GAGAL NAFAS
Diajukan Kepada :
Disusun Oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
1. Fisiologi ventilasi paru
Masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru.
Pergerakan udara ke dalam dan keluar paru disebabkan oleh:
a) Tekanan pleura : tekanan cairan dalam ruang sempit antara pleura paru
dan pleura dinding dada. Tekanan pleura normal sekitar -5 cm H2O,
yang merupakan nilai isap yang dibutuhkan untuk mempertahankan
paru agar tetap terbuka sampai nilai istirahatnya. Kemudian selama
inspirasi normal, pengembangan rangka dada akan menarik paru ke
arah luar dengan kekuatan yang lebih besar dan menyebabkan tekanan
menjadi lebih negatif (sekitar -7,5 cm H2O).
b) Tekanan alveolus : tekanan udara di bagian dalam alveoli paru. Ketika
glotis terbuka dan tidak ada udara yang mengalir ke dalam atau keluar
paru, maka tekanan pada semua jalan nafas sampai alveoli, semuanya
sama dengan tekanan atmosfer (tekanan acuan 0 dalam jalan nafas)
yaitu tekanan 0 cm H2O. Agar udara masuk, tekanan alveoli harus
sedikit di bawah tekanan atmosfer. Tekanan sedikit ini (-1 cm H2O)
dapat menarik sekitar 0,5 liter udara ke dalam paru selama 2 detik.
Selama ekspirasi, terjadi tekanan yang berlawanan.
c) Tekanan transpulmonal : perbedaan antara tekanan alveoli dan tekanan
pada permukaan luar paru, dan ini adalah nilai daya elastis dalam paru
yang cenderung mengempiskan paru pada setiap pernafasan, yang
disebut tekanan daya lenting paru.10
2. Fisiologi kendali persarafan pada pernafasan
Terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan pernafasan.
a) Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter. Pusat
volunter terletak di cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron
motorik otot pernafasan melalui jaras kortikospinal.
b) Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat
pernafasan otomatis terletak di pons dan medulla oblongata, dan
keluaran eferen dari sistem ini terletak di rami alba medulla spinalis di
antara bagian lateral dan ventral jaras kortikospinal.
3
3. Pengaturan aktivitas pernafasan
Baik peningkatan PCO2 atau konsentrasi H+ darah arteri maupun
penurunan PO2 akan memperbesar derajat aktivitas neuron pernafasan di
medulla oblongata, sedangkan perubahan ke arah yang berlawanan
mengakibatkan efek inhibisi ringan. Pengaruh perubahan kimia darah
terhadap pernafasan berlangsung melalui kemoreseptor pernafasan di
glomus karotikum dan aortikum serta sekumpulan sel di medulla
oblongata maupun di lokasi lain yang peka terhadap perubahan kimiawi
dalam darah. Reseptor tersebut membangkitkan impuls yang merangsang
pusat pernafasan. Bersamaan dengan dasar pengendalian pernafasan
kimiawi, berbagai aferen lain menimbulkan pengaturan non-kimiawi yang
memengaruhi pernafasan pada keadaan tertentu. Untuk berbagai rangsang
yang memengaruhi pusat pernafasan dapat dilihat pada tabel dibawah
ini:11
Pengendalian kimia
CO2 (melalui konsentrasi H+ di LCS dan cairan interstitiel otak)
O2
(melalui glomus karotikum dan aortikum)
H+
Pengendalian non-kimia
Aferen nervus vagus dari reseptor di saluran pernafasan dan paru
Aferen dari pons, hipothalamus dan sistem limbik
Aferen dari proprioseptor
Aferen dari baroreseptor: arteri, atrium, ventrikel, pulmonal
4
dan PO2 akan ditingkatkan apabila terjadi penurunan mencapai tingkat
yang membayakan. Volume pernafasan semenit berbanding lurus dengan
laju metabolisme, tetapi penghubung antara metabolisme dan ventilasi
adalah CO2, bukan O2. Reseptor di glomus karotikum dan aortikum
