Anda di halaman 1dari 7

Empat Kewajiban Setiap Insan

Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah. Amma ba'du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, setiap manusia tentu mendambakan kebahagiaan dan
keberuntungan. Untuk menggapainya ada cara-cara yang harus ditempuh. Untuk meraihnya
terdapat jalan yang harus ditapaki. Jalan itu tidak lain adalah dengan beribadah kepada
Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Menjalankan ibadah artinya melakukan hal-hal yang dicintai Allah dan membuat Allah ridha.
Hal itu terwujud dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-
larangan-Nya. Perintah dan larangan itu bisa kita dapatkan di dalam Kitabullah -yaitu al-
Qur'an- dan Sunnah -yaitu hadits- Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Diantara ayat yang menunjukkan kepada kita bentuk-bentuk ibadah pokok yang menjadi
kunci kebaikan, keberuntungan, dan kebahagiaan adalah surat al-'Ashr. Allah ta'ala
berfirman (yang artinya), Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran
dan saling menasihati dalam kesabaran. (QS. al-'Ashr: 1-3)

Imam asy-Syafi'i rahimahullah sampai-sampai mengatakan, Seandainya umat manusia mau


memikirkan kandungan surat ini niscaya hal itu cukup -sebagai pelajaran- bagi mereka.

Hal itu dikarenakan, di dalam surat ini Allah memberikan empat hal yang menjadi kunci
kebaikan seorang hamba, yaitu:
1. Iman
2. Amal salih
3. Saling menasihati dalam kebenaran
4. Saling menasihati dalam kesabaran

Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah di dalam risalahnya 'Tsalatsah al-Ushul' [tiga


pondasi agama] menyimpulkan bahwa berdasarkan surat ini setiap kita wajib untuk
mempelajari empat perkara dan mengamalkannya, yaitu:
1. Ilmu
2. Amal
3. Dakwah
4. Sabar

Ya, kalau kita lihat sekilas sepertinya kedua keterangan di atas berbeda. Di atas disebutkan
bahwa empat hal yang menjadi kunci kebaikan itu adalah iman, amal salih, menasihati dalam
kebenaran, dan menasihati dalam kesabaran. Sementara di bawahnya disebutkan bahwa
kewajiban kita adalah ilmu, amal, dakwah, dan sabar. Apakah bertentangan?

Pengertian Iman

Baiklah, untuk memahami masalah ini, kita perlu untuk mengenal apa sebenarnya hakikat
atau pengertian iman itu sendiri. Para ulama kita menerangkan, bahwa iman adalah
pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menjelaskan makna iman secara khusus di
dalam hadits Jibril yang sangat terkenal, yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan
malaikat Jibril dalam rupa manusia lalu menanyakan tentang islam, iman, dan ihsan. Di
dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman
adalah 'kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
akhir, dan kamu beriman kepada takdir; yang baik dan yang buruk' (HR. Muslim dari 'Umar
bin al-Khaththab radhiyallahu'anhu)

Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan, "Iman adalah ucapan dengan
lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan
bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal
bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak
sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak
sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat
pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan." (lihat Qathfu al-
Jana ad-Dani, hal. 47)

Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa iman tidak akan benar kecuali apabila dilandasi
dengan ilmu yang benar pula. Oleh sebab itulah tepat sekali apabila dikatakan bahwa
kewajiban beriman -sebagaimana ditunjukkan oleh ayat dalam surat al-'Ashr di atas- juga
menunjukkan wajibnya menuntut ilmu. Bagaimana dengan ketiga hal yang lain? Ya, akan kita
lihat bahwa tiga perkara yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi -yaitu amal,
dakwah, dan sabar- tidaklah bertentangan dengan makna ayat -yaitu amal salih, menasihati
dalam kebenaran dan menasihati dalam kesabaran-; bagaimana penjelasannya?

Ya, tentu saja yang dimaksud wajibnya beramal adalah amal yang salih. Kemudian
menasihati dalam kebenaran itu dalam ungkapan lain lebih kita kenal dengan istilah
dakwah. Adapun kesabaran secara otomatis telah tercakup dalam menasihati dalam
kesabaran; sebab itulah tujuan utama dari nasihat tersebut; yaitu agar bersabar.

Baiklah, berikut ini akan kami paparkan sekilas tentang keempat hal itu mudah-mudahan
bisa memberikan pencerahan kepada kita.

