Anda di halaman 1dari 24

CASE REPORT

Identitas : Tn. S
Usia : 64 tahun
Pekerjaan :-
Alamat : Solo
Tanggal pemeriksaan : 19 September 2017

Keluhan Utama : Kuning seluruh badan

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluhkan kuning seluruh badan sudah +- 4


bulan awalnya dari mata lalu ketangan dan seluruh tubuh. Selain itu pasien mengeluhkan adanya
riwayat demam (+) sudah 4 hari yang lalu. Demam hilang timbul. Pasien mengeluhkan adanya
lemas (+), mual (+) dan muntah (+) 2x +- -1/2 gelas belimbing berisi makanan. Nyeri perut
bagian kanan atas dan tengah. BAB (-) sudah 3 hari, BAK (+) sering warna kuning tua, nafsu
makan menurun. Tidak dikeluhkan adanya batuk (-), pilek (-), sesak (-) atau nyeri dada (-).
Keluhan lemas, nyeri perut, mual, muntah dan penurunan nafsu makan semakin memberat
sampai pada akhirnya pasien datang ke IGD PKU Muhammadiyah untuk berobat. Pasien dirawat
di bangsal Multazam.
Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat mondok : (+) dengan keluhan yang sama pada bulan mei 2017
- Riwayat Hipertensi : (-) disangkal,
- riwayat DM : (-) disangkal,
- Riwayat Alergi : (-) disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Riwayat hipertensi : (+) Bapak Pasien (sudah meninggal)


- Riwayat DM : (-) disangkal
- Riwayat Asma : (-) disangkal
- Riwayat penyakit serupa : (-) disangkal
Anamnesis Sistemik
Serebrospinal : Nyeri kepala (-), Demam (-), Penurunan kesadaran (-)
Kardiopulmoner : Kulit kebiruan (-), Kuku-kuku jari berwarna kuning (+)
Respiratorius : Batuk (-),Pilek (-), sesak (-), Mimisan (-), Gusi berdarah (-) Nyeri
dada (-)
Gastrointestinal : Nyeri perut (+) sebelak kanan dan tengah, Mual (+), Muntah (+)
2x 1/4-1/2 gelas belimbing, kembung (-), BAB (-) 3 hari..
Urogenital : BAK (+) Sering, warna kuning tua, Nyeri saat BAK (-)
Integumentum : Pucat (-), Bintik Merah (-), Kuning (+)
Muskuloskeletal : Nyeri otot (-), Nyeri saat Berjalan/bergerak(-), Lemas
(+), Nyeri sendi (-)

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak lemas, kompos mentis (E4V5M6)
Tanda Vital :
Tekanan darah : 110 / 70 mmHg Frekuensi nafas: 20 x/menit
Suhu : 36.5 oC Nadi : 76 x/menit
Kulit : sawo matang, kulit kering (-) tampak pucat (+) kuning
Kepala : mesosefal, rambut hitam tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera, ikterik(+/+), oedem
palpebral (-/-) isokor (+/+)2 mm, reflek cahaya (+/+)
Hidung : discharge (-), septum deviasi (-), epistaksis (-)
Telinga : serumen (-) NT Tragus (-/-), Mastoid (-/-) membrane timpani
intak (+/+)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-) T1/T1 lidah hyperemis (-)
Tenggorokan : serak (-), faring hiperemis (-),
Leher : Pembesaran limfonodi (-) JVP normal 5 cm, masa (-)
Thorax :
Pulmo :
Inspeksi : Simetris, statis dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 cm di medial linea
midclavicula sinistra
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal.
Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, gallop (-), bising (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-), jejas (-), gambaran gerak usus (-)
Auskultasi : bising usus (+) 16 x/m
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) hypokondriaka dextra dan
epigastrium. Hepatosplenomegali (-), Ascites (-) turgor
kulit sedang.
Perkusi : timpani, pekak alih (-)
Ekstremitas
Oedem
Ekstremitas atas -/-
Ekstremitas bawah -/-
Akral hangat
Ekstremitas atas +/+
Ekstremitas bawah +/+
Ikterik
Ekstremitas atas +/+
Ekstremitas bawah +/+
Turgor kulit >3 CRT
LENGAN TUNGKAI

Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan Bebas Bebas Bebas bebas

Tonus Normal Normal Normal Normal

Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi

Clonus Negatif Negatif

Reflek Biseps (+), triceps (+) Patella (+), achilles (+)


fisiologis

Reflek Hoffman (-), tromner (-) Babinski (-), chaddock (-), gordon (-)
patologis

Meningeal Kaku kuduk (-), brudzinski I (-), brudzinski II (-), kernig (-)
sign

Sensibilitas Normal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin 19 September 2017

Pemeriksaan Nilai pemeriksaan Nilai Rujukan satuan


Leukosit 14.55 3.8-10.6 103/ul
Eritrosit 3.02 4.40-5.90 Jt/ul
Hemoglobin 8.7 13.2-17.3 g/dl
Hematocrit 24.8 40.0-52.0 %
Trombosit 173 140-440 103/ul
Neutrophil 76.0 50-70 %
Limfosit 15.5 25-40 %
Monosit 6.8 2-8 %
Eosinophil 1.5 2-4 %
Basofil 0.2 0-1 %
MCV 82.1 80-100 fl
MCH 28.8 26-34 fl
MCHC 35.1 32.0-36 g/dl
MPV 9.6 9-13 fl

Pemeriksaan Nilai pemeriksaan Nilai rujukan Satuan


Gula Darah 235
Sewaktu
SGOT 93 <33 u/l
SGPT 83 <50 u/l
Ureum 53.0 17-49 Mg/dl
Kreatinin 1.30 0.5-1.3 Mg/dl

