Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Postpartum
1. Pengertian Postpartum
Periode nifas atau yang biasa disebut postpartum adalah suatu
peristiwa atau keadaan kembalinya organ-organ reproduksi perempuan
pada kondisi tidak hamil setelah menjalani masa kelahiran, dengan
membutuhkan waktu sekitar 6 minggu (Farrer, 2001).Sedangkan
dalamBobak, (2005) mengatakan bahwa postpartum atau pascapartum
adalah kembalinya organ reproduksi perempuan selama enam minggu
pada kondisi sebelum hamil. Dari kedua pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa postpartum adalah suatu proses kembalinya organ
reproduksi perempuan pada fase setelah melahirkan hingga minggu ke-6.

2. Adaptasi Fisiologis Postpartum


Pada ibu postpartum dapat terjadi beberapa adaptasi psikologis, di
antaranya terjadi perubahan tanda-tanda vital, sistem kardiovaskuler,
system endokrin, system perkemihan, system pencernaan, hematologi dan
pada organ reproduksi (Bobak, 2005) meliputi :
a. Tanda-tanda vital; biasanya penurunan denyut nadi hingga 50-70
kali/menit. Peningkatan suhu 0,50C akibat dari banyaknya
pengeluaran cairan saat persalinan dan adanya fase deuresis.
Sedangkan penurunan tekanan darah hingga 15-20 mmHg saat
perubahan posisi atau disebut hipotensi orthostatik.
b. System perkemihan; selama proses persalinan trauma pada kandung
kemih dapat terjadi di akibatkan oleh bayi sewaktu melewati jalan
lahir. Kombinasi trauma akibat persalinan dapat meningkatkan
kapasitas kandung kemih dan efek konduksi anestesi dapat
menyebabkan keinginan berkemih menurun. Penurunan kandung
kemih seiring deuresis pascapartum dapat mengakibatkan distensi

7
8

kandung kemih. Sehingga pada keadaan ini dapat menyebabkan


perdarahan karena bisa menghambat keadaan kontraksi uterus.
Deuresis pascapartum salah satu penyebabnya yaitu akibat penurunan
kadarhormone esterogen yang merupakan mekanisme lain untuk
mengatasi kelehihan cairan.
c. System pencernaan; perubahan buang air besar dapat terjadi, keadaan
ini disebabkan karena menurunnya tonus otot usus pada waktu awal
setelah persalinan.
d. System kardiovaskuler; terjadinya perpindahan normal cairan tubuh
yang menyebabkan volume darah menurun dengan lambat, volume
darah biasanya menurun sampai mencapai volume sebelum hamil
pada minggu ketiga dan keempat setelah bayi lahir.
Denyut jantung, volume sekuncup, dan curah jantung meningkat
sepanjang masa hamil.Bila pemeriksaan pada perempuan setelah
melahirkan dilakukan dalam waktu 8 sampai 10 minggu, nilai curah
jantung dapat kembali kekeadaan normal.
e. Hematologi; volume plasma darah yang hilang selama 72 jam
pertama pasca melahirkan lebih besar dari pada sel darah yang hilang.
Normal leukosit saat kehamilan 12.000/mm3. Namun, kenaikan
leukosit selama 10 sampai 12 hari setelah melahirkan dapat terjadi
sekitar 20.000 dan 25.000 /mm3 , keadaan ini merupakan hal yang
wajar.
f. System endokrin; perubahan hormon terjadi selama periode
postpartum. Setelah pengeluaran plasenta, kadaresterogen dan
progesterone mengalami penurunan, hal ini terjadi hingga satu
minggu postpartum. Sedangkan pada kadarprolaktin terjadi
peningkatan selama masa hamil hingga menyusui sampai pada
minggu keenam postpartum.
g. Organ reproduksi
1) Uterus, caliber pembuluh ekstrauterus dapat berkurang hingga
hampir mencapai keadaan sebelum hamil setelah melahirkan.
9

Lubang serviks berkontraksi secara perlahan, hingga beberapa hari


lubang ini masih bisa dimasuki oleh dua jari. Setelah itu uterus
mulai menciut hingga dalam waktu dua minggu uterus turun
kedalam rongga panggul sejati. Dan kembali pada keadaan normal
seperti sebelum hamil dalam kurun waktu sekitar 4 minggu
(Leveno, 2009).
2) Vagina dan perineum; penurunan esterogen pascapartum dapat
mempengaruhi dalam penipisan mukosa vagina. Kembalinya
vagina secara bertahap dari keadaan sebelum hamil dapat terjadi 6
sampai 8 minggu pasca melahirkan.

3. Proses Adaptasi Psikologis


Penyesuaian ibu terhadap peran sebagai orang tua ada 3
fase.Dimana dalam fase-fase ini ditandai oleh prilaku dependen, prilaku
dependen mandiri sampai prilaku interdependen (Bobak, 2005).
a. Fase dependen
Merupakan fase periode ketergantungan yang terjadi selama satu
sampai dua hari pasca melahirkan. Pada fase ini ibu berharap bahwa
segala kebutuhannya bisa dipenuhi oleh orang lain, sehingga ibu
dapat memindahkan energy psikologisnya terhadap bayinya. Rubin
mengatakan periode ini sebagai fase menerima (taking-in
phase).Selain itu Rubin juga menjelasakan bahwa fase ini terjadi
selama 2 sampai 3 hari. Selain itu ibu suka menginformasikannya
kepada orang lain tentang persalinannya. Namun, ke asikkan dan
kecemasan terhadap peran barunya ini dapat mengakibatkan ibu
mudah sensitif.Sehingga membutuhkan pemahaman yang baik dalam
menyampaikan informasi atau berkomunikasi.
b. Fase dependen-mandiri
Pada fase ini muncul kebutuhan ibu dalam mendapat perawatan dan
penerimaan dari orang lain, serta berkeinginan untuk bisa melakukan
segala sesuatu dengan mandiri. Ibu juga mulai belajar dalam merawat
10

bayinya.Rubin menjelaskan bahwa keadaan seperti ini disebut sebagai


fase taking-hold yang terjadi kira-kira hingga 10 hari.Keseriusan
dalam mengurus bayi dan tanggung jawab baru dapat membuat ibu
mudah jenuh akibat dari kurangnya dukungan yang tidak
diterimanya.Sehingga mudah bagi ibu untuk timbul perasaan seperti
depresi.Oleh sebab itu, ibu dengan fase ini membutuhkan dukungan
yang baik untuk merawat diri dan bayinya.
Selama kehamilannya sampai enam bulan pasca melahirkan, ibu akan
mengalami terjadinya perubahan peran. Tidak adanya pengalaman
pada masa lalu biasanya akan menyebabkan ketegangan, peran
konflik dan kesulitan yang dirasakan oleh ibu. Sehingga dibutuhkan
peranan keluarga dalam memberikan dukungan terkait dengan
pemahaman terhadap informasi mengenai peran baru yang di
alaminya (Cahyo, 2008).
c. Fase interdependen
Fase interdependen atau yang biasa disebut dengan fase letting-go
merupakan fase dimana muncul antara ibu dan keluarganya bergerak
maju sebagai suatu system dengan anggota saling berinteraksi.
Tuntutan utama ialah menciptakan suatu gaya hidup yang melibatkan
anak dalam beberapa hal. Kesenangan dan kebutuhan sering terbagi
dalam fase ini.Serta ibu dan ayah mulai melakukan aktifitas sebagai
peran baru yang di alaminya, seperti mengatur rumah dan membina
karier.

B. Postpartum Blues
1. Pengertian postpartumblues
Postpartum blues merupakan keadaan yang terjadi setiap waktu
setelah perempuan melahirkan, tetapi sering terjadi pada hari ketiga atau
ke-4 yang memuncak pada hari kelima dan ke-14 postpartum(Bobak,
2005).Gale & Harlow, (2003) menjelaskan post partum blues merupakan
sebagai bentuk gejala ringan atau depresi sementara dengan durasi 3-7
11

hari pasca melahirkan. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa


postpartum blues merupakan gejala seperti depresi ringan yang terjadi
sementara atau salama beberapa jam setelah melahirkan dengan durasi 3-
7 hari dan dapat memuncak pada hari yang ke-14 postpartum.

2. Penyebab postpartum blues


Penyebab dari postpartum blues sampai saat ini masih belum
diketahui secara pasti. Namun, didalam beberapa penelitian postpartum
blues dikarenakan ada beberapa faktor predisposisi yang mempengaruhi,
di antaranya faktor internal dan faktor eksternal (Bobak, 2005; Fatimah,
2009; Afiyanti, 2002).
Faktor internal yang berperan salah satunya adalah adanya
perubahan kadar hormon. Selama kehamilan kadar hormon (progesteron,
esterogen, prolaktin, kortisol, endorphin) akan mengalami kenaikan, dan
setelah melahirkan kadar hormon tersebut akan pengalami penurunan.
Sehingga dapat mempengaruhi pada perubahan fisik, psikis, dan mental
ibu (Gale & Harlow, 2003).
Selain hormon, faktor internal lain yang dapat mempengaruhi,
yaitu: Faktor usia; Usia dalam persalinan dan melahirkan seringkali di
kaitkan dengan masalah ini. Usia yang terlalu muda untuk hamil akan
memicu resiko bagi ibu dan anak dari segi fisik dan psikis baik itu selama
kehamilan maupun persalinan (Rusli, 2011). Kehamilan pada usia remaja
akancenderung mengalami resiko seperti anemia yang berpotensial pada
hampir semua perempuan hamil, hepetensi kehamilan dan disproporsi
sevalopelvis (CPD), kelahiran yang menyebabkan kemungkinan berat
badan bayi rendah (BBLR), selain itu orang tua remaja tahap awal ini
akan memiliki angka mortalitas pascaneonatus, sindrom kematian bayi
mendadak (sudden infant death syndrome, SIDS) (Bobak, 2005). Remaja
yang hamil akan cenderung menutupi kehamilannya karena mereka tidak
ingin diketahui, sehingga remaja akan gagal memdapatkan perawatan
prenatal sebelum trimester tiga (Bobak, 2005).
12

Faktor fisik; Kelelahan fisik akibat proses persalinan yang baru di


alaminya dapat berperan serta munculnya postpartum blues. Seperti
dehidrasi, kehilangan banyak darah dan faktor lain yang dapat memicu
penurunan stamina ibu ikut menyebabkan munculnya emosi ibu pasca
persalinan (Rahmandani, 2008).
Kehamilan yang tidak direncanakan; Merencanakan kehamilan
terkait dengan kesiapan ibu, baik fisik, mental maupun ekonominya.
Apabila ibu mempunyai kesiapan fisik, mental yang kuat akan
mempengaruhi keadaannya seperti stress dan cemas dalam menghadapi
kehamilan dan persalinan, sehingga nantinya ibu akan lebih bisa
beradaptasi dengan peran barunya. Namun, beda halnya pada perempuan
yang belum siap terhadap kehamilannya, misalnya hamil diluar nikah dan
pada ibu yang tidak menginginkan anak lagi, resiko terhadap kejadian
depresi pasca melahirkan kemungkinan akan lebih tinggi. Selain itu
remaja tahap awal yang dalam masa hamil juga beresiko BBLR, kematian
bayi dan abortus (Bobak, 2005).
Jenis Persalinan; Jenis persalinan merupakan satu dari faktor dapat
yang mempengaruhi terjadinya postpartum blues. Perempuan yang sudah
terbiasa dengan prosedur yang diberikan rumah sakit mungkin
mempunyai aksi terhadap gangguan mental lebih sedikit dibandingkan
dengan mereka yang belum pernah mengenalnya sama sekali (Dewi,
2012). Intervensi medisyang tidak di inginkan mungkin juga akan dapat
menimbulkan perubahanemosional, misalnya; persalinan yang lama,
penggunaan obat-obatan, induksi persalinan, analgesia epidural, peralatan
yang digunakan untuk membantu persalinan (ekstraksi forseps dan
vakum) atau bahkan sampai yang ke- tindakan operatif. Persalinan darurat
yang tremasuk dalam persalinan yang tidak direncanakan. Hal ini
dilakukan karena biasanya adanya ketidakseimbangan antara ukuran
bentuk kepala janin dengan panggul ibu atau mungkin alasan janin (janin
stres) (Dewi, 2012). Sehingga dapat menjadikan ibu sebagi trauma fisik
yang di alami selama proses persalinan sehingga akan semakin besar pula
13

trauma psikis yang di alami perempuan yang pada akhirnya menyebabkan


depresi pasca persalinan (Ibrahim, Rahma, & Ikhsan, 2012).
Faktor pengalaman ibu; Ibu yang sudah pernah mengalami
melahirkan secara psikologis akan lebih siap dalam mengahadapi bayinya
dibandingkan ibu yang baru pertama kali mengalami kelahiran bayinya.
Perempuan yang baru pertama kali melahirkan akan lebih umum
menderita depresi karena setelah melahirkan perempuan tersebut dalam
rentang adaptasi baik fisik maupun psikisnya (Ibrahim, 2012). Menurut
Dewi, (2012) hal ini dikarenakan pada perempuan yang primipara masih
merasakan kekhawatiran mengenai perubahan bentuk tubuh, menjadi
peran baru dan dukungan sosial yang terjadi terhadap dirinya.
Faktor eksternal yang mempengaruhi meliputi: Status sosial
ekonomi; Salah satu faktor terjadinya postpartum blues yaitu adanya
status sosial ekonomi yang tidak mendukung. Keadaan ekonomi yang
kurang mendukung tersebut dapat mengakibatkan stress dalam keluarga,
sehingga dapat mempengaruhi depresi ibu postpartum seperti keadaan
emosional, yang dapat mengakibatkan konflik dalam keluarga (Ibrahim,
2012). Hal ini dikarenakan berhubungan lansung dengan kebutuhan bayi
dan perawatanpada bayi yang membutuhkan banyak kebutuhan. Sehingga
keadaan yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan karena menerima
kelahiran bayi, bisa menimbulkan tekanan karena adanya perubahan baru
dalam hidup seorang perempuan (Ibrahim, 2012).
Pendidikan; Pendidikan ibu yang rendah dapat mempengaruhi
adanya kejadian postpartum. Pada ibu yang memiliki pendidikan rendah
akan cenderung mempunyai banyak anak dan tehnik dalam perawatan
bayi pun kurang baik (Machmudah, 2010). Sedangkan dalam Rusli,
(2011) menyatakan bahwa ibu yang mempunyai pendidikan tinggi akan
menghadapi konflik peran dan tekanan sosial antara tuntutan sebagai ibu
yang bekerja dan sebagai ibu rumah tangga. Selain itu hal ini juga
dinyatakan oleh penelitian Manurung, (2011) bahwa ibu yang
berpendidikan SD/SMP akan berpeluang mengalami postpartum
14

bluessebesar empat kali dibanding ibu yang berpendidikan SLTA atau


Diploma I.
Dukungan sosial seperti suami dan keluarga; Dukungan dari suami
merupakam bentuk interaksi sosial yang nyata, yang didalamnya terdapat
hubungan saling memberi dan menerima bantuan yang pada akhirnya
akan dapat memberikan cinta dan perhatian (Fatimah, 2009). Wanita yang
merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai oleh keluarganya tentunya
tidak akan merasa dirinya kurang berharga. Sebaliknya wanita yang
kurang mendapatkan dukungan sosial akan mudah merasa bahwa dirinya
tidak berharga dan kurang diperhatikan oleh keluarga (Urbayatun, 2010).
Dampaknya apabila kurangnya dukungan dari suami dan keluarga pada
ibu postpartum dapat membuat ibu lebih sensitif dan cenderung
mengalami depresi (Machmudah, 2010; Urbayatun, 2010).

3. Tanda dan gejala postpartum blues


Gejala postpartum blues biasanya terjadi pada hari ketiga atau
keempat pascapartum dan memuncak pada hari kelima atau ketujuh
sampai keempat belas pasca partum. Hal ini dapat ditandai dengan
perasaan mudah marah, sedih, perasaan kesepian atau ditolak, cemas,
bingung, gelisah, letih, pelupa, cenderung mudah menangis, jengkel,
perasaan putus asa bahkan sampai ibu merasa enggan untuk mengurus
bayinya sendiri (Fatimah S., 2009; Bobak, 2005; Cury, 2008).
Sebenarnya, untuk menetapkan kategori blues cukup sulit karena
ketiadaannya alat dalam pengkajian standar yang digunakan untuk
mendiagnosis terjadinya blues. Sehingga dalam penjelasannya Kennerley
dan Gath, seseorang mengalami postpartum blues apabila ditemukan
tujuh tanda dan gejala seperti; perubahan mood, merasa rendah, cemas,
merasa terlalu emosional, mudah menangis, letih, bingung dan pikiran
yang mudah kacau (Bobak, 2005).
15

4. Penatalaksanaan pada postpartum blues


Perempuan pada umumnya, mereka tidak mau bercerita bahwa
mereka mengalami postpartum blues atau gangguan depresi ringan,
karena merasa malu dan takut mendapatkan anggapan bahwa mereka
tidak mampu untuk menjadi seorang ibu (Latifah & Hartati, 2006).
Sehingga peran perawat maternitas disini sangat diperlukan untuk
melakukan deteksi dan pencegahan terhadap kejadian postpartum blues
agar tidak berkembang kedalam depresi postpartum dan postpartum
psykosis (Soep, 2009).
Ada beberapa bantuan yang dapat dilakukan untuk mengatasi ibu
yang mengalami gangguan setelah melahirkan dalam (Bobak, 2005;
Soep, 2009); a).Mengidentifikasi gangguan suasana hati postpartum
dengan cara waspada terhadap tanda-tanda dan gejala gangguan suasana
hati, b). Bantulah ibu untuk bersikap terbuka dalam berkomunikasi
dengan orang lain, seperti menceritakan tentang apa yang di alaminya
terutama terhadap orang yang berpengalaman, c). Libatkan ayah atau
pasangan untuk membantu dalam merawat bayi, d).Upayakan untuk
banyak istirahat dan tidur selama bayitidur, e). Hentikan membebani diri
sendiri untuk melakukan semuanya sendirian, kerjakan apa yang dapat
dilakukan saja dan berhenti ketika merasa lelah, f). Jangan sendirian
dalam waktu yang lama, pergilah keluar rumah untuk merubah suasana
hati, g).Mintalah bantuan untuk mengerjakan rumah tangga dan mintalah
pada suami untuk mengangkat bayi untuk disusui pada malam hari, h).
Mendukung dan memberikan terapi klien dan keluarganya dengan cara
melibatkan keluarga dalam rencana perawatan dan bantu untuk membuat
jadwal rencana rujukan, i). Mendukung upaya ikatan orang tua dan bayi
dengan cara beri dukungan untuk perawatan lanjutan ibu kepada bayinya.

5. Dampak postpartum blues terhadap bayi


Ibu yang mengalami gangguan pasca persalinan dapat berpengaruh
negative terhadap bayinya. Apabila hal ini tidak di obati
16

akanmenimbulkan efek buruk, baik itu jangka panjang ataupun jangka


pendek terhadap ibu dan pada perkembangan bayinya. Karena bayi yang
dibesarkan dari ibu yang mengalami depresi akan cenderung beresiko
memiliki prilaku kasar atau nakal, terutama bila anak sudah mencapai
umur 11 tahun (Ayu & Lailatushifah, 2008). Selain itu, dapat
mempengaruhi antara tali kasih ibu dan anak, karena pada kondisi mental
ibu yang terganggu dapat mengakibatkan kurangnya perhatian ibu dalam
merawat, mengasuh serta membesarkan anak. Sehingga dampak yang
terjadi, bisa saja anak memiliki kemampuan kognitif yang kurang
dibandingkan anak-anak dari ibu yang tidak mengalami gangguan depresi
postpartum dan kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan anak-anak
lain juga akan berpengaruh (Latifah & Hartati, 2006).

C. Menyusui
Menyusui merupakan suatu cara dalam pemberian makanan yang alamiah
kepada bayi dimana pemberiannya langsung dari payudara ibu (Anggraini,
2011; Rejeki, 2008). Dalam Bobak, (2005) ibu yang belum berpengalaman
dalam menyusui akan mengalami masalah baik kecil maupun besar dalam
menyesuaikan diri terhadap menyusui. Keberhasilan atau kegagalan dalam
menyusui tergantung pada tersedianya bantuan pada minggu-minggu awal
ibu pospartum (Bobak, 2005).
Banyak faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan ASI pada bayi
baik yang bersifat internal (motivasi, stress, persepsi, ketekunan) maupun
yang bersifat eksternal (dukungan sosial dari keluarga dan masyarakat,
keterlibatan pihak-pihak dalam persalinan) (Rahmah, 2008).

D. Endinburgh Postnatal depresi Scale (EPDS)


King, (2012) menjelaskan EPDS digunakan untuk mengukur gejala
tingkat depresi pada perempuan postpartum dari segi ras, etnis dan
sosioekonomi yang melatarbalakangi resiko terjadinya depresi. EPDS dapat
17

digunakan selama 7 hari pasca persalinan sampai dengan 6 minggu, dan


biasanya terdiri dari 10 pertanyaan.
Di Indonesia hal ini pernah digunakan oleh Latifah & Hartati, (2006)
yang meneliti tingkat keefektifan skala Endinburgh dan skala Beck dalam
mendeteksi resiko depresi postpartum di RSU Prof. DR. Margono Soekarjo
Purwokerto yang mendapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan antara skala
pengkajian Endinburgh dan skala Beck dalam mendeteksi risiko timbulnya
depresi postpartum.
Cara penilaian EPDS: pada pertanyaan 1, 2, 4 mendapatkan nilai 0, 1, 2,
atau 3 dengan kotak paling atas mendapatkan nilai 0 sedangkan kotak paling
bawah mendapatkan nilai 3. Pertanyaan 3, 5, sampai 10 merupakan penilaian
yang terbalik, dengan kotak paling atas mendapatkan nilai 3 sedangkan kotak
paling bawah mendapatkan nilai 0. Pertanyaan yang ke-10 merupakan
pertanyaan yang menunjukkan keinginan bunuh diri. Skor nilai maksimal 30.
Kemungkinan responden mengalami depresi jika hasil nilai menunjukkan
angka 10 atau lebih.
Cara pengisian EPDS: para ibu atau responden diharapkan memberikan
jawabanya tentang perasaan yang terdekat dengan pertanyaan yang tersedia
dalam 7 hari terakhir. Semua pertanyaan yang ada di dalam tool harus
dijawab dan jawaban tersebut harus berasal dari responden sendiri. Hindari
responden berdiskusi dengan orang lain atau anggota keluarga lain kecuali
bila responden tidak bisa membaca atau belum mengerti dengan maksud
pertanyaan tersebut.
18

E. Fokus Penelitian
Gambar 2.1 Fokus Penelitian

Pemahaman tentang
pengertian menyusui

Pengalaman menyusui Faktor yang

pada ibu yang melatarbelakangi

mengalami postpartum blues pada

postpartum blues ibu yang menyusui

Dampak postpartum
blues terhadap peran ibu
dalam menyusui

Sumber: Bobak, 2005; Fatimah, 2009; Dewi, 2012; Manurung, 2011

Anda mungkin juga menyukai