Anda di halaman 1dari 7

Thythykikk gfm vmJawapan:

Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk melindungi terhadap
penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal
ini disebabkan karena sejak anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap
tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Oleh sebab itu, pemerintah
menyelenggarakan imunisasi ulangan pada anak usia sekolah dasar atau sederajat (MI/SDLB)
yang pelaksanaannya serentak di Indonesia dengan nama Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).

Penyelenggaraan BIAS ini berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor


1059/Menkes/SK/IX/2004 dan mengacu pada himbauan UNICEF, WHO dan UNFPA tahun
1999 untuk mencapai target Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (MNTE) pada tahun 2005
di negara berkembang (insiden dibawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun). BIAS
adalah salah satu bentuk kegiatan operasional dari imunisasi lanjutan pada anak sekolah yang
dilaksanakan pada bulan tertentu setiap tahunnya dengan sasaran seluruh anak-anak usia Sekolah
Dasar (SD) atau sederajat (MI/SDLB) kelas 1, 2, dan 3 di seluruh Indonesia.

Imunisasi lanjutan sendiri adalah imunisasi ulangan yang ditujukan untuk mempertahankan
tingkat kekebalan diatas ambang perlindungan atau memperpanjang masa perlindungan.
Imunisasi yang diberikan berupa vaksin Difteri Tetanus (DT) dan Vaksin Campak untuk anak
kelas 1 SD atau sederajat (MI/SDLB) serta vaksin Tetanus Toksoid (TT) pada anak kelas 2 atau
3 SD atau sederajat (MI/SDLB). Pada tahun 2011, secara nasional imunisasi vaksin TT untuk
kelas 2 dan kelas 3 SD atau sederajat (MI/SDLB) ditambah dengan Antigen difteri (vaksin Td).
Pemberian imunisasi ini sebagai booster untuk mengantisipasi terjadinya Kejadian Luar Biasa
(KLB) Difteri. Perubahan pemberian imunisasi dari vaksin TT ditambah dengan vaksin Td ini
sejalan dengan rekomendasi dari Komite Ahli Penasehat Imunisasi Nasional atau Indonesia
Technical Advisory Group on Immunization. Hal ini disebabkan adanya perubahan trend kasus
infeksi difteri pada usia anak sekolah dan remaja.

Pemberian imunisasi bagi para anak usia SD atau sederajat (MI/SDLB) ini merupakan komitmen
pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya
manusia melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Selain itu, berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1059/MENKES/SK/IX/2004 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi bahwa imunisasi sebagai salah satu upaya preventif untuk mencegah
penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh harus dilaksanakan secara terus menerus,
menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan perlindungan
kesehatan dan memutus mata rantai penularan.

A. Penularan penyakit polio (salah satu PD3I)

1. Penyakit difteri

Difteri adalah salah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diptheriae. Penyakit ini diperkenalkan pertama kali oleh Hipokrates
pada abad ke 5 SM dan epidemi pertama dikenal pada abad ke-6 oleh Aetius. Bakteri
tersebut pertama kali diisolasi dari pseudomembran pasien penderita difteria pada tahun
1883 oleh Klebs, sedangkan anti-toksin ditemukan pertama kali dibuat pada akhir abad
ke-19 sedangkan toksoid difteria mulai dibuat sekitar tahun 1920. Cara penularan terjadi
apabila terdapat kontak langsung dengan penderita difteri atau dengan pasien carrier
difteri. Kontak langsung melalui percikan ludah (saat batuk, bersin dan berbicara),
eksudat dari kulit yang terinfeksi atau kontak tidak langsung melalui debu, baju, buku
maupun mainan yang terkontaminasi.

2. Penyakit Tetanus

Tetanus (lockjaw/kejang otot pada rahang dan wajah) adalah salah satu penyakit menular
yang disebabkan oleh tetanospasmin sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh bakteri
Clostridium tetani. Penyakit ini sudah mulai dikenal sejak abad ke-5 SM tetapi baru pada
tahun 1884 dibuktikan secara eksperimental melalui penyuntikan pus pasien tetanus pada
seekor kucing oleh Carle dan Rattone.

Clostridium tetani adalah bakteri yang sensitif terhadap suhu panas dan tidak bisa hidup
dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya, spora tetanus sangat tahan panas dan kebal
terhadap beberapa antiseptik. Bakteri ini banyak terdapat pada kotoran, debu jalan, usus
dan tinja kuda, domba, anjing serta kucing. Cara penularan Bakteri masuk ke dalam
tubuh manusia melalui luka sehingga mampu menginfeksi sistem urat saraf dan otot
menjadi kaku (rigid).

3. Penyakit Campak

Cara penularan Penyakit ini yaitu penularan infeksi karena menghirup percikan ludah
penderita campak. Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum
rimbulnya ruam kulit dan 4 hari setelah ruam kulit ada.

B. Riwayat alamiah penyakit polio (salah satu PD3I)

1. Penyakit difteri

Gambaran klinis, masa inkubasi difteri umumnya 2-5 hari pada difteri kulit masa
inkubasi adalah 7 hari setelah infeksi primer pada kulit. Pasien akan mengalami gejala
seperti demam dan terkadang menggigil, kerongkongan sakit dan suara parau, perasaan
tidak enak, mual, muntah, sakit kepala, hidung berlendir kadang-kadang bercampur
darah, serta dapat teraba adanya benjolan dan bengkak pada daerah leher (bullneck).

2. Penyakit Tetanus

Gejala utama penyakit ini timbul kontraksi dan spastisitas otot yang tidak terkontrol,
kejang, gangguan saraf otonom, dan rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk
bergerak). Perawatan luka merupakan pencegahan utama terjadinya tetanus di samping
imunisasi pasif dan