Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Farmasi adalah ilmu yang mempelajari cara membuat, mencampur, ulasi
obat, identifikasi, kombinasi, analisis dan standarisasi / pembakuan obat serta
pengobatannya yang aman. Faktor-faktor yang mempengaruhi sediaan
farmasi seperti stabilitas obat,kelarutan, kompleksasi obat, dan lain
sebagainya dipelajari dalam ilmu farmasi fisika.
Farmasi fisika adalah ilmu yang mempelajari tentang analisis kualitatif
serta kuantitatif senyawa organic dan anorganik yang berhubungan dengan
sifat fisiknya, misalnya spektro massa, spektrofotometri, dan komatografi.
Dalam bidang farmasi, faktor-faktor yang mempengaruhi suatu sediaan
obat sangat penting untuk dipelajari, salah satu contoh dari beberapa faktor
tersebut yaitu stabilitas obat.
Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi
kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar
selama penyimpanan ( Connors,et al.,1986).
Kestabilan suatu obat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam
membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting karena suatu obat
atau sediaan farmasi biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan
memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke tangan pasien yang
membutuhkan. Sehingga, perlu adanya pengetahuan yang mendasar mengenai
stabilitas obat.
Oleh karena itu, stabilitas obat sangat penting untuk dipelajari sehingga
dijadikan sebagai bahan ajar dalam paraktikum farmasi fisika ini. Pada
praktikum kali ini, akan dilakukan percobaan untuk mengetahui kestabilan
suatu zat dengan menggunakan paracetamol sebagai sampelnya pada suhu
35C dan 75C.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.1.1 Maksud Percobaan
Adapun maksud dilakukannya percobaan ini yaitu untuk mengetahui
dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu obat.
I.1.2 Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menentukan tingkat reaksi penguraian suatu zat
2. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan obat
3. Menentukan usia simpan suatu zat
4. Menggunakan data kinetika kimia untuk memperkirakan kestabilan suatu
zat
1.3 Prinsip Percobaan
Adapun prinsip kerja dari percobaan ini yaitu penentuan stabilitas obat
parasetamol pada berbagai suhu yaitu suhu kamar, 35C dan 75C
menggunakan instrument spektrofotometri UV-Vis.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Pengamatan
IV.2 Pembahasan
Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari
segi kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan
kadar selama penyimpanan (Connors,et al.,1986).
Pada praktikum kali ini, kami melakukan percobaan salah satu faktor
yang mempengaruhi sediaan farmasi yaitu stabilitas obat. Pada percobaan
stabilitas obat ini, sampel yang digunakan yaitu paracetamol dengan
menguji kestabilannya pada suhu dengan menggunkan metode
spektrofotometri UV untuk mengetahui hasil dari absorban yang didapat.
Menurut Tjay (2007), paracetamol merupakan obat yang khasiatnya
sebagai analgetis dan antipiretis, tetapi tidak antiradang.
Menurut Connor (1994), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kestabilan suatu zat antara lain adalah suhu (temperatur), panas, cahaya,
kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme dan lain-lain. Pada percobaan
ini, digunakan salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas obat yaitu
suhu. Suhu yang digunakan yaitu 35C dan 75C.
Langkah pertama yang dilakukan dalam percobaan ini, yaitu
menyiapkan alat dan bahan. Selanjutnya, dibersihkan alat menggunakan
alcohol 70 %. Menurut Tjay (2013), tujuan digunakannya alkohol 70 %
karena alkohol 70 % berkhasiat sebagai antiseptik yaitu meghambat atau
membunuh pertumbuhan bakteri dan jamur, serta sebagai desinfektan yaitu
untuk mencegah terjadinya pertumbuhan bakteri dan jamur.