terangsang oleh peningkatan PCO2 ataupun konsentrasi H+ darah arteri
atau oleh penurunan PO2. Setelah denervasi kemoreseptor karotikum,
respons terhadap penurunan PO2 akan hilang, efek utama hipoksia setelah
denervasi glomus karotikum adalah penekanan langsung pada pusat
pernafasan. Respon terhadap perubahan konsentrasi H+ darah arteri pada
pH 7,3-7,5 juga dihilangkan, meskipun perubahan yang lebih besar masih
dapat menimbulkan efek. Sebaliknya, respons terhadap perubahan PCO2
darah arteri hanya sedikit dipengaruhi,; dengan penurunan tidak lebih dari
30-35%.11
a) Kemoreseptor dalam batang otak
Kemoreseptor yang menjadi perantara terjadinya hiperventilasi
pada peningkatan PCO2 darah arteri setelah glomus karotikum dan
aortikum didenervasi terletak di medulla oblongata dan disebut
kemoreseptor medulla oblongata. Reseptor ini terpisah dari neuron
respirasi baik dorsal maupun ventral, dan terletak pada permukaan
ventral medulla oblongata.11
Reseptor kimia tersebut memantau konsentrasi H+ dalam LCS, dan
juga cairan interstisiel otak. CO2 dengan mudah dapat menembus
membran, termasuk sawar darah otak, sedangkan H+ dan HCO3- lebih
lambat menembusnya. CO2 yang memasuki otak dan LCS segera
dihidrasi. H2CO3 berdisosiasi, sehingga konsentrasi H+ lokal
meningkat. Konsentrasi H+ pada cairan interstitiel otak setara dengan
PCO2 darah arteri.11
b) Respons pernafasan terhadap kekurangan oksigen
Penurunan kandungan O2 udara inspirasi akan meningkatkan
volume pernafasan semenit. Selama PO2 masih diatas 60 mmHg,
perangsangan pada pernafasan hanya ringan saja,dan perangsangan
5
ventilasi yang kuat hanya terjadi bila PO2 turun lebih rendah. Nsmun
setiap penurunan PO2 arteri dibawah 100 mmHg menghasilkan
peningkatan lepas muatan dari kemoreseptor karotikum dan aortikum.
Pada individu normal, peningkatan pelepasan impuls tersebut tidak
menimbulkan kenaikan ventilasi sebelum PO2 turun lebih rendah dari
60 mmHg karena Hb adalah asam yang lebih lemah bila dibandingkan
dengan HbO2, sehingga PO2 darah arteri berkurang dan hemoglobin
kurang tersaturasi dengan O2, terjadi sedikit penurunan konsentrasi H+
dalam darah arteri. Penurunan konsentrasi H+ cenderung menghambat
pernafasan. Di samping itu, setiap peningkatan ventilasi yang terjadi,
akan menurunkan PCO2 alveoli, dan hal inipun cenderung
menghambat pernafasan. Dengan demikian, manifestasi efek
perangsangan hipoksia pada pernafasan tidaklah nyata sebelum
rangsang hipoksia cukup kuat untuk melawan efek inhibisi yang
disebabkan penurunan konsentrasi H+ dan PCO2 darah arteri.11
c) Pengaruh H+ pada respons CO2
Pengaruh perangsangan H+ dan CO2 pada pernafasan tampaknya
bersifat aditif dan saling berkaitan dengan kompleks, serta berceda
halnya dari CO2 dan O2. Sekitar 40% respons ventilasi terhadap CO2
dihilangkan apabila peningkatan H+ darah arteri yang dihasilkan oleh
CO2 dicegah. 60% sisa respons kemungkinan terjadi oleh pengaruh
CO2 pada konsentrasi H+ cairan spinal atau cairan interstitial otak.11
5. Pengangkutan oksigen ke jaringan
Sistem pengangkut oksigen di dalam tubuh terdiri atas paru dan sistem
kardiovaskuler. Pengangkutan oksigen menuju jaringan tertentu
bergantung pada: jumlah oksigen yang masuk ke dalam paru, adanya
pertukaran gas dalam paru yang adekuat, aliran darah menuju jaringan dan
kapasitas darah untuk mengangkut oksigen. Aliran darah bergantung pada
derajat konstriksi jalinan vaskular di dalam jaringan serta curah jantung.
Jumlah oksigen di dalam darah ditentukan oleh jumlah oksigen yang larut,
6
jumlah hemoglobin dalam darah dan afinitas hemoglobin terhadap
oksigen.11
Hemoglobin adalah protein yang dibentuk dari empat sub unit, masing-
masing mengandung gugus heme yang melekat pada sebuah rantai
polipeptida. Heme adalah kompleks yang dibentuk dari suatu porfirin dan
satu atom besi fero. Masing-masing dari keempat atom besi dapat
mengikat satu molekul O2 secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam
bentuk fero, sehingga reaksi pengikatan O2 merupakan suatu reaksi
oksigenasi, bukan reaksi oksidasi. Reaksi ini berlangsung cepat,
membutuhkan waktu kurang dari 0,01 detik. Deoksigenasi (reduksi)
Hb4O8 juga berlangsung sangat cepat.11
Hb4 + O2 Hb4O2
Hb4O2 + O2 Hb4O4
Hb4O4 + O2 Hb4O6
Hb4O6 + O2 Hb4O8
B. GAGAL NAFAS
1. Definisi
Gagal nafas merupakan ketidakmampuan sistem respirasi dalam
memenuhi kebutuhan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida
antara udara dan darah, sehingga terjadi gangguan dalam asupan
oksigen dan ekskresi karbondioksida, akibat kegagalan paru atau pompa
nafas. Keadaan ini ditandai dengan abnormalitas nilai PO2 dan PCO2.
Secara klasik, umumnya seseorang dianggap menderita gagal nafas bila
PaCO2 lebih dari 50 mmHg dan PaO2 kurang dari 50 mmHg saat bernafas
dalam udara ruang. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit paru
yang melibatkan jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi
ketiganya. Gagal nafas juga dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot
pernafasan, gangguan neuromuskular dan gangguan sistem saraf
pusat.1,4,12
7
Gagal nafas tipe hiperkapnik terjadi akibat CO2 tidak dapat
dikeluarkan dengan respirasi spontan sehingga berakibat pada
peningkatan PCO2 arterial (PaCO2) dan turunnya pH. Hiperkapnik dapat
terjadi akibat obstruksi saluran napas atas atau bawah, kelemahan otot
pernapasan atau biasanya akibat produksi CO2 yang berlebihan. Gagal
nafas tipe hipoksemia terjadi akibat kurangnya oksigenasi, biasanya akibat
pirau dari kanan ke kiri atau gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi
(ventilation-perfusion mismatch).1,4,12
2. Etiologi
Penyebab gagal nafas antara lain:1
a) Gangguan pada dinding dada, abdomen dan diafragma, contoh:
1) trauma atau pasca bedah, ascites
2) kelainan intra-abdomen
- Tumor intra-abdomen
- Organomegali
- Nyeri pasca bedah
3) kelainan kongenital
- Gastroschisis
- Omphalocele
- Kelainan bentuk thorax
- Hernia diafragmatika (dapat disertai hipoplasia paru)
- Skoliosis
b) Gangguan pada pleura, contoh:
1) Pneumothorax
2) Efusi pleura
3) Hemothorax
c) Gangguan neuromuscular, contoh:
1) Obat (overdosis salisilat, aminoglikosida, suksametonium, opiat,
obat anestesi, non-depolarizing muscle relaxants)
2) Gangguan endokrin dan metabolik, contoh: diabetik ketoasidosis,
hipertiroid, hipokalsemia, hipofosfatemia, hipokalemia
8
3) Infeksi, contoh: ensefalitis, tetanus, guillan barre, sepsis
4) Lesi intrakranial, contoh: tumor, perdarahan
5) Lesi spinal, contoh: tumor, trauma, abses
d) Gangguan parenkim paru, contoh:
1) Pneumonia bakterial
2) Pneumonia viral
3) Pneumonia karena Pneumocystis carinii
4) Pneumonia akibat Legionella pneumophila
5) Pneumonia hidrokarbon
6) Atelektasis
7) Edema paru
8) ARDS
9) Smoke inhalation
e) Gangguan pada jalan nafas, contoh:
1) Bacterial tracheitis
2) Epiglotitis
3) Kelainan kongenital pembuluh darah besar (aorta, arteri inominata,
carotis communis kiri, arteri pulmonalis kiri atau arteri subklavia
kanan yang menekan trakea)
4) Abses retrofaringeal
5) Abses paratonsilar
6) Aspirasi benda asing
7) Asthma bronchial
3. Patofisiologi
Mekanisme timbulnya gagal nafas berbeda sesuai dengan penyakit
dasar sebagai penyebab seperti penyakit paru, penyakit kardiovaskular,
penyakit susunan saraf dan penyakit otot.13
a) Kelainan primer paru
Terdapat 2 mekanisme dasar yang mengakibatkan kegagalan
pernafasan yaitu obstruksi saluran nafas dan konsolidasi atau kolaps
9
alveolus. Obstruksi jalan nafas yang dapat menimbulkan kegagalan
pernafasan akut terutama ialah pneumonia dan status asmatikus.
