Anda di halaman 1dari 17

OTONOMI DAERAH

DI INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi


Tugas Mata Kuliah Kewarganegaraan
Semester IV
Dosen Pembina: Ibu Khrisna

Oleh :
1.
2.
3. Eli Hartawati 1531120067
4.

Kelas :D3 2C

Program Studi Teknik Listrik


Jurusan Teknik Elektro

Politeknik Negeri Malang


JL. Soekarno-Hatta No.9 PO BOX 04 Malang
Phone:0341-404424/404425, Fax:0341-404420
www.polinema.ac.id
2017
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Pada awal diterapkannya Otonomi Daerah di Indonesia memiliki banyak
dukungan yang positif dari tiap-tiap daerah di Provinsi. Rakyat dari tiap daerah seakan
mendukung penuh adanya kebijaksanaan baru tersebut. Daerah diberdayakan untuk mampu
mengemban tugas dan tanggung jawabnya dalam rangka mengembangkan dan memajukan
daerahnya, baik dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Otonomi Daerah memberikan wewenang penuh kepada Pemerintah Daerah untuk bisa
menggerakkan warganya menjadi warga negara yang aktif sehubungan dengan daerah yang
sedang dipimpinnya, tanpa memutuskan hubungan yang baik kepada Pemerintah Pusat.
Sejalan dengan Otonomi Daerah, beberapa daerah mulai mencoba mengusulkan kepada
Pemerintah Pusat untuk merumuskan Otonomi Khusus bagi daerahnya, karena dengan
adanya Otonomi Daerah di seluruh wilayah Indonesia menyebabkan daerah-daerah tertentu
seperti Papua tidak mampu bersaing. Hal ini diakibatkan pengaruh pola pemerintahan yang
lama (Sentralisasi) yang membuat kaku Papua dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di
Indonesia. Otonomi Khusus Papua dimaksudkan agar Papua dapat mengejar
ketertinggalannya yang jauh dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Otonomi Khusus Papua memberikan harapan baru bagi Tanah Papua untuk mampu
bertahan dalam Negara Kesatuan Republi Indonesia, memperoleh kembali hak-haknya
baik dari sumber daya alam yang dimilikinya maupun hak untuk berbicara dalam partisipasi
politik di Indonesia, juga untuk membangun kesetaraan yang wajar dalam Republik
Indonesia. Harapan-harapan tersebut memberikan semangat bagi Tanah Papua, terutama
penduduk asli Papua untuk membangun daerahnya menuju Papua Baru.

1.2.Rumusan Masalah
1. Apa pengertian otonomi daerah dan otonomi khusus?
2. Apa yang khusus dari otonomi Papua?
3. Apa garis besar UU otonomi khusus Papua?

BAB II
PEMBAHASAN

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan pada Bab I, pembahasan masalah akan
menyajikan tentang (1) Otonomi daerah, (2) otonomi khusus Papua, (3) UU otonomi khusus
Papua
2.1 Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari
kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari
kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang,
sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk
membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.[1]
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai
implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah
kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur,
memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing.

2.1.1 Otonomi Khusus


Otonomi Khusus bagi Papua harus diartikan secara jelas dan tegas sejak awal, karena
telah terbentuk berbagai pemahaman yang negative mengenai Otonomi di kalangan rakyat
Papua. Pengalaman jelek yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde
Lama dan Orde Baru, yang juga memperlakukan daerah Papua sebagai suatu daerah otonomi,
merupakan alasan penting dimilikinya sikap negatif ini.
Istilah otonomi dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi
rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan
untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab
untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di
Indonesia yang memang berkekurangan. Hal ini yang tidak kalah penting adalah kebebasan
untuk menentukan strategi pembangunan social, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai
dengan karakteristik dan kekhasan sumber daya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan
orang Papua. Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang
seutuhnya yang ditunjukkan dengan penegasan identitas dan harga dirinya.
Istilah khusus hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada
Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti
tingkat social ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian
praktisannya, kekhususan otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal mendasar yang hanya
berlaku di Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang
berlaku di daerah lain di Indonesia yang tidak diterapkan di Papua.

