v Peristiwa Trisakti
Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum (SU) MPR 1998 diadakan oleh mahasiswa
Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakan SU MPR 1998 demonstrasi mahasiswa
semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai akhirnya berlanjut
terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di
depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor
karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan
aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tingi di Jakarta
merencanakan untuk secara serentak melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi
sekitar Jabotabek.Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di Bogor
sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan masuk rumah
sakit.
Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob
dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada
tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan
kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal
orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis
sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi.
Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya
terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung sepanjang sore
hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik
mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka.
Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan
perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa
dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam.
v Peristiwa semanggi
Awal pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa
untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan
dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J.
Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak
untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde
Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi
ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan
mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar
lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan
dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya
Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang
dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-
masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Garis waktu
Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba,
bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi.
Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke
gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil
menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga
Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan
mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan
mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar,
yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia
meninggal dunia.
Esok harinya Jumat tanggal 13 November 1998 mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan
mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di
kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam
hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju
mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah
sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Deskripsi
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar
jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat
melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah
penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu
juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah
Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban
meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat
kawan-kawan sekaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah
Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas
Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong
rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai dari
jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa
di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban
berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan
masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas
airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17
orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo
(Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas
Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik,
Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban,
yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar
SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4
orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami
luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul.
Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat
lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil
berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala[3][4].
v Tragedi Semanggi II
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan
kepada aksi-aksi mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat
memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan
militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama
menentang diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan
Universitas Atma Jaya.
Daerah lainSelain di Jakarta, pada aksi penolakan UU PKB ini korban juga berjatuhan di
Lampung dan Palembang. Pada Tragedi Lampung 28 September 1999, 2 orang mahasiswa
Universitas Lampung, Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah, tewas tertembak di depan
Koramil Kedaton. Di Palembang, 5 Oktober 1999, Meyer Ardiansyah (Universitas IBA
Palembang) tewas karena tertusuk di depan Markas Kodam II/Sriwijaya.
1. Krisis Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkanpermasalahan politik.
Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu,bahkan lebih banyak di
pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telahdisebutkan bahwa Kedaulatan
adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya olehMPR. Pada dasarnya secara de jore
(secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukanoleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat,
tetapi secara de facto (dalam kenyataannya)anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga
sebagian besar anggota MPR itudiangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).Hal
tersebut mengkibatkan suksesi politik pemeritah menjadi tidak terlaksanadengan baik. Kondisi
tersebut memicu munculnya kondisi status quo yang berakibat padamunculnya krisis politik,
baik itu dalam tatanan elite politik maupun masyarakat ynagmulai mempertanyakan legitimasi
pemerintahn Orde Baru.Begitu mengakarnya budaya KKN dalam tubuh birokrasi
pemerintahan,menyebabkan proses pengawasan dan pemberian manadaritas kepemimpinan dari
DPR dan MPR kepada presiden menjadi tidak sempurna. Unsur legislatif yang
sejatinyadilaksanakan oleh MPR dan DPR dalam membuat dasar-dasr hukum dan haluan
Negaramenjadi sepenuhnya dilakukan oleh Presiden Soekarno.Selanjutnya dengan keadaan
seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR, dan
MPR. Ketidak percayaan itulah yangmenimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan
reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan
DPR dam MPR yangdipandang sarat dengan nuansa KKN.Gerakan reformasi juga menuntut
agar dilakukan pembaharuan terhadap limapaket undang-undang politik yang dianggap menjadi
sumber ketidakadilan, di antaranya :
Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional
kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa
dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan
terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan
konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional,
saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet
Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi
tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana
pembentukan Komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai
bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet
Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat
menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan
memperhatikan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan
pimpinan DPR dan pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk
menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan
pernyataan ini pada hari Kamis 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-
saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai
Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof Dr Ir BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa
waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama
saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila
ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan
Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VI demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan
terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan
sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan
melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.
Sesaat kemudian, Presiden Soeharto menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof Dr Ing BJ
Habibie. Setelah melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi memangku jabatan
presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan Presiden Soeharto, pimpinan dan
wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa saja yang turut dalam pengucapan
sumpah jabatan presiden ketika itu
2.Krisis Moneter
Di tengah ketegangan politik, bangsa Indonesia menghadapi persoalan lain,yaitu adanya krisis
moneter. Akibat adanya krisis moneter kepercayaan masyarakatterhadap kepemimpinan
Soeharto semakin berkurang. Gelombang demonstrasimahasiswa semakin tidak dapat
dibendung.Pada tanggal 19 mei 1988, mahasiswa dari berbagai kampus yang
jumlahnyamencapai puluhan ribu orang teru berdatangan kegedung MPR/DPR. Mereka
mendesak Soeharto mundur dari kursi presiden dan menuntut reformasi total.Salah satu
penyebab mundurnya Soeharto adalah melemahnya dukunganpolitik, yaitu terlihat dari
prnyataan politik Kosgoro (salah satu organisasi di bawahGolkar) yang meminta Soeharto
mundur. Pernyataan Kosgoro pada tanggal 16 mei 1998tersebut diikuti dengan pernyataan Ketua
Umum Golkar , Harmoko yang pada saat itujuga menjabat sebagai ketua MPR/DPR RI meminta
Soeharto untuk mundur.Keroposnya perokonomian Indonesia semakin parah karena tindakan
parakonglomerat yang menyalahgunakan posisi mereka sebagai pelaku pembangunanekonomi.
