Hukum Humaniter
Hukum Humaniter
Disusun Oleh:
Nama : Ardi Utama
No. Kelas : 50
Kelas : XII-IPA
I. PENDAHULUAN
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk
menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-
konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172).
Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern
menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi
korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum
perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen
internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat
pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa
Selama keadaan perang atau keadaan darurat berlangsung, pemenuhan hak asasi tertentu
Hak Sipil dan Politik mengizinkan negara melakukan upaya-upaya yang bersifat sementara
darurat yang mengancam keselamatan bangsa, tapi hanya sejauh yang sangat dibutuhkan
Dalam konteks lokal (Aceh), barangkali materi ini terasa semakin penting, sebab terdapat
berbagai kasus yang bisa menjurus kepada konflik bersenjata, dan dengan latar belakang
konflik di daerah ini? Bagaimana pula aspek Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam penerapan
tersebut? dan perlukan Hukum Humaniter dan HAM disosialisasikan kepada berbagai kalangan
seperti angkatan bersenjata, pejabat pemerintahan, para akademisi, praktisi dan bahkan
Kita coba dekati dulu pembahasan kita pada istilah, yaitu HAM dan Hukum Humaniter
Internasional (HHI). Kedua istilah ini sering disinggung oleh media massa atau masyarakat,
namun keduanya sering pula disalahgunakan, bahkan sering dianggap sebagai ciptaan baru
dari kebijaksanaan internasional. Istilah HAM dan HHI sebenarnya berasal dari dua sistem
hukum yang berbeda. Namun, keduanya sangat erat hubungannya, saling berkaitan, saling
pengaruh mempengaruhi sehingga sering terjadi tumpang tindih. HHI dan HAM mempunyai
tujuan yang sama yaitu perlindungan manusia( Arlina Permanasari, 1999:36), tetapi HHI dan
HAM merupakan dua bagian dari hukum yang berbeda jika dilihat dari segi lingkup
HHI adalah hukum darurat yang hanya diterapkan apabila terjadi pertikaian bersenjata, baik
internasional maupun dalam negeri. HHI terdiri dari peraturan dan ketentuan yang mengatur
cara/pelaksanaan yang mencakup antara lain ketentuan yang mengatur cara dan alat
berperang, baik secara aktif turut serta dalam permusuhan (kombatan) maupun mereka yang
tidak turut aktif dalam permusuhan (penduduk sipil). Mungkin di sini dapat kita katakan
Hukum Humaniter adalah peraturan permainan yang harus ditaati oleh para pemain, dalam
Sementara itu, HAM berlaku dalam situasi apapun baik pada waktu perang maupun di masa
damai. Ketentuan-ketentuan HAM menjadi hak dan kebebasan baik sipil, politik, ekonomi
sosial maupun budaya setiap orang demi tercapainya perkembangan harmonis setiap individu
pemerintah. Hak-hak tersebut terdapat dalam Hukum Internasional dan hak-hak yang bersifat
paling penting dimuat pula dalam undang-undang berbagai negara. Adapun yang dimaksu
dengan HAM disini adalah perlindungan Internasional HAM atau Hukum Internasional HAM
yaitu segala peraturan tentang kemanusian yang harus dipenuhi oleh semua negara.
Ada baiknya sebelum dijelaskan Hukum Humaniter dan hubungannya dengan HAM, perlu kita
mempertibangkan suatu pertanyaan; Apakah Hukum Humaniter itu berguna?. Kalau kita
melihat/mendengar informasi dari berbagai negara yang terlibat dalam pertikaian bersenjata,
setiap hari ada berita mengenai peperangan, pemboman desa-desa, serangan yang diarahkan
kepada sasaran sipil, perlakuan yang tidak baik terhadap tawanan perang, penyiksaan,
pemerkosaan, hukuman mati yang dijatuhkan tanpa proses pengadilan, masyarakat sipil yang
Adanya perang tersebut tentu adanya pelanggaran terhadap penerapan Hukum Humaniter.
Karena itu, kita boleh bertanya apakah Hukum Humaniter ini hanya merupakan sebuah hasrat
yang mencerminkan semacam dunia ideal, tetapi jauh dan berbeda dengan dunia nyata.
pemikiran seperti ini tidak salah, tetapi terlalu pesimis. Kita harus mengakui bahwa Hukum
Humaniter sering tidak dipatuhi, tetapi kita harus melihat seluruh situasi dimana peraturan-
peraturan Hukum Humaniter ini benar-benar dihormati. Dengan pertimbangkan semua kasus
dimana jiwa manusia dapat diselamatkan, Karena para peserta tempur masih mempunyai rasa
semakin meningkat, atau merupakan perasaan kita saja ? Dalam hal ini kita perlu
1. Kita mempunyai kecenderungan dan lebih tertarik pada pelanggaran Hukum Humaniter,
karena adanya korban. Sementara, kita jarang mendengar tentang pertukaran tawanan
perang antar dua negara, pemberian makanan bagi masyarakat sipil yang menderita
kelaparan, dan penghukuman orang yang bersalah karena melanggar Hukum Humaniter. Dari
situ timbul kesimpulan bahwa lebih sering Hukum Humaniter tidak dihormati. Tetapi kalau kita
membaca laporan tahunan ICRC, kita mendapat gambaran yang lebih lengkap, yakni banyak
sekali situai dimana korban jiwa dapat dihindari atau masalah humaniter dapat diatasi dengan
2. Adanya teknologi mengakibatkan media massa dapat melaporkan peristiwa yang terjadi di
seluruh dunia, lebih akurat, cepat dan bergambar. Perkembangan ini ada baiknya, karena
dengan meyaksikan kejadian dramatis timbul opini publik dan adanya akibat politik yang
mahal sekali harus dibayar oleh setiap pelanggaran Hukum Humaniter. Oleh karena itu, ada
negara yang membatasi kebebasan pers untuk merahasiakan informasi. Tetapi pada suatu
3. Kita juga tidak boleh melupakan usaha ICRC untuk membatasi jumlah pelanggaran
terhadap Hukum Humaniter. Secara pasif, ICRC menugaskan delegasi di lapangan sudah
bersifat efektif untuk mencegah adanya pelanggaran. Secara aktif, ICRC dapat bertindak
Dengan demikian, masalah perikemanusiaan dapat dihindari dan diatasi dengan menerapkan
Hukum Humaniter.
4. Melihat kita mempertimbangkan jumlah pelanggaran, kita juga harus sadar bahwa kadang-
kadang pelanggaran itu disebabkan karena kurang pengetahuan saja. Bagaimana mungkin
pengetahuan mengenai Hukum Humaniter baik dipihak yang melanggar maupun korbannya.
Hukum Humaniter terdiri dari hak dan kewajiban yang perlu disebarluaskan, sehingga pihak
yang mempunyai kewajiban dapat bersikap sesuai dengan aturan-aturan dan pihak yang
Humaniter tetap berguna, meskipun lebih sering terdengar tentang pelanggaran daripada
penerapannya. Yang pasti, kita perlu terus meningkatkan usaha untuk mendukung
sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam suatu pertempuran yang sangat
mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda dari Swiss bernama Henri Dunant tiba di
sana dengan harapan dapat bertemu dengan Kaisar Perancis, Napoleon. Henry Dunant secara
kebetulan menyaksikan langsung pertempuran Solferino. Waktu itu, dinas medis militer yang
sedang bertugas di medan pertempuran sangat kurang untuk dapat merawat korban
pertempuran tersebut. Dalam pertempuran tersebut yang mati atau luka ada 3 marsekal, 9
jenderal, 1.566 opsir dari segala tindakan dan kurang lebih 40.000 bintara dan prajurit yang
mati dalam jangka waktu 15 jam sebanyak 38.000 orang kebanyakan karena tidak mendapat
Tergetar oleh penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk
Setelah kembali ke Swiss, dia menggambarkan pengalaman itu dalam sebuah buku berjudul
Kenangan dari Solferino, yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam bukunya, Henry
1. Pertama, membentuk organisasi sukarelawan, yang akan disiapkan dimasa damai untuk
2. Kedua mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan
perang, serta sukarelawan dari organisasi tersebut pada waktu memberikan perawatan.