Apabila seorang anak menderita infeksi saluran nafas maka akan
terjadi:
1) Sekresi trakeobronkial bertambah
2) Proses peradangan dan sumbatan jalan nafas
3) Aliran darah pulmonal bertambah
4) Metabolic Rate bertambah
Akibat edema mukosa, lendir yang tebal dan spasme otot polos
maka lumen saluran nafas berkurang dengan hebat. Hal ini
mengakibatkan terperangkapnya udara dibagian distal sumbatan yang
akan menyebabkan gangguan oksigenasi dan ventilasi. Gangguan
difusi dan retensi CO2 menimbulkan hipoksemia dan hipercapnea,
kedua hal ini disertai kerja pernafasan yang bertambah sehingga
menimbulkan kelelahan dan timbulnya asidosis. Hipoksia dan
hipercapnea akan menyebabkan ventilasi alveolus terganggu sehingga
terjadi depresi pernafasan, bila berlanjut akan menyebabkan kegagalan
pernafasan dan akirnya kematian. Hipoksemia akan menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah pulmonal yang menyebabkan tahanan
alveolus bertambah, akibatnya jantung akan bekerja lebih berat, beban
jantung bertambah dan akirnya menyebabkan gagal jantung. Akibat
bertambahnya aliran darah paru, hipoksemia yang mengakibatkan
permiabilitas kapiler bertambah, retensi CO2 yang mengakibatkan
bronkokontriksi dan metabolic rate yang bertambah, terjadinya edema
paru. Dengan terjadinya edema paru juga terjadinya gangguan ventilasi
dan oksigenisasi yang akhirnya dapat menimbulkan gagal nafas.13
b) Penyakit primer kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular memengaruhi pertukaran udara paru
terutama melalui efeknya pada aliran darah kapiler paru. Menurunnya
aliran darah paru, misalnya pada tetralogy of fallot, stenosis pulmonal
dan curah jantung yang rendah dapat menimbulkan hipoksemia dan
10
hiperkapnia. PDA (Patent Ductus Arteriosus) besar dan payah jantung
kiri pada bayi dapat menyebabkan edema paru, yang umumnya dapat
diatasi dengan oksigen, digitalis dan diuretika; bila disertai infeksi paru
maka dapat pula menimbulkan gangguan pertukaran darah paru. 13
c) Penyakit primer sistem saraf
Kelainan sistem saraf yang dapat menyebabkan kegagalan
pernafasan akut dapat dibagi dalam 3 kategori:
1) Hilangnya kontrol ventilasi secara sentral
2) Penyakit saraf primer
3) Kejang lama
Edema otak, cerebrovascular accident dan depresi susunan saraf
pusat karena keracunan dapat menghilangkan refleks protektif saluran
nafas atas, merupakan predisposisi aspirasi cairan lambung dan
menimbulkan pneumonia kimiawi. Kelainan pada batang otak,
medulla spinalis dan sistem saraf perifer dapat menimbulkan
kegagalan pernafasan akut, demikian pula kejang lama dapat
menimbulkan kegagalan pernafasan akut karena hipoksemia selama
kejang. 13
d) Penyakit primer otot
Kelemahan otot seperti miastenia-gravis dapat menyebabkan
penurunan kapasitas vital dan akhirnya gagal nafas. Tetanus dengan
kejang otot yang hebat, refleks batuk yang terganggu dan gerakan otot
pernafasan yang terbatas dapat menyebabkan aspirasi cairan lambung,
pneumonia, atelektasis yang menimbulkan hipoksemia dan akhirnya
gagal nafas. 13
11
beberapa pertanyaan berikut perlu ditanyakan pada setiap keluhan
sesak pada anak:1
1) Sesak terjadi secara akut atau sudah lama
2) Apakah pernah mengalami sesak serupa?
3) Apakah anak dalam pengobatan tertentu?
4) Apakah disertai demam?
5) Apakah terdapat riwayat tersedak atau trauma?
Penyebab obstruksi jalan nafas bawah tersering pada balita adalah
bronkiolitis, asma bronkial dan obstruksi akibat benda asing.