[1] Menuntut Ilmu

Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah menjelaskan, bahwa hakikat ilmu itu adalah
mengetahui petunjuk dengan dalilnya. Apabila disebutkan kata 'ilmu' -dalam pembicaraan
para ulama atau dalil agama- maka yang dimaksudkan adalah ilmu syar'i/ilmu agama (lihat
Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 10)

Banyak sekali dalil dari al-Qur'an maupun as-Sunnah yang menunjukkan wajibnya menuntut
ilmu. Diantaranya, Allah ta'ala berfirman (yang artinya), Dan orang-orang yang diberikan
ilmu itu melihat bahwasanya apa yang diturunkan dari Rabbmu kepadamu itulah
kebenaran. (QS. Saba': 6). Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang berilmu itulah yang
bisa melihat kebenaran yaitu pada apa-apa yang diturunkan Allah (lihat Miftah Daar as-
Sa'aadah [1/222])

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), Apakah orang yang telah mati [hatinya] lalu Kami
hidupkan kembali dan Kami jadikan baginya cahaya yang bisa membuatnya berjalan di
tengah-tengah manusia seperti keadaan orang yang sama dengannya yang masih berada di
dalam kegelapan-kegelapan dan tidak keluar darinya. (QS. Al-An'am: 122)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas
adalah orang yang dahulunya mati hatinya karena kebodohan lantas Allah hidupkan kembali
dengan ilmu (lihat Miftah Daar as-Sa'aadah [1/232])

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan


oleh Allah niscaya akan Allah pahamkan dalam urusan agama. (HR. Bukhari dan Muslim dari
Mu'awiyah radhiyallahu'anhu)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang menempuh jalan dalam
rangka mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga. (HR. Muslim dari
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu)

Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu mengatakan, Pelajarilah ilmu. Sesungguhnya


mempelajari ilmu karena Allah adalah bentuk rasa takut -kepada-Nya- dan menuntutnya
adalah ibadah. Mengajarkannya adalah tasbih (penyucian terhadap Allah). Membahas
tentangnya adalah bagian dari jihad. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak
mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya
adalah qurbah/pendekatan diri -kepada Allah-; itulah yang akan menjadi penenang di saat
sendirian dan sahabat pada waktu kesepian. (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 15)

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, Umat manusia jauh lebih
membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman; sebab
makanan dan minuman diperlukan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia
dibutuhkan sepanjang waktu. (lihat al-'Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 91)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ... Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada
makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang
yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu
menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa
terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan
mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada
binatang melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah
daripada dirinya ketika itu. (lihat al-'Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada
menimba ilmu jika disertai dengan niat yang lurus. (lihat Tajrid al-Ittiba' fi Bayan Asbab
Tafadhul al-A'mal, hal. 26)

Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, Tidaklah aku mengetahui di atas muka bumi ini
suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu dan mempelajari hadits yaitu bagi
orang yang bertakwa kepada Allah dan lurus niatnya. (lihat Tajrid al-Ittiba' fi Bayan Asbab
Tafadhul al-A'mal, hal. 27)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, Sesungguhnya ilmu lebih diutamakan daripada


perkara yang lain karena dengannya -manusia- bisa bertakwa. (lihat Manaqib al-Imam al-
A'zham Abi 'Abdillah Sufyan bin Sa'id ats-Tsauri, hal. 30)
[2] Beramal Salih

Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata, Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu
dicari untuk menuju sesuatu yang lain -yaitu amal- sebagaimana halnya sebatang pohon.
Adapun amal laksana buahnya. Oleh sebab itu harus mengamalkan agama Islam, karena
orang yang memiliki ilmu namun tidak beramal lebih jelek daripada orang yang bodoh.
(lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 12)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian
mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. Amat besar kemurkaan Allah karena kalian
mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. (QS. Ash-Shaff: 2-3) (lihat Syarh Tsalatsah
al-Ushul oleh Syaikh Dr. Shalih bin Sa'ad as-Suhaimi hafizhahullah, hal. 6)

Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili hafizhahullah menerangkan, bahwa menggabungkan ilmu dan