Pada tahun 1863, empat orang warga kota Jenewa bergabung dengan Henry Dunant untuk
internasional untuk bantuan para tentara yang cedera. yang sekarang disebut Komite
Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864 diadakan Konfrensi Internasional yang
menyetujui Konfensi untuk perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang(
dikembangkan menjadi empat Konvensi Jenewa tahun 1949, yang disebut juga dengan
kejatan korban yang cedera ataupun mati, serta kerusakan harta benda yang disebabkan oleh
pertikaian bersenjata.
Perlu ditanamkan keyakinan bahwa hubungan antara perang dan hukum juga seperti bentuk
hubungan antara manusia lainnya, yaitu diatur oleh ketentuan-ketentuan atau dengan kata
Sama sekali tidak benar anggapan kebanyakan orang yang mengatakan perang dan hukum
merupakan dua kata yang tiada sangkut-pautnya atau dalam perang lenyaplah segala hukum
sebagaimana dikatakan oleh Cicero yang dalam bahasa Romawi disebutkan dengan inter
Dahulu kala perang memang merupakan suatu pembunuhan besar-besaran antara kedua
belah pihak yang berperang. Pembunuhan besar-besaran ini hanya merupakan salah satu
bentuk perwujudan dari naluri mempertahankan diri baik dalam pergaulan antara manusia
maupun dalam pergaulan antar bangsa. Karena itu sejarah perang sama tuanya dengan
sejarah manusia. Suatu kenyataan yang menyedihkan sebagaimana yang ditulis oleh Jean
Pictet pada tahun 1962 bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya
mengenal 250 tahun perdamaian dan bagaimana setelah tahun 1962 ada tahun yang tidak
terjadi perang?.
Naluri mempertahankan diri dengan cara berperang yang tidak mengenal batas merugikan
akan pembalasan dan didasarkan atas penyelamatan diri sendiri, maka dengan bertambah
majunya peradaban orang mulai pula menginsafi bahwa kekejaman itu bertentangan dengan
Dalam bentuk yang modern perang sebenarnya didasarkan pada rasa kemanusiaan. Di India
sejak dahulu kala telah ada peraturan hukum perang yang bertujuan menlindungi orang-orang
yang tidak berdaya, luka dan sakit. Dalam cerita Mahabrata mengandung larangan untuk
menyerang orang yang telah meletakkan senjata, luka berat, pelarian, tidak dapat turut lagi
dalam pertempuran, minta ampun, sedang tidur, makan, dan minum sangat lelah atau gila,
mengikuti tentara musuh sebagai pembantu atau yang melakukan pekerjaan kasar( M.W.
Mouton, 1947.