Pemeriksaan Bilirubin 20 September 2017

Pemeriksaan Nilai pemeriksaan Nilai rujukan


Bilirubin total 5.3 <1.3
Bilirubin direk 4.1 <0.5
Bilirubin Indirec 1.2 0-0.75

Pemeriksaan Nilai pemeriksaan Nilai rujukan


Total protein 4.4 6.4-8.3
Albumin 2.4 3.5-5.2
Globulin 2 1.3-3.3
Pemeriksaan Hasil Satuan
Golongan darah + Rhesus
Golongan darah O
Rhesus Positif
Pemeriksaan Hematologi Tanggal 22 September 2017

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Leukosit 19.70 10*3/ul 3.80-10.60
Eritrosit 3.03 Jt/ul 4.40-5.90
Hemoglobin 8.4 g/dL 13.2-17.3
Hematocrit 25.4 % 40-52
Trombosit 287 10*3/ul 140-400
MCV 84.0 fL 80-100
MCH 27.7 Pg 26-31
MCHC 33.0 g/dL 32-36
MPV 8.4 fL 9-13.0

Pemeriksaan Elektro Kardiografi 19 September 2017


Pemeriksaan Ultrasonografi Abdomen
Hasil USG Abdomen:
Kesan:

- Hepatitis dengan ascites minimal


- Cholecystitis

Diagnosa

- Observasi Ikterus dd Cholelitiasis, Hepatitis, Cholecystitis,

TINJAUAN PUSTAKA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Ikterus ialah pigmentasi berwarna kuning atau kehijauan pada kulit yang disebabkan
oleh hiperbilirubinemia, dimana kadar bilirubin plasma lebih dari 2,5-3 mg/dl. Selain pada
kulit, penimbunan pigmen tersebut dapat terlihat pada sclera mata dan mukosa.3

Ikterus muncul ketika kapasitas hati untuk mengkonversi dan mengekskresikan bilirubin
sebagai asam empedu terlampaui. Hal ini dapat terjadi akibat produksi bilirubin berlebihan,
atau reduksi kapasitas eliminasi hati.4
Bilirubin merupakan produk hasil pemecahan heme (dari hemoglobin dan hemoprotein
lainnya). Bilirubin berikatan dengan albumin di plasma, namun saat memasuki membrane
hepatosit, bilirubin berdisosiasi dan memasuki hepatosit. Selanjutnya, bilirubin berkonjugasi,
terutama dengan asam glukoronat, dan diekskresikan sebagai asam empedu. 4

Penimbunan pigmen empedu dalam tubuh menyebabkan peubahan warna jaringan


menjadi kuning dan disebut sebagai ikterus. Ikterus biasanya dapat dideteksi pada sklera, kulit,
atau urine yang menjadi gelap bila bilirubin serum mencapai 2 sampai 3 mg/dl. Bilirubin
serum normal adalah 0,3 sampai 1,0 mg/dl. Jaringan permukaan yang kaya elastin, seperti
sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya menjadi kuning pertama kali.2

B. Etiologi
Empat mekanisme umum yang menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus yaitu :
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan penyebab
tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut
sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal,
tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati. Hal ini
mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Beberapa
penyebab lazim ikterus hemolitik adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada
anemia sel sabit), eritrosit abnormal (sferositosis herediter), antibody dalam serum
(inkompatibilitas Rh atau transfuse atau akibat penyakit hemolitik autoimun),
pemberian beberapa obat, dan peningkatan hemolisis. 2
Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin berlebihan yang berlangsung kronis
dapat menyebabkan terbentuknya batu empedu yang mengandung sejumlah besar
bilirubin; diluar itu, hiperbilirubinemia ringan umumnya tidak membahayakan.
Pengobatan langsung ditujukan untuk memperbaiki penyakit hemolitik. Akan tetapi,
kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20mg/dl pada bayi dapat menyebabkan
terjadinya kernikterus.2
2. Gangguan ambilan bilirubin
Hanya beberapa obat yang telah terbukti berpengaruh dalam ambilan bilirubin
oleh hati: asam flavaspidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), novobiosin, dan
beberapa zat warna kolesistografi. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus
biasanya menghilang bila obat pencetus dihentikan. 2

3. Gangguan konjugasi bilirubin


Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan yang timbul antara hari kedua dan
kelima setelah lahir disebut sebagai ikterus fisiologis neonatus. Ikterus neonatal yang
normal ini disebabkan oleh imaturitas enzim gloronil transferase. Tiga gangguan
herediter yang menyebabkan defisiensi progresif enzim glukoronil transferase adalah :
sindrom gilbert dan sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II.2
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor fungsional maupun
obstruktif, terutama menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin
terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat diekskresi dalam urine dan menimbulkan
bilirubinuria serta urine yang gelap. Perubahan warna berkisar dari oranye-kuning muda
atau tua sampai kuning-hijau muda atau tua bila terjadi obstruksi total aliran empedu.
Perubahan ini merupakan buki adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain
ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli,
atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu diluar hati).2