Kemungkinan diagnosis obstruksi jalan nafas atau berdasar angka
kejadian, gejala dan usia dapat dilihat pada tabel dibawah ini:1
Tabel 1. penyebab obstruksi jalan nafas atas1
Penyakit Usia Gejala Spesifik
Tonsilitis berat Prasekolah-sekolah Sesak timbul lambat
Abses peritonsilar >8 tahun Sesak akut disertai demam tinggi
Abses retrofaring Bayi hingga remaja Sesak pasca ISPA atau trauma
Epiglotitis 1-7 tahun Stridor akut, demam tinggi, afonia
Croup <3 tahun Stridor timbul lambat, demam
ringan, suara parau
Benda asing 1-4 tahun Sesak setelah tersedak
Trakeitis bakterialis <4 tahun Sesak dan demam timbul lambat
Difteri Bayi-6 tahun Stridor akut, demam tidak tinggi
b) Pemeriksaan Fisik
Beberapa tanda spesifik antara lain:1
1) Kelainan nafas dan volume tidal
- Kelainan susunan saraf pusat dan asidosis metabolik sering
mengakibatkan hiperventilasi dengan frekuensi nafas yang
tinggi dan volume tidal yang besar
- Penurunan compliance (contohnya pada pneumonia dan edema
paru) mengakibatkan pernafasan cepat dan dangkal
- Peningkatan resistensi jalan nafas (contohnya pada asma
bronchial) mengakibatkan pernafasan yang lambat dan dalam
12
2) Retraksi
Retraksi interkostal, suprasternal dan epigastrik terjadi bila terdapat
tekanan negatif intratoraks yang tinggi. Keadaan ini biasanya
dijumpai pada obstruksi jalan nafas, terutama di luar rongga
thorax, dan penurunan compliance paru.
3) Stridor
- Stridor inspirasi terjadi bila ada tekanan negatif yang tinggi
saat inspirasi, udara harus melalui bagian yang sempit di jalan
nafas besar yang terletak di luar rongga thorax. Pada saat
ekspirasi, tekanan positif akan melebarkan jalan nafas sehingga
stridor tidak terdengar lagi.
- Stridor ekspirasi dapat terjadi jika penyebab obstruksi jalan
nafas besar terjadi di dalam rongga thorax, misalnya bila
terdapat tumor yang menekan trachea bagian distal.
4) Wheezing
Wheezing terjadi bila terdapat obstruksi di saluran nafas yang
terdapat dalam rongga thorax.
5) Grunting
Grunting terjadi akibat ekspirasi dengan glottis setengah menutup.
Pola nafas ini merupakan upaya untuk mempertahankan functional
residual capacity (FRC) dan meningkatkan tekanan positif pada
fase ekspirasi, hingga dapat memperbaiki oksigenasi. Biasanya
dijumpai pada penyakit di saluran nafas kecil dan alveoli seperti
bronkiolitis dan sindroma distress nafas neonatus.
6) Air retry
Penurunan suara nafas dapat terjadi pada berbagai penyebab gagal
nafas.
7) Ronchi
Ronchi basah dapat dijjumpai pada lesi di alveoli, misalnya pada
pneumonia bakteri.
13
8) Nafas cuping hidung
Nafas cuping hidung adalah upaya untuk menurunkan resistensi
jalan nafas atas.
9) Aktivitas otot bantu nafas
Penggunaan otot bantu nafas bertujuan untuk meningkatkan kinerja
otot saat terjadi peningkatan work of breathing. Otot yang
umumnya menjadi aktif adalah pektoralis minus, scalenus dan
seratus anterior.
10) Gejala lain yang menyertai
Gejala lain yang sering dijumpai pada anak dengan gagal nafas
adalah:
- Takikardia
- Dehidrasi
- Gangguan kesadaran: iritabel, somnolen, dan obtundasi
- Sianosis
5. Diagnosis
Diagnosis gagal nafas dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dan dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan analisis gas darah. Gambaran
klinis yang dapat terjadi pada neonatus yang harus meningkatkan
kewaspadaan klinisi akan terjadinya gagal nafas antara lain:14
- Peningkatan respirasi
- Peningkatan usaha nafas
- Periodic breathing
- Apnea
- Sianosis yang tidak berkurang dengan pemberian oksigen
- Turunnya tekanan darah disertai takikardi, pucat, kegagalan sirkulasi
yang diikuti bradikardi
- Penggunaan otot-otot pernafasan tambahan.
14
sesuai digunakan untuk bayi prematur yang menderita hyaline membrane
disease (HMD), sedangkan skor Downes merupakan sistem skoring yang
lebih komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia kehamilan.
Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam
untuk menilai progresivitasnya.15
Tabel 2. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes15
Skor
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan 02 walaupun diberi O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar tanpa
dengan stetoskop alat bantu
Skor > 6 : Ancaman gagal nafas
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab gagal nafas sangat
tergantung pada kecurigaan diagnosis. Analisis gas darah merupakan
pemeriksaan penunjang utama. Untuk pemantauan selanjutnya saat ini
telah berkembang alat pantau non-invasif seperti pulse oxymeter dan
capnography.1
Analisis gas darah merupakan indikator definitif dari pertukaran gas
untuk menilai gagal nafas akut. Meskipun manifestasi klinis yang ada
memerlukan tindakan intubasi segera dan penggunaan ventilasi mekanis,
pengambilan sampel darah arterial diperlukan untuk menganalisis tekanan
gas darah (PaO2, PaCO2, dan pH) sambil melakukan monitoring dengan
pulse oxymetri. Hipoksemia berat ditandai dengan PaO2 < 50-60 mmHg
dengan FiO2 60% atau PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 > 40% pada bayi <
1250 gram, Hiperkapnik berat dengan PaCO2 > 55-60 mmHg dengan pH
<7,2-7,25.5,15,16
15
Tabel 3. Nilai Analisis gas Darah15
Nilai
0 1 2 3
PaO2 (mmHg) > 60 50-60 < 50 < 50
Ph > 7,3 7,2-7,29 7,1-7,19 < 7,1
PaCO2 (mmHg) < 50 50-60 61-70 > 70
Skor > 3: memerlukan ventilator
16
7. Tata laksana
Algoritma diagnosis dan Tatalaksana gagal nafas pada neonatus 15,17
17
Penatalaksanaan Respiratorik
Tujuan pengobatan adalah untuk mendapatkan konsentrasi oksigen
yang memadai serta tekanan karbondioksida arteri normal dengan
mempergunakan tekanan sekecil mungkin dan konsentrasi oksigen yang
dihirup serendah mungkin (FiO2). Tata laksana penunjang darurat pada
gagal nafas antara lain adalah: 1,16
a) Mempertahankan jalan nafas terbuka, dapat dilakukan dengan alat
penyangga oropharyngeal airway (guedel), peyangga nasopharyngeal
airway, atau pipa endotrakea.1
b) Terapi oksigen
Berbagai teknik tersedia untuk memberikan oksigen supplemental, tetapi
tidak ada satupun yang dapat disebut terbaik karena pemilihannya harus
disesuaikan secara individual terhadap terhadap situasi klinis dan kondisi
pasien. Ketika memilih peralatan tertentu seorang klinisi harus
mempertimbangkan kebutuhan FiO2 (flow inspiration), kenyamanan
pasien (sangat penting untuk compliance), dan humidifikasi. Berbagai
teknik/device antara lain adalah: 1
1) Kanul nasal
Dipergunakan untuk memberikan oksigen dengan laju aliran rendah.
Konsentrasi oksigen bervariasi perubahan laju aliran inspirasi
(inspiration flow rate) pasien. Pada neonatus, aliran oksigen
maksimum dianjurkan tidak melebihi 2 L/menit. FiO2 inspirasi yang
dihasilkan amat bergantung pada pola nafas pasien.
2) Oxygen hood/head box
Alat ini dirancang untuk memberikan konsentrasi oksigen yang stabil
pada neonatus atau bayi kecil. FiO2 hingga 100% dapat diberikan
dengan laju aliran oksigen yang sesuai. Bukaan pada oxygen hood
tidak boleh ditutup dengan plastik atau bahan lain agar tidak terjadi
retensi karbondioksida.
18
3) Masker
Beberapa tipe masker dibuat untuk menghasilkan berbagai konsentrasi
oksigen. Aliran oksigen minimal harus sekitar 6 L/menit untuk
mendapat konsentrasi oksigen yang diinginkan dan mencegah
terhisapnya kembali CO2.
- Masker oksigen sederhana (simple mask) dapat memberikan
konsentrasi oksigen rendah hingga sedang tergantung kecepatan
aliran oksigen. Masker ini bukan pilihan ideal jika kita
menginginkan FiO2 yang stabil.
- Non-rebreathing mask didesain memiliki katup satu arah dan
sebuah kantong reservoir yang akan kolaps saat inspirasi. Alat ini
dapat menghasilkan konsentrasi okssigen tinggi.
