Anda di halaman 1dari 10

Nama : Eka Sakti Sirait

NPM : 0906519450

Penatagunaan Tanah

Analisis terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang


Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP No. 11 Tahun 2010)
serta terhadap Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 4 Tahun
2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar

Sebagai bentuk penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar untuk menjalankan


pembanginan di bidang agraria, maka dibentuklah PP No. 11 Tahun 2010 beserta
Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 untuk melakukan penertiban tanah-tanah
terlantar di Indonesia. Berikut adalah pengaturan proses penertiban tanah terlantar
baik menurut PP No. 11 Tahun 2010 jo. Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010:

Proses penertiban tanah terlantar:

Oleh Kepala Kantor Wilayah:

(Inventarisasi)
penyiapan data tanah yang terindikasi terlantar

Pengumpulan data tekstual Pengumpulan data spasial (data grafis)


(data tanah si pemegang hak)
Pengelompokan data tanah menurut wilayah kabupaten/kota dan jenis hak/dasar

Pengadministrasian data hasil inventarisasi tanah terindikasi terlantar


Identifikasi dan penelitian aspek administrasi dan penelitian lapangan

Analisis hasil inventarisasi untuk penetapan target tanah yang terindikasi terlantar
Mempersiapkan data dan informasi dengan cara:
verifikasi data fisik dan data yuridis.
pengecekan buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya
pengumpulan keterangan
pemeriksaan fisik;
ploting
analisis penyebab terjadinya tanah terlantar
penyusunan laporan hasil identifikasi dan penelitian

Membentuk Panitia C dengan susunan seperti dalam


Pasal 10 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010)

Oleh Panitia C:

(Identifikasi dan Penelitian tanah)

verifikasi data fisik dan data yuridis;


pengecekan buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya
pengumpulan keterangan
pemeriksaan fisik
ploting
analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
penyusunan laporan hasil identifikasi dan penelitian
pelaksanaan satu kali sidang panitia

penyampaian laporan akhir hasil identifikasi dan penelitian serta Berita Acara sidang panitia
kepada Kepala Kantor Wilayah

Oleh Kepala Kantor Wilayah

Peringatan dan pemberitahuan terhadap

pemegang hak

diajukan kepada pemegang

peringatan tertulis pertama hak agar pemegang hak


Jika tidak dilaksanakan, 1 mengusahakan, menggunakan
bulan sejak diterbitkannya
dan memanfaatkan tanahnya
surat peringatan pertama
sesuai keadaan atau sifat dan
tujuan pemberian haknya
peringatan tertulis kedua
Jika tidak dilaksanakan, 1
bulan sejak peringatan
kedua

peringatan tertulis ketiga (peringatan terakhir)

Jika tidak
dilaksanakan

pengusulan kepada Kepala penetapan tanah

menjadi tanah terlantar


(status tanah menjadi quo)

Oleh Kepala
Penetapan Tanah Terlantar

seluruh hamparan tanah


diterlantarkan Keputusan
Penetapan :terhadap seluruh
Memuat:
hamparan HAT
H
apusnya hak atas tanah
sebagian hamparan Pemegang
Hak diberikan kembali sebagian mempertimbangkan P
tanah yang benar-benar
emutusan hubungan
diusahakan
hukumnya

kurang dari atau sama dengan M


25%: Pemegang Hak mengajukan
permohonan revisi luas bidang
tanah

Tanah terlantar (paling lama 1 bulan sejak penetapan tanah terlantar) wajib dikosongkan

Pelaporan

kepala kantor wilayah secara Kepala melaporkan secara


berkala setiap bulan, triwulan, berkala kepada Presiden
dan tahunan untuk mengenai pelaksanaan
disampaikan kepada Kepala. penertiban tanah terlantar
Kritik (hambatan) terhadap Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 dan terhadap
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 4 Tahun 2010

1. Di dalam ketentuan umum (Pasal 1) PP No. 11 Tahun 2010, tidak disebutkan definisi
daripada tanah terlantar itu sendiri. Padahal apabila merujuk pada judul PP No. 11 Tahun
2011, yaitu Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tentu saja sangat perlu
dijelaskan definisi singkat dari tanah terlantar sehingga ada persamaan persepsi yang jelas
atas tanah yang dipermasalahkan/dibahas dalam peraturan pemerintah ini (tanah terlantar).
Definisi dari tanah terlantar justru diuraikan di dalam penjelasan pasal 2 PP No. 11 Tahun
2010, sedangkan di batang tubuh PP No. 11 Tahun 2010 hanya diuraikan objek daripada
tanah yang diindikasikan terlantar tersebut. Hal ini berbeda dengan Peraturan Kepala BPN
RI No. 4 Tahun 2010 yang memberikan definisi tanah terlantar dalam ketentuan umumnya
pasal 1 butir ke-6.