C. Patofisiologi
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam
3 fase; prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik masih relevan, walaupun diperlukan
penjelasan akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolism bilirubin.1,2
Fase Prahepatik
Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan
terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang
sedangkan sisanya 20-30% (early labeled bilirubin) datang dari protein hem lainnya
yang berada terutama didalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein hem
dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan enzim
hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin menjadi
bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel sistem retikuloendotelial (mononuklir
fagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama
peningkatan pembentukan bilirubin. Pembentukan early labeled bilirubin meningkat
pada beberapa kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis
kurang penting.1,2
Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkonjugasi ini
transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui mebran
glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam beberapa
keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat
berlomba pada tempat ikatan dengan albumin.1,2
Fase Intrahepatik
Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan
pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan
bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk
pengambilan albumin.1,2
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan
asam glukoronik membentuk bilirubin diglukoronida atau bilirubin konjugasi atau
bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisis oleh enzim mikrosomal glukoronil-
transferase menghasilkan bilirubin yang larut air. Dalam beberapa keaaan reaksi ini
hanya menghasilkan bilirubin monoglukoronida, dengan bagian asam glukoronik kedua
ditambahkan dalam saluran empedu melalui sistem enzim yang berbeda, namun reaksi
ini tidak dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya selain digluoronid juga
terbentuk namun kegunaannya tidak jelas.1,2

Fase Pascahepatik
Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya.
Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di
dalam usus flora bakteri men dekonjugasi dan mereduksi bilirubin menjadi
sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang member
warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali kedalam empedu, dan dalam
jumlah kecil mencapai air seni, sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan
diglukoronida tetapi tidak bilirubin unkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni
yang gelap yang khas pada gangguan hepatoselular atau kolestasis intrahepatik.
Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak.
Karenanya bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati barier darah otak atau masuk ke
dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi
dengan gula melalui enzim glukoroniltransferase dan larut dalam empedu cair.1,2

Hiperbilirubinemia ialah keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah sangat


tinggi yang dapat disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, peningktan
bilirubin terkonjugasi, atau keduanya. Hiperbilirubinemia dan ikterus dapat timbul sebagai
akibat dari produksi bilirubin yang meningkat, penurunan kecepatan penyerapan bilirubin oleh
sel hati, gangguan konjugasi bilirubin, dan gangguan pengeluaran bilirubin terkonjugasi.1,2
Peningkatan produksi bilirubin sering disebabkan oleh penghancuran sel darah merah
yang berlebihan, yang disebut ikterus hemolitik. Pada keadaaan ini peningkatan terjadi pada
kadar bilirubin tidak terkonjugasi ini, penyerapan ke dalam sel hati dan juga ekskresi bilirubin
oleh sel hati meningkat.1,2
Peningkatan ini akan mengakibatkan pembentukan urobilinogen dalam saluran cerna
meningkat, yang selanjutnya diserap kembali dan dikeluarkan melalui urine, sehingga kadar
urobilinogen dalam urine akan meningkat, bilirubin tidak terkonjugasi tidak dikeluarkan
dalam urine.1,7
Beberapa kelainan genetik, seperti sindrom Gilbert, dan beberapa jenis obat dapat
menimbulkan penurunan kecepatan penyerapan bilirubin oleh sel hati. Pada keadaan ini kadar
bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak terjadi peningkatan kadar urobilinogen dalam urine.1,7
Gangguan konjugasi bilirubin terjadi apabila terdapat kekurangan atau tidak adanya
enzim glukoronil transferase, misalnya karena pengaruh obat-obatan atau pada kelainan
genetik seperti sindrom Crigler-Najjar. Apabila enzim glukoronil transferase sama sekali tidak
ada maka konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah akan sangat tinggi. Selanjutnya
karena bilirubin terkonjugasi tidak terbentuk maka tidak akan terdapat bilirubin terkonjugasi
dalam empedu. Empedu menjadi tidak berwarna, tinja berwarna pucat, dan tidak terdapat
urobilinogen dalam urine. Apabila hanya terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase
maka hiperbilirubinemia yang terjadi lebih ringan, dan juga tidak tampak gejala kernikterus.
Empedu tetap berwarna, dan urobilinogen dapat ditemukan dalam urine.7,3
Gangguan pengeluaran bilirubin dapat terjadi akibat kerusakan sel hati atau adanya
sumbatan saluran empedu didalam hati maupun diluar hati. Sumbatan saluran empedu dalam
hati (kolestasis intrahepatik) dapat terjadi pada kelainan genetic, pemberian obat-obatan yang
mempengaruhi sekresi melalui membrane sel hati, atau adanya penyakit hati. Sumbatan di
luar hati (kolestasis ekstrahepatik) umumnya disebabkan batu empedu yang menyebabkan
ikterus obstruktif. Pada gangguan pengeluaran empedu, kadar bilirubin terkonjugasi dalam
plasma akan meningkat. Bilirubin terkonjugasi yang larut dalam air akan dikeluarkan ke
dalam urine sehingga urine akan berwarna gelap. Sebaliknya, tinja akan berwarna pucat dan
kadar urobilinogen dalam urine akan menurun. Meski hiperbilirubinemia akibat sumbatan
empedu terutama berhubungan dengan bilirubin terkonjugasi, terjadi pula peningkatan
bilirubin tidak terkonjugasi (karena hiperbilirubinemia dapat mengakibatkan gangguan fungsi
hati).1
Ditinjau dari sudut terjadinya, ikterus dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu :
ikterus patologik pada anak dan dewasa, yang disebabkan oleh banyak faktor, seperti
ketidakssuaian golongan darah, kelainan genetic, hepatitis, sirosis hati, sumbatan empedu,
infeksi atau obat-obatan, dan ikterus neonatorum atau ikterus fisiologis yang terjadi pada saat
bayi baru lahir.1,3