2.2 Apa yang Khusus dari Otonomi Papua?


Konflik di Papua muncul ke permukaan ketika masa transisi tahun 1998. Langkah
awal yang dilakukan pemerintah pusat saat itu adalah dengan memberikan pengakuan
kultural bagi Papua, yang termasuk ke dalam otonomi khusus. Pengakuan kultural itu adalah
denganmengubah nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana ditulis dalam pertimbangan
UU Nomor 21 Tahun 2001. Otonomi khusus Papua, sebagaiamana tertulis dalam undang-
undang itu, adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Seperti apa kewenangan khusus
itu?
Kewenangan yang diberikan pemerintah Papua hampir sama dengan daerah otonom
lain di Indonesia, yakni semua urusan pemerintah kecuali politik luar negeri, pertahanan dan
keamanan, fiskal dan moneter, serta agama diselenggarakan pemerintah Papua. Yang
membuatnya sedikit beda adalah kemampuan pemerintah Papua untuk membuat perjanjian
internasional dan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representase kultural masyarakat di
pemerintahan. Tapi yang paling penting adalah pengaturan keuangan yang berbeda dengan
daerah otonomi lain di Indonesia.
Ada tiga sumber dana, sejak otonomi diberlakukan di Papua: pertama adalah dana
perimbangan, kedua adalah dana otonomi khusus (otsus), dan ketiga adalah dana
infrastruktur. Dana perimbangan di Papua memiliki kekhususan karena di bidang Migas,
khususnya: pembagian yang dilakukan antara pusat dan daerah adalah 30% dan 70%.
Sementara sumber daya lain di luar itu diperlakukan sama. Lalu untuk bagi hasil Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), 90% diberikan daerah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) 80% bagi daerah, dan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi sebesar 20% bagi
daerah. Papua mendapat dana Otsus sebesar 2% dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional.
Purwandanu menulis, terhitung sepanjang 2002 sampai 2012, Papua memperoleh Rp28,445
triliun dana Otsus dan Rp5,271 triliun dana infrastruktur. Dana ini hanya dialirkan selama 20
tahun. Setelahnya Papua tidak dapat perlakuan khusus mengenai dana. Sementara itu, setelah
25 tahun, pembagian hasil di Migas akan dikurangi menjadi 50%.

2.3 Garis-garis Besar pokok pikiran yang dimasukkan ke dalam


Undang-Undang Otonomi Khusus Papua
2.3.1 Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Provinsi Papua
Salah satu inti pelaksanaan otonomi khusus di Papua adalah pembagian
kewenangan pemerintahan antara Pusat dan Provinsi Papua. Pembagian kekuasaan dan
kewenangan ini bukan semata-mata senagai konsekuensi pemberian status otonomi khusus,
tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan prinsip-prinsip demokratisasi
penyelenggaraan negara dengan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada rakyat
dan daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri secara nyata.
Dengan menggunakan semangat seperti ini, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan untuk mengatur hal-hal sebagai berikut:
(1) Politik luar negeri yaitu bahwa Pemerintah Pusat memiliki kewenangan
penuh mengurus politik luar negeri negara, dan Provinsi Papua termasuk ke dalamnya.
(2) Pertahanan terhadap ancaman eksternal yaitu bahwa Pemerintah Pusat
bertanggung jawab penuh untuk menangkal setiap ancaman eksternal yang bertujuan untuk
menghancurkan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Moneter yaitu pada dasarnya pengaturan sistem moneter di Provinsi
Papua diatur oleh Pemerintah Pusat, namun tidak menutup kemungkinan bagi Provinsi Papua
untuk memiliki sistem mata uang sendiri, di samping Rupiah, apabila memang lebih
memberikan keuntungan kepada rakyat dan perkembangan perekonomian Papua.
(4) Peradilan Kasasi yaitu bahwa proses peradilan tingkat pertama dan
tingkat banding dilakukan di Provinsi Papua, sementara peradilan tingkat kasasi dilakukan di
tingkat nasional. Hal ini sekaligus menunjukkan sistem hukum di Provinsi Papua tetap
merupakan bagian dari sistem hukum nasional Indonesia.
Diluar keempat kewenangan pemerintahan pusat seperti dikemukakan
tersebut, semua kewenangan bidang pemerintahan lain menjadi urusan penuh pemerintahan
Provinsi Papua. Hal ini sekaligus pula berarti bahwa semua ketentuan perundang-undangan
Republik Indonesia yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Undangundang Otonomi
Khusus Papua tidak berlaku di Provinsi Papua