Setelah itu, dibuat larutan induk 1000 ppm. Pertama-tama, ditimbang
paracetamol sebanyak 0,01 gram. Selanjutnya, dimasukkan paracetamol ke
dalam gelas kimia yang berisi 10 mL etanol 95 %. Menurut Wardhani
(2007), penggunaaan 10 mL etanol karena etanol harus setara dengan
bobot paracetamol yang dilarutkan dalam etanol dengan %b/v sehingga
memperoleh 1000 ppm Menurut Lachman (1986), tujuan dari penggunaan
etanol 95% yaitu untuk melarutkan paracetamol, karena dilihat dari
kelarutan paracetamol yakni semakin cepat obat tersebut untuk terurai.
Kemudian, divorteks larutan baku tersebut. Menurut Kemudison (2000),
tujuan dari memvorteks yaitu agar larutan tercampur dengan baik atau
homogen secara sempurna. Selanjutnya, dimasukkan ke dalam gelas ukur
dan diberi label sebagai larutan stok.
Langkah berikutnya, dilakukan pengenceran larutan 100 ppm.
Menurut Wardhani (2007), dilakukan pengenceran bertingkat yaitu untuk
menurunkan atau memperkecil kosentrasi larutan dengan penambahan zat
pelarut ke dalam larutan sehingga volume berubah. Pertama-tama, dari
larutan 1000 ppm diambil 1 mL menggunakan pipet mikron setelah itu
diencerkan larutan tersebut dari 1000 ppm menjadi 100 ppm. Selanjutnya
dilakukan pengenceran larutan untuk konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm,
dan 4 ppm.
Setelah itu, dilakukan pembacaan absorbansi pada larutan dengan
konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, dan 4 ppm dengan memasukkan larutan
ke dalam kuvet. Kemudian, dimasukkan etanol 95% ke dalam kuvet
sebagai larutan blanko. Menurut Underwood (1990), larutan blanko
biasanya digunakan untuk tujuan kalibrasi sebagai larutan pembanding
dalam analisis fotometri. Kemudian, dimasukkan kuvet yang berisi larutan
sampel dan larutan baku ke dalam spektrofotometer dengan panjang
gelombang 244 nm. Menurut Dirjen POM (1979), hal ini sesuai dengan
panjang gelombang yang dimiliki oleh paracetamol yaitu 244. Kemudian
dibaca hasil absorbannya. Untuk larutan blanko hasil absorbannya yaitu
0,352 nm. Untuk larutan sampel 1 ppm hasil absorbannya yaitu 0,351 nm,
untuk 2 ppm hasilnya yaitu 0,352 nm, untuk 3 ppm hasilnya yaitu 0,350
nm, dan untuk 4 ppm hasilnya yaitu 0,355 nm. Menurut Wardhani (2007),
range yang dapat dibaca oleh spektro adalah range 0,2 0,8. Berdasarkan
hasil absorbannya, dapat dilihat bahwa nilai absorban yang didapat tidak
teratur. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada. Menurut Svehla (1990),
absorban didapatkan dari konsentrasi rendah ke konsentrasi yang tinggi
maka nilai serapannya semakin meningkat. Absorban dikatakan konstan
apabila hasil absorban yang didapat teratur sesuai dengan penambahan zat.
Setelah itu, dilakuakn penentuan stabilitas obat paracetamol. Pertama-
tama, dilakukan pengenceran untuk konsentrasi 4 ppm dan dimasukkan ke
dalam 4 buah botol vial. Kemudian, divorteks larutan hingga homogen.
Selanjutnya, dimasukkan larutan ke dalam oven pada suhu 35C dan 75C
dengan interval waktu masing-masing 5 menit dan 15 menit. Lalu,
dikeluarkan larutan dari oven dan dimasukkan ke dalam coolkas untuk
menghentikan degradasinya. Lalu, dimasukkan larutan ke dalam kuvet.
Selanjutnya dimasukkan kuvet yang berisi larutan ke dalam
spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 244 nm, dan dibaca
hasil absorbannya. Hasil absroban yang didapat untuk suhu 35C pada
waktu 5 menit yaitu 0,342 nm, dan pada waktu 15 menit yaitu 0,350 nm.