tentara pendudukan, senjata terlarang, dan perlakuan tawanan perang, yang hampir sama
dengan peraturan Den Haag mengenai peperangan di darat padat tahun 1907. Yunani Kuno
tawanan perang dan penyerangan atas tempat-tempat ibadah. Sumbangan yang berharga
dari orang Romawi kepada hukum perang modern adalah definisi dari pengertian kombatan
Agama Kristen yang mengajarkan umatnya untuk mencintai sesamanya, juga telah meluaskan
semangat perikemanusiaan dalam perang. Akan tetapi perikemanusiaan atas lawan ini sering
hanya terbatas pada musuh yang seagama saja, sedangkan lawan yang berlainan agamanya
masih terjadi kebuasan-kebuasan. Misaknya dalam perang salib, orang Islam lebih
Dalam hukum Islam, khususnya hukum perang Islam jelas menggambarkan pengaruh
perkemanusiaan. Selain ajaran tentang jihad (perang suci) sebagai perang adil (bellum
justum) yang merupakan bagian penting dari pada hukum perang Islam, ada pula ketentuan-
ketentuan yang jelas mengenai cara memulai perang, larangan untuk menyerang anak-anak,
wanita, orang-oarang sakit dan lanjut usia, pembagian harta rampasan perang, perlakuan
tawanan perang, cara mengakhiri perang dan sebagainya. Larangan untuk menimbulkan
kerusakan dan penderitaan yang tidak perlu didasarkan atas ajaran perikemanusiaan
Apabila kita tinjau hukum perang pada masa sekarang dapat kita membedakan dalam jus ad
bellum atau hukum tentang perang yang mengatur bagimanakah suatu negara dibenarkan
untuk menggunakan kekerasan senjata (Hukum Den Haag) dan jus bello yaitu hukum yang
berlaku dalam perang (Hukum Jenewa). Karena eratnya hubungan Konvensi Jenewa mengenai
perlindungan korban perang dengan asas perikemanusiaan maka konvensi ini juga disebut
hukum humaniter.
melindungi baik orang menderita akibat pertikaian senjata, maupun objek yang tidak langsung
mendukung usaha militer. Untuk HHI ini ada beberapa istilah yang digunakan, pada masa lalu
digunakan hukum perang. Perubahan situasi dan kondisi istilah Hukum perang diganti dengan
hukum konflik bersenjata dan istilah ini digunakan oleh ABRI, kemudian berubah menjadi
Hukum Humaniter Internasional dan istilah ini digunakan oleh kalangan akademisi.
Sebelum Konvensi Jenewa pertama disepakati pada tahun 1864, sudah terdapat beberapa
peraturan dalam Hukum Perang. Tetapi peraturan tersebut tidak bersifat formal dan biasanya
hanya dipatuhi berdasarkan persetujuan khusus antara pemimpin militer, dan berlaku untuk
jangka waktu tertentu. HHI baru diakui secara internasional dan permanen, setelah adanya
HHI seperti yang dikenal masa ini terdiri dari Hukum Jenewa (Perlindungan terhadap Korban
Perang) dan Hukum Den Haag(Sarana dan (cara berperang). Pada makalah ini akan
difokuskan pada Hukum Jenewa. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban
Perang yang disebut juga Konvensi Palang Merah, mencakup empat buah konvensi yang
masing-masing bernama:
1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medang
Perang.
2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, dan Korban Kapal
4. Konvensi Jenewa tentang Perlindungan kepada para Penduduk Sipil dalam Peperangan.
ad.1 Konvensi Jenewa I untuk Perbaikan kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di
Medan Perang.
Konvensi Jenewa pertama ditandatangani pada tahun 1864 oleh 12 Negara yang pada
waktu itu, mempunyai posisi penting di bidang politik internasional. Pada tahun 1864,
Konvensi Jenewa terdiri dari 10 pasal yang mengatur tentang perbaikan kondisi
Prajurit yang cedera dan sakit dimedan perang. Konvensi ini menetapkan bahwa:
a. Prajurit yang cedera dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat, tampa
mempedulikan kebangsaannya;
b. Petugas kesehatan dan sarana serta prasarana yang digunakan untuk merawat
prajurit yang cedera dan sakit di medan perang harus diberikan status netral;
c. Lambang Palang merah di atas dasar putih disetujui sebagai tanda pelindung;
Setelah itu, Konvensi Jenewa tersebut direvisi dan dikembangkan pada tahun 1906
ad.2 Konvensi Jenewa II untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, Korban
Pada Konvensi Den Haag yang diadakan tahun 1899, perlindungan yang diberikan oleh
Konvensi Jenewa pertama diperluas mencakup korban kapal karam pada waktu terjadi
Den Haag tahun 1907. Berdasarkan kedua Konvensi Den Haag, disusun pada tahun
1949 Konvensi Jenewa II tentang perbaikan kondisi tentara yang cedera, sakit dan
korban kapal karam dalam peperangan dilaut. Isi dan konvensi tersebut adalah
Konvensi Den Haag yang diselenggaran pada tahun 1899 dan 1907, menyinggung
pula soal tawanan perang. Namun demikian, pada waktu Perang Dunia I, ketentuan-
masih kurang oleh karena itu, pada tahun 1929, disusun Konvensi Jenewa tentang
a. Tawanan perang bukanlah seorang Kriminal, tetapi pihak musuh yang tidak dapat
b. Oleh karena itu, tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi selama
ditahan;
Konvensi Jenewa ini dikembangkan kembali pada tahun 1949, menjadi Konvensi
Jenewa III.
Sebelum tahun 1949, HHI belum dapat diterapkan untuk melindungi masyarakat sipil.
Pada waktu Perang Dunia II, ribuan orang sipil menjadi korban. Hal ini sangat
Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 sudah ditandatangani oleh 188 Negara (31
tawanan perang dan interniran sipil (orang yang ditempatkan di suatu lokasi dan
Selalu harus dibedakan antara penduduk sipil dan peserta tempur, antara sarana
sipil dan sarana militer, sehingga serangan hendaknya hanya diarahkan ke sasaran
militer.
dan kepentingan militer, sehingga korban kerusakan akibat operasi militer tidak
operasi tersebut.
internasional. Pasal 3 yang sama dalam 4 Konvensi Jenewa sering disebut merupakan
sebuah konvensi dalam bentuk kecil, karena mengungkapkan dengan baik semangat
HHI.
Pasal ini menegaskan peraturan minimal yang harus dihormati dalam pertikaian
kolektif, hukuman mati tanpa melalui proses pengadilan yang sah,serta setiap
Meskipun lingkup penerapan dari empat Konvensi Jenewa tersebut sudah diperluas
namun pertikaian bersenjata yang pecah setelah tahun 1949 masih menunjukkan
kekurangan dari sistem perlindungan HHI, oleh karena itu, Konvensi-konvensi Jenewa
dilengkapi dengan dua buah Protokol Tambahan pada tahun 1977. Protokol-protokol
menggantikannya.
Protokol Tambahan I
Protokol I diterapkan dalam pertikaian bersenjata yang bersifat internasional dan perang
sendiri. Semua hak dan kewajiban yang ditegaskan dalam HHI dengan demikian dapat
Meskipun Konvensi Jenewa IV berkaitan dengan perlakuan terhadap masyarakat sipil dalam
masa peperangan, namun perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil masih
dirasakan kurang. Jadi Protokol I menegaskan kembali prinsip-prinsip itu dan menjadikannya
masyarakat sipil dan semua penyerangan yang membabi-buta, perlindungan sarana yang
dibutuhkan untuk kelangsungan hidup masyarakat sipil (seperti bahan makanan, instalasi air
minum atau sarana irigasi), larangan masyarakat sipil menderita kelaparan sebagai metode
perangan, perlindungan instalasi yang berisi kekuatan yang berbahaya (seperti bendungan
atau statiun tenaga nuklir untuk produksi listrik dan sebagainya), perlindungan obyek budaya
dan tempat-tempat pemujaan. Kesemuanya itu merupakan suatu bagian aturan yang cukup
Di antara lain ditegaskan bahwa melakukan aksi balas dendam terhadap masyarakat sipil
adalah dilarang. Oleh karena itu sangat tidak mungkin untuk membenarkan pelanggaran
terhadap larangan penyerangan terhadap rakyat sipil dengan alasan bahwa pihak lain telah
diperkuat dalam artian apabila masyarakat sipil mengalami kekurangan makanan, obat-obatan
dan kebutuhan dasr lainnya, pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian bersenjata diwajibkan
untuk mengizinkan dan mendukung operasi bantuan Humaniter yang ditujukan untuk
Protokol Tambahan II
Ada negara yang selalu menunjukkan keenganan untuk menyetujui Hukum Internasional
dimaksud untuk mengatur situasi yang dianggap sebagai masalah internal. Negara-negara itu
baru merubah sikap tersebut pada tahun 1949 dengan menyepakati Pasal 3 yang sama dalam
empat Konvensi Jenewa yang mengatur tentang Pertikaian Bersenjata dalam negeri. Protokol
berlangsung dalam negeri. Protokol II memberikan rincian, namun tidak mengubah Pasal 3
Konvensi Jenewa. Penting diperhatikan di sini, Protokol II seperti Pasal 3 Konvensi Jenewa,
tidak menghambat pemerintah untuk memelihara ketertiban umum dan untuk
mempertahankan persatuan nasional serta integritas teritorial dengan semua cara yang sah.
Protokol II ini tidak mempengaruhi status hukum anggota gerakan pemberontak yang tetap
Bagian utama dari Protokol II memuat aturan-aturan yang memperkuat perlindungan korban
pertikaian bersenjata dalam negeri dan sekaligus memperkuat landasan hukum untuk
kegiatan Palang Merah. khususnya bagi mereka yang telah meletakkan senjata setelah ikut
serta dalam permusuhan, mereka berhak atas perlakuan yang manusiawi. Setiap orang yang
ditahan mempunyai beberapa hak dasar yang mutlak dihormati, guna melindungi kehidupan,
kesehatan, dan martabat, serta menjamin hubungan mereka dengan keluarga masing-masing
tetap terjalin. Pihak instansi pemerintah tetap berwenang untuk menuntut orang-orang yang
dituduh melawan hukum.Di sini terdapat pula beberapa jaminan peradilan yang harus
dihormati, guna menjamin setiap orang yang dituntut sehubungan dengan pertikaian
bersenjata, berhak mendapat pengadilan yang adil dan wajar. Hak dan jaminan tersebut
mendekatkan Hukum Humaniter Internasional dengan perlindungan yang diberikan oleh Hak
Asasi Manusia.
Protokol Tambahan II ini sampai dengan tanggal 3 Maret 1997, telah diratifikasi oleh 147
Konvensi Jenewa, sampai saat ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
manusia. HHI akan diterapkan jika terjadinya pertikaian bersenjata sedangkan HAM
Secara singkat dapat dikatakan bahwa HHI diciptakan khusus untuk melindungi dan
memelihara hak asasi (kehidupan, kesehatan dan sebagainya) korban dan non-kombatan
dalam pertikaian bersenjata. HHI merupakan hukum darurat yang diterapkan dalam situasi
tertentu. Sedangkan HAM, dengan melindungi hak-hak manusia, menuju pada perkembangan
dapat dibatasi ataupun dihapus, apabila berlangsung perang atau karena alasan lainnya yang
tidak dapat diperkecualikan, meskipun dalam keadaan yang sangat luar biasa, sepeti pada
waktu berlangsung pertikaian bersenjata. Jadi berdasarkan hukum yang berlaku, hak-hak
yang dianggap sebagai intisari dari HAM ini, tetap terjamin. Dengan demikian, setiap negara
yang telah menandatangani perjanjian internasional mengenai HAM, apapun alasannya, tidak
dapat membenarkan tindakan yang mengurangi perlindungan minimal yang diberikan kepada
setiap individu.
a. Hak untuk hidup (Pasal 6 Covenant, 2 Konvensi Roma, 4 Pakta San Jose).
Pasa 6 Covenant Hak Sipil dan Politik mengatur tentang Hak untuk hidup.
Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa kehidupan dilinungi oleh HHI dengan adanya
orang yang sakit dan cedera, dan yang mengatur tentang perlakuan tawanan perang,
interniran sipil dan masyarakat sipil di bawah pendudukan musuh, serta tentang
hukuman mati seperti; ketentuan yang melarang pelaksanaan hukuman mati dalm 6
bulan berikut keputusan pengadilan atau yang melarang hukuman mati dijatuhkan
pada orang berumur di bawah 18 tahun, pada wanita hamil, maupun ibu yang
mempunyai anak masih kecil (Konvensi Jenewa IV, Pasal 68 dan 75)
Dalam HHI, korban perang yaitu orang yang jatuh dalam tangan pihak musuh, tidak
boleh dibunuh. Tetapi, selama terlibat dalam pertikaian bersenjata, peserta tempur
tidak mungkin mendapat perlindungan atas kehidupan mereka. Namun dalam HHI
militer, meskipun masih dapat terjadi korban sipil secara insidentil. Protokl Tambahan
I juga melindungi kehidupan dengan melarang tindakan untuk membuat orang sipil
menderita kelaparan sebagai suatu metode peperangan, serta merusak sarana yang
sipil, dapat ditentukan lokasi bebas yang tidak boleh dijadikan sasaran militer.
Dalam HAM, pelanggaran ini ditetapkan dalam Covenant mengenai Hak Sipil dan
Politik Pasal 7. Dalam HHI sebagian besar dari Konvensi-konvenai Jenewa dapat dilihat
bersenjata.
Dalam HAM, pelanggaran perbudakan diatur dalam Pasal 8 Konvensi Hak Sipil dan
Politik. Dalam HHI, diatur dalam Protokol II Tahun 1977 pada Pasal 4 ayat 2 huruf f.
perang serta perlakuan orang sipil di bawah pendudukan musuh mempunyai pulam
efek perlindungan bagi para korban pertikaian bersenjata terhadap segala bentuk
perbudakan.
Dalam HAM, jaminan pengadilan walaupun tidak dinyatakan sebagai hak-hak yang
termasuk hard-core, telah diakui sebagai hak-hak yang amat penting, supaya HAM
lainnya dapat diterapkan secara efektif. Dalam HHI, jaminan pengadilan sudah
mati yang dijalankan di luar proses pengadilan, maupun yang tidak manusia.
Hak dan jaminan dasar tersebut di atas tidak dapat dikecualikan dan tetap berlaku, baik di
masa damai maupun pada waktu pertikaian bersenjata. Hak dan Jaminan dasar ini mutlak
dihormati pula dalam situasi kekacauan dalam negeri, di mana pemerintah yang bersangkutan
terpaksa mengambil tindakan yang luar biasa untuk memelihara ketertiban dan keamanan
umum.
HHI dengan tujuan membatasi kekerasan, memuat pula peraturan-peraturan yang menjamin
hak-hak manusia yang sama, karena hak-hak tersebut di atas dianggap merupakan hak
minimal. Jadi intisari hak-hak manusia ini menjamin perlindungan minimal yang mutlak
dihormati terhadap siapapun, baik di masa damai maupun pada waktu perang. Hak-hak
manusia ini merupakan bagian dari kedua sistem hukum yaitu HHI dan HAM.
Hak dan jaminan dasar tersebut di atas tidak dapat diperkecualikan dan tetap berlaku, baik di
masa damai maupun pada waktu pertikaian bersenjata. Hak dan jaminan dasar ini mutlak
dihormati pula, dalam situasi kekacauan dalam negeri, di mana pemerintah yang
bersangkutan terpaksa mengambil tindakan yang luar biasa untuk memelihara ketertiban dan
keamanan umum.
Dapat dikatakan pula bahwa meskipun lingkup perlindungan HHI tidak seluas lingkup
perlindungan yang diberikan oleh HAM, ketentuan-ketentuan HHI tidak dapat diperkecualikan,
ketentuan tersebut. Jika terjadi sengketa bersenjata, setiap negara penandatangann harus
menerapkan HHI sepenuhnya, dan tidak dapat membenarkan pelanggaran terhadap HHI