Sesuai dengan asumsi diatas, bahwa hutang bersifat permanen, maka kita
dapat merumuskan biaya modal dari masing-masing sumber dana sebagai berikut
ini :
E
Ke =
S
Dimana : Ke = biaya modal sendiri ( cost of equity )
E = laba per lembar saham
S = nilai pasar modal sendiri
PENDEKATAN TRADISIONAL
Pendekatan tradisional ini beranggapan bahwa dalam pasar modal yang
sempurna dan tidak ada pajak, nilai perusahaan ( value of the firm ) atau biaya
modal perusahaan bisa berubah dengan cara merubah struktur modalnya ( yaitu
B/S ). Untuk lebih jelasnya perhatikan ilustrasi perhitungan dibawah ini.
1. Penghasilan yang diterima pemilik modal sendiri bersifat lebih tidak pasti
dibandingkan dengan pemberi kredit.
2. Dalam kondisi likuidasi, pemilik modal sendiri akan menerima bagian
yang paling akhir setelah kredit-kredit dilunasi.
Jadi tidaklah benar argumen yang dikemukakan oleh pendekatan
traditional yang mengatakan bahwa apabila perusahaan menghimpun dana dalam
bentuk equity, perusahaan kemudian berhasil menghimpun dana murah. MM
kemudian berpendapat bahwa semua sumber pendanaan mempunyai biaya, dan
untuk modal sendiri justru biayanya lebih mahal dibandingkan dengan dana
pinjaman.
Rp. 1 juta
PV penghematan pajak =
t=1 ( 1 + r )t
VL = VU + PV penghematan pajak
Andaikata biaya modal sendiri ( keu ) sebesar 20% dan biaya hutang ( kd )
adalah sebesar 16% maka nilai perusahaan ( value of the firm ) PT. DGE adalah :
VL = VU + PV penghematan pajak
= Rp. 37.500.000,- + Rp. 6.250.000,-
= Rp. 43.750.000,-
Perhatikan bahwa laba yang tersedia untuk pemilik modal sendiri pada
PT. DGE adalah sebesar Rp. 7.500.000,-. Dengan demikian nilai modal sendiri
( S ) PT. DGE adalah Rp. 37.500.000,- dan karena PT. DGE tidak menggunakan
hutang dalam struktur permodalannya ( unleverage ), maka berarti nilai
perusahaan ( value of the firm / V ) adalah sebesar Rp. 37.500.000,-. Untuk lebih
jelasnya perhatikan ilustrasi dibawah ini.
ko = Laba Operasi ( 1 t ) / V
= [ 10.000.000 ( 1 0,25 ) ] / 43.750.000
= 0,1714
ko = ke ( S / V ) + k d ( 1 t ) ( B / V )
= 0,24 (18.750.000 /43.750.000) + 0,16(10,25)( 25.000.000/43.750.000 )
= 0,1714
ke = keu + ( keu - kd ) ( B / S ) ( 1 t )
Apabila kita gambarkan pendapat MM, baik dalam keadaan tidak ada
maupun ada pajak, mengenai perilaku biaya modal ( baik biaya modal sendiri,
biaya hutang, maupun biaya modal perusahaan ) akan nampak seperti gambar
dibawah ini.
ke = keu + ( keu - kd ) ( B / S ) ( 1 t )
Ini berarti bahwa biaya modal rata-rata sudah lebih besar apabila
dibandingkan dengan sewaktu B/S = 1.33. Artinya, struktur modal yang
menggunakan hutang sampai dua kali lipat modal sendiri ( yaitu B/S = 2 ) dinilai
lebih jelek daripada apabila B/S hanya sebesar 1.33. Kondisi ini menunjukkan
bahwa penggunaan leverage yang ekstrim akan sangat merugikan pihak kreditur .
Keberatan juga mungkin diajukan oleh pemberi kredit. Apabila perusahaan
berbentuk PT dan pemilik melakukan diversifikasi usaha, maka ada
kecenderungan untuk menggunakan hutang sebesar-besarnya. Hal ini dikarenakan
oleh penggunaan hutang yang tinggi akan menggeser resiko ke kreditur.
Sebagai contoh, andaikan ada seorang pemodal yang memiliki dana
sebesar Rp. 1000 juta yang akan mendirikan perusahaan berupa PT. Dan
kemudian perusahaan akan mengadakan investasi, untuk kepentingan ini ia
memerlukan dana Rp. 1000 juta. Seandainya ia menanamkan seluruh dananya,
maka modal sendirinya akan sebesar Rp. 1000 juta. Misalkan kemudian ia hanya
menyetorkan dananya hanya sebesar Rp. 100 juta sebagai modal sendiri dan
sisanya sebesar Rp. 900 juta dibiayai dengan oleh kreditur berupa hutang, maka
ratio hutang terhadap modal sendiri akan sebesar 900%. Kemudian, andaikan
prediksi mengenai pendapatan dari investasi tersebut merosot hanya sebesar
Rp. 600 juta.
Dari ilustrasi diatas dapatlah dijelaskan bahwa seandainya perusahaan
memiliki modal sendiri sebesar 100%, maka kerugihan yang ia tanggung menjadi
sebesar Rp. 400 juta. Akan tetapi karena struktur modalnya terdiri dari Rp. 900
juta berupa hutang dan Rp. 100 juta berupa modal sendiri, maka kerugian yang ia
tanggung hanya sebesar Rp. 100 juta ( yaitu maksimum sebesar modal sendiri
yang ia setor ) sedangkan yang Rp. 300 juta ditanggung oleh kreditur. Dengan
kondisi yang demikian ini, oleh karenanya para kreditur akan enggan untuk
memberikan kredit yang besar yang melebihi dari jumlah modal sendiri yang
dimiliki dalam struktur permodalannya, kecuali ada jaminan tambahan.