2. Objek penertiban tanah terlantar kurang memperhatikan keberadaan tanah kosong di


Indonesia sebagai bentuk bagian dari tanah terlantar. Apabila merujuk pada Pasal 2 PP No.
11 Tahun 2010 maupun Pasal 1 butir ke-6 Peraturan Kepala BPN RI No. 4 Tahun 2010,
yang disebutkan hanyalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan saja, sedangkan
keberadaan tanah kosong kurang diperhatikan dalam hal ini, padahal tanah kosong
merupakan bagian dari tanah yang tidak dimanfaatkan (meski tidak ada pemberian hak atas
tanah ini, namun selama tanah itu ada namun tidak dilakukan apa-apa atas tanah tersebut,
tentunya hal ini merupakan bentuk dari penyia-nyiaan keberadaan tanah di suatu wilayah
atau bentuk lain dari sebuah penelantaran atas tanah). Memang hanya tinggal kemungkinan
kecil saja atas keberadaan tanah kosong di Indonesia, namun pengaturan tetap diperlukan
demi penertiban tanah-tanah di seluruh Indonesia agar benar-benar dapat dimanfaatkan
secara maksimal untuk kepentingan rakyat.

3. Dalam hal tanah yang bersangkutan telah ditetapkan menjadi tanah terlantar, baik PP No.
11 Tahun 2010 maupun peraturan kepala BPN No. 4 Tahun 2010, kedua peraturan tersebut
tidak mengatur adanya pemberian ganti kerugian atau penegasan tidak diberikannya ganti
kerugian kepada pemegang hak atas tanah maupun pemegang hak atas benda-benda di
atasnya (dengan mengingat adanya asas pemisahan horizontal) dengan ditetapkannya
tanah yang bersangkutan menjadi tanah terlantar dan dikuasai langsung oleh negara.
Pengaturan yang diberikan terkait penetapan tanah menjadi tanah terlantar hanyalah bahwa
hak atas tanah dihapuskan, diputuskan hubungan hukumnya, dan ditegaskan menjadi tanah
yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 10 PP No. 11 Tahun 2010) serta tanah yang telah
ditetapkan menjadi tanah terlantar wajib dikosongkan oleh bekas pemegang hak atas
benda-benda (Pasal 13 PP No. 11 Tahun 2010). Ada baiknya bahwa hal-hal yang terlihat
sepele seperti ada atau tidaknya ganti kerugian yang diberikan tetap diikutsertakan untuk
diatur agar tidak menimbulkan masalah/sengketa di kemudian hari serta untuk adanya
kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait.

4. Merujuk pada objek penertiban tanah terlantar, pengaturan yang diatur masih dianggap
kurang mengatur tanah-tanah yang dapat dijadikan objek penertiban. Hal ini dapat dilihat
dari pengaturan objek penertiban tanah terlantar yang diatur dalam Pasal 2 jo. 3 PP No. 11
Tahun 2010, khususnya pada pasal 3 yang menguraikan tanah yang tidak termasuk objek
penertiban tanah. Pada intinya dinyatakan dalam Pasal 3 baik pada huruf (a) maupun huruf
(b) : ...yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat
dan tujuan pemberian haknya. Apabila merujuk pada penjelasan Pasal 3 tersebut, dapat
kita simpulkan bahwa makna dari kalimat tersebut hanya terkait dengan urusan ekonomi
(dipersempit dibandingkan kriteria tanah yang tidak termasuk objek penertiban tanah pada
batang tubuh yang sekilas dapat diterjemahkan sangat luas), yaitu bagi Pasal 3 huruf (a)
adalah tanah yang tidak sengaja tidak dipergunakan karena pemegang hak perseorangan
dimaksud tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mengusahakan,
mempergunakan, atau memanfaatkan tanah sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian
haknyasedangkan bagi Pasal 3 huruf (b) adalah tanah yang tidak sengaja tidak
dipergunakan karena keterbatasan anggaran negara/daerah untuk
mengusahakan/memanfaatkannya sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak tersebut.
Atas pengaturan tersebut, bagaimana bila tanah yang bersangkutan tidak dimanfaatkan
sebagaimana seharusnya karena pemegang hak yang bersangkutan sedang mengikuti tugas
negara dalam jangka waktu yang lama? Atau contoh konkritnya adalah seorang TKI yang
bekerja dengan perjanjian kerja hanya 2 tahun namun karena ada suatu hal di luar
keinginannya mengakibatkan ia tidak dapat kembali ke Indonesia? Apakah tanah yang
bersangkutan termasuk dalam objek penertiban atau tidak? Secara tafsiran, keadaan
tersebut memenuhi kriteria tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan sifat dan
tujuan pemberian hak dalam batang tubuh, namun tetap tidak sesuai dengan penjelasan
Pasal 3 peraturan pemerintah yang mengartikan hanya terkait keadaan ekonomi. Atas hal
tersebut, hal-hal sepele semacam ini seharusnya perlu diatur lebih jelas lagi untuk adanya
kepastian hukum.