Hasil absorban yang didapat untuk suhu 75C pada waktu 5 menit yaitu
0,347 nm, dan pada waktu 15 menit yaitu 0,006 nm.
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh hasil bahwa paracetamol
mengikuti orde ke-2, karena nilai yang mendekati -1/1 berada pada orde 2
tersebut, diperoleh hasil pada suhu 350C yaitu -1 dan pada suhu 750C 1.
Sehingga hasilnya untuk waktu paruh (T1/2) adalah 0,009 jam atau 32,4
detik dan T90 adalah 1010 jam, 42 hari, dan 1,2 bulan. Berdasarkan hasil
pengamatan yang diperoleh, penguraian suatu obat pada suhu 350C dan
750C tidak konstan dimana kenaikan absorbannya tidak teratur. Hal ini
tidak sesuai dengan teori bahwa semakin meningkat suhu maka semakin
cepat penguraian dari suatu obat, sehingga kadar dari obat tersebut akan
menurun dan menjadi tidak stabil (Connors, 1986). Menurut Lacman
(1986), paracetamol stabil pada suhu dibawah 400C dan lebih baik pada
suhu 150C-350C sehingga relatif tidak tahan pemanasan. Waktu paruh dari
paracetamol yaitu 2 jam, sedangkan pada percobaan ini, waktu paruh yang
didapatkan yaitu 0,009 jam.
Berdasarkan hasil absorbannya, dapat dilihat bahwa nilai absorban
yang didapat tidak teratur. Hal ini tidak sesuai dengan teori. Menurut
Svehla (1990), absorban didapatkan dari konsentrasi rendah ke konsentrasi
yang tinggi maka nilai serapannya semakin meningkat. Absorban
dikatakan konstan apabila hasil absorban yang didapat teratur sesuai
dengan penambahan zat.
Adapun kemungkinan kesalahan yang terjadi pada percobaan ini,
yaitu hasil absorban yang didapatkan tidak teratur, bisa jadi hal ini
disebabkan oleh kesalahan pada saat dilakukannya pengenceran, dan kuvet
yang telah digunakan dipakai kembali dan kotoran yang menempel pada
kuvet sehingga mempengaruhi hasil absorban yang didapat pada sampel
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai

  • Kata Penganta2
    Kata Penganta2
    Dokumen3 halaman
    Kata Penganta2
    Nifi Pputungan
    Belum ada peringkat
  • BAB I Disolusi
    BAB I Disolusi
    Dokumen3 halaman
    BAB I Disolusi
    Nifi Pputungan
    Belum ada peringkat
  • BAB I Print
    BAB I Print
    Dokumen2 halaman
    BAB I Print
    Nifi Pputungan
    Belum ada peringkat
  • Bab I Stabo
    Bab I Stabo
    Dokumen5 halaman
    Bab I Stabo
    Nifi Pputungan
    Belum ada peringkat
  • BAB I Disolusi
    BAB I Disolusi
    Dokumen3 halaman
    BAB I Disolusi
    Nifi Pputungan
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Nifi Pputungan
    Belum ada peringkat
  • Bab I Stabo
    Bab I Stabo
    Dokumen5 halaman
    Bab I Stabo
    Nifi Pputungan
    Belum ada peringkat
  • Bab I Stabo
    Bab I Stabo
    Dokumen5 halaman
    Bab I Stabo
    Nifi Pputungan
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Dan 4 Stabo
    Bab 1 Dan 4 Stabo
    Dokumen6 halaman
    Bab 1 Dan 4 Stabo
    Nifi Pputungan
    Belum ada peringkat
  • BAB I Print
    BAB I Print
    Dokumen2 halaman
    BAB I Print
    Nifi Pputungan
    Belum ada peringkat