PERSONAL TAX
Gambaran mengenai struktur modal yang dijelaskan diatas, sama sekali
belum memasukkan pajak pribadi ( personal tax ), yakni pajak yang harus dibayar
oleh pemodal manakala mereka menerima pembayaran deviden atau bunga
obligasi dari perusahaan dan hasil penjualan saham atau obligasi yang mereka
miliki.
Andaikan sekarang personal tax ditentukan sebesar 25%, bagaimana
dampaknya bagi para pemegang saham ? Kalau kemudian PT. KLM mengambil
kebijakan akan membagikan deviden secara keseluruhan, maka para pemegang
saham akan menerima sebesar : ( 1 0,25 ) ( 4.500.000 ) = Rp. 3.375.000, dan
bukannya sebesar Rp. 4.500.000,- seperti nampak dalam contoh perhitungan
sebelumnya. Demikian juga kalau pemodal memiliki obligasi PT. KLM maka
apabila sewaktu PT. KLM membagikan bunga obligasi, penghasilan bersih yang
diterima oleh pemilik obligasi adalah sebesar : ( 1 0,25 ) ( Rp. 4.000.000, - ) =
Rp. 3.000.000,- dan bukannya sebesar Rp. 4.000.000,-.
Contoh pengenaan personal tax diatas, tentunya akan mempunyai dampak
yang sama bagi para pemodal. Dengan demikian, preferensi atas penggunaan
hutang masihlah tetap berlaku. Masalahnya sekarang adalah : bagaimana laba itu
akan dibagikan, apakah seluruh laba akan dibagikan ataukah hanya sebagaian saja
yang akan dibagikan sebagai deviden ? Apakah besarnya tarif pajak untuk capital
gain dan deviden berbeda ?
Andaikan asumsi dalam pertanyaan diatas berlaku, maka preferensi atas
hutang mungkin tidak akan selalu berlaku. Dalam contoh diatas, dapatlah
dijelaskan kalau pemegang saham akan menerima penghasilan bersih yang lebih
besar apabila mereka memiliki saham, maka mereka akan lebih menyukai
membeli saham dibandingkan dengan obligasi. Implikasinya adalah perusahaan
akan lebih mudah menerbitkan saham baru daripada obligasi. Bahkan dalam
kondisi dimana personal tax yang dibayarkan besarnya sama, para pemegang
saham masih akan lebih baik memilih alternatif saham daripada obligasi.
Masalahnya adalah bahwa para pemegang saham dapat menunda pembayaran
pajak atas capital gains dengan memutuskan untuk tidak membagikan devidennya
terlebih dahulu. Sedangkan dalam alternatif obligasi, pembayaran bunga atas
obligasi tidak akan mungkin dapat dilakukan penundanaan.
Sejauh manfaat yang diperoleh lebih besar, maka komposisi hutang akan
lebih diperbesar. Akan tetapi manakala pengorbanan yang harus dikeluarkan
sudah melebihi manfaat yang akan diperoleh dengan penggunaan hutang tersebut,
maka alternatif penggunaan hutang ini sudah selayaknya dihentikan dan
penambahan hutang tidak boleh terjadi.
Myers dan Majluf merumuskan adanya struktur permodalan lain yang
disebut dengan pecking order theory yang maksudnya adalah teori yang akan
menjelaskan bahwa mengapa suatu perusahaan akan menentukan hirarki sumber
dana yang paling disukainya dengan asumsi dasar bahwa informasi adalah
asimetrik ( asymmetric information ).
Asymmetric information, adalah suatu istilah yang menunjukkan bahwa
manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak ( tentang prospek, resiko
dan nilai perusahaan ) daripada pemodal publik. Oleh karenanya, asymmetric
information ini akan sangat mempengaruhi alternatif pilihan antara penggunaan
sumber dana intern ataukah eksternal, dan antara penerbitan hutang baru ataukah
saham baru. Dengan menggunakan pecking order ini, maka pembiayaan atas
investasi tentunya harus didasarkan atas suatu hirarki sumber dana, mulai dari
sumber dana internal terlebih dahulu, barulah kemudian diikuti oleh penerbitan
hutang baru dan pada akhirnya penerbitan ekuitas baru.
Penggunaan pecking order ini pada dasarnya adalah sangat ditentukan oleh
kemungkinan yang akan terjadi pada harga saham yang terjadi di pasar manakala
perusahaan mengumumkan adanya pembagian deviden. Adanya pengumuman
pembagian deviden dari perusahaan kepada para pemegang saham akan bisa
menyebabkan harga saham bisa cenderung terlalu murah ( undervalue ) dan bisa
juga terlalu mahal ( overvalue ) apabila dibandingkan dengan harga yang
sesungguhnya ( true value ). Dengan demikian, perusahaan biasanya akan
memilih untuk menerbitkan obligasi terlebih dahulu daripada dengan saham baru.
Akan tetapi apabila komposisi hutang yang ada pada struktur permodalan
perusahaan sudah terlalu besar yang nantinya akan dapat berdampak negatif pada
rentabilitas modal sendiri, maka alternatif pendanaan eksternal mungkin ditarik
dalam bentuk saham baru.
Brealey dan Myers, juga menyatakan pendapatnya mengenai pecking
order ini sebagai berikut :
1. Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal.