Disusun Oleh:
Pembimbing:
BAB I Pendahuluan
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP..
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran.
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I
Pendahuluan
Pada masa anak anak sering kali terjatuh saat bermain, hal ini tidak menutup
kemungkinan dapat terjadi trauma pada giginya, terutama gigi insisivus maksila. Trauma
yang terjadi terkadang sudah menunjukkan hilangnya struktur gigi sampai pulpa, yang
disebut sebagai fraktur mahkota kompleks.1 Fraktur mahkota kompleks mewakili 18-20
% dari semua cedera traumatis pada gigi permanen.1 Cedera pada gigi imatur akibat
trauma dapat mengakibatkan hilangnya struktur gigi dengan terbukanya pulpa, nekrosis
pulpa, dan penghambatan perkembangan akar.1 Sebagian besar cedera ini terjadi pada
gigi yang baru erupsi atau gigi permanen muda dengan akar belum menutup
sempurna.1 Jika pulpa pada gigi permanen muda mengalami kerusakan sebelum
penutupan foramen apikal, nekrosis pulpa dapat terjadi.2
Tinjauan Pustaka
Indikasi Apeksifikasi7:
Gigi dalam masa pertumbuhan dengan foramen apikalis belum tertutup sempurna.
Korona dapat direstorasi.
Pulpa nekrosis.
Gigi nonvital.
Usia pasien tua/muda.
Apeks terbuka.
Kontraindikasi Apeksifikasi8:
Semua fraktur akar, baik vertikal maupun horizontal.
Resorbsi penggantian (ankilosis).
Akar yang sangat pendek.
Kerusakan pada periodontium.
Pulpa vital.
Komposisi:
Kalsium hidroksida adalah basa kuat diperoleh melalui kalsinasi (pemanasan) kalsium
karbonat sampai tranformasi ke dalam oksida kalsium. Kalsium hidroksida diperoleh
melalui hidrasi kalsium oksida dan reaksi kimia antara kalsium hidroksida dan
karbondioksida bentuk kalsium karbonat. Ini adalah bubuk putih dengan pH tinggi
(12,6) dan sedikit larut dalam air (kelarutan 1,2 g/L, pada suhu 25C)
Kelebihan:
Kemudian Sleder menyatakan bahwa kalsium hidroksida dapat merangsang
penutupan biologis pada daerah apikal sehingga menghasilkan penutupan apeks
yang lebih rapat dan meningkatkan keberhasilan perawatan. Kelebihan lain dari
kalsium hidroksida adalah dapat merangsang pembentukan jaringan keras.
Sebuah tinjauan studi literatur tentang apeksifikasi melaporkan tingkat keberhasilan
74-100 % menggunakan kalsium hidroksida namun itu memakan waktu dan
membutuhkan hingga 7-8 bulan di mana dibutuhkan kunjungan selanjutnya untuk
menilai gambaran radiografi.
Kekurangan:
Cenderung menetralkan sistem buffer dentin.
Kemampuannya (pH yang tinggi) telah resisten terhdap beberapa bakteri tertentu.
Difusi dan daya larut yang rendah
Menunjukkan terjadinya peningkatan resorpsi internal pada gigi sulung akibat
pulpotomi dengan kalsium hidroksida. Kadar alkali dari kalsium hidroksida dapat
menyebabkan inflamasi pulpa yang parah disertai metaplasia dimana resorpsi
internal terjadi di dalam akar gigi sulung tersebut.
Pada apeksifikasi, ada resiko reinfeksi, memperlemah struktur gigi dan gigi fraktur.
Komposisi3:
MTA terdiri dari partikel halus hidrofilik seperti trikalsium silikat, trikalsium aluminat,
trikalsium oksida, oksida silikat, dan bismut oksida. MTA juga mengandung 5 %
calcium sulphate dehydrate dan tetracalcium alumino ferrite. Kekurangan formula
tetracalcium alumino ferrite akan memberikan warna putih dan kekurangan zat besi
ini akan memberikan senyawa dengan tampilan berwarna putih.
Penelitian lebih lanjut telah membuktikan bahwa MTA dalam prosedur apeksifikasi
merupakan primary monoblock.3 Selama maturasi MTA membentuk deposit mineral
sehingga mengisi kekosongan dan meningkatkan resistensi friksional MTA pada
dinding radikular.3 Hal ini mengurangi kemungkinan fraktur akar pada gigi imatur
dengan akar tipis karena bahan segera berikatan dengan akar dan menjadi kuat.3
MTA memiliki kekuatan kompresif sama dengan zinc oxide eugenol dengan
penguatan polimer, bahan lining, dan semen (SuperEBA, Harry J. Bosworth, Skokie,
Illinois) tetapi kurang daripada amalgam.3 MTA tersedia secara komersial dan
pertama kali dianjurkan untuk digunakan dalam terapi pulpa vital.3
MTA memiliki biokompatibilitas yang lebih baik dan dengan adanya kombinasi ion
kalsium dan fosfat menghasilkan kapasitas untuk menarik blastic cells dan
meningkatkan kondisi yang menguntungkan untuk jaringan keras seperti sementum
yang berhubungan langsung pada bahan.3 Sifat osteoconductive bahan ini dapat
membantu untuk adaptasi dan penyembuhan jaringan periapikal.3
Berdasarkan instruksi pabrik ketebalan 3-5 mm merupakan apikal plug yang lebih
efektif karena secara signifikan lebih kuat dan menunjukkan kurangnya kebocoran
daripada barrier 2 mm.3 Selain itu, juga bisa ditempatkan dan lebih dikondensasi
dengan ketebalan 5 mm karena meningkatkan resistensi terhadap pelepasan melalui
apeks yang terbuka seperti yang diamati pada penelitian terdahulu.3
Dalam laporan kasus dilakukan teknik dua langkah dengan apikal plug MTA 5 mm.
Sebelum perawatan MTA, saluran akar dimedikasi dengan kalsium hidroksida selama
satu minggu untuk meningkatkan desinfeksi saluran seperti yang disarankan oleh
berbagai penulis.3 Teknik penempatan bahan MTA sangat sensitif, yang dilakukan
dengan radiografi dan kondensasi dengan instrumen tangan supaya terbentuk
resistensi pada apeks. Namun, penelitian telah menegaskan penempatan MTA di
bawah pengamatan mikroskopis membantu untuk memastikan bahwa penempatan
benar atau tidak, sehingga tidak terjadi ekstrusi ke dalam jaringan periapikal.3
Keuntungan4:
Biokompatibel
Hidrofilik ( dapat berinteraksi dalam permukaan yang lembab)
Radiopak
pH basa (bateriostatik)
Kemampuan pelapisan yang baik (tingkat kebocoran tepi rendah)
Kelarutan rendah
Bila dibandingkan dengan kalsium hidroksida, MTA menghasilkan jembatan
dentin lebih signifikan dalam waktu yang lebih singkat dengan peradangan
kurang dan juga menyediakan hard setting, permukaan non resorbable tanpa
celah di dentin barrier.
Pada apeksifikasi, dapat dilakukan dalam sekali kunjungan.
Kerugian4 :
Berpotensi diskolorasi Gray Mineral Trioxide Aggregat (GMTA)
Sulit digunakan saat obturasi saluran akar yang bengkok
Mahal.
Pada prosedur apeksifikasi, setiap upaya harus dibuat untuk mempertahankan jaringan
pulpa apikal vital yang dapat membantu penutupan apeks imatur. Berikut merupakan langkah-
langkah teknik perawatan apeksifikasi 7:
1. Anestesi dan pemasangan rubber dam
2. Akses kavitas harus mencukupi agar dapat mengakses seluruh bagian dari saluran akar.
Pembuatan kavitas akses dengan menggunakan bur kecepatan tinggi dan semprotan air
sebagai pendingin.
3. Dilakukan debridement yakni pembuangan debris-debris nekrosis dan serabut pulpa dari
korona sampai daerah yang diamputasi dengan menggunakan barbed broach dan irigasi
sodium hipoklorit. Amputasi pulpa pada korona di daerah servikal dilakukan dengan
menggunakan ekskavator bulat dan tajam atau menggunakan bur besar bulat steril
ukuran 6 atau 8 atau secara bergantian bur intan bulat kecepatan tinggi.
Instrumentasi dari saluran akar yang divergen dilakukan dengan tekanan yang lembut
terhadap dinding akar, disertai dengan irigasi.
4. Setelah melakukan debridement dan irigasi, kanal saluran akar dikeringkan dengan
menggunakan paper point yang besar.