amal adalah jalan para nabi. Inilah hakikat jalan yang lurus/shirothol mustaqim. Apabila
ditinjau dari hal ini manusia terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Orang yang berilmu namun tidak beramal, mereka adalah orang-orang yang dimurkai
[al-maghdhubi 'alaihim] seperti halnya orang-orang Yahudi dan yang seperti mereka
2. Orang yang beramal namun tanpa ilmu, sehingga menjerumuskan mereka dalam
berbagai kebid'ahan. Mereka itulah orang-orang yang sesat [adh-dhaalliin] seperti
halnya orang-orang Nasrani dan yang serupa dengan mereka. Oleh sebab itu para
ulama kita mengatakan, Barangsiapa yang rusak diantara orang berilmu diantara
kita maka dia menyerupai kaum Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara ahli
ibadah kita maka dia menyerupai kaum Nasrani.
3. Orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, inilah jalan para nabi dan pengikut
mereka. Inilah hakikat shirothol mustaqim yang kita minta setiap hari sampai
berulang kali. Inilah jalan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah. Oleh sebab
itulah para salafus shalih adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam
beramal. Tidak sebagaimana kita yang hanya bersemangat untuk 'menghitamkan
kertas' [menyusun banyak tulisan, pent] namun tidak bersemangat untuk beramal.
Para salafus shalih tidak demikian! Bahkan, mereka adalah orang-orang yang
bersemangat untuk berilmu dan beramal (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 44-47)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), Barangsiapa yang beramal salih dari kalangan laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Kami akan karuniakan kepadanya
kehidupan yang baik. Dan Kami akan membalas mereka dengan balasan yang lebih baik
daripada apa-apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97) (lihat at-Taudhih wa al-
Bayan li Syajarat al-Iman oleh Syaikh as-Sa'di, hal. 73)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, Ini adalah janji dari Allah ta'ala bagi orang-orang
yang melakukan amal salih -yaitu amalan yang mengikuti Kitabullah ta'ala dan Sunnah
Rasul-Nya- apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu
yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya
kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih
baik dari apa yang telah dilakukannya. (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [4/601])

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan
Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam
beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun. (QS. Al-Kahfi: 110).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai
dengan syari'at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan
yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima
di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak
benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas
juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah,
sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan. (lihat Jami' al-'Ulum wa al-Hikam,
hal. 19 cet. Dar al-Hadits).

Umar bin Abdul 'Aziz rahimahullah berkata, Barangsiapa melakukan suatu amal tanpa
landasan ilmu maka apa-apa yang dia rusak itu justru lebih banyak daripada apa-apa yang
dia perbaiki. (lihat Jami' Bayan al-'Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)

[3] Ikut Serta Dalam Dakwah

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa kesempurnaan pribadi seseorang


akan bisa terwujud dengan menyempurnakan dua buah kekuatan; yaitu kekuatan ilmu dan
amalan. Menyempurnakan kekuatan ilmu adalah dengan keimanan, sedangkan
menyempurnakan kekuatan amal adalah dengan melakukan amal-amal salih. Ini artinya,
dengan ilmu, iman dan amal akan terwujud sosok yang ideal secara individu. Kemudian
kesempurnaan individu ini akan lengkap jika dibarengi kesempurnaan secara sosial, yaitu
dengan mengajarkan kebaikan, bersabar di atasnya, dan menasihati dalam hal kesabaran
untuk berilmu dan beramal (lihat Miftah Daar as-Sa'aadah [1/239])

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), Katakanlah: Inilah jalanku; aku berdakwah/mengajak
[kalian] kepada Allah di atas bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang
mengikutiku... (QS. Yusuf: 108).

Apabila seorang insan telah berusaha menyempurnakan kekuatan ilmu dan amal dalam
dirinya, maka sudah semestinya dia berusaha berpartisipasi untuk mencurahkan kebaikan
kepada orang lain dalam rangka meneladani para utusan Allah. Berdakwah ila Allah adalah
perkara yang sangat agung dan membuahkan pahala yang sangat melimpah.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Demi Allah, apabila melalui perantaramu Allah
memberikan petunjuk kepada satu orang saja itu jauh lebih baik bagimu daripada onta-onta
merah. (HR. Muslim) (lihat Hushul al-Ma'mul, hal. 19)

Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, Sesungguhnya orang-orang yang mengajarkan


kebaikan kepada umat manusia akan dimintakan ampunan oleh setiap binatang melata,
bahkan oleh ikan yang berada di dalam lautan sekalipun. (lihat Mukhtashar Minhaj al-
Qashidin, hal. 14)

Abu Ja'far al-Baqir Muhammad bin 'Ali bin al-Husain rahimahullah berkata, Seorang alim
[ahli ilmu] yang memberikan manfaat dengan ilmunya itu lebih utama daripada tujuh puluh
ribu orang ahli ibadah. (lihat Jami' Bayan al-'Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)

Ja'far ash-Shadiq rahimahullah berkata, Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya di


tengah-tengah umat manusia itu jauh lebih utama daripada ibadah yang dilakukan oleh
seribu ahli ibadah. (lihat Jami' Bayan al-'Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)

Meskipun demikian, tidak boleh dilupakan bahwasanya dakwah harus dilandasi dengan ilmu,
bukan bermodal semangat belaka. Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah berkata, Ilmu
-dalam dakwah, pent- adalah sebuah kewajiban. Jangan sampai anda berdakwah di atas
kebodohan. Jangan sampai anda berbicara dalam hal-hal yang anda tidak ketahui ilmunya.
Orang yang bodoh akan menghancurkan, bukan membangun. Dia akan merusak, dan
bukannya memperbaiki. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai hamba Allah! Waspadalah
anda dari berbicara tentang [agama] Allah tanpa ilmu. Jangan anda mendakwahkan sesuatu
kecuali setelah mengetahui ilmu tentangnya... (lihat Ma'alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 9)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, .. Sesungguhnya perkara yang paling banyak
merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud 'di atas
bashirah' itu bukan ilmu syari'at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari'at,
ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan
dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah. (lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-
Tauhid [1/82])