5. Baik PP No 11 Tahun 2010 maupun peraturan kepala BPN No. 4 Tahun 2010 belum
mengakomodir secara tegas dan jelas mengenai Panitia C, seperti mulai dari periode
pembentukan panitia C hingga pengaturan yang jelas mengenai sumber dana operasional
yang diperlukan Panitia C dalam melaksanakan identifikasi dan penelitian.
Perlu diketahui, PP No. 11 Tahun 2010 hanya mengatur mengenai tugas dan kewajiban
Panitia C (pada Bab III) serta mengatur susunan keanggotaan panitia tersebut yang terdiri
dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala
(Pasal 5), sedangkan peraturan kepala BPN No. 4 Tahun 2010 hanya memberi pengesan
atas susunan keanggotaan Panitia C disamping kewenangan dan tugas-tugasnya (Bagian
Ketiga).
Atas hal tersebut, tentunya pengaturan ini masih dirasa sangat kurang mengingat bahwa
untuk menciptakan pemaksimalan dalam bekerja, sudah selayaknya terdapat pengaturan-
pengaturan yang jelas demi kelancaran dan kepastian panitia tersebut serta demi suksenya
penyelenggaraan upaya penertiban tanah terlantar di Indonesia. Oleh sebab itu, atas
kekurangan ini diharapkan dapat dibentuknya suatu pengaturan/kebijakan khusus untuk
mengatur Panitia C ini.

6. Pengaturan dalam Pasal 12 PP No. 11 Tahun 2010 masih dianggap kurang maksimal
untuk mencegah adanya penggunaan/pemanfaatkan atas tanah yang diusulkan untuk
ditetapkan sebagai tanah terlantar tersebut dimana pengaturan dalam Pasal 12 belum
mencangkup peralihan hak karena adanya peristiwa hukum. Hal ini dapat terlihat dari isi
Pasal 12 tersebut, yaitu:

(1) Tanah yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar, dinyatakan dalam
keadaan status quo sejak tanggal pengusulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (6).
(2) Tanah yang dinyatakan dalam keadaan status quo sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tidak dapat dilakukan perbuatan hukum atas bidang tanah tersebut sampai diterbitkan
penetapan tanah terlantar yang memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah,
sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara.
Atas pengaturan di atas yang pada intinya bertujuan agar tanah dibiarkan begitu saja selama
proses pengusulan demi mencegah permasalahan-permasalahan baru, pada kenyataannya
Pasal 12 hanya mengatur pelarangan untuk melakukan perbuatan hukum, padahal selain
perbuatan hukum masih terdapat hal-hal lain seperti peristiwa hukum itu sendiri, khususnya
pewarisan. Bagaimana bila terjadi pewarisan atas tanah yang diusulkan untuk ditetapkan
menjadi tanah terlantarPeraturan kepala BPN No. 4 Tahun 2010 (dalam Pasal 18) sebagai
pengaturan lebih lanjut tentang penertiban tanah terlantar juga mengatur hal yang sama
tanpa memberi pengaturan yang lebih jelas tanah a quo tersebut. Oleh sebab itu, hal ini juga
menjadi sebuah kritik terhadap PP No. 11 Tahun 2010 dan Peraturan Kepala BPN No. 4
Tahun 2010.
7. Baik PP No 11 Tahun 2010 maupun peraturan kepala BPN No. 4 Tahun 2010 belum
mengakomodir secara tegas dan jelas mengenai Panitia C, seperti mulai dari periode
pembentukan panitia C hingga pengaturan yang jelas mengenai biaya operasional yang
diperlukan Panitia C dalam melaksanakan identifikasi dan penelitian.
Perlu diketahui, PP No. 11 Tahun 2010 hanya mengatur mengenai tugas dan kewajiban
Panitia C (pada Bab III) serta mengatur susunan keanggotaan panitia tersebut yang terdiri
dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala
(Pasal 5), sedangkan peraturan kepala BPN No. 4 Tahun 2010 hanya memberi pengesan atas
susunan keanggotaan Panitia C disamping kewenangan dan tugas-tugasnya (Bagian
Ketiga).Memang di dalam Pasal 25 peraturan kepala BPN No. 4 Tahun 2010 dinyatakan
bahwa Biaya yang timbul akibat pelaksanaan peraturan ini dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber lain yang sah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan, namun pengaturan tersebut masih kurang memberi kepastian untuk
mengatur dana-dana yang dibutuhkan oleh Panitia C dimana Pasal tersebut hanya
menyebutkan mengenai sumber pendanaan saja, belum mengatur secara mendetail mengingat
pengaturan mengenai pendanaan harus diatur dengan baik agar tidak menimbulkan masalah
atau hambatan dikemudian hari.
Atas hal tersebut, tentunya pengaturan ini masih dirasa sangat kurang mengingat bahwa
untuk menciptakan pemaksimalan dalam bekerja, sudah selayaknya terdapat pengaturan-
pengaturan yang jelas demi kelancaran dan kepastian panitia tersebut serta demi suksenya
penyelenggaraan upaya penertiban tanah terlantar di Indonesia. Oleh sebab itu, atas
kekurangan ini diharapkan dapat dibentuknya suatu pengaturan/kebijakan untuk mengatur
Panitia C secara khusus.
8. Dalam proses inventarisasi, keterangan dari pemegang hak mengenai penggunaan dan
pemanfaatan tanah yang bersangkutan merupakan salah satu kunci utama dari suksesnya
penertiban tanah-tanah terlantar di Indonesia. Hal ini dapat kita simpulkan dari Pasal 4 PP
No. 11 Tahun 2011 jo pasal 5 ayat (2) Peraturan Kepala BPN RI No. 4 Tahun 2010 yang
menegaskan bahwa Kepala Kantor Wilayah menyiapkan data tanah yang terindikasi terlantar
sebagai dasar pelaksanaan identifikasi dan penelitian dimana dalam hal ini sudah merupakan
kewajiban si pemegang hak untuk melaporkan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang
bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah (sebagai data tanah) untuk mendukung
kelancaran kegiatan penertiban tanah terlantar di Indonesia. Namun pengaturan dalam
(khususnya) Peraturan Kepala BPN RI No. 4 Tahun 2010 ini hanya sebatas mengatur
kewajiban tersebut dan kurang memberikan paksaan atau penegasan bagi si pemegang hak
untuk benar-benar merasa memiliki kewajiban untuk itu.
9. Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam program penertiban tanah terlantar
belum maksimal, khususnya pada panitia C. Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Kepala BPN RI
No. 4 Tahun 2010, dapat kita lihat siapa saja anggota dari Panitia C tersebut, yaitu kepala
kantor wilayah, Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat,
merangkap anggota, Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota, Dinas/Instansi Provinsi yang
berkaitan dengan peruntukan Tanahnya, Dinas/Instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan
dengan peruntukan tanahnya, Kepala Kantor Pertanahan. Pihak-pihak dalam Panitia C
tersebut memang merupakan pihak-pihak yang memiliki kredibilitas dalam urusan
pertanahan, namun ada baiknya proses identifikasi dan penelitian yang akan mereka lakukan
berhubungan erat dengan teknis-teknis di lapangan, sehingga menurut saya, akan lebih baik
bila para akademis atau ahli lapangan statistik) ikut dilibatkan dalam Panitia C.

10. Terkait pengaturan obyek penertiban tanah sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 2 PP No.
11 Tahun 2010, yaitu:
Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara
berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak
Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Menurut saya pengaturan dalam Pasal 12 perlu diatur lebih lanjut mengingat terlalu luasnya
obyek penertiban tanah tersebut. Pengaturan dalam Pasal 2 tersebut dapat merugikan para
pengembang/investor yang memiliki tanah yang kebanyakan dari tanah tersebut belum
dikelola (terdapat indikasi adanya penelantaran atas tanah) dengan alasan proyek yang
bertahap dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, diharapkan adanya
pengaturan yang dapat mengakomodir kepentingan para pengembang mengingat kebutuhan
waktu yang tidak sebentar dalam proses pembangunan.

Namun atas berbagai kritikan/hambatan di atas, adanya pengaturan mengenai pembiayaan yang
dibebankan pada APBN dan sumber lain yang sah dalam Pasal 25 Peraturan Kepala BPN RI No.
4 Tahun 2010 cukup memberikan kepastian atas sumber dana yang digunakan dalam program
penertiban tanah terlantar di Indonesia. Selain itu, pengaturan ini juga merupakan pembaharuan
atas PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang sudah
terbilang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman sebagai bentuk pelaksanaan program
pembangunan nasional di bidang agraria. Oleh sebab itu, demi memaksimalkan penertiban tanah
terlantar, ada baiknya peraturan ini ditinjau kembali sehingga tujuan penertiban tanah dapat
tercapai dengan sukses.

Anda mungkin juga menyukai