5. Kalsium hidroksid diletakkan di dalam kanal. Syringe pre-mixed pulp dent yang berisi
pasta kalsium hidroksid-methylcellulose siap untuk diinjeksikan. Jarum yang digunakan
adalah jarum 18-G karena biasanya sesuai dengan ukuran kanal, namun ukuran yang
lebih kecil juga dapat digunakan apabila perlu. Jarum tersebut diukur agar mencapai 2-
3mm dari apeks, kemudian ditandai dengan menggunakan rubber stop. Lalu jarum
dipasang pada syringe, dimasukkan ke dalam kanal hingga kedalaman yang telah
ditentukan. Kemudian pasta tipis didepositkan. Cotton pellet digunakan untuk
mengkondensasi pasta yang telah didepositkan. Setelah itu cotton pellet tersebut
ditinggalkan tetap di orifice koronal dari kanal.
Keterangan:
A. Saluran akar diisi dengan pasta kalsium hidroksid (a) dengan menggunakan syringe
dan jarum (b) untuk mendepositkan material.
B. Jarum dikeluarkan bersamaan dengan mendepositkan pastanya sampai area
servikal.
6. Ruang pulpa dan akses kavitas ditutup dengan semen zinc oxide-eugenol dengan
material reinforce.
(Ingle and Bakland, 1994)
Keterangan:
A.Gigi yang sedang menjalani proses apeksifikasi. Pasta kalsium hidroksid (a), cotton pellet (b),
semen zink okside eugenol (c).
B.Tujuan utama untuk menginduksi batasan jaringan keras (d)
Keterangan:
Diagram setelah prosedur apeksifikasi untuk mencapai penutupan apical pada pulpa nonvital.
Pasta apeksifikasi terdiri dari kalsium hidroksid dan CMCP atau kalsium hidroksid dalam metil
selulosa dan diletakkan pada saluran akar sedekat mungkin dengan apeks. Cotton pellet (C)
diletakkan pada ruang pulpa, diikuti dengan ZOE kemudian ditutup dengan tambalan sementara
(T).
Menurut penelitian Holland et al, penggunaan bahan kalsium hidroksida dalam proses
pengisian saluran akar dapat mengurangi kebocoran foramen apikal. Karena pHnya yang tinggi
dapat meningkatkan aktifitas alkali fosfatase yang meningkatkan mineralisasi selain itu juga
karena dapat membunuh mikroba yang merusak jaringan apikal sehingga mempermudah
pembentukancementum reparatif. Lingkungan alkali akan menghambat aktivitas osteoklas
sehingga proses reabsorbsi akan dihambat dan proses perbaikan jaringan akan terus berjalan.4,5
Bila apeksifikasi berhasil, suatu bahan keras, yang dalam susunan/komposisi histologist
dilukiskan bermacam-macam sebagai tulang, dentin, osteodentin, atau sementum, akan
berkembang pada tempat dimana obsturasi padat dapat dilakukan. Pada prosedur apeksifikasi,
tiap upaya harus dibuat untuk mempertahankan jaringan pulpa apikal vital yang dapat
membantu penutupan apeks imatur.6
A B C D
Keterangan:
A. Penutupan kanal dan apeks yang berkelanjutan menjadi normal.
B. Apeks tertutup, tetapi kanal nya masih dalam konfigurasi blunderbuss.
C. Bukti radiografik dari pemendekan ujung batas apeks.
D. Tidak ada perubahan radiografik akan tetapi terdapat lapisan semacam tulang yang
tipis yang terletak di dekat apeks.
Pada umumnya, prosedur apeksifikasi memiliki tingkat keberhasilan yang baik. Meskipun
demikian gigi yang sangat belum sempurna (dinding dentinnya tipis) mempunyai resiko fraktur
akar yang sangat tinggi oleh karena trauma ringan baik selama maupun setelah perawatan.
Dengan demikian, resiko fraktur bergantung pada tahap perkembangan akarnya. Juga,
pembentukan barier akan terjadi lebih mudah jika lubang akarnya tidak begitu besar.8
Lamanya perawatan tergantung pada diameter apeks yang terbuka, pergeseran gigi,
dan posisi gigi setelah trauma.1 Sepanjang waktu tersebut, saluran akar dapat terinfeksi
kembali akibat kebocoran tumpatan sementara.1 Tingkat keberhasilan menurun 10% pada gigi
dengan pengisian mahkota yang buruk.1 Oleh karena itu, lakukan perawatan permanen yang
lebih baik, karena menghindari infeksi ulang dari saluran akar.1
Setelah menempatkan kalsium hidroksida di akar selama lebih dari 30 hari, resistensi
terhadap fraktur berkurang.1 Juga ada kemungkinan fraktur pada gigi yang lemah.1 Motivasi
pasien juga merupakan salah satu faktor penting.1
LAPORAN KASUS
Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun, pada tanggal 28 Februari 2013 datang ke RSP UB
dengan keluhan gigi depan rahang atas patah saat bermain sejak 3 tahun yang lalu. Satu
minggu setelah gigi patah, pasien mulai mengeluhkan nyeri spontan. Gigi saat ini tidak ada
keluhan dan belum pernah terjadi pembengkakan. Gigi belum pernah mendapat perawatan.
Riwayat pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut, pasien mulai menyikat gigi sejak usia 5
tahun, dilakukan sendiri 2 kali sehari, setiap pagi sebelum sarapan dan sore pada saat mandi.
Namun kebiasaan menyikat gigi pada malam hari tidak dilakukan secara teratur. Sedangkan
riwayat perawatan gigi, pasien belum pernah periksa ke dokter gigi.
10 Agustus 2014:
Anamnesa: t.a.k
Pemeriksaan obyektif gigi 11: palpasi (-),perkusi (-), druk (-), kegoyangan (t.a.k),
tumpatan sementara utuh.
Foto radiologi
Belum diputuskan dilakukan pengisian, teruskan, pro kontrol 3 bulan
3.1.8 Hasil Perawatan Apeksifikasi Kasus
PEMBAHASAN
Pada kasus ke-1, motivasi pasien untuk merawat giginya cukup baik, akan tetapi
terkendala izin dari sekolah yang sangat ketat karena pasien tersebut menginjak kelas 6 dan
persiapan ujian nasional. Kontrol baru bisa dilakukan setelah 10 bulan. Pada kontrol ke-2
pasien pindah rumah di kabupaten malang sehingga terlalu jauh dari rumah sakit UB.
Pada anamnesa pasien tidak pernah merasakan sakit pada giginya kecuali 1 minggu
setelah kecelakaan 3 tahun yang lalu. Pada tes vitalitas didapatkan (+) dengan tes termal,
artinya pulpa gigi 11 masih terdapat sebagian yang vital. Maka pada prosedur perawatan
endodontik diperlukan anestesi infiltrasi dan intra pulpa untuk mengambil jaringan saraf yang
masih vital.
Setelah dilakukan pengisian sebanyak 2 kali, tidak ada keluhan dari pasien. Dari hasil
pemeriksaan klinis, berupa perkusi, druk, palpasi, kegoyangan gigi 11, semuanya negatif (-)
dan tumpatan sementara utuh. Dari radiograf dapat dibandingkan foramen apikal mulai
menutup, akan tetapi belum sempurna setelah 1 tahun. Maka perawatan apeksifikasi terus
dilakukan dengan jarak kontrol 6 bulan sekali hingga firamen apikal menutup dan bisa diisi
dengan gutapercha.
Pada kasus ke-2, motivasi pasien untuk melakukan kontrol sangat kurang sehingga
kontrol pertama baru bisa dilakukan setelah 10 bulan dari pengisian bahan apeksifikasi pasta
Ca(OH)2. Berdasarkan hasil anamnesis pasien mengaku tidak ada keluhan baik sakit spontan
maupun kegoyangan gigi. Pemeriksaan klinis berupa perkusi, druk, palpasi, kegoyangan gigi 11,
semuanya negatif (-) dan tumpatan sementara utuh. Selain itu, foto radiograf periapikal
menunjukkan terjadinya penutupan apikal yang baik, yakni adanya barrier mengapur pada
apikal, hilangnya material yang overfilling dan lesi periapikal pada gigi 11 sudah healing.
Perawatan apeksifikasi dinyatakan berhasil. Ju
Berikut ini adalah perbandingan gambar dan uraian hasil apeksifikasi dari kedua kasus:
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Apeksifikasi merupakan suatu perawatan pendahuluan pada perawatan endodontik
dengan menggunakan bahan pengisian saluran akar yang bersifat sementara pada gigi non vital
dengan apeks gigi yang terbuka atau belum terbentuk sempurna. Setelah terjadi penutupan
saluran akar pada bagian apikal maka dapat dicapai pengisian saluran akar yang sempurna
dengan bahan pengisian saluran akar yang tetap yaitu gutta percha. Pada umumnya, prosedur
apeksifikasi memiliki tingkat keberhasilan yang baik.
Pada kasus pertama, apeksifikasi belum dinyatakan berhasil dan harus kontrol lago
setelah 6 bulan berikutnya. Pada kasus kedua, setelah 10 bulan kontrol pertama, apeksifikasi
dinyatakan berhasil meskipun motivasi pasien untuk melakukan kontrol sangat kurang.
Dari kedua kasus di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Semakin kecil diameter apeks
yang terbuka saat terjadinya gigi nekrosis terbukti meningkatkan kemungkinan keberhasilan
apeksifikasi.
5.2 Saran
Melalui penulisan dua buah laporan kasus tentang apeksifikasi ini, penulis berharap agar
para klinisi atau sejawat dokter gigi semakin menyadari pentingnya perawatan gigi permanen
muda yang mengalami kematian pulpa dan apeksnya belum terbentuk sempurna. Dokter gigi
hendaknya lebih teliti lagi dalam menggali informasi terkait riwayat dan tahap perkembangan
gigi yang akan dirawat serta pemeriksaan obyektif maupun pemeriksaan radiografis dalam
menegakkan diagnosa untuk melakukan perawatan definitif. Berdasarkan hasil perawatan pada
kedua kasus dalam laporan ini, kami memiliki beberapa saran antara lain:
1. Perawatan apeksifikasi hendaknya dilakukan sedini mungkin setelah diketahui bahwa
gigi non vital agar penyakit tidak berkembang ke arah yang lebih parah (seperti adanya
lesi periapikal pada kasus kedua). Hal ini dilakukan agar prognosis perawatan bisa lebih
baik.
2. Evaluasi keberhasilan apeksifikasi dengan radiografi idealnya dilakukan setiap 3 bulan
untuk mengetahui apakah proses apeksifikasi telah terjadi. Bila tidak terjadi, aplikasi
kalsium hidroksida yang baru, bisa dilakukan.
3. Setelah terjadi penutupan apikal atau terbentuknya barrier mengapur di apikal,
hendaknya segera dilakukan obturasi gutta perca secara hermetis dan dilanjutkan
pembuatan restorasi mahkota jaket-pasak dan inti direct dari fiber reinforced composite.
4. Motivasi pasien harus ditingkatkan karena merupakan faktor yang penting dalam
keberhasilan perawatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Emine Sen Tunc, Tuba Uluysoy Ayca. White mineral trioxide aggregate pulpotomies :
Two case reports with long term follow up. Contemp Clin Dent. Oct-Dec ; 2 (4). 381-
384. 2011
2. Gunes Betul, Aydibelge Hale Ari. Mineral trioxide aggregate apical plug method for
the treatment of nonvital immature permanent maxillary incisor: Three case reports. Journal
Of Conservative Dentistry. V. 15 (1). Jan-Mar. 2012
4. Faiza, Citra, dkk. 2013. Mineral Trioxide Aggregat Untuk Perawatan Gigi Imatur. Pogram
Studi Pendidikan Dokter Gigi Univertsitas Sriwijaya.
5. Soedjono, P., Mooduto, L., dan Setyowati, L. Penutupan apeks pada pengisian saluran
akar dengan bahan kalsium oksida lebih baik dibanding kalsium hidroksida. Journal PDGI. 2009;
5-8: 1-5
6. Grossman, dkk. 1995. Ilmu Endodontik dalam Praktek Edisi 11. Jakarta: EGC
7. Adi. 2011. Apeksifikasi Gigi. http://adifkgugm.blogspot.com/2011/07/apeksifikasi_
gigi.html.
8. Walton And Torabinejad. 2003. Prinsip Dan Praktik Ilmu Endodonsi Edisi 3. Jakarta: Egc
9. Douglas, A. 2002. Prinsip Desain Untuk Sistem Pasak Dan Inti Direk Fiber-Reinforced
Resin Komposit . Institute Of Esthetic And Restorative Dentistry Houston, Texas
http://www.gulsa.com.tr/images/upload/704416d87acd8ac662188dec526df3c9.jpg
http://www.gulsa.com.tr/images/upload/3376d95393d734cb8f031b90759d7f20.jpg
http://www.prestigedentalproducts.com/Multi-Cal-PulpDent/
Nurliza, Cut. 2004. Perawatan Gigi Non Vital dengan Apeksifikasi. Medan : USU Repository