.
2.3.2 Pembagian Kewenangan di dalam Provinsi Papua
Otonomi Khusus Papua berarti bahwa ada hubungan hirarkis antara
pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota, namun pada saat yang sama provinsi,
kabupaten/kota dan kampung masing-masing adalah daerah otonom yang memiliki
kewenangannya sendiri-sendiri. Prinsip yang dianut adalah bahwa kewenangan perlu
diberikan secara proporsional ke bawah, terutama untuk berbagai hal yang langsung berkaitan
dengan masyarakat. Hal ini konsisten dengan salah satu prinsip dasar otonomi yaitu
menempatkan sedekat-dekatnya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ke subjek,
yaitu rakyat. Karena itu, di dalam konteks Otonomi Khusus Provinsi Papua, fungsi-fungsi
pengaturan berada di tingkat provinsi sedangkan fungsi-fungsi dan kewenangan pelayanan
masyarakat diberikan sebesar-besarnya kepada kabupaten/kota dan kampung.
Untuk menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis, profesional dan
bersih, dan sekaligus memiliki ciri-ciri kebudayaan dan jati diri rakyat Papua, serta
mengakomodasi sebanyak mungkin kepentingan penduduk asli Papua, perlu dibentuk empat
badan/ lembaga, yaitu:
1) Lembaga Eksekutif
Tingkat Provinsi dipimpin seorang Gubernur dan di tingkat Kabupaten/ Kota dipimpin oleh
Bupati atau Walikota. Gubernur, Bupati, dan Walikota dipimpin lembaga legislatif. Lembaga
eksekutif berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan Gubernur dipilih oleh
Lembaga Legislatif.
2) Lembaga Legislatif
Lembaga Legislatif terdiri dari dua badan yaitu Dewan perwakilan Rakyat dan Majelis
Rakyat Papua. Sistem ini lazim dikenal dengan istilah bikameral. Keanggotaan DPR adalah
wakil-wakil partai politik yang dipilih rakyat melalui Pemilihan Umum. Keanggotaan MPR
Papua terdiri dari wakil-wakil adat, wakil-wakil agama dan wakil-wakil perempuan yang
dipilih oleh rakyat. Selain bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat bertugas
mengawasi pelaksanaan pemerintahan oleh Lembaga Eksekutif, Majelis Rakyat Papua juga
berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan tugas Dewan perwakilan Rakyat.

3) Lembaga Adat
Mengatur segala sesuatu yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat di wilayah hukum adat
tertentu.
4) Lembaga Peradilan
Berpedoman pada sistem hukum nasional Indonesia. Penyelesaian-penyelesaian perkara
menurut hukum adat juga diberlakukan di Papua.

2.3.3 Ekonomi dan Keuangan


Fokus utama yang ingin dicapai melalui pembangunan ekonomi di Tanah Papua adalah:
1) Memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada penduduk Papua, terutama
penduduk asli Papua yang selama ini terabaikan atau terpinggirkan dalam pembangunan
ekonomi.
2) Mengembangkan kemampuan diri penduduk Papua, terutama penduduk asli Papua,
untuk terlibat secara nyata dalam semua jenis kegiatan perekonomian.
3) Memastikan bahwa semua kegiatan ekonomi yang dilakukan di masa sekarang tidak
mengabaikan menurunnya kualitas kehidupan generasi Papua di masa depan.
Karena itu, pembangunan ekonomi di Tanah Papua dilakukan dengan berpedoman pada hal-
hal berikut ini:
1) Semua usaha perekonomian di Provinsi Papua, termasuk pemanfaatan sumberdaya
alamnya, dilakukan untuk memberikan manfaat dan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi
seluruh rakyat Papua dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, pemerataan,
melindungi hak-hak masyarakat adat, memberi kepastian hukum bagi pengusaha, serta
pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.
2) Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam sebagaimana yang
dimaksud pada butir di atas diupayakan untuk dilakukan sepenuhnya di Tanah Papua.
3) Perizinan dan perjanjian kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati sepanjang tidak
merugikan masyarakat asli Papua dan tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat Undang-
undang Otonomi Khusus Papua.
4) Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan atau masyarakat setempat.
5) Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/ Kota dan
penanam modal harus melibatkan masyarakat adat.