Karena berkembangnya budaya KKN, menyebabkan para konglomerat bisabertindak dengan
leluasa tanpa ada kontrol terjadi pula di beberapa negaraAsia Tenggara sepoerti di Malaysia,
Thailand, Filipina, dan Indonesia. pelaku spekulan.Meskipun banyak faktor yang menyebabkan
krisis moneter ini, namun salah satu sebabutamanya adalah para spekulan asing yang telah
memborong dolar lalu menjualnyadengan harga tinggi sehingga mata uang negara ASEAN
terpuruk. Spekulan yangterbesar pada era krisis tersebut adalah George Soros.Pada masa Orde
Baru, perekonomian lebih menberikan kentungan bagikaum modal atau konglomerat. Hal
tersebut adalah wujud dari prakti-praktik KKN yangmengakibatkan rakyat semakin miskin dan
tidak berdaya. Berkut adalah krisis ekonomi:
a) Kurs rupiah terhadap dolar Amerika melemah pada tanggal 1Agustus 1997.
e) Perusahaan milik negara dan swasta banyak yang tidak dapatmembayar utang luar negeri yang
akan dan telah jatuh tempo.
Pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang dari
sistem perekonomian Indonesia. Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi
ekonomi , produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat ditafsirkan bukan merupakan
kemakmuran orang per orang, melainkan kemakmuranseluruh masyarakat dan bangsa Indonesia
berdasarkan atas asas kekeluargaan.Perekonomian berdasarkan asas demokrasi ekonomi
bertujuan untuk menciptakankemakmuran bagi semua orang. Oleh karena itu, cabang-cabang
produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Jika tidak maka akan jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan akan merugikan rakyat.
Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem
ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli,
oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari
Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan pasal 33 UUD 1945
yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan sumber alam kita.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan
Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil
di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat
pendidikan yang masih rendah.
Adapun bentuk-bentuk penyimpangan UUD 1945 pada masa Orde Baru meliputi, antara lain :
bentuk bentuk penyimpangan UUD 1945 pada masa Orde Baru meliputi, antara lain
1. Terjadi pemusatan kekuasaan di tangan presiden, sehingga pemerintahan dijalankan secara
otoriter
2. Berbagai lembaga kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hanya melayani
keinginan pemerintah (presiden)
3. Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis, pemilu hanya menjadi sarana untuk
mengukuhkan kekuasaan presiden, sehingga presiden terus menerus dipilih kembali
4. Terjadi monopol penafsiran Pancasila. Pancasila ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah
untuk membenarkan tindakan tindakannya.
5. Pembatasan hak hak politik rakyat, seperti hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat
6. Pemerintah campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan kehakiman
tidak merdeka
7. Pembentukan lembaga lembaga yang tidak terdapat dalam konstitusi, yaitu Kopkamtib yang
kemudian menjadi Bakorstanas
8. Terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang luar biasa parahnya sehingga merusak segala
aspek kehidupan, dan berakibat pada terjadinya krisis multidimensi .
3. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Sejak
munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalanganmahasiswa, masalah hukum juga
menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakatmenghendaki adanya reformasi di bidang hukum
agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.
4. Krisis Kepercayaan
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelahpemerintah
mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4Mei 1998. Puncak
aksi para mahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di UniversitasTrisakti Jakarta. Aksi mahasiswa
yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasansetelah tertembaknya empat orang
mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, HeriHartanto, Hendriawan Lesmana, dan
Hafidhin Royan.Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari
kalangankampus dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak
demokratis dan tidak merakyat.Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat
agar PresidenSoeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana
kunjunganmahasiswa ke Gedung DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan
DPR /7
MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal digedung
wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan para
mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto mengundurkan diriakhirnya mendapat
tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka padatanggal 18 Mei 1998
pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar PresidenSoeharto mengundurkan
diri.Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh
masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang pembentukanDewan
Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umumdan tidak bersedia
dicalonkan kembali sebagai Presiden.Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan
Reformasi danperubahan kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998
PresidenSoeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik
Indonesiadan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia,
B.J.Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai PresidenRepublik
Indonesia yang baru di Istana Negara
5. Krisis Sosial
Pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, Indonesia mengalami gejolak politik yang tinggi baik
di tatanan pemerintahan maupun ditingkat pergerakan rakyat danmaahsiswa.Suhu politik yang
memanas menimbulkan berbagai potensi perpecahan sosialdi masyarakat.Pola transmigrasi yang
diterapkan oleh pemerintah tidak diiringi denganpenanganan solidaritas sosial di daerah tujuan.
Pada akhirnya kecemburuan sosial akibatadanya disparitas tingkat perekonomian tidak daapt
dihindari. Kondisi inilah yangkemudian memicu tuntutan kepada pemerintah pusat untuk
mereformasi polapembangunan ekonomi. Tuntutan inilah yang kemudian memunculkan
kesadaranmasyarakat Indonesia akan pentingnya reformasi bagi kehidupan bangsa