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Mushin al-Badr hafizhahullah berkata, Adapun orang yang
berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang
dia perbaiki. (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111)

[4] Menghiasi Diri Dengan Kesabaran

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu pernah berkata, Sabar di dalam agama laksana kepala
bagi tubuh. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang tidak punya kesabaran sama
sekali. (lihat I'anat al-Mustafid [2/107 dan 109])

Dari Shuhaib radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Sungguh


menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik
untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan
kesenangan dia bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila tertimpa
kesulitan dia bersabar, maka hal itu juga kebaikan untuknya. (HR. Muslim)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ... sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan.
Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang
hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya.... Imannya
tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun pokok
kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang mempersekutukan
Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba yang
penyabar dan pandai bersyukur... (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [1/145])

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, Sumber dari semua fitnah [kerusakan] adalah
karena mendahulukan pemikiran di atas syari'at dan mengedepankan hawa nafsu di atas
akal sehat. Sebab yang pertama merupakan sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan
sebab yang kedua merupakan sumber munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa
ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan kesabaran. Oleh
karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung
pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), Dan Kami menjadikan di antara
mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka
bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami. (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini
menunjukkan bahwasanya dengan sabar dan keyakinan akan bisa dicapai kepemimpinan
dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya),
Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi
kesabaran. (QS. al-'Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk
mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah
sebab untuk mengekang fitnah syahwat... (lihat Ighatsat al-Lahfan hal. 669)

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, .. Sesungguhnya tidaklah ada
seorang da'i yang mengajak manusia kepada apa yang didakwahkan oleh para rasul kecuali
pasti menghadapi orang-orang yang berupaya menghalang-halangi dakwahnya,
sebagaimana yang dihadapi oleh para rasul dan nabi-nabi dari kaum mereka. Oleh sebab itu
semestinya dia bersabar. Artinya dia harus berpegang teguh dengan kesabaran; yang hal itu
termasuk salah satu karakter terbaik ahli iman dan sebaik-baik bekal bagi seorang da'i yang
mengajak kepada Allah tabaraka wa ta'ala, sama saja apakah dakwahnya itu ditujukan
kepada orang-orang yang dekat dengannya atau selainnya, dia harus menjadi orang yang
penyabar. (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 13)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk
surga begitu saja sementara Allah belum mengetahui -menunjukkan- siapakah orang-orang
yang bersungguh-sungguh di antara kalian, dan juga siapakah orang-orang yang bersabar.
(QS. Ali 'Imran: 142)

Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, Artinya, janganlah kalian mengira dan jangan pernah
terbetik dalam benak kalian bahwa kalian akan masuk surga begitu saja tanpa menghadapi
kesulitan dan menanggung berbagai hal yang tidak menyenangkan tatkala menapaki jalan
Allah dan berjalan mencari keridhaan-Nya. Sesungguhnya surga itu adalah cita-cita tertinggi
dan tujuan paling agung yang membuat orang-orang saling berlomba -dalam kebaikan-.
Semakin besar cita-cita maka semakin besar pula sarana untuk meraihnya begitu pula upaya
yang mengantarkan ke sana. Tidak mungkin sampai pada kenyamanan kecuali dengan
meninggalkan sikap santai-santai. Tidak akan digapai kenikmatan -yang hakiki/surga- kecuali
dengan meninggalkan (tidak memuja) kenikmatan -yang semu/dunia-. Hanya saja perkara-
perkara yang tidak menyenangkan di dunia yang dialami seorang hamba di jalan Allah
-tatkala nafsunya telah dilatih dan digembleng untuk menghadapinya serta dia sangat
memahami akibat baik yang akan diperoleh sesudahnya- niscaya itu semua akan berubah
menjadi karunia yang menggembirakan bagi orang-orang yang memiliki bashirah/ilmu,
mereka tidak peduli dengan itu semua. Itulah keutamaan dari Allah yang diberikan-Nya
kepada siapa pun yang Dia kehendaki. (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 150)

Sabar dengan makna yang luas terbagi menjadi 3; yaitu sabar dalam melakukan ketaatan,
sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar menghadapi musibah. Termasuk sabar dalam
ketaatan adalah sabar dalam menuntut ilmu, beramal, dan berdakwah. Semoga Allah
mengaruniakan kepada kita kesabaran.

Anda mungkin juga menyukai