2.3.4 Kesehatan dan Gizi


Rendahnya mutu indikator-indikator kependudukan orang-orang asli Papua
sesungguhnya merupakan refleksi dari rendahnya mutu kesehatan dan gizi penduduk Papua,
terutama orang-orang asli Papua. Hal tersebut terefleksi secara jelas dalam Rancangan
Undang-undang Otonomi Khusus yang mengatur bahwa Pemerintah Provinsi berkewajiban
menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bermutu bagi penduduk.
Untuk menjamin bahwa pelayanan kesehatan bermutu itu dapat dinikmati oleh seluruh
peduduk Papua, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil, ditempuh dua pendekatan:
1) Setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan bermutu dengan
beban biaya yang serendah-rendahnya, dan
2) Peranan penyelenggaraan pelayanan kesehatan diberikan sebesar-besarnya kepada
lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi
persyaratan.
Hal yang sama berlaku pula untuk program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk Papua,
terutama untuk memenuhi kelompok-kelompok rawan gizi seperti ibu-ibu hamil dan balita.

2.3.5 Keagamaan
Salah satu realitas terpenting dari kebebasan suara hati nurani adalah
kebebasan beragama. Dalam kebebasan seperti ini, setiap orang berhak untuk menentukan
sendiri bagaimana ia beragama, ia juga berhak untuk hidup sesuai dengan keyakinan
agamanya, ia juga berhak untuk mengkomunikasikan agamanya kepada orang lain sepanjang
orang itu bersedia tanpa paksaan menerima komunikasi itu, ia juga berhak untuk
meninggalkan agamanya dan memeluk agama baru yang diyakininya, dan bahkan ia pun
berhak untuk tidak didiskriminasikan kaerna agama atau keyakinannya.
Di dalam Otonomi Khusus Papua, dengan berpedoman pada hak-hak manusia
universal, setiap penduduk Papua dijamin hak dan kebebasannya untuk memeluk agama dan
kepercayaannya masing-masing. Maka, agar tercipta suasana yang kondusif bagi
pembangunan keagamaan di Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban untuk:
1) Menjamin kebebasan, membina kerukunan dan melindungi semua umat beragama di
Tanah Papua untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
2)Menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama
3) Mengakui otonomi lembaga keagamaan
4)Memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proposional berdasarkan
jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.
2.3.6 Perlindungan Hak-Hak Adat Penduduk Asli
Salah satu pokok permasalahan yang dihadapi selama ini di Papua adalah
dilanggarnya hak-hak adat penduduk asli. Ada tiga hal pokok yang yang terkait dengan hal
tersebut, yaitu :
a. Dilanggarnya hak-hak adat penduduk asli Papua dalam kaitannya dengan eksploitasi
sumber daya alam.
b. Diabaikannya hak-hak adat penduduk asli dalam kaitannya dengan representasi penduduk
asli Papua dalam badan-badan perwakilan rakyat.
c. Diabaikannya atau kurang diperhatikannya, keputusan-keputusan yang diambil oleh
peradilan adat oleh badan-badan Yudikatif Negara. Keadaan ini merupakan salah satu faktor
utama penyebab timbulnya berbagai ketimpangan sosial dan bahkan perlawanan sosial yang
ditunjukkan oleh rakyat Papua yang tidak jarang dihadapi dengan kekerasan senjata oleh
aparat negara.
Maka didalam Otonomi Khusus Papua, hak-hak penduduk asli Papua ditempatkan
pada posisi yang wajar dan terhormat. Hak-hak adat itu mencakup :
[1] Hak milik perorangan dan hak milik bersama (hak ulayat) atas tanah, air atau laut pada
batas-batas tertentu, serta hutan, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
[1] Hak-hak dalam bidang kesenian maupun hak-hak yang terkait dengan sistem pengetahuan
dan teknologi yang dikembangan oleh masyarakat asli Papua, misalkan obat-obat tradisional
dan yang sejenisnya.
[1] Hak untuk memberikan pertimbangan kepada Parlemen Provinsi ataupun badan
pemerintahan terkait dengan perlindungan hak-hak peduduk asli Papua.
[1] Hak memperhatikan dan menyalurkan aspirasi. Dan hak-hak yang lainnya yang harus
diberikan perlindungan oleh pemerintahan Daerah/Provinsi maupun pemerintahan Negara.