D. Penyakit Gangguan Metabolisme Bilirubin


1) Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
a. Hemolisis
Walaupun hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan bilirubin,
namunpeningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolisis dapat melampaui
kemampuannya. Pada keadaan hemolisis yang berat konsentrasi bilirubin jarang lebih
dari 3-5 mg/dL (>51-86umol/L) kecuali kalau terdapat kerusakan hati juga. Namun
demikian kombinasi hemolisis yang sedang dan penyakit hati ringan dapat
mengakibatkan keadaan ikterus yang lebih berat; dalam keadaan ini
hiperbilirubinemia bercampur, karena ekskresi empedu kanalikular terganggu.1,4
b. Sindrom Gilbert
Gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemia indirek (tak terkonjugasi),
yang menjadi penting secara klinis, keadaan ini sering disalah artikan sebagai
penyakit hepatitis kronik. Penyakit ini menetap, sepanjang hidup dan mengenai
sejumlah 3-5% penduduk dan ditemukan.1,4
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada sindrom Gilbert telah lama dikenal
karena di bawah aktivitas Uridine difosfat glukoronosiltransferase (UDPGT).
Bilirubin UDPGT bertanggung jawab untuk konjugasi bilirubin dalam
monoglucuronides bilirubin dan diglucuronides dan terletak terutama diretikulum
endoplasma hepatosit. UGT1 lokus gen untuk sindrom Gilbert terletak di kromosom
2 dan bertanggung jawab untuk hampir semua bilirubin konjugasi.1,4
Sindrom Gilbert adalah kondisi jinak tanpa morbiditas terkait atau mortality
mempengaruhi semua ras terjadi terutama pada pria dengan laki-laki untuk rasio
perempuan mulai dari 2: 1-7: 1. Ini biasanya didiagnosis sekitar pubertas, mungkin
karena penghambatan dari glucuronidation bilirubin oleh steroid endogen hormon.
Dalam mata pelajaran yang lebih tua, diagnosis biasanya dibuat ketika
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dicatat pada tes darah rutin.1,5
Gejala tidak spesifik seperti kelelahan, kelemahan, ketidaknyamanan pada
perut, keletihan, muncul secara kebetulan. Derajat fluktuasi hiperbilirubinemia
biasanya 52 mol/L dapat mencapai kadar paling tinggi 137 mol/L. dapat dicetuskan
oleh stress fisik, kelelahan, sakit interkuren, dan konsumsi alcohol.4,5
Diagnosis sindrom Gilbert dapat dibuat apabila terdapat (1) hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi pada beberapa tes, (2) hasil normal pada CBC, hitung retikulosit, dan
hapusan darah; (3) tes fungsi hati normal; dan tidak adanya proses penyakit lainnya.
tes tambahan jarang diperlukan.1,5

c. Sindrom Crigler-Najjar
Penyakit yang diturunkan dan jarang ini disebabkan oleh karena adanya
keadaan kekurangan glukuro-niltransferase, dan terdapat dalam 2 bentuk. Pasien
dengan penyakit autosom resesif tipe I (lengkap=komplit) mempunyai
hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya meninggal pada umur 1 tahun. Pasien
dengan penyakit autosom resesif tipe II (sebagian=parsial) mempunyai
hiperbilirubinemia yang kurang berat (<20mg/dL, <342 umol/L) dan biasanya bisa
hidup sampai masa dewasa tanpa kerusakan neurologic.6
Crigler-Najjar I disebabkan oleh defisiensi UGTI dan UGT2, deposisi berlebih
dari bilirubin pada jaringan, meliputi : ginjal, endokardium mukosa intestinal dan
otak. Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi berat dan kronis bilirubin 342-599
mol/L, derajat yang lebih rendah dari hiperbilirubinemia dapat tidak berkembang
menjadi gejala neurologis sampai usia decade kedua, gejala serebral dapat menonjol.
Pada pemeriksaan assay jaringan hati, tidak tereteksinya aktivitas B-UGTI, dan ada
pemberian fenobarbital CNS-I tidak memberikan respons. Penggobatan sementara
yang dapat dilakukan adalah fisioterapi, transfuse tukar, senyawa yang mengandung
timah (menghambat oksigenase heme, sehingga menurunkan degradasi heme dan
produksi bilirubin).6,7
Crigler-Najjar 2, hiperbilirubinemia jarang melebihi 342 mol/L, apabila
terjadi peningkatan >342 mol/L, hal itu terjadi selama sakit. Diobati secara adekuat
dengan fenobarbital. Fototerapi dapat diberikan sebagai tambahan. Mekaisme kerja
fenobarbital meliputi induksi ikatan protein dan mobilisasi bilirubin, peningkatan
transkripsi dan aktivitas dari B-UGTI, dan efek atropik pada reticulum endoplasma.4

2) Hiperbilirubinemia Konjugasi Non Kolestasis


a. Sindrom Dubin-Johnson
Sindrom Dubin-Johnson adalah penyakit autosom resesif dimana sekresi
bilirubin tergangggu. defek ini disebabkan oleh tidak adanya protein canalicular MRP
(multidrug resistance protein) terletak di kromosom 10q 24, yang bertanggung jawab
untuk pengangkutan empedu glucuronides dan anion organik yang terkait dengan
empedu.8
Hiperbilirubinemia ringan yang didominasi bilirubin terkonjugasi 34-120
mol/L, >50% bilirubin terkonjugasi, kadar bilirubin berfluktuasi, kontrasepsi oral
dan kehamilan mencetuskan hiperbilirubinemia. Keluhan abdomen yang smar dan
tidak spesifik, mungkin hanya kebetulan, jarang ditemukan hepatosplenomegali.4
Hati mengandung pigmen sebagai akibat bahan seperti melanin, namun
gambaran histology normal. Penyebab deposisi pigmen belum diketahui. Nilai
aminotransferase dan fosfatase alkali normal. Oleh karena sebab yang belum
diketahui gangguan yang khas ekskresi korpoporfirin urin dengan dengan rasio
reversal isomer I; III menyertai keadaan ini.1

b. Sindrom Rotor
Penyakit yang jarang ini menyerupai sindrom Dubin-jhonson, tetapi hati tidak
mengalami pigmentasi dan perbedaan metabolic lain yang nyata ditemukan.1
Sindrom rotor adalah penyakit autosom resesif, dengan distribusi di seluruh
dunia laki-laki sama dengan perempuan. Mekanisme dari penyakit ini terbagi atas
dua yaitu penurunan simpanan bilirubin intraselular dan ekskresi bilirubin cukup
menurun.4

