian Infus Pump


1. Dasar Teori
Dalam tubuh manusia hampir dari 80 % terdiri dari cairan yang
apabila terjadi gangguan di dalam tubuh maka harus mendapatkan
dukungan atau bantuan cairan dari luar. Pasien yang dirawat secara
intensif dengan berbagai jenis penyakit yang membuat kondisi tubuh
menurun sangat membutuhkan cairan tambahan untuk menggantikan
cairan yang hilang. Bila cairan yang dibutuhkan tidak dapat diberikan
secara oral maka dapat diberikan dengan memberikan dengan cara infus
yaitu pemberian yang langsung masuk ke dalam jaringan tubuh
pemberian tersebut harus disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan
pasien oleh karena itu pemberian cairan atau zat harus tepat dan benar,
yaitu jumlah cairan yang diterima pasien harus sesuai dan seimbang
sehingga tubuh pasien selalu dalam kondisi stabil.
2. Jenis Infusion Pump
Jenis pemberian infus dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Konstruksi dari infusion secara manual terdiri dari :
1) Botol penampung cairan
2) Slang penghubung ke pasien
3) Pengatur Laju aliran
4) Jarum penusuk ke kulit pasien.
Untuk mengatur laju aliran cairan infus ke pasien dengan cara
memperkuat / memperlemah tekanan antara slang dan roda pengatur
pada bagian kontrol laju aliran. Semakin kuat tekanan antara slang
44

dan roda pengatur aliran maka semakin kecil laju aliran air dan
semakin lemah tekanan antara slang dan roda pengatur maka
semakin cepat laju aliran.
b. Konstruksi dari infusion secara otomatis terdiri dari:
1) Botol penampung cairan
2) Slang penghubung ke pasien
3) Infusion Pump
4) Jarum penusuk ke kulit pasien
Infus secara otomatis pada intinya adalah pengaturan laju alirannya.
Bagian penting pada rangkaian infusion pump adalah :
Kontroller adalah semua bagian elektronik yang mengatur semua
setting dari flow rate, volume. Sensor flow berfungsi untuk
mendeteksi laju aliran yang diberikan ke pasien. Rangkaian
kontroller merupakan pusat dari seluruh kerja dari infusion pump.
Setting infusion pump terdiri dari flow rate, volume diberikan ke
kontroller melalui rangkaian input key, setting ini berupa nilai logic
biner. Input sensor flow dan output sinyal ke motor drive adalah
berupa pulsa. Motor secara otomatis akan menekan slang pada
dinding sehingga laju aliran akan cepat atau lambat tergantung
settingan yang diberikan. Setelah seluruh setting telah diberikan,
infusion pump siap untuk distart.Setelah menerima sinyal, kontroller
akan mengirim pulsa ke motor drive sehingga motor bekerja. Sensor
akan mendeteksi tetesan dari botol infus dan mengirim sinyal
kembali ke motor drive. Kondisi tersebut akan berulang terus
sehingga cairan infus akan menetes sesuai dengan setting flow rate.
Apabila sensor flow tidak mendeteksi adanya cairan maka kontroller
akan mengirim sinyal alarm occlusion yang berarti cairan infus telah
habis atau slang tersumbat sehingga tidak ada aliran.
3. Fungsi
Untuk mengontrol pemberian cairan infus secara elektronik. Cairan
infus berupa zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh, cairan tersebut
diberikan karena tubuh kekurangan zat-zat tersebut.Dengan kondisi
pasien yang sangat lemah, maka cairan infus tersebut diberikan melalui
kulit. Jarum penyalur cairan infus ditusuk pada kulit, kemudian botol
penampung cairan akan mengalirkan cairan tersebut sesuai kebutuhan.
4. Pengoperasian
45

a. Masukkan kabel listrik ke jaringan PLN 220 volt.


b. Untuk memulai tekan tombol ON.
c. Gantungkan botol infuse pada tempatnya dan pasang IV set nya.
d. Pasang Drop Sensor pada center tabung IV set. ( jangan terlalu ke
bawah / keatas ).
e. Buka Clemp IV set dan biarkan cairan keluar ( Priming ), dan setelah
itu tutup kembali, ( pastikan tidak ada gelembung udara pada selang
IV set ).
f. Pasang IV set ke dalam pompa infuse melalui jalur-jalur yang tepat, (
jangan terlalu ketat ).
g. Setelah tombol ON di tekan unit akan melakukan Tests Post, tunggu
beberapa detik sampai terlihat angka 20 atau 15 pada display. ( H
Series khusus TOP ).
h. Pilih jenis dan ukuran IV set yang akan digunakan dengan cara
menekan tombol atau .
i. Jika pemilihan IV set sudah benar, tekan tombol SELECT, dengan
menggunakan tombol dan , tentukan jumlah cc dan dengan cara
yang sama tentukan waktu cairan yag akan masuk ke pasien.
j. Setelah Pre set selesai dilakukan, tutup pintu pada panel depan,
buka clamp pada IV set.
k. Tekan START untuk memulai proses.
l. Jika terdengar bunyi alarm disertai tulisan DOOR OPEN, maka
buka pintu dan tutup kembali kemudian tekan tombol START.
5. Perawatan
a. Cek detektor tetesan infusnya baik tidaknya
b. Cek kabel power apakah putus atau tidak
c. Cek baterai baik tidaknya
d. Bersihkan selang penghubung antara infusion pump dengan cairan
infus apakah tersumbat
e. Kalibrasi 1 tahun sekali
f. Diamkan selama 15 menit untuk persiapan penggunaannya
6. Perbaikan
Kerusakan Penyebab Solusi
Cairan infus tidak Selang tersumbat Bersihkan selang
menetes Periksa pada gear Perbaiki gearnya
dalam kemungkinan Pasang selang dengan
macet benar
Pemasangan selang
yang tidak benar
46

Alram berbunyi Pemasangan selang Pasang selang dengan


terus menerus tidak benar benar
Penutup yang kurang Tutup dengan rapat
rapat
Detector tetesan Detektor tetesan rusak Ganti yang baru
tidak berfungsi
47

BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan
ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf,
dan sistem saluran cerna. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis
tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Krisis tiroid timbul saat
terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang
menyebabkan hipermetabolisme berat.
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada
gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid,
terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan
laboratorium atas tirotoksikosis. Penatalaksanaan krisis tiroid harus
menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan
suportif yang agresif dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis
dan membalikkan dekompensasi multi organ. Angka kematian keseluruhan
akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-75%. Namun, dengan
diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan
baik.
48

DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I.M. dan Suastika, I.K. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam.
Jakarta: EGC.

Chang, E. dkk. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta:


EGC

Cynthia Lea Tery & Aurora Weaver.2013. Keperawatan Kritis. Yogyakarta: Rapha
Publishing

Dongoes Marilynn, E.1993.Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta :


EGC.

Guyton, Arthur C. & John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9.
Editor: Irawati Setiawan. Jakarta :EGC.

Hariawan, Hamdan. 2013 . Askep Krisis Tiroid. http://hamdan-hariawan-


fkp13.web.unair.ac.id/artikel_detail-88249-askep%20endokrin-askep
%20krisis%20tiroid.html. Diunduh tanggal 26 Februari 2014.

Hudak dan Gallo. 2011. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.

Price Sylvia, A.1994. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid


2. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Susan B. Stillwell. 2011. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

Nanda International. 2007. Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.

Rumahorbo, H. 1999. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Endokrin. Jakarta: EGC.

Smeltzer dan Bare.2002.Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8.
Volume 3. Jakarta: EGC.

Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi IV. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai