Anda di halaman 1dari 15

Pendidikan Kewarganegaraan

Hukum Humaniter Internasional

Disusun Oleh:
Nama : Ardi Utama
No. Kelas : 50
Kelas : XII-IPA
I. PENDAHULUAN
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk

menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-

negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu

konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172).

Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern

menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi

negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.

Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi

korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum

perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen

internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan

Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat

pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa

perang maupun damai.

Selama keadaan perang atau keadaan darurat berlangsung, pemenuhan hak asasi tertentu

mungkin dibatasi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu. Pasal 4 Kovenan Internasional tentang

Hak Sipil dan Politik mengizinkan negara melakukan upaya-upaya yang bersifat sementara

megabaikan beberapa kewajiban negara berdasarkan konvenan ketika terjadi keadaan

darurat yang mengancam keselamatan bangsa, tapi hanya sejauh yang sangat dibutuhkan

oleh keadaan yang bersifat darurat( Komnas HAM, 1998, 72).

Dalam konteks lokal (Aceh), barangkali materi ini terasa semakin penting, sebab terdapat

berbagai kasus yang bisa menjurus kepada konflik bersenjata, dan dengan latar belakang

mana, menimbulkan pertanyaan : bagaimana penerapan Hukum Humaniter di dalam konflik-

konflik di daerah ini? Bagaimana pula aspek Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam penerapan

tersebut? dan perlukan Hukum Humaniter dan HAM disosialisasikan kepada berbagai kalangan

seperti angkatan bersenjata, pejabat pemerintahan, para akademisi, praktisi dan bahkan

kepada masyarakat umum.

Kita coba dekati dulu pembahasan kita pada istilah, yaitu HAM dan Hukum Humaniter

Internasional (HHI). Kedua istilah ini sering disinggung oleh media massa atau masyarakat,

namun keduanya sering pula disalahgunakan, bahkan sering dianggap sebagai ciptaan baru

dari kebijaksanaan internasional. Istilah HAM dan HHI sebenarnya berasal dari dua sistem
hukum yang berbeda. Namun, keduanya sangat erat hubungannya, saling berkaitan, saling

pengaruh mempengaruhi sehingga sering terjadi tumpang tindih. HHI dan HAM mempunyai

tujuan yang sama yaitu perlindungan manusia( Arlina Permanasari, 1999:36), tetapi HHI dan

HAM merupakan dua bagian dari hukum yang berbeda jika dilihat dari segi lingkup

penerapannya dan sasarannya.

HHI adalah hukum darurat yang hanya diterapkan apabila terjadi pertikaian bersenjata, baik

internasional maupun dalam negeri. HHI terdiri dari peraturan dan ketentuan yang mengatur

cara/pelaksanaan yang mencakup antara lain ketentuan yang mengatur cara dan alat

berperang, baik secara aktif turut serta dalam permusuhan (kombatan) maupun mereka yang

tidak turut aktif dalam permusuhan (penduduk sipil). Mungkin di sini dapat kita katakan

Hukum Humaniter adalah peraturan permainan yang harus ditaati oleh para pemain, dalam

hal ini para pihak dalam perang.

Sementara itu, HAM berlaku dalam situasi apapun baik pada waktu perang maupun di masa

damai. Ketentuan-ketentuan HAM menjadi hak dan kebebasan baik sipil, politik, ekonomi

sosial maupun budaya setiap orang demi tercapainya perkembangan harmonis setiap individu

dalam masyarakat. HAM memberikan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh

pemerintah. Hak-hak tersebut terdapat dalam Hukum Internasional dan hak-hak yang bersifat

paling penting dimuat pula dalam undang-undang berbagai negara. Adapun yang dimaksu

dengan HAM disini adalah perlindungan Internasional HAM atau Hukum Internasional HAM

yaitu segala peraturan tentang kemanusian yang harus dipenuhi oleh semua negara.

Ada baiknya sebelum dijelaskan Hukum Humaniter dan hubungannya dengan HAM, perlu kita

mempertibangkan suatu pertanyaan; Apakah Hukum Humaniter itu berguna?. Kalau kita

melihat/mendengar informasi dari berbagai negara yang terlibat dalam pertikaian bersenjata,

setiap hari ada berita mengenai peperangan, pemboman desa-desa, serangan yang diarahkan

kepada sasaran sipil, perlakuan yang tidak baik terhadap tawanan perang, penyiksaan,

pemerkosaan, hukuman mati yang dijatuhkan tanpa proses pengadilan, masyarakat sipil yang

menderita kelaparan selama di bawah pendudukan musuh, dan sebagainya.

Adanya perang tersebut tentu adanya pelanggaran terhadap penerapan Hukum Humaniter.

Karena itu, kita boleh bertanya apakah Hukum Humaniter ini hanya merupakan sebuah hasrat

yang mencerminkan semacam dunia ideal, tetapi jauh dan berbeda dengan dunia nyata.

pemikiran seperti ini tidak salah, tetapi terlalu pesimis. Kita harus mengakui bahwa Hukum

Humaniter sering tidak dipatuhi, tetapi kita harus melihat seluruh situasi dimana peraturan-

peraturan Hukum Humaniter ini benar-benar dihormati. Dengan pertimbangkan semua kasus
dimana jiwa manusia dapat diselamatkan, Karena para peserta tempur masih mempunyai rasa

perikemanusiaan sesuai dengan Hukum Humaniter.

Kemudian timbul pertanyaan berikutnya? apakah pelanggaran terhadap Hukum Humaniter,

semakin meningkat, atau merupakan perasaan kita saja ? Dalam hal ini kita perlu

mempertimbangkan beberapa faktor:

1. Kita mempunyai kecenderungan dan lebih tertarik pada pelanggaran Hukum Humaniter,

karena adanya korban. Sementara, kita jarang mendengar tentang pertukaran tawanan

perang antar dua negara, pemberian makanan bagi masyarakat sipil yang menderita

kelaparan, dan penghukuman orang yang bersalah karena melanggar Hukum Humaniter. Dari

situ timbul kesimpulan bahwa lebih sering Hukum Humaniter tidak dihormati. Tetapi kalau kita

membaca laporan tahunan ICRC, kita mendapat gambaran yang lebih lengkap, yakni banyak

sekali situai dimana korban jiwa dapat dihindari atau masalah humaniter dapat diatasi dengan

menerapkan peraturan-peraturan Hukum Humaniter dan hadiranya ICRC melaksanakan

tugasnya di seluruh dunia.

2. Adanya teknologi mengakibatkan media massa dapat melaporkan peristiwa yang terjadi di

seluruh dunia, lebih akurat, cepat dan bergambar. Perkembangan ini ada baiknya, karena

dengan meyaksikan kejadian dramatis timbul opini publik dan adanya akibat politik yang

mahal sekali harus dibayar oleh setiap pelanggaran Hukum Humaniter. Oleh karena itu, ada

negara yang membatasi kebebasan pers untuk merahasiakan informasi. Tetapi pada suatu

saat, infomrasi tersebut pasti akan diketahui pula.

3. Kita juga tidak boleh melupakan usaha ICRC untuk membatasi jumlah pelanggaran

terhadap Hukum Humaniter. Secara pasif, ICRC menugaskan delegasi di lapangan sudah

bersifat efektif untuk mencegah adanya pelanggaran. Secara aktif, ICRC dapat bertindak

langsung pada instansi pemerintah yang bersangkutan supaya pelanggaran dihentikan.

Dengan demikian, masalah perikemanusiaan dapat dihindari dan diatasi dengan menerapkan

Hukum Humaniter.

4. Melihat kita mempertimbangkan jumlah pelanggaran, kita juga harus sadar bahwa kadang-

kadang pelanggaran itu disebabkan karena kurang pengetahuan saja. Bagaimana mungkin

orang dapat mematuhi hukum, sedangkan peraturannya belum diketahui? Kekurangan

pengetahuan mengenai Hukum Humaniter baik dipihak yang melanggar maupun korbannya.

Hukum Humaniter terdiri dari hak dan kewajiban yang perlu disebarluaskan, sehingga pihak

yang mempunyai kewajiban dapat bersikap sesuai dengan aturan-aturan dan pihak yang

mempunyai hak dapat meminta agar aturan-aturan itu dihormati.


Setelah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas, dapat disimpulkan bawa Hukum

Humaniter tetap berguna, meskipun lebih sering terdengar tentang pelanggaran daripada

penerapannya. Yang pasti, kita perlu terus meningkatkan usaha untuk mendukung

pelaksanaan Hukum Humaniter untuk mencegah semaksimal mungkin adanya pelanggaran.

II. Sejarah Singkat Hukum Humaniter Internasional


Pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino Itali Utara, pasukan Perancis dan Itali sedang

sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam suatu pertempuran yang sangat

mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda dari Swiss bernama Henri Dunant tiba di

sana dengan harapan dapat bertemu dengan Kaisar Perancis, Napoleon. Henry Dunant secara

kebetulan menyaksikan langsung pertempuran Solferino. Waktu itu, dinas medis militer yang

sedang bertugas di medan pertempuran sangat kurang untuk dapat merawat korban

pertempuran tersebut. Dalam pertempuran tersebut yang mati atau luka ada 3 marsekal, 9

jenderal, 1.566 opsir dari segala tindakan dan kurang lebih 40.000 bintara dan prajurit yang

mati dalam jangka waktu 15 jam sebanyak 38.000 orang kebanyakan karena tidak mendapat

pertolongan/pengobatan pada waktu atau kurang perawatan (G.I.A.D Draper, 1958:2).

Tergetar oleh penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk

setempat, segera bertindak mengkoordinasikan bantuan untuk mereka.

Setelah kembali ke Swiss, dia menggambarkan pengalaman itu dalam sebuah buku berjudul

Kenangan dari Solferino, yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam bukunya, Henry

Dunant mengajukan dua gagasan.

1. Pertama, membentuk organisasi sukarelawan, yang akan disiapkan dimasa damai untuk

menolong para prajurit yang cedera di medan perang.

2. Kedua mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan

perang, serta sukarelawan dari organisasi tersebut pada waktu memberikan perawatan.

Pada tahun 1863, empat orang warga kota Jenewa bergabung dengan Henry Dunant untuk

mengembangkan kedua gagasan tersebut. Mereka bersama sama membentuk Komite

internasional untuk bantuan para tentara yang cedera. yang sekarang disebut Komite

Internasional Palang Merah/Internasional Committee of the Red Cross (ICRC).

Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864 diadakan Konfrensi Internasional yang

menyetujui Konfensi untuk perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang(

Muchtar Kusumatmadja, 1986,4). Ini merupakan tahapan pertama dalam pengembangan


Hukum Humaniter Internasional (HHI). Kemudian konvensi ini disempurnakan dan

dikembangkan menjadi empat Konvensi Jenewa tahun 1949, yang disebut juga dengan

Hukum Perikemanusiaan Internasional yang pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi

kejatan korban yang cedera ataupun mati, serta kerusakan harta benda yang disebabkan oleh

pertikaian bersenjata.

Perlu ditanamkan keyakinan bahwa hubungan antara perang dan hukum juga seperti bentuk

hubungan antara manusia lainnya, yaitu diatur oleh ketentuan-ketentuan atau dengan kata

lain ada aturannya.

Sama sekali tidak benar anggapan kebanyakan orang yang mengatakan perang dan hukum

merupakan dua kata yang tiada sangkut-pautnya atau dalam perang lenyaplah segala hukum

sebagaimana dikatakan oleh Cicero yang dalam bahasa Romawi disebutkan dengan inter

arma silent leges( Muchtar Kusumaatmadja, 1986:9).

Dahulu kala perang memang merupakan suatu pembunuhan besar-besaran antara kedua

belah pihak yang berperang. Pembunuhan besar-besaran ini hanya merupakan salah satu

bentuk perwujudan dari naluri mempertahankan diri baik dalam pergaulan antara manusia

maupun dalam pergaulan antar bangsa. Karena itu sejarah perang sama tuanya dengan

sejarah manusia. Suatu kenyataan yang menyedihkan sebagaimana yang ditulis oleh Jean

Pictet pada tahun 1962 bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya

mengenal 250 tahun perdamaian dan bagaimana setelah tahun 1962 ada tahun yang tidak

terjadi perang?.

Naluri mempertahankan diri dengan cara berperang yang tidak mengenal batas merugikan

umat manusia, perlu diadakan pembatasan-pembatasan dengan menetapkan ketentuan-

ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa.

Di samping pertimbangan-pertimbangan perang di atas yang bersumber pada kecemasan

akan pembalasan dan didasarkan atas penyelamatan diri sendiri, maka dengan bertambah

majunya peradaban orang mulai pula menginsafi bahwa kekejaman itu bertentangan dengan

martabat manusia dan penghargaan atas diri, jiwa dan kehormatan.

Dalam bentuk yang modern perang sebenarnya didasarkan pada rasa kemanusiaan. Di India

sejak dahulu kala telah ada peraturan hukum perang yang bertujuan menlindungi orang-orang

yang tidak berdaya, luka dan sakit. Dalam cerita Mahabrata mengandung larangan untuk

menyerang orang yang telah meletakkan senjata, luka berat, pelarian, tidak dapat turut lagi

dalam pertempuran, minta ampun, sedang tidur, makan, dan minum sangat lelah atau gila,

mengikuti tentara musuh sebagai pembantu atau yang melakukan pekerjaan kasar( M.W.
Mouton, 1947.

Dalam Hukum Internatioanal India Kuno terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak

tentara pendudukan, senjata terlarang, dan perlakuan tawanan perang, yang hampir sama

dengan peraturan Den Haag mengenai peperangan di darat padat tahun 1907. Yunani Kuno

dan Roma mengenal ketentuan-ketentuan yang melarang pemakaian racun, pembunuhan

tawanan perang dan penyerangan atas tempat-tempat ibadah. Sumbangan yang berharga

dari orang Romawi kepada hukum perang modern adalah definisi dari pengertian kombatan

dalam suatu peperangan harus dimulai dari suatu pernyatan perang.

Agama Kristen yang mengajarkan umatnya untuk mencintai sesamanya, juga telah meluaskan

semangat perikemanusiaan dalam perang. Akan tetapi perikemanusiaan atas lawan ini sering

hanya terbatas pada musuh yang seagama saja, sedangkan lawan yang berlainan agamanya

masih terjadi kebuasan-kebuasan. Misaknya dalam perang salib, orang Islam lebih

berperikemanusiaan dari pada lawan mereka.

Dalam hukum Islam, khususnya hukum perang Islam jelas menggambarkan pengaruh

perkemanusiaan. Selain ajaran tentang jihad (perang suci) sebagai perang adil (bellum

justum) yang merupakan bagian penting dari pada hukum perang Islam, ada pula ketentuan-

ketentuan yang jelas mengenai cara memulai perang, larangan untuk menyerang anak-anak,

wanita, orang-oarang sakit dan lanjut usia, pembagian harta rampasan perang, perlakuan

tawanan perang, cara mengakhiri perang dan sebagainya. Larangan untuk menimbulkan

kerusakan dan penderitaan yang tidak perlu didasarkan atas ajaran perikemanusiaan

sebagaimana tercantum dalam al-Quran.

Apabila kita tinjau hukum perang pada masa sekarang dapat kita membedakan dalam jus ad

bellum atau hukum tentang perang yang mengatur bagimanakah suatu negara dibenarkan

untuk menggunakan kekerasan senjata (Hukum Den Haag) dan jus bello yaitu hukum yang

berlaku dalam perang (Hukum Jenewa). Karena eratnya hubungan Konvensi Jenewa mengenai

perlindungan korban perang dengan asas perikemanusiaan maka konvensi ini juga disebut

hukum humaniter.

Istilah Hukum Humaniter mencakup seluruh peraturan Internasional yang bermaksud

melindungi baik orang menderita akibat pertikaian senjata, maupun objek yang tidak langsung

mendukung usaha militer. Untuk HHI ini ada beberapa istilah yang digunakan, pada masa lalu

digunakan hukum perang. Perubahan situasi dan kondisi istilah Hukum perang diganti dengan

hukum konflik bersenjata dan istilah ini digunakan oleh ABRI, kemudian berubah menjadi

Hukum Humaniter Internasional dan istilah ini digunakan oleh kalangan akademisi.
Sebelum Konvensi Jenewa pertama disepakati pada tahun 1864, sudah terdapat beberapa

peraturan dalam Hukum Perang. Tetapi peraturan tersebut tidak bersifat formal dan biasanya

hanya dipatuhi berdasarkan persetujuan khusus antara pemimpin militer, dan berlaku untuk

jangka waktu tertentu. HHI baru diakui secara internasional dan permanen, setelah adanya

konvensi Jenewa tersebut.

HHI seperti yang dikenal masa ini terdiri dari Hukum Jenewa (Perlindungan terhadap Korban

Perang) dan Hukum Den Haag(Sarana dan (cara berperang). Pada makalah ini akan

difokuskan pada Hukum Jenewa. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban

Perang yang disebut juga Konvensi Palang Merah, mencakup empat buah konvensi yang

masing-masing bernama:

1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medang

Perang.

2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, dan Korban Kapal

Karam dalam Peperangan di Laut.

3. Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan Perang.

4. Konvensi Jenewa tentang Perlindungan kepada para Penduduk Sipil dalam Peperangan.

ad.1 Konvensi Jenewa I untuk Perbaikan kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di

Medan Perang.

Konvensi Jenewa pertama ditandatangani pada tahun 1864 oleh 12 Negara yang pada

waktu itu, mempunyai posisi penting di bidang politik internasional. Pada tahun 1864,

Konvensi Jenewa terdiri dari 10 pasal yang mengatur tentang perbaikan kondisi

Prajurit yang cedera dan sakit dimedan perang. Konvensi ini menetapkan bahwa:

a. Prajurit yang cedera dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat, tampa

mempedulikan kebangsaannya;

b. Petugas kesehatan dan sarana serta prasarana yang digunakan untuk merawat

prajurit yang cedera dan sakit di medan perang harus diberikan status netral;

c. Lambang Palang merah di atas dasar putih disetujui sebagai tanda pelindung;

Setelah itu, Konvensi Jenewa tersebut direvisi dan dikembangkan pada tahun 1906

dan 1929, menjadi Konvensi Jenewa I tahun 1949.

ad.2 Konvensi Jenewa II untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, Korban

Kapal Karam dalam Peperangan di Laut.

Pada Konvensi Den Haag yang diadakan tahun 1899, perlindungan yang diberikan oleh
Konvensi Jenewa pertama diperluas mencakup korban kapal karam pada waktu terjadi

peperangan dilaut. Ketentuan-ketentuan ini dikembangkan kembali pada Konvensi

Den Haag tahun 1907. Berdasarkan kedua Konvensi Den Haag, disusun pada tahun

1949 Konvensi Jenewa II tentang perbaikan kondisi tentara yang cedera, sakit dan

korban kapal karam dalam peperangan dilaut. Isi dan konvensi tersebut adalah

penyesuaian ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa I untuk situasi perang di laut.

ad.3 Konvensi Jenewa III tentang perlakuan Tawanan Perang

Konvensi Den Haag yang diselenggaran pada tahun 1899 dan 1907, menyinggung

pula soal tawanan perang. Namun demikian, pada waktu Perang Dunia I, ketentuan-

ketentuan yang mengatur persyaratan penahanan dan perlakuan tawanan perang

masih kurang oleh karena itu, pada tahun 1929, disusun Konvensi Jenewa tentang

perlakuan tawanan perang yang terdiri dari 97 pasal.

Konvensi ini menegaskan bahwa:

a. Tawanan perang bukanlah seorang Kriminal, tetapi pihak musuh yang tidak dapat

lagi turut serta dalam pertempuran;

b. Oleh karena itu, tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi selama

ditahan;

c. Tawanan perang harus dibebaskan pada waktu permusuhan sudah berakhir.

Konvensi Jenewa ini dikembangkan kembali pada tahun 1949, menjadi Konvensi

Jenewa III.

ad.4 Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan

Sebelum tahun 1949, HHI belum dapat diterapkan untuk melindungi masyarakat sipil.

Pada waktu Perang Dunia II, ribuan orang sipil menjadi korban. Hal ini sangat

menggemparkan opini masyarakat internasional, sehingga pada tahun 1949 disetujui

Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan.

Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 sudah ditandatangani oleh 188 Negara (31

Maret 1997). Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi-Konvensi Jenewa pada tahun

1958. Dengan menandatangani Konvensi-konvensi Jenewa, setiap negara diwajibkan

pada waktu pertikaian bersenjata untuk:

a. Merawat orang yang cedera dan sakit, tanpa mempedulikan kebangsaannya.

b. Menghormati manusia dalam integritas fisik, martabat, hak keluarga, keyakinan


moral dan agamanya.

c. Melarang penyiksaan, perlakuan kejam, hukuman mati tanpa didahului proses

pengadilan yang sah, pembasmian, deportasi, penyanderaan, perampokan dan

perusakan harta benda sipil.

d. Mengizinkan delegasi ICRC (Palang Merah Internasional) untuk mengunjungi para

tawanan perang dan interniran sipil (orang yang ditempatkan di suatu lokasi dan

kebebasannya dibatasi) dan untuk berbicara dengan mereka tanpa saksi.

Ada dua prinsip yang penting dalam HHI:

Selalu harus dibedakan antara penduduk sipil dan peserta tempur, antara sarana

sipil dan sarana militer, sehingga serangan hendaknya hanya diarahkan ke sasaran

militer.

Selalu harus dipertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan perikemanusiaan

dan kepentingan militer, sehingga korban kerusakan akibat operasi militer tidak

bersifat berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang terdapat dari

operasi tersebut.

Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 diterapkan pada waktu pertikaian bersenjata

internasional. Pasal 3 yang sama dalam 4 Konvensi Jenewa sering disebut merupakan

sebuah konvensi dalam bentuk kecil, karena mengungkapkan dengan baik semangat

HHI.

Pasal ini menegaskan peraturan minimal yang harus dihormati dalam pertikaian

bersenjata yang tidak bersifat internasional. Untuk maksud ini, tindakan-tindakan

berikut dilarang dilakukan setiap saat dan di semua tempat:

Pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, hukuman badan, pengudungan (pemotongan

anggota badan), penghinaan atas kehormatan pribadi, penyanderaan, hukuman

kolektif, hukuman mati tanpa melalui proses pengadilan yang sah,serta setiap

perlakukan yang kejam dan penganiayaan

Meskipun lingkup penerapan dari empat Konvensi Jenewa tersebut sudah diperluas

namun pertikaian bersenjata yang pecah setelah tahun 1949 masih menunjukkan

kekurangan dari sistem perlindungan HHI, oleh karena itu, Konvensi-konvensi Jenewa

dilengkapi dengan dua buah Protokol Tambahan pada tahun 1977. Protokol-protokol

tanbahan ini melengkapi empat Konvensi Jenewa, tanpa bermaksud

menggantikannya.
Protokol Tambahan I

Protokol I diterapkan dalam pertikaian bersenjata yang bersifat internasional dan perang

kemerdekaan nasional suatu bangsa memperjuangkan haknya untuk menentukan nasib

sendiri. Semua hak dan kewajiban yang ditegaskan dalam HHI dengan demikian dapat

diterapkan pada konflik semacam itu.

Meskipun Konvensi Jenewa IV berkaitan dengan perlakuan terhadap masyarakat sipil dalam

masa peperangan, namun perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil masih

dirasakan kurang. Jadi Protokol I menegaskan kembali prinsip-prinsip itu dan menjadikannya

bersifat operasional. Diantara prinsip-prinsip itu adalah larangan penyerangan terhadap

masyarakat sipil dan semua penyerangan yang membabi-buta, perlindungan sarana yang

dibutuhkan untuk kelangsungan hidup masyarakat sipil (seperti bahan makanan, instalasi air

minum atau sarana irigasi), larangan masyarakat sipil menderita kelaparan sebagai metode

perangan, perlindungan instalasi yang berisi kekuatan yang berbahaya (seperti bendungan

atau statiun tenaga nuklir untuk produksi listrik dan sebagainya), perlindungan obyek budaya

dan tempat-tempat pemujaan. Kesemuanya itu merupakan suatu bagian aturan yang cukup

besar, guna melindungi masyarakat sipil.

Di antara lain ditegaskan bahwa melakukan aksi balas dendam terhadap masyarakat sipil

adalah dilarang. Oleh karena itu sangat tidak mungkin untuk membenarkan pelanggaran

terhadap larangan penyerangan terhadap rakyat sipil dengan alasan bahwa pihak lain telah

melakukan hal serupa.

Dalam Protokol I, ketentuan-ketentuan mengenai bantuan Humaniter untuk masyarakat sipil

diperkuat dalam artian apabila masyarakat sipil mengalami kekurangan makanan, obat-obatan

dan kebutuhan dasr lainnya, pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian bersenjata diwajibkan

untuk mengizinkan dan mendukung operasi bantuan Humaniter yang ditujukan untuk

masyarakat sipil tersebut.

Protokol Tambahan II

Ada negara yang selalu menunjukkan keenganan untuk menyetujui Hukum Internasional

dimaksud untuk mengatur situasi yang dianggap sebagai masalah internal. Negara-negara itu

baru merubah sikap tersebut pada tahun 1949 dengan menyepakati Pasal 3 yang sama dalam

empat Konvensi Jenewa yang mengatur tentang Pertikaian Bersenjata dalam negeri. Protokol

II dengan melengkapi Pasal 3 itu, memperluas perlindungan pertikain bersenjata yang

berlangsung dalam negeri. Protokol II memberikan rincian, namun tidak mengubah Pasal 3

Konvensi Jenewa. Penting diperhatikan di sini, Protokol II seperti Pasal 3 Konvensi Jenewa,
tidak menghambat pemerintah untuk memelihara ketertiban umum dan untuk

mempertahankan persatuan nasional serta integritas teritorial dengan semua cara yang sah.

Protokol II ini tidak mempengaruhi status hukum anggota gerakan pemberontak yang tetap

berada di bawah hukum nasional.

Bagian utama dari Protokol II memuat aturan-aturan yang memperkuat perlindungan korban

pertikaian bersenjata dalam negeri dan sekaligus memperkuat landasan hukum untuk

kegiatan Palang Merah. khususnya bagi mereka yang telah meletakkan senjata setelah ikut

serta dalam permusuhan, mereka berhak atas perlakuan yang manusiawi. Setiap orang yang

ditahan mempunyai beberapa hak dasar yang mutlak dihormati, guna melindungi kehidupan,

kesehatan, dan martabat, serta menjamin hubungan mereka dengan keluarga masing-masing

tetap terjalin. Pihak instansi pemerintah tetap berwenang untuk menuntut orang-orang yang

dituduh melawan hukum.Di sini terdapat pula beberapa jaminan peradilan yang harus

dihormati, guna menjamin setiap orang yang dituntut sehubungan dengan pertikaian

bersenjata, berhak mendapat pengadilan yang adil dan wajar. Hak dan jaminan tersebut

mendekatkan Hukum Humaniter Internasional dengan perlindungan yang diberikan oleh Hak

Asasi Manusia.

Protokol Tambahan II ini sampai dengan tanggal 3 Maret 1997, telah diratifikasi oleh 147

negara, sedangkan Protokol Tambahan II oleh 139 negara. Protokol-protokol Tambahan

Konvensi Jenewa, sampai saat ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

III. Hubungan antara Hukum Humaniter Internasional dengan Hak Asasi


Manusia
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa tujuan HHI dan HAM adalah sama untuk perlindungan

manusia. HHI akan diterapkan jika terjadinya pertikaian bersenjata sedangkan HAM

diterapkan setiap saat.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa HHI diciptakan khusus untuk melindungi dan

memelihara hak asasi (kehidupan, kesehatan dan sebagainya) korban dan non-kombatan

dalam pertikaian bersenjata. HHI merupakan hukum darurat yang diterapkan dalam situasi

tertentu. Sedangkan HAM, dengan melindungi hak-hak manusia, menuju pada perkembangan

harmonis setiap orang yang hanya dapat tercapai di masa damai.

Dalam perjanjian-perjanjian internasional mengenai HAM, perlindungan hak dan jaminan

dapat dibatasi ataupun dihapus, apabila berlangsung perang atau karena alasan lainnya yang

mengancam stabilitas nasional.


Namun perlu diketahui dalam hukum internasional ada beberapa HAM yang penerapannya

tidak dapat diperkecualikan, meskipun dalam keadaan yang sangat luar biasa, sepeti pada

waktu berlangsung pertikaian bersenjata. Jadi berdasarkan hukum yang berlaku, hak-hak

yang dianggap sebagai intisari dari HAM ini, tetap terjamin. Dengan demikian, setiap negara

yang telah menandatangani perjanjian internasional mengenai HAM, apapun alasannya, tidak

dapat membenarkan tindakan yang mengurangi perlindungan minimal yang diberikan kepada

setiap individu.

Intisari atau hard-core HAM yang dimaksud meliputi:

a. Hak untuk hidup (Pasal 6 Covenant, 2 Konvensi Roma, 4 Pakta San Jose).

b. Larangan penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi (Pasal 7 Covenat, 3

Konvensi Roma, 5 Pakta San Jose)

c. Larangan perbudakan(Pasal 8 Covenant, 4 Konvensi Roma, 6 Pakta San Jose)

d. Jaminan pengadilan(Pasal 15 Covenant, 7 Konvensi Roma, 9 Pakta san Jose).

Ad.a. Hak untuk hidup

Pasa 6 Covenant Hak Sipil dan Politik mengatur tentang Hak untuk hidup.

Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa kehidupan dilinungi oleh HHI dengan adanya

Konvensi Jenewa yang menetapkan kewajiban untuk mengumpulkan dan merawat

orang yang sakit dan cedera, dan yang mengatur tentang perlakuan tawanan perang,

interniran sipil dan masyarakat sipil di bawah pendudukan musuh, serta tentang

hukuman mati seperti; ketentuan yang melarang pelaksanaan hukuman mati dalm 6

bulan berikut keputusan pengadilan atau yang melarang hukuman mati dijatuhkan

pada orang berumur di bawah 18 tahun, pada wanita hamil, maupun ibu yang

mempunyai anak masih kecil (Konvensi Jenewa IV, Pasal 68 dan 75)

Dalam HHI, korban perang yaitu orang yang jatuh dalam tangan pihak musuh, tidak

boleh dibunuh. Tetapi, selama terlibat dalam pertikaian bersenjata, peserta tempur

tidak mungkin mendapat perlindungan atas kehidupan mereka. Namun dalam HHI

terdapat beberapa ketetntuan yang melarang penggunaan senjata yang dapat

mengakibatkan penderitaan yang berlebihan atau tidak peril. Khususnya untuk

melindungi masyarakat sipil, Protokol Tambahan I mengharuskan adanya

keseimbangan antara kepentingan militer dan keperluan perikemanusiaan (principle of

proportionality).Dengan demikian, serangan hanya boleh diarahkan pada sasaran

militer, meskipun masih dapat terjadi korban sipil secara insidentil. Protokl Tambahan

I juga melindungi kehidupan dengan melarang tindakan untuk membuat orang sipil
menderita kelaparan sebagai suatu metode peperangan, serta merusak sarana yang

dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya, Di samping itu, untuk keselamatan orang

sipil, dapat ditentukan lokasi bebas yang tidak boleh dijadikan sasaran militer.

Ad. b. Larangan Penyiksaan

Dalam HAM, pelanggaran ini ditetapkan dalam Covenant mengenai Hak Sipil dan

Politik Pasal 7. Dalam HHI sebagian besar dari Konvensi-konvenai Jenewa dapat dilihat

dalam Prakteknya merupakan rincian mengenai cara meperlakukan korban pertikaian

bersenjata.

Ad.c. Larangan Perbudakan.

Dalam HAM, pelanggaran perbudakan diatur dalam Pasal 8 Konvensi Hak Sipil dan

Politik. Dalam HHI, diatur dalam Protokol II Tahun 1977 pada Pasal 4 ayat 2 huruf f.

Di samping itu, ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa mengenai perlakuan tawanan

perang serta perlakuan orang sipil di bawah pendudukan musuh mempunyai pulam

efek perlindungan bagi para korban pertikaian bersenjata terhadap segala bentuk

perbudakan.

Ad. d. Jaminan pengadilan.

Dalam HAM, jaminan pengadilan walaupun tidak dinyatakan sebagai hak-hak yang

termasuk hard-core, telah diakui sebagai hak-hak yang amat penting, supaya HAM

lainnya dapat diterapkan secara efektif. Dalam HHI, jaminan pengadilan sudah

dimasukkan dalam Konvensi Jenewa sejak penyusunannya, karena pengalaman

menunjukkan bahwa perlu pemeriksaan pengadilan untuk mencegah adanya hukuman

mati yang dijalankan di luar proses pengadilan, maupun yang tidak manusia.

Hak dan jaminan dasar tersebut di atas tidak dapat dikecualikan dan tetap berlaku, baik di

masa damai maupun pada waktu pertikaian bersenjata. Hak dan Jaminan dasar ini mutlak

dihormati pula dalam situasi kekacauan dalam negeri, di mana pemerintah yang bersangkutan

terpaksa mengambil tindakan yang luar biasa untuk memelihara ketertiban dan keamanan

umum.

HHI dengan tujuan membatasi kekerasan, memuat pula peraturan-peraturan yang menjamin

hak-hak manusia yang sama, karena hak-hak tersebut di atas dianggap merupakan hak
minimal. Jadi intisari hak-hak manusia ini menjamin perlindungan minimal yang mutlak

dihormati terhadap siapapun, baik di masa damai maupun pada waktu perang. Hak-hak

manusia ini merupakan bagian dari kedua sistem hukum yaitu HHI dan HAM.

Hak dan jaminan dasar tersebut di atas tidak dapat diperkecualikan dan tetap berlaku, baik di

masa damai maupun pada waktu pertikaian bersenjata. Hak dan jaminan dasar ini mutlak

dihormati pula, dalam situasi kekacauan dalam negeri, di mana pemerintah yang

bersangkutan terpaksa mengambil tindakan yang luar biasa untuk memelihara ketertiban dan

keamanan umum.

Dapat dikatakan pula bahwa meskipun lingkup perlindungan HHI tidak seluas lingkup

perlindungan yang diberikan oleh HAM, ketentuan-ketentuan HHI tidak dapat diperkecualikan,

justru karena kepentingan militer telah dipertimbangkan dalam penyusunan ketentuan-

ketentuan tersebut. Jika terjadi sengketa bersenjata, setiap negara penandatangann harus

menerapkan HHI sepenuhnya, dan tidak dapat membenarkan pelanggaran terhadap HHI

dengan alasan pematuhan ketentuan-ketentuan HHI itu mengurangi kemampuannya untuk

berperang. HHI disusun dengan mempertimbangkan kepentingan militer maupun kepentingan

humaniter, sehingga penerapan HHI tidak mungkin menghambat kemenangan perang.

Anda mungkin juga menyukai