2.3.7Bendera, Lambang dan Lagu Bendera, lambang dan lagu

Sebagaimana yang diusulkan oleh rakyat Papua untuk dimasukkan ke dalam RUU
Otonomi Khusus Papua perlu dilihat dalam konteks kebudayaan dan bukan persoalan politik
negara. Dalam konteks kebudayaan seperti ini, bendera, lambang, dan lagu merupakan
simbol identitas daerah dan simbol kebesaran, keagungan dan keluhuran jati diri orang Papua.
Simbol-simbol itu diyakini sebagai perekat rakyat Papua dan sekaligus sebagai stimulan
untuk memotifasi rakyat Papua agar terus bahu membahu dan bekerja sama untuk mencapai
cita-cita kesejahteraan bersama.
Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol
kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah
yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

2.4 Isu yang beredar terkait dengan Papua


2.4.1 Berbagai Proklamasi Ilegal Papua
Para separatis dewasa ini cenderung mendasarkan tuntutannya untuk merdeka
sebagai hak satu bangsa sebagaimana pernah dilakukan Indonesia dan tercantum dalam
Pembukan UUD 1945. Untuk mengimplementasikan tuntutan tersebut, para separatis
mengambil secara fisik model Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bedanya adalah
Proklamasi Kemerdekaan RI sah menurut hukum di lain pihak proklamasi-proklamasi Papua
melawan hukum. Proklamasi kemerdekaan Indonesia, selain itu, juga dilakukan pada saat
terjadinya vacum of power di Indonesia sebagai akibat menyerahnya Jepang pada tanggal 15
Agustus 1945 tanpa syarat. Belanda mendorong orang-orang Papua/ Irian untuk
memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 1 Desember 1961. Inilah salah satu upaya
mendirikan sebuah negara boneka yang dijawab oleh Indonesia dengan Trikora (Tri
Komando Rakyat).
Pada tanggal 1 Juli 1971 sekelompok orang Papua dipimpin oleh Seth Rumkoren
juga memproklamasikan kemerdekaan Republic of West Papua . Menurut berita
proklamasi ini dilakukan oleh Seth Rumkorem secara lisan tanpa teks. Rumkorem
belakangan lari ke luar negeri. Rupanya proklamasi yang dilakukannya hanya sekedar untuk
menarik simpati kalangan luar negeri agar ia dapat diterima tinggal di negeri asing.
Pada tanggal 14 Desember 1988 Thomas Wanggai memimpin sebuah upacara
bendera memproklamasikan kemerdekaan Papua/ Irian dan atas itu yang bersangkutan telah
dijatuhi hukuman penjara atas tindak makar yang dilakukannya. Thomas Wanggai menyebut
apa yang diproklamirkannya tersebut sebagai negara Melanesia Barat.
Seandainya di kemudian hari ada proklamasi-proklamasi kemerdekaan Papua seperti
di atas maka semua hal tersebut merupakan penentangan terhadap hukum Internasional
terutama Piagam PBB yang mengharuskan penghormatan terhadap keutuhan kedaulatan dan
wilayah sebuah negara merdeka, demikian juga terhadap hukum positif Indonesia, jadi
semuanya bersifat ilegal.
2.4.2 Isu Islamisasi di Papua/ Irian
Salah satu isu yang hingga kini terkadang muncul menyangkut Papua adalah adanya
proses islamisasi di Papua. Dilihat pada struktur masyarakat Papua/ Irian, pemeluk-pemeluk
agama nasrani adalah mayoritas. Kebetulan dunia barat memiliki kebudayaan yang berakar
pada kekristenan sekalipun tidak ada negara barat yang berdasarkan agama. Fakta ini hendak
digunakan para separatis agar memperoleh simpatis dan dukungan dari masyarakat luar
terutama masyarakat barat dengan meniupkan isu adanya islamisasi di Papua/ Irian.
Agama Islam sebenarnya sudah sejak lama masuk ke Papua/ Irian, bahkan
sebelum Belanda memasukkan daerah tersebut ke dalam Hindia Belanda. Hal ini sangat
dimengerti mengingat Papua/ Irian pernah masuk wilayah atau punya hubungan khusus
dengan Kesultanan Tidore dan lain-lain yang berbuadaya Islam.
Setelah selesainya Pepera tahun 1969 memang banyak pendatang ke Papua/
Irian, baik dalam rangka penempatan sebagai pegawai maupun untuk keperluan mencari
nafkah, dan sebagian dari pendatang tersebut adalah pemeluk Islam. Kebebasan warga negara
dalam bergerak dalam wilayah negaranya adalah hal yang lumrah dan sah secara hukum.
Setiap negara memang menjamin kebebasan warganya untuk bergerak di wilayahnya.
Pasal 12 ayat 1 dari The International Covenant n Civil and Political
Rights yang telah diratifikasi Indonesia (UU No. 12 Tahun 2005) menyebut:
Everyone lawfully within the territory a state shal within that territory, have
the right to liberty of movement and freedom to choose his residense.
Orang-orang Papua/ Irian yang berbudaya Kristen atau Nasrani juga banyak
yang pindah ke tempat lain, baik sebagai pegawai, mahasiswa, atau untuk keperluan lain,
namun tidak berarti mereka melakukan kristenisasi di tempat-tempat tersebut.
2.4.3 Isu Persetujuan Roma
Pada tanggal 20 dan 21 Mei 1969, di Roma diselenggarakan pertemuan
Menteri Luar Negeri Adam Malik dengan Menteri Luar Negeri Mr. J. M. A. H. Luris disertai
Menteri Kerjasama pembangunan Belanda, Mr. B. J. Udink. Diskusi kedua pihak lebih
berfokus pada implementasi persetujuan New York mengenai act of free choice dan
pembangunan ekonomi dan sosial di Irian Barat. Dalam kaitan ini, Menlu Adam Malik
menjelaskan persiapan yang dilakukan oleh pemeriantah Indonesia untuk melakukanact of
free choice setelah dilakukan konsultasi jelas dan dengan persetujuan badan-badan
musyawarah setempat dengan saran, bantuan dan partisipasi Wakil Sekjen PBB, Dubes Ortiz-
Sanz dan stafnya. Menteri Luar Negeri Adam Malik juga menjelaskan bahwa karena alasan
praktis dan pertimbangan teknis maka act of free choice akan dilakukan dengan sistem
musyawarah (mutual consultation).
Dalam pertemuan ini, kedua pihak membahas kerjasama ekonomi dimana
disepakati antara lain Pemerintah Indonesia akan mengambil langkah-langkah percepatan
implementasi proyek-proyek FUNDWI, untuk mana Belanda akan mengupayakan
pendanaan. Disepakati juga oleh kedua pihak untuk meminta ADB memberikan bantuan
teknis untuk Irian Barat. Adalah jelas bahwa join statement tidak memuat janji kemerdekaan
bagi Irian/ Papua Barat seperti diisukan oleh pihak-pihak tertentu.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulam
Dari uraian yang terdapat dalam Bab Pembahasan, maka dapat disimpulkan
menjadi beberapa poin, yaitu :
1.Bahwa Otonomi Khusus Papua adalah kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan
mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan
mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung
penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang
kekurangan, dan diberikannya perlakuan yang berbeda karena kekhususan yang dimilikinya.
2. Dalam Undang-Undang Otonomi Khusus di Papua terdapat beberapa point penting
mengenai
a. Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Provinsi Papua
b Pembagian Kewenangan di dalam Provinsi Papua
c Ekonomi dan Keuangan
d. Kesehatan dan Gizi
e. Keagamaan
f. Perlindungan Hak-Hak Adat Penduduk Asli
g. Bendera, Lambang dan Lagu Bendera, lambang dan lagu