3) Hiperbilirubinemia Konjugasi Kolestasis


a. Kolestasis intrahepatik
Kolestasis adalah kondisi terhambatnya aliran cairan empedu secara akut atau
kronis. Defi nisi lain menyebutkan kolestasis adalah gangguan pembentukan
dan/atau aliran bilier yang secara klinis menimbulkan fatigue pruritus, dan ikterus.
Kolestasis dibedakan menjadi kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik.9
Kolestasis intrahepatik terjadi akibat defek fungsional hepatoselular atau lesi
obstruktif traktus bilier intrahepatik. Kolestasis dinyatakan kronis bila menetap 6
bulan atau lebih. Langkah diagnostik kolestasis intrahepatik dimulai dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Penanda biokimiawi yang pertama
muncul pada kolestasis dini adalah alkali fosfatase (ALP) dan gama
glutamiltranspeptidase (GGT ), kemudian diikuti peningkatan bilirubin direk. USG
(ultrasonografi) abdomen direkomendasikan sebagai pemeriksaan noninvasif lini
pertama untuk membedakan kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Selanjutnya,
pemeriksaan antibodi antimitokondria (AMA) diperlukan untuk membedakan sirosis
bilier primer dengan penyebab kolestasis intrahepatik kronis lain. Bila penyebab
kolestasis masih belum jelas, diperlukan pemeriksaan MRCP (magnetic resonance
cholangio pancreatography).9

Algoritma Pendekatan Diagnostik Kolestasis Intrahepatik Kronis, Sesudah Terlebih Dahulu


Menyingkirkan Kemungkinan Hepatitis Virus Kolestatik.

b. Kolestasis ekstrahepatik
Penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus
koledokus dan kanker pancreas. Penyebab lainnya yang relative lebih jarang adalah
srikturr jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus, pangkreatitis atau
pseudocyst pancreas dan kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan kegagalan
sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi
mekanis empedu.1
Penderita kolestasis ekstrahepatik mungkin memerlukan pembedahan,
sedangkan pembedahan pada penderita penyakit hepatoseluler (kolestasis
intrahepatik) dapat memperberat penyakit dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Membedakan kedua keadaan ini tidak mudah, karena semua bentuk kolestasis
menimbulkan sindrom klinik ikterus yang sama yaitu : gatal, peningkatan
transaminase, peningkatan fosfatase alkali, gangguan eksresi zat warna
kolesistografi, dan kandung empedu yang tidak terlihat. Walaupun penentuan akhir
bersifat klinis, namun penilaian derajat obstruksi dapat membantu membedakan
kedua keadaan ini. Obstruksi intrahepatik jarang seberat obstruksi ekstrahepatik. 1,2

E. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis harus meliputi riwayat kelahiran dan perinatal, riwayat penyakit dahulu,
riwayat keluarga, obat-obatan, diet, dan aktivitas sosial. Usia penderita dan perjalanan
penyakit memberikan arahan penting mengenai penyebab ikterus. Beberapa keadaan
kholestasis muncul pada awal kehidupan, misalnya atresia bilier dan penyakit metabolik
bawaan. 1
Warna kekuningan pada kulit atau telapak tangan (pseudoikterus) dapat terjadi
karena memakan terlalu banyak makanan yang mengandung beta-carotin (seperti
squas,melon, pepaya, dan wortel); berbeda dengan ikterus yang sesungguhnya, keadaan
di atas (karotenemi) tidak mengakibatkan warna kuning di sklera atau peningkatan
bilirubin. 1
Umumnya penderita mengeluh mata dan badan menjadi kuning, kencing berwarna
pekat seperti air teh, badan terasa gatal (pruritus), disertai atau tanpa kenaikan suhu badan,
disertai atau tanpa kolik di perut kanan atas. Kadang-kadang feses berwarna keputih-
putihan seperti dempul.5
Pada hepatitis gejala awal muncul secara mendadak seperti demam, mual, muntah,
tidak mau makan, dan nyeri perut. Ikterus dapat tidak kentara pada anak kecil muda
sehingga hanya dapat terdeteksi dengan uji laboratorium. Bila terjadi, ikterus dan urin
berwarna gelap biasanya terjadi setelah gejala-gejala sistemik. Selain itu juga bisa
didapatkan ada riwayat ikterus pada keluarga, teman sekolah, teman bermain, atau jika
anak atau keluarga telah berwisata ke daerah endemik. Apakah penyakit penyebab kuning
ini adalah hepatitis virus, alcohol atau karena obat 1,5,7
Jika ikterus ringan tanpa warna air seni yang gelap harus dipikirkan kemungkinan
adanya hiperbilirubinemia indirek yang mungkin disebabkan oleh penyakit sindrom
Gilbert dan bukan oleh karena penyakit hepatobilier. Keadaan ikterus yang lebih berat
dengan disertai warna air seni yang gelap jelas menandakan penyakit hati atau bilier. 1,2
Bila ikterus disebabkan obstruksi seperti kista koleidokus atau kolelitiasis,
penderita mengalami kolik hebat secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Keluhan nyeri
perut di kanan atas dan menusuk ke belakang. Penderita tampak gelisah dan kemudian ada
ikterus disertai pruritus. Riwayat ikterus biasanya berulang. Riwayat mual ada, perut
kembung, gangguan nafsu makan disertai diare. Warna feses seperti dempul dan urine
pekat seperti air teh.2,3
Diagnosis banding akan mengikutsertakan juga berbagai keadaan lain seperti
infeksi disaluran empedu, pancreatitis, dan keganasan. Jika terdapat penyakit hepatobilier,
apakah kondisinya akut atau kronik. Apakah penyakitnya disebabkan penyakit hati primer
atau penyakit sistemik yang mengikutkan hati. Apakah penyakit penyebab kuning ini
adalah hepatitis virus, alcohol atau karena obat. Jika mengarah ke kolestasis apakah intra
atau ekstrahepatik. Apakah dibutuhkan tindakan operasi.1
Jika terdapat tanda-tanda adanya hipertensi portal, asites, perubahan kulit
seyogyanya mengarah ke penyakit kronis daripada proses akut. Seringkali pasien melihat
gejala urin berwarna gelap lebih dahulu dari pada warna kuning kulit, karenanya warna
gelap urin lebih bisa dipakai sebagai ukuran awal mulainya penyakit. Jika terdapat keluhan
mual dan muntah yang mendahului terjadinya warna kuning pada kulit, keadaan tersebut
lebih menandakan kearah hepatitis akut atau sumbatan duktus koledokus oleh karena batu.
Jika ada sakit perut atau menggigil lebih cenderung yang terakhir. Adanya anoreksia dan
malaise yang timbul perlahan dan tidak begitu nyata lebih menjurus ke hepatitis kronis. 1
Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu dipikirkan segera bahwa kolestasis lebih
bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu atau keganasan kaput
pancreas). 1

2. Pemeriksaan Fisik
Ikterus dapat dilihat pada sklera atau kulit. Klinikus harus mencatat apakah
penderita tampak sehat atau sakit, atau apakah penderita tampak iritabel atau lemah. Hal
ini akan memberi indikasi apakah terdapat ensefalopati, infeksi atau penyakit metabolik.
Dismorfisme sangat berharga untuk mencari penyebab kolestasis. Popok bisa diperiksa
untuk melihat adanya tinja dempul dan urine gelap.5
Pada penderita hepatitis, minggu pertama fase ikterik kuning akan terus meningkat
kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari. Penderita juga mengeluh sakit
di perut bagian kanan atas, mual, kadang-kadang muntah dan nafsu makan tetap menurun,
urine akan berwarna seperti teh pekat, kadang-kadang tinjanya berwarna pucat.7
Pada obstruksi saluran empedu didapatkan penderita tampak gelisah, nyeri tekan
perut kanan atas, kadang-kadang disertai defans muscular dan Murphy Sign positif,
hepatomegali dengan atau tanpa terabanya kandung empedu. Karena adanya bendungan,
maka menyebabkan pengeluaran bilirubin ke saluran pencernaan berkurang, sehingga
tinja akan berwarna putih seperti dempul karena tidak mengandung sterkobilin. Akibat
penimbunan bilirubin direk, kulit dan sklera akan berwarna kuning kehijauan.9
Penyakit sistemik patut dicurigai, misalnya jika terdapat peninggian tekanan vena
jugularis yang menjurus ke adanya dekompensasi kordis atau perikarditis atau konstriktif
pada pasien dengan hepatomegali dan asites. Status gizi kurang menjurus kepada keadaan
kakeksia dengan hati yang membesar dan keras irregular sering disebabkan oleh
keganasan daripada sirosis. 1
Limfadenopati yang difus mengarah kepada adanya mononucleosis infeksiosa pada
kasus ikterus yang akut dan leukemia pada penyakit kronis. Adanya hepatosplenomegali
tanpa tanda adanya penyakit hati kronik bisa diakibatkan oleh penyakit infiltrative (seperti
limfoma, amiloidosis), walaupun biasanya ikterus bersifat minimal bahkan tidak ada;
dalam keadaan ini perlu dipikirkan skistosomiasis dan malaria yang sering memberikan
gambaran seperti itu terjadi di endemic. 1

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Kimia Darah
Bilirubin
Bilirubin berasal dari pemecahan heme akibat penghancuran sel darah
merah oleh sel retikuloendotel. Akumulasi bilirubin berlebihandi kulit, sklera,
dan membran mukosa menyebabkan warna kuning yang disebut ikterus. Kadar
bilirubin lebih dari 3mg/dL biasanya baru dapat menyebabkan ikterus.10
Ikterus mengindikasikan gangguan metabolisme bilirubin, gangguan
fungsi hati, penyakit bilier, atau gabungan ketiganya.Metabolisme bilirubin
dimulai oleh penghancuran eritrosit setelah usia 120 hari oleh sistem
retikuloendotel menjadi heme dan globin. Globin akan mengalami degradasi
menjadi asam amino dan digunakan sebagai pembentukan protein lain. Heme
akan mengalami oksidasi dengan melepaskan karbonmonoksida dan besi
menjadi biliverdin. Biliverdin reduktase akan mereduksi biliverdin menjadi
bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Setelah dilepaskan ke plasma
bilirubin tidak terkonjugasi berikatan dengan albumin kemudian berdifusi ke
dalam sel hati. Bilirubin tidak terkonjugasi dalam sel hati akan dikonjugasi oleh
asam glukuromat membentuk bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk), kemudian
dilepaskan ke saluran empedu dan saluran cerna, di dalam saluran cerna bilirubin
terkonjugasi dihidrolisis oleh bakteri usus -glucuronidase, sebagian menjadi
urobilinogen yang keluar dalam tinja (sterkobilin) atau diserap kembali oleh
darah lalu dibawa ke hati (siklus enterohepatik). Urobilinogen dapat larut dalam
air, sehingga sebagian dikeluarkan melalui ginjal.10
Pemeriksaan bilirubin untuk menilai fungsi eksresi hati di laboratorium
terdiri dari pemeriksaan bilirubin serum total, bilirubinserumdirek, dan bilirubin
serum indirek, bilirubin urin dan produk turunannya seperti urobilinogen dan
urobilin di urin, serta sterkobilin dan sterkobilinogen di tinja. Apabila terdapat
gangguan fungsi eksresi bilirubin maka kadar bilirubin serum total meningkat.
Kadar bilirubin serum yang meningkat dapat menyebabkan ikterik.10
Penyebab ikterus berdasarkan tempat dapat diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu prehepatik, hepatik dan pasca hepatik (kolestatik). Peningkatan bilirubin
pre hepatik sering disebabkan karena penghancuran sel darah merah berlebihan.
Bilirubin tidak terkonjugasi di darah tinggi sedangkan serum transaminasedan
alkalin fosfatase normal, di urin tidak ditemukan bilirubin. Peningkatan bilirubin
akibat kelainan hepatik berkaitan dengan penurunan kecepatan penyerapan
bilirubin oleh sel hati misalnya pada sindrom Gilbert, gangguan konjugasi
bilirubin karena kekurangan atau tidak ada enzim glukoronil transferase
misalnya karena obat-obatan atau sindrom Crigler-Najjar. Enzim hati akan
meningkat sesuai penyakit yang mendasarinya, ikterus biasanya berlangsung
cepat. Peningkatan bilirubin pasca hepatik akibat kegagalan sel hati
mengeluarkan bilirubin terkonjugasi ke dalam saluran empedu karena rusaknya
sel hati atau terdapat obstruksi saluran empedu di dalam hati atau di luar hati.
Kelainan laboratorium yang dapat dijumpai pada berbagai tipe ikterus.10
Albumin
Albumin merupakan substansi terbesar dari protein yang dihasilkan oleh
hati.Fungsi albumin adalah mengatur tekanan onkotik, mengangkut nutrisi,
hormon, asam lemak dan zat sampah dari tubuh. Apabila terdapat gangguan
fungsi sintesis sel hati maka kadar albumin serum akan menurun (hipoalbumin)
terutama apabila terjadi lesi sel hati yang luas dan kronik. Penyebab lain
hipoalbumin diantaranya terdapat kebocoran albumin di tempat lain seperti
ginjal pada kasus gagal ginjal, usus akibat malabsorbsi protein, dan kebocoran
melalui kulit pada kasus luka bakar yang luas. Hipoalbumin juga dapat
disebabkan intake kurang, peradangan, atau infeksi. Peningkatan kadar albumin
sangat jarang ditemukan kecuali pada keadaan dehidrasi.10
Globulin
Globulin merupakan unsur dari protein tubuh yang terdiri dari globulin
alpha, beta, dan gama. Globulin berfungsi sebagai pengangkut beberapa
hormone lipid, logam, dan antibodi. Pada sirosis, sel hati mengalami kerusakan
arsitektur hati, penimbunan jaringan ikat, dan terdapat nodul pada jaringan hati,
dapat dijumpai rasio albumin : globulin terbalik. Peningkatan globulin terutama
gama dapat disebabkan peningkatan sintesis antibodi, sedangkan penurunan
kadar globulin dapat dijumpai pada penurunan imunitas tubuh, malnutrisi,
malababsorbsi, penyakit hati, atau penyakit ginjal.10
Konsentrasi albumin yang rendah dan globulin yang tinggi menunjukkan
adanya penyakit kronis. Peningkatan waktu protrombin yang membaik setelah
pemberian vitamin K (5-10 mg IM selama 2-3 hari) lebih mengarah kepada
keadaan kolestatik daripada proses hepatoselular. Namun hal ini tidak bisa
terlalu dipastikan karena pada pasien dengan penyakit hepatoselular pun
peberian vitamin K bisa juga memberikan perbaikan. 1

Enzim Transaminase
Enzim transaminase meliputi enzim alanine transaminase (ALT) atau
serum glutamate piruvattransferase (SGPT) dan aspartate transaminase (AST)
atau serum glutamate oxaloacetate transferase (SGOT). 7
Pengukuran aktivitas SGPT dan SGOT serum dapat menunjukkan adanya
kelainan sel hati tertentu, meskipun bukan merupakan uji fungsi hati sebenarnya
pengukuran aktivitas enzim ini tetap diakui sebagi uji fungsi hati. Enzim
ALT/SGPT terdapat pada sel hati, jantung, otot dan ginjal. Porsi terbesar
ditemukan pada sel hati yang terletak di sitoplasma sel hati.AST/SGOT terdapat
di dalam sel jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, pankreas, limpa dan paru.
Kadar tertinggi terdapat did alam sel jantung. AST 30% terdapat di dalam
sitoplasma sel hati dan 70% terdapat di dalam mitokondria sel hati. Tingginya
kadar AST/SGOT berhubungan langsung dengan jumlah kerusakan sel.
Kerusakan sel akan diikuti peningkatan kadar AST/SGOT dalam waktu 12 jam
dan tetap bertahan dalam darah selama 5 hari.10
Peningkatan SGPT atau SGOT disebabkan perubahan permiabilitas atau
kerusakan dinding sel hati sehingga digunakan sebagai penanda gangguan
integritas sel hati (hepatoseluler). Peningkatan enzim ALT dan AST sampai 300
U/L tidak spesifik untuk kelainan hati saja, tetapi jika didapatkan peningkatan
lebih dari 1000 U/L dapat dijumpai pada penyakit hati akibat virus, iskemik hati
yang disebabkan hipotensi lama atau gagal jantung akut, dan keruskan hati
akibat obat atau zat toksin. Rasio De Ritis AST/ALT dapat digunakan untuk
membantu melihat beratnya kerusakan sel hati. Pada peradangan dan kerusakan
awal (akut) hepatoseluler akan terjadi kebocoran membransel sehingga isi
sitoplasma keluar menyebabkan ALT meningkat lebih tinggi dibandingkan AST
dengan rasio AST/ALT <0,8 yang menandakan kerusakan ringan.10
Pada peradangan dan kerusakan kronis atau berat maka keruskan sel hati
mencapai mitokondria menyebabkan peningkatan kadar AST lebih tinggi
dibandingkan ALT sehingga rasio AST/ALT > 0,8 yang menandakan keruskan
hati berat atau kronis.10
Alkaline Phosfatase (ALP) Dan Gamma Glutamyltransferase (GGT)
Aktivitas enzim ALP digunakan untuk menilai fungsi kolestasis. Enzim ini
terdapat di tulang, hati, dan plasenta. ALP di sel hati terdapat di sinusoid dan
membran saluran empedu yang penglepasannya difasilitasi garam empedu,
selain ituALP banyak dijumpai pada osteoblast. Kadar ALP tergantung umur
dan jenis kelamin. Aktivitas ALP lebih dari 4 kali batas atas nilai
rujukanmengarah kelainan ke arah hepatobilier dibandingkan hepatoseluler.1110
Hiperbilirubinemia dengan nilai aminotransferase dan fosfatase alkali
yang normal menunjukkan kemungkinan proses hemolisis atau penyakit
sindrom Gilbert; ini dipastikan dengan fraksionasi blirubin. Sebaliknya beratnya
ikterus dan fraksionasi bilirubin tidak bisa membantu untuk membedakan ikterus
hepatoselular dari keadaan ikterus kolestatik. Peninggian aminotransferase >500
U lebih mengarah kepada hepatitis atau keadaan hipoksia akut; peninggian
fosfatase alkali yang tidak proporsional mengarah kepada kolestatik atau
kelainan infiltrative. Pada keadaan yang disebut belakangan bilirubin biasanya
normal atau hanya naik sedikit saja. Bilirubin diatas 25 sampai 30mg/dL (428-
513umol/L) seringkali disebabkan adanya hemolisis atau disfungsi ginjal yang
menyertai pada keadaan penyakit hepatobilier berat. 1
Enzim gamma GT terdapat di sel hati, ginjal, dan pankreas. Padasel hati
gamma GT terdapat di retikulum endoplasmiksedangkan di empedu terdapat di
sel epitel. Peningkatan aktivitas GGT dapat dijumpai pada icterus obstruktif,
kolangitis, dan kolestasis. Kolestasis adalah kegagalan aliran empedu mencapai
duodenum.10
b. Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan saluran bilier sangat penting. Pemeriksaan sonografi, CT, dan
MRI memperlihatkan adanya pelebaran saluran bilier, yang menunjukkan adanya
sumbatan mekanik, walaupun jika tidak ada tidak selalu berarti sumbatan intrahepatik,
terutama dalam keadaan masih akut. Penyebab adanya sumbatan mungkin bisa
diperlihatkan, umumnya batu kandung empedu, dapat dipastikan dengan
ultrasonografi, lesi pancreas dengan CT. kebanyakan pusat menggunakan terutama
USG untuk mendiagnosis karena biayanya yang rendah. 1
Endoscopic Retrograde Cholangio-Pancreatography (ERCP) memberikan
kemungkinan untuk melihat secara langsung saluran bilier dan sangat bermanfaat
untuk menetapkan sebab sumbatan ekstrahepatik. Percutaneous Transhepatic
Cholangiography (PTC) dapat pula dipergunakan untuk maksud ini. Kedua cara
tersebut diatas mempunyai potensi terapeutik. Pemeriksaan MRCP dapat pula untuk
melihat langsung saluran empedu dan mendeteksi batu dan kelainan duktus lainnya
dan merupakan cara non invasive alternative terhadap ERCP. 1
c. Biopsi Hati
Biopsi hati akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik; walaupun
demikian, bisa timbul juga kesalahan, terutama jika penilaian dilakukan oleh yang
kurang berpengalaman. Umumnya, biopsi aman pada kasus dengan kolestasis, namun
berbahaya pada keadaan obstruksi ekstra hepatic yang berkepanjangan, karenanya
harus disingkirkan dahulu dengan pemeriksaan pencitraan sebelum biopsy dilakukan.
1

Kecuali pasien dalam keadaan kolangitis kolestasis supurativa, bukan keadaan


emergensi. Diagnosis sebaiknya ditegakkan melalui penilaian klinis, dengan bantuan
alat penunjang khusus jika ada. Jika diagnosis tidak pasti, ultrasonografi atau CT akan
sangat membantu. Obstruksi mekanis dapat ditegakkan jika ditemukan tanda
pelebaran saluran bilier, terutama pada pasien dengan kolestasi yang progresif.
Pemeriksan lebih lanjut dengan kolangiografi langsung (ERCP, PTC, MRCP) dapat
dipertimbangkan. Jika pada pemeriksaan ultrasongrafi tidak ditemukan pelebaran
saluran empedu, sangat mungkin lebih cenderung ke maslah intrahepatik, dan biopsy
sangat dianjurkan. 1
Jika alat penunjang tersebut diatas tidak terdapat, maka laparoskopi diagnosis
harus dipertimbangkan, jika pertimbangan klinis lebih menjurus ke sumbatan
1
ekstrahepatik dan kolestasis memburuk progresif.

Anda mungkin juga menyukai