- Partial rebreathing mask mirip dengan masker sederhana, tetapi
dilengkapi dengan kantong reservoir dan mampu menyalurkan
konsentrasi oksigen hingga 100%.
- Venturi mask dapat menghasilkan konsentrasi oksigen yang tepat
yaitu antara 24-50%.
Secara spesifik, tatalaksana gagal nafas amat tergantung pada
penyebabnya. Pemberian -agonist melalui nebulizer dapat sangat efektif
bila penyebab gagal nafas adalah serangan akut asthma bronchial
sementara pungsi pleura efektif bila penyebabnya tension pneumothorax.1
Monitoring saturasi oksigen dapat dilakukan dengan menggunakan
pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan memulai
intubasi dan ventilasi. Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan
atau tanpa sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang
diberikan sebaiknya oksigen lembab dan telah dihangatkan.15
Tabel 5. Panduan untuk monitoring saturasi oksigen dengan pulse
oxymetri15
> 95% Bayi aterm
88-94% Bayi pre term (28-34 minggu)
85-92% < 28 minggu
19
Penatalaksanaan Non Respiratorik
Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan
neonatus yang mengalami distress pernafasan. Keadaan hipotermi maupun
hipertermi harus dihindari. Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang
36,537,5oC.15-17
Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress
nafas yang berat, dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk
mencegah keadaan hipoglikemia. Keseimbangan cairan, elektrolit dan
glukosa harus diperhatikan. Pemberian cairan biasanya dimulai dengan
jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose
10% atau dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan dosis
6-8 ml/kgBB/hari dapat ditambahkan pada infus cairan yang diberikan.
Pemberian nutrisi parenteral dapat dimulai sejak hari pertama. Pemberian
protein dapat dimulai dari 3,5 g/kgBB/hari dan lipid mulai dari 3
g/kgBB/hari.5,15,18
Prinsip lain perawatan neonatus yang mengalami distress nafas adalah
minimal handling. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan monitor
sekaligus untuk menilai keadaan kardiorespiratorik, temperatur, dan
saturasi oksigen pada bayi.18
Pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai
sampai hasil kultur terbukti negatif, karena perlu dipertimbangkan
kemungkinan sepsis. Pemilihan antibiotik inisial yang dianjurkan adalah
ampicillin dan gentamicin.3,17,18
Penatalaksanaan di ruang NICU
Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus di ruang perawatan intensif
neonatus (NICU) saat ini telah mengalami perkembangan. Penggunaan
surfaktan, high frequency ventilator, inhaled nitric oxide (iNO), telah
banyak dilakukan dan berakibat pada berkurangnya penggunaan
extracorporeal membrane oxygenation yang memiliki banyak efek
samping.19
20
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif
dengan berbagai efek pada sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi
mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi
pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired
oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang
minimal. Derajat distress pernafasan, derajat abnormalitas gas darah,
riwayat penyakit paru-paru, dan derajat instabilitas kardiopulmonal serta
keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan dalam
memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator mekanik. Berbagai
mode ventilasi mekanik dapat ditentukan oleh parameter yang diatur oleh
klinisi untuk menentukan karakteristik pernafasan mekanis yang
diinginkan.20,21
Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1)
prolonged apnea, (2) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8
yang bukan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik, (3)
PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten, dan (4) bayi yang
menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk
penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea,
(2) bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada
pemberian surfaktan.20-22
8. Prognosis
Keselamatan penderita dapat diharapkan pada anak-anak yang
sebelumnya normal dan mengalami gagal nafas bersamaan dengan suatu
serangan penyakit akut. Jika gagal nafas akut bersamaan dengan suatu
penyakit kronis yang mendasari, maka prognosisnya berkaitan dengan
sifat penyakit kronis tersebut serta berat dan lamanya proses akut yang
terjadi.12
21
BAB III
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
8. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran ed. 6. Jakarta: EGC;
2006.
9. Leeson CR, Leeson TS, Paparo AA. Buku Ajar Histologi Ed. 5. Jakarta :
EGC; 1996.
10. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed. 11. Jakarta: EGC;
2007.
11. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed. 20. Jakarta: EGC; 2002.
23
13. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Buku kuliah ilmu kesehatan anak jilid 3
cetakan ke-11. Jakarta: Percetakan Infomedika, 2007.h. 990-8.
24