3.2 Saran
Otonomi Khusus Papua ini memang banyak mengandung pro dan kontra dari
daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan dari pihak intern. Anggapan dari Rumusan Otonomi
Khusus Papua ini adalah upaya pemisahan diri Papua secara perlahan dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ini bisa dilihat dari berbagai isu terkait tentang Tanah Papua.
Isu-isu seperti ini yang memancing asumsi-asumsi publik secaara luas untuk menggagalkan
Rancangan Otonomi Khusus Papua.
Tetapi, jika melihat jauh lebih positif, upaya Tanah Papua ini dapat lebih kita
perhatikan demi kesetaraan yang wajar di dalam wilayah Republik Indonesia. Kita melihat
rancangan ini sebagai upaya Papua untuk bangkit dari keterpurukannya selama ini dan
menuju Papua Baru. Ini juga akan berdampak baik bagi pengembangan dan kemajuan negara
Indonesia. Kita dukung saja Rancangan Otonomi Khusus Papua ini selama kebijakannya
masih relevan sebagai negara kesatuan Republik Indonesia, dan tidak menyimpang dari pada
itu. Hanya saja pemerintah, agar lebih memperhatikan Tanah Papua lebih dari wilayah lain
mengingat tingkat pembangunannya yang sangat minim, agar Papua tidak sampai
merealisasikan keinginannya untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai