Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI KEJANG
Kejang adalah gerakan otot tonik atau klonik yang involuntar yang merupakan serangan
berkala, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Kejang tidak
secara otomatis berarti epilepsi. Dengan demikian perlu ditarik garis pemisah yang tegas :
manakah kejang epilepsi dan mana pula kejang yang bukan epilepsy? Tetanus, histeri, dan kejang
demam bukanlah epilepsi walaupun ketiganya menunjukkan kejang seluruh tubuh. Cedera
kepala yang berat, radang otak, radang selaput otak, gangguan elektrolit dalam darah, kadar gula
darah yang terlalu tinggi, tumor otak, stroke, hipoksia, semuanya dapat menimbulkan kejang.
Kecuali tetanus, histeri, hal-hal yang tadi, kelak di kemudian hari dapat menimbulkan epilepsi.

B. KLASIFIKASI
Pada tahun 1981, The International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu sistem
klasifikasi internasional kejang epileptik yang membagi kejang menjadi dua kelompok besar
yaitu Kejang Parsial (fokal atau lokal) dan Kejang Generalisata. Kejang parsial kemudian dibagi
lagi menjadi Parsial Sederhana, Parsial Kompleks, dan Parsial yang menjadi Generalisata
sekunder. Adapun yang termasuk kejang generalisata yaitu Lena (Tipikal atau Atipikal),
mioklonik, klonik, tonik, tonik-klonik, dan kejang atonik.
1. Kejang Parsial (Partial-onset Seizure)
Kejang Parsial bermula dari area fokus tertentu korteks serebri,
2. Kejang Generalisata (Generalized-onset Seizure)
Kejang Generalisata berawal dari kedua hemisfer serebri. Bisa bermula dari
talamus dan struktur subkortikal lainnya. Pada EEG ditemukan kelainan secara serentak
pada kedua hemisfer. Kejang generalisata memberikan manifetasi bilateral pada tubuh
dan ada gejala penurunan kesadaran. Kejang generalisata diklasifikasikan menjadi atonik,
tonik, klonik, tonik klonik atau absence seizure. Beberapa penyakit yang memberikan
gambaran kejang generalisata antara lain : Benign Neonatal Convulsion, Benign
Myoclonic Epilepsy, Childhood Absence Epilepsy, Juvenille Absence Epilepsy, Juvenille
Myoclonic Epilepsy.

1
Kejang tonik adalah kekakuan kontraktur pada otot-otot, termasuk otot
pernafasan. Kejang klonik berupa gemetar yang bersifat lebih lama. Jika keduanya
muncul secara bersamaan maka disebut kejang tonik klonik (kejang Grand Mal).
Sebagian kejang yang lain sulit dikelompokkan pada salah satunya dimasukkan
sebagai kejang tidak terklasifikasi (Unclassified Seizure). Cara pengelompokan ini masih
diterima secara luas

C. JENIS-JENIS KEJANG
A. Kejang Parsial
Kejang Parsial Sederhana
1. Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini:
Tanda-tanda motoriskedutaan pada wajah. Tangan, atau salah satu sisi tubuh :
umumnya gerakan kejang yang sama.
Tanda atau gejala otonomikmuntah berkeringan, muka merah, dilatasi pupil.
Gejala somatosensoris atau sensoris khusus-mendengar musik, merasa seakan jatuh
dari udara, parestesia.
Gejala psikikdejavu, rasa takut, sisi panoramic.

Kejang parsial kompleks


1. Terdapat gangguan kesadaran. Walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks.
2. Dapat mencakup otomatisme atau gerakan aromaticmengecapkan bibir, mengunyah,
gerakan mencongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3. Dapat tanpa otomatismetatapan terpaku.

B. Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif)


Kejang Absens
1. Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.
2. Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik.
3. Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada dan berkonsentrasi penuh.
4. Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh dengan sendirinya
pada usia 18 tahun.

2
Kejang Mioklonik
Kedutaan-kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak

Kejang MioklonikLanjutan
1. Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutaan-
kedutaan sinkron dari leher, bahu, lengan atas dan kaki.
2. Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam kelompok.
3. Kehilangan kesadaran hanya sesaat

Kejang Tonik-Klonik
1. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ektremitas,
batang tubuh, dan wajah, yang langsung kurang dari 1 menit.
2. Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kebih dan usus.
3. Tidak adan respirasi dan sianosis
4. Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah.
5. letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical

Kejang Atonik
1. Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun,
kepala menunduk atau jatuh ketanah.
2. Singkat, dan terjadi tampa peringatan.

Status Epileptikus
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan pengobatan yang
tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun kematian . Definisi dari
status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30 menit, akan tetapi untuk penanganannya
dilakukan bila sudah lebih dari 5.

3
D. MEKANISME KEJANG

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak dperlukan suatu energi
yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dn
permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dpat dilalui dengan
mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion didalam dan diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:

1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler


2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari
sekitarnya
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Tiap neuron yang aktif melepaskan muatan listriknya. Fenomena elektrik ini adalah wajar.
Manifestasi biologiknya ialah merupakan gerak otot atau suatu modalitas sensorik, tergantung
dari neuron kortikal mana yang melepaskan muatan listriknya. Bilamana neuron somatosensorik
yang melepaskan muatannya, timbullah perasaan protopatik atau propioseptif. Demikian pula
akan timbul perasaan panca indera apabila neuron daerah korteks pancaindera melepaskan
muatan listriknya.
Secara fisiologis, suatu kejang merupakan akibat dari serangan muatan listrik terhadap
neuron yang rentan di daerah fokus epileptogenik. Diketahui bahwa neuron-neuron ini sangat
peka dan untuk alasan yang belum jelas tetap berada dalam keadaan terdepolarisasi. Neuron-

4
neuron di sekitar fokus epileptogenik bersifat GABA-nergik dan hiperpolarisasi, yang
menghambat neuron epileptogenik. Pada suatu saat ketika neuron-neuron epileptogenik melebihi
pengaruh penghambat di sekitarnya, menyebar ke struktur korteks sekitarnya dan kemudian ke
subkortikal dan struktur batang otak.
Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial
membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Pada keadaan
patologik, gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran neuron,
sehingga neuron melepaskan muatan listriknya dan terjadi kejang.

kejang yang tidak diawali demam.


Perubahan ion

Membran neuron berubah permeabilitasnya

Focus kejang di korteks serebri

Asetikolin meningkat, GABA menurun

Dan secara singkat proses patologinya dapat diuraikan sebagai berikut:


membrane neuron berubah permeabilitasnya
peningkatan asetikolin disertai penurunan GABA
sel glia kurang begitu mampu menjalankan fungsinya

E. PENYAKIT-PENYAKIT YANG MENYEBABKAN KEJANG


Penyakit-penyakit yang menyebabkan kejang dapat dikelompokkan secara sederhana
menjadi penyebab kejang epileptik dan penyebab kejang non-epileptik. Penyakit epilepsi akan
dibahas tersendiri sementara kelompok non-epileptik terbagi lagi menjadi penyakit sistemik,
tumor, trauma, infeksi, dan serebro-vaskuler.

5
a. Sistemik
Metabolik : Hiponatremia, Hipernatremia,
Hiponatremia
Hiponatremia terjadi bila :
a) Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi,
b) Ketidakmampuan menekan sekresi ADH (mis : pada kehilangan cairan melalui
saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH = Syndrom of
Inappropriate ADH-secretion). Hiponatremia dengan gejala berat (mis :
penurunan kesadaran dan kejang) yang terjadi akibat adanya edema sel otak
karena air dari ektrasel masuk ke intrasel yang osmolalitas-nya lebih tinggi
digolongkan sebagai hiponatremia akut (hiponatremia simptomatik). Sebaliknya
bila gejalanya hanya ringan saja (mis : lemas dan mengantuk) maka ini masuk
dalam kategori kronik (hiponatremia asimptomatik).
Langkah pertama dalam penatalaksanaan hiponatremia adalah mencari sebab
terjadinya hiponatremia melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Langkah selanjutnya adalah pengobatan yang tepat sasaran dengan koreksi
Na berdasarkan kategori hiponatremia-nya.
Hipernatremia
Hipernatremia terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik misalnya pada
orang dengan usia lanjut atau penderita diabetes insipidus. Oleh karena air keluar maka
volume otak mengecil dan menimbulkan robekan pada vena menyebabkan perdarahan
lokal dan subarakhnoid.
Setelah etiologi ditetapkan, maka langkah penatalaksanaan berikutnya ialah
mencoba menurunkan kadar Na dalam plasma ke arah normal. Pada diabetes insipidus,
sasaran pengobatan adalah mengurangi volume urin. Bila penyebabnya adalah asupan Na
berlebihan maka pemberian Na dihentikan.

b. Intoksikasi
Penegakan diagnosa pasti penyebab keracunan cukup sulit karena diperlukan
sarana laboratorium toksikologi sehingga dibutuhkan auto-anamnesis dan alloanamnesis
yang cukup sermat serta bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian. Selanjutnya pada
pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun. Penemuan klinis

6
seperti ukuran pupil mata, frekuensi napas dan denyut jantung mungkin dapat membantu
penegakan diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Pemeriksaan penunjang berupa analisa toksikologi harus dilakukan sedini mungkin
dengan sampel berupa 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan, feses. Pemeriksaan lain
seperti radiologis, laboratorium klinik, dan EKG juga perlu dilakukan. Adapun standar
penatalaksanaan dari intoksikasi yaitu stabilisasi, dekontaminasi, eliminasi, dan
pemberian antidotum.
Sementara gejala yang sering menjadi penyerta atau penyulit adalah gangguan
cairan, elektrolit, dan asam-basa ; gangguan irama jantung ; methemoglobinemia ;
hiperemesis ; distonia ; rabdomiolisis ; dan sindrom antikolinergik.

c. Tumor
Kira-kira 10% dari semua proses neoplasmatik di seluruh tubuh ditemukan pada
susunan saraf dan selaputnya, 8% di antaranya berlokasi di ruang intrakranial dan 2%
sisanya di ruang kanalis spinalis. Dengan kata lain 3-7 dari 100.000 orang penduduk
mempunyai neoplasma saraf primer. Urutan frekuensi neoplasma intrakranial yaitu :
Glioma (41%), Meningioma (17%), Adenoma hipofisis (13%), Neurilemoma /
neurofibroma (12%), Neoplasma metastatik dan neoplasma pembuluh darah serebral.
Pembagian tumor dalam kelompok benigna dan maligna tidak berpengaruh secara
mutlak bagi tumor intrakranial oleh karena tumor benigna secara histologik dapat
menduduki tempat yang vital, sehingga menimbulkan kematian dalam waktu singkat.

Simptomatologi tumor intrakranial dapat dibagi dalam :


1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranial yang meninggi
Selain menempati ruang, tumor intrakranial juga menimbulkan perdarahan
setempat. Penimbunan katabolit di sekitar jaringan tumor menyebabkan jaringan otak
bereaksi dengan menimbulkan edema yang juga bisa diakibatkan penekanan pada
vena sehingga terjadi stasis. Sumbatan oleh tumor terhadap likuor sehingga terjadi
penimbunan juga meningkatkan tekanan intrakranial.
TIK yang meningkat menimbulkan gangguan kesadaran dan menifestasi
disfungsi batang otak yang dinamakan:
(a) sindrom unkus / kompresi diensefalon ke lateral ;
(b) sindrom kompresi sentral restrokaudal terhadap batang otak ; dan
(c) herniasi serebelum di foramen magnum. Sebelum tahap stupor atau koma tercapai,
TIK yang meninggi sudah menimbulkan gejala-gejala umum.
2. Gejala-gejala umum akibat tekanan intrakranial yang meninggi

7
a. Sakit kepala = Akibat peningkatan CBF setelah terjadi penumpukan PCO2
serebral terutama setelah tidur. Lonjakan TIK juga akibat batuk, mengejan atau
berbangkis.
b. Muntah = Akibat peningkatan TIK selama tidur malam karena PCO2 serebral
meningkat. Sifat muntah proyektil atau muncrat dan tidak didahului mual
c. Kejang = Kejang fokal dapat merupakan manifestasi pertama tumor intrakranial
pada 15% penderita. Meningioma pada konveksitas otak sering menimbulkan
kejang fokal sebagai gejala dini. Kejang umum dapat timbul sebagai manifestasi
tekanan intrakranial yang melonjak secara cepat, terutama sebagai menifestasi
glioblastoma multiforme. Kejang tonik yang sesuai dengan serangan rigiditas
deserebrasi biasanya timbul pada tumor di fossa kranii posterior dan secara tidak
tepat dinamakan oleh para ahli neurologi dahulu sebagai cerebellar fits.
d. Gangguan mental = Tumor serebri dapat mengakibatkan demensia, apatia,
gangguan watak dan intelegensi, bahkan psikosis, tidak peduli lokalisasinya.
e. Perasaan abnormal di kepala = Rasa seperti enteng di kepala, pusing atau
tujuh keliling. Mungkin sehubungan dengan TIK yang meninggi. Sehingga
karena samarnya maka kebanyakan dari keluhan semacam ini tidak dihiraukan
oleh pemeriksa dan dianggap keluhan fungsional.
3. Tanda-tanda lokalisatorik yang menyesatkan
Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifastasi yang tidak sesuai dengan
fungsi tempat yang didudukinya berupa :
a) Kelumpuhan saraf otak
b) Refleks patologik yang positif pada kedua sisi
c) Gangguan mental
d) Gangguan endokrin
e) Ensefalomalasia
4. Tanda-tanda lokalisatorik yang benar
Defisit serebral dibangkitkan oleh tumor di daerah fungsional yang khas berupa
monoparesis, hemiparesis, hemianopia, afasia, anosmia dan seterusnya.
I. Simptom fokal dari tumor di lobus frontalis : sakit kepala, gangguan mental,
kejang tonik fokal, katatonia, anosmia
II. Simptom fokal dari tumor di daerah pre-sentral : kejang fokal pada sisi
kontralateral, hemiparesis kontralateral, paraparese, gangguan miksi
III. Simptom fokal dari tumor di lobus temporalis : hemianopsia kuadran atas
kontralateral dengan tinitus, halusinasi auditorik, dan afasia sensorik beserta
apraksia

8
IV. Simptom fokal dari tumor di lobus parietalis : serangan Jackson sensorik,
astereognosia dan ataksia sensorik, thalamic over-reaction, hemianopsia
kuadran bawah homonim yang kontralateral, agnosia, afasia sensorik, serta
apraksia
V. Simptom fokal dari tumor di lobus oksipitalis
VI. Simptom fokal dari tumor di korpus kalosum
1. Tanda-tanda fisik diagnostik pada tumor intrakranial
a. Papil edema ;
b. Pada anak ukuran kepala membesar dan sutura teregang, perkusi = bunyi kendi
rengat, auskultasi = ada bising ;
c. Hipertensi intrakranial bradikardi & TD sistemik yang meningkat progresif =
dapat dianggap sebagai kompensasi penanggulangan iskemik
d. Irama dan frekuensi pernafasan berubah

d.Trauma
Kejang dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus segera diatasi karena akan
menyebabkan hipoksia otak dan kenaikan tekanan intrakranial serta memperberat edem
otak. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi
sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB
secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
Lokasi Lesi
Kejang Parsial Sederhana : korteks serebri
Kejang Parsial kompleks : system limbic
Kejang umum : korteks serebri , diensephalon, serebellum

e. Infeksi
Infeksi pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses dalam bentuk empiema
epidural, subdural, atau abses otak. Klasifikasi lain membahas menurut jenis kuman yang
mencakup sekaligus diagnosa kausal
1) Infeksi viral
2) Infeksi bakterial
3) Infeksi spiroketal
4) Infeksi fungal
5) Infeksi protozoal
6) Infeksi metazoal

f. Serebrovaskuler

9
Stroke mengacu kepada semua gangguan neurologik mendadak yang terjadi
akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah
stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. CVA
(Cerebralvascular accident) dan serangan otak sering digunakan secara sinonim untuk
stroke. Konvulsi umum atau fokal dapat bangkit baik pada stroke hemoragik maupun
strok non-hemoragik.
Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskuler serebral
dapat dibagi dalam :
1) Transient ischemic attack,
2) Stroke in evolution,
3) Completed stroke, yang bisa dibagi menjadi tipe hemoragik dan tipe non hemoragik

g. Epilepsi
Kata epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanein yang berarti serangan.
Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi gejala yang dapat timbul karena penyakit.
Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala
tunggal yang khas, yaitu seragan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
neuron kortikal secara berlebihan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala - gejala yang
datang dalam serangan - serangan, berulang - ulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel - sel saraf otak , yang bersifat reversibel.
Klasifikasi serangan pada epilepsi dapat dibagi menjadi dua kelompok utama
yaitu parsial dan umum. Kejang parsial kemudian dibagi menjadi parsial sederhana,
parsial, kompleks, dan parsial dengan umum sekunder.

I. Serangan parsial (fokal, lokal) kesadaran tak berubah


A. Serangan parsial sederhana (kesadaran tetap baik)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
3. Dengan gejala autonom
4. Dengan gejala psikis
B.Serangan parsial kompleks (kesadaran menurun)
1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berkembang ke penurunan kesadaran
2.Dengan penurunan kesadaran sejak awitan

II. Serangan umum (konvulsif atau non-konvulsif)


A. 1. Absence

10
2. Absence tak khas
B. Mioklonik
C. Klonik
D. Tonik
E. Tonik-klonik
F. Atonik
III. Serangan epilepsi tak terklasifikasikan misalnya : gerakan ritmis pada mata, gerakan
mengunyah dan berenang.

Diagnosis
Pada umumnya, seseorang yang mengalami hanya satu kali serangan kejang
tidak akan diberi terapi epilepsi dahulu. Namun jika dalam waktu satu tahun terjadi lebh
dari satu serangan maka perlu dipertimbangkan untuk mulai dengan obat-obat
antiepilepsi. Diagnosis epilepsi biasanya dapat dibuat dengan cukup pasti dari anamnesis
lengkap, terutama mengenai gambaran serangan, hasil pemeriksaan umum dan
neurologik serta elektroensefaligrafi (EEG).
Terapi
Obat anti epilepsi (Antiepileptic Drug / AED) digolongkan berdasarkan
mekanisme kerjanya.
1. Sodium channel blockers : Fenitoin, Fosfenitoin, Oxcarbazepine, Zonisamide,
Clobazam, Fenobarbital, Felbamate, Topiramate
2. Calsium inhibitors : Fenitoin, Fosfenitoin, Clobazam, Fenobarbital, Felbamate
3. GABA enhancers : Clobazam, Clonazepam, Fenobarbital, Tiagabine, Vigabatrin,
Gabapentin, Topiramate
4. Glutamate blocker : Lamotrigine, Fenobarbital, Topiramate
5. Carbonic anhydrase inhibitor : Topiramate
6. Hormon
7. dan obat-obat lain yang belum diketahui pasti mekanisme kerjanya : Primidine,
Valproate, Levetiracetam.

Prognosis

11
Prognosis epilepsi bergantung kepada beberapa hal, di antaranya jenis
epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada
umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi
serangan dapat dicegah dengan obat-obatan, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu
akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang
umum maupun serangan lena (ngelamun) atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai
kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektroensefalogram (EEG) dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan focus dan
kejang. Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Ada kelainan berupa
epilepsiform discharge atau epileptiform activity), misalnya spike sharp wave, spike and
wave dan sebagainya. Rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah
fokal, multifokal, kortikal atau subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan secara
berkala (kira-kira 8-12 % pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal).

a. Diagnosis epilepsy tidak hanya tergantung pada temuan EEG yang abnormal
b. Tidur lebih disukai selama EEG, meskipun sedasi dengan pemantauan mungkin
dindakasikan

2. Pemindaian CT menggunakan kajian sinar-X yang masih lebih sensitive dan biasanya
untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. MRI ( Magnetic Resonance imaging) menghasilkan bayangan dengan lapangan
magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah-daerah otak (regio
fossa posterior dan regio sella) yang tidak terlihat jelas apabila menggunakan pemindaian
CT.
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang,
kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran sutura,
erosi sela tursika dan sebagainya. Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat
gambaran ventrikel, sisterna, rongga sub arachnoid serta gambaran otak. Arteriografi

12
untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak, penyumbatan,
neoplasma / hematome/ abses.

4. PET (Pemindaian positron emission temography) untuk mengevaluasi kejang yang


membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolic, atau aliran
darah dalam otak (mencakup suntikan radioisotop secara IV).
5. Potensial yang membangkitkandigunakan untuk menentukan integritas jalur sensoris
dalam otak (respons yang tidak ada atau tertunda atau mengindikasikan keadaan yang
patologik).
6. Uji laboratorium berdasarkan riwayat anak dan hasil pemeriksaan.
a. Punksi lumbal untuk menganalisis cairan serebrospinalterutama dipakai untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi.
b. Hitung daerah lengkapuntuk menyingkirkan infeksi sebagai penyebab; dan
pada kasus yang diduga disebabkan trauma, dapat mengevaluasi haematokit dan
jumlah trombosit.
c. Panel elektrolitserum elektrolit, Ca total, dan magnesium serum seringkali
diperiksa pada saat pertama kali terjadi kejang, dan pada anak yang berusia
kurang dari 3 bulan, dengan penyebab elektrolit dan metabolic lebih lazim
ditemuai (uji glukosa darah dapat bermamfaat pada bayi atau anak kecil dengan
kejang yang berkepanjangan untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia).
d. Skrining toksik dari serum dan urindigunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan keracunan.
e. Pemantauan kadar obat antiepileptikdigunakan pada fase awal penatalaksanaan
dan jika kepatuhan pasien diragukan.

G. TERAPI KEJANG
Penanganan kejang secara modern bermula dari tahun 1850 dengan pemberian Bromida,
dengan dasar teori bahwa epilepsi disebabkan oleh suatu dorongan sex yang berlebih. Pada tahun
1910, kemudian digunakan Fenobarbital yang awalnya dipakai untuk menginduksi tidur,
kemudian diketahui mempunyai efek antikonvulsan dan menjadi obat pilihan selama bertahun-
tahun. Sejumlah obat lain yang juga digunakan sebagai pengganti Fenobarbital termasuk

13
Pirimidone, dan Fenitoin yang kemudian menjadi first line drug epilepsi utama untuk
penanganan kejang parsial dan generalisata sekunder. Pada tahun 1968, Karbamazepin awalnya
digunakan untuk neuralgia trigeminal, kemudian pada tahun 1974 digunakan untuk kejang
parsial. Etosuksimid telah digunakan sejak 1958 sebagai obat utama untuk penanganan absence
seizures tanpa kejang tonik klonik generalisata. Valproate mulai digunakan 1960 dan saat ini
sudah tersedia di seluruh dunia dan menjadi drug of choice pada epilepsy primer generalisata dan
kejang parsial.
1. Fenobarbital
Merupakan obat antiepilepsi atau antikonvulsi yang efektif. Toksisitasnya relatif rendah,
murah, efektif, dan banyak dipakai. Dosis antikonvulsinya berada di bawah dosis untuk
hipnotis. Ia merupakan antikonvulsan yang non-selektive. Manfaat terapeutik pada
serangan tonik-klonik generalisata (grand mall) dan serangan fokal kortikal.
2. Primidon
Efektif untuk semua jenis epilepsy kecuali absence. Efek antikonvulsi ditimbulkan oleh
primidon dan metabolit aktifnya.
3. Hidantoin
Yang termasuk dalamm golongan ini adalah fenitoin, mefenitoin, dan etotoin.
Fenitoin : Fenitoin adalah obat primer untuk semua bangkitan parsial dan bangkitan
tonik-klonik, kecuali bangkitan absence (absence seizure). Fenitoin tidak sedative pada
dosis biasa. Berbeda dengan fenobarbital, obat ini juga efektif pada beberapa kasus
epilepsy lobus temporalis.
4. Karbamazepine
Termasuk dalam golongan iminostilbenes. Manfaat terapeutik ialah untuk Epilepsi lobus
temporalis, sendiri atau kombinasi dengan bangkitan generalisata tonik-klonik (GTCS).
5. Etosuksimid
Obat ini dipakai untuk bangkitan absence. Efek antikonvulsi pada binatang sama halnya
dengan trimetadion. Proteksi terhadap pentilentetrazol, akan menaikkan nilai ambang
serangan. Manfaat terapeutik ialah terhadap bengkitan absence.
6. Asam valproat (Valproic acid)
Asam valproat dipakai untuk berbagai jenis serangan atau bangkitan. Efek sedasinya
minimal, efek terhadap SSP lain juga minimal. Terhadap Pentilen tetrazol, potensi asam
valproat lebih besar daripada etosuksimid, tapi lebih kecil pada fenobarbital. Asam
valproat lebih bermanfaat untuk bangkitan absence daripada terhadap bangkitan umum
tonik-klonik.

14
Kejang Kejang Umum (generalized seizures)
parsial

Tonic-clonic Abscense Myoclonic,


atonic
Drug of Karbamazepin Valproat Etosuksimid Valproat
choice Fenitoin Karbamazepin Valproat
Valproat Fenitoin
Alternatives Lamotrigin Lamotrigin Clonazepam Klonazepam
Gabapentin Topiramat Lamotrigin Lamotrigin
Topiramat Primidon Topiramat
Tiagabin Fenobarbital Felbamat
Primidon
Fenobarbital

Algoritma Tatalaksana Status Epileptikus

15
H. KOMPLIKASI.
Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang
berulang.
Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.

I. PROGNOSIS

16
Kejang adalah suatu masalah neurologik yang relative sering dijupai. Sekitar 10% populasi
akan mengalami paling sedikit satu kali kejang seumur hidup mereka, dengan insiden paling
tinggi terjadi pada masa anak-anak dini dan lanjut usia (setelah usia 60 tahun), dan 0,3% sampai
0,5% akan didiagnosa mengidap epilepsi (berdasarkan kriteria dua kali kejang tanpa pemicu)

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita


Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005. p119-127.
2. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15816939
3. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
4. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical development
and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
5. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6.
Jakarta: EGC
6. ILAE classification of epilepsy syndromes

18

Anda mungkin juga menyukai