Penggunaan probiotik seharusnya dapat meningkatkan
produktivitas, namun jika berlebihan akan menimbulkan efek kontraproduktif
Penggunaan probiotik mulai marak digunakan saat bioflok
menjadi tren di kalangan pembudidaya ikan dan udang. Diungkapkan Yanuar Toto Raharjo anggota Shrimp Club Indonesia Banyuwangi, sekitar tahun 2006 2007 kian marak.
Ia menceritakan, pertamakali menggunakan robiotik adalah
saat tambaknya terkena serangan penyakit Infectious Myonecrosis Virus (IMNV). Pada waktu itu penyakit ini diduga muncul akibat kisaran kualitas air yang lebar. Faktor penyebabnya disinyalir dari aktivitas plankton yang ada, untuk menekan peranan plankton dalam ekosistem kolam dibutuhkan probiotik dalam bentuk sistem bioflok, jelasnya.
Lebih lanjut Yanuar menyampaikan, saat ini penggunaan
probiotik di kalangan pembudidaya udang telah banyak yang berlebih, kondisi ini disebutnya sebagai overprobiotik. Dampak yang nyata pada beberapa pengamatan yang dilakukan olehnya adalah kondisi udang yang molting(ganti karapas) secara terus menerus bahkan meningkatkan kematian pada udang.
Ia menegaskan, probiotik memang dibutuhkan namun sampai
titik tertentu, dan ketika melebihi batasnya yang terjadi adalah kontraproduktif. Jadi pemakaian probiotik itu harus ada pembatasnya. Efek pemakaian probiotik bisa diamati dari kualitas airnya seperti kandungan oksigen terlarut dalam air (DO). Kalau melebihi justru akan menjadi beban lingkungan, kata Yanuar.
Patokan Penggunaan
Standar DO yang masih diacu oleh Yanuar adalah pada level
DO (kadar oksigen) di atas atau sama dengan 4 ppm di titik kritis DO yang terjadi di pagi hari. Namun kala kualitas air menuruan maka titik kritis tersebut dapat bergeser pada pukul 8 10 malam.
Menurut Yanuar, banyak pembudidaya yang terkecoh dengan
naiknya kadar DO ketika pagi menjelang pada tambak yang mengalami overprobiotik. Hal ini dianggapnya wajar lantaran adanya kenaikan suhu di pagi hari yang menyebabkan oksigen terlarut dalam air meningkat meski sedikit. Namun ia menekankan angka tersebut bukanlah kondisi DO sebenarnya dan tidak dapat menjadi tolok ukur bahwa kondisi lingkungan tambak telah sesuai. Ia menekankan peningkatan kadari DO tersebut bukanlah efek pertambahan oksigen dari kincir yang ada. Pihaknya pun mengimbau para pembudidaya untuk selalu menjaga DO lebih dari 4 ppm. Menurut pengalaman di tambak juga berbeda-beda. Misalkan pemakaian probiotiknya banyak menggunakan fakultatif anaerob maka DO relatif tahan di atas 4 ppm, tapi kalau penggunaan probiotiknya tidak terkontrol seperti sekarang ini biasanya DO drop, ujarnya memberi amsal.
Ia juga mengimbau para pembudidaya untuk melakukan
pengawasan ekstra pada usia udang 50 60 hari dimana pada waktu tersebut terjadi suksesi plankton. Pada rentang usia itu juga kerap muncul berbagai masalah budi daya sehingga pembudidaya harus waspada jika terjadi perubahan kualitas air. Menurutnya, masalah yang sering muncul adalah kegagalan suksesi plankton karena masuknya bakteri dalam ekosistem budidaya sehingga terbentuk bioflok yang kasar.
Selain DO parameter, menurut Yanuar, kualitas air yang harus
diperhatikan oleh pembudidaya adalah kadar pH. Yanuar berpatokan pada angka pH air 7,6, dirinya beralasan di pH tersebut plankton dan bakteri dapat tumbuh berdampingan. Sementara pada teori bioflok nilai pH disaratkan pada kisaran 7 7,2 di mana bakteri dapat tumbuh. Sedang untuk plankton mensaratkan pH dikisaran 7,7 -7,9.
Menurut Yanuar, kasus moltingpada vannamei yang terjadi
secara terus menerus akibat kelebihan probiotik dalam ekosistem tambak dapat diatasi dengan menghentikan pemakaian probiotik. Hentikan probiotik, tumbuhkan plankton dan vanamei akan sehat kembali, ujar dia.
Terjadinya banyak kasus overprobiotik disinyalir Yanuar karena
banyaknya pembudidaya yang kurang paham akan spesifikasi probiotik yang digunakannya. Pola pikir pembudidaya yang kerap mengartikan probiotik sebagai obat atas segala masalah ikan dan udang juga menjadi salah satu penyebabnya. Bakteri yang Tepat
Pilihan probiotik di pasaran diakui oleh Yanuar memang
beragam. Namun keduanya bersepakat bakteri yang kerap dijumpai di banyak produk probiotik adalah golongan Bacillus sp.
Teddy Candinegara - Executive Director Sales PT Behn Meyer
Chemicals mengungkapkan, pembudidaya harus mengetahui terlebih dahulu tujuan digunakannya probiotik dalam ekosistem budidayanya. Apakah sebagai bioremediasi, biokontrol dalam aditif pakan, atau untuk tujuan yang spesifik. Prinsipnya, tidak semua probiotik sama dan tidak ada probiotik yang dapat mengatasi semua masalah budi daya, tegasnya.
Dari waktu aplikasi, lanjut dia, masing-masing jenis probioitik
memiliki perbedaan. Probiotik jenis aerob sebaiknya diaplikasikan pada saat ketersediaan oksigen cukup sehingga tidak akan bersaing dengan biota lain yang membutuhkan oksigen.
Kandungan bakteri probiotik pun dipatok pada angka 1 x 106
cfu/ml sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan (Ditkesling) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Yanuar pun memberikan contoh kasus Running Mortality Syndrome(RMS) yang menyerang India. Dalam kasus tersebut ditemukan jumlah Bacillus cereusyang melebihi ambang batas, padahal sejatinya bakteri tersebut bukan asli ekosistem kolam. Artinya bakteri tersebut sengaja diberikan dalam kolam. Akhirnya pun di India pemakaiannya pun mulai dibatasi,.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Aqua Edisi-49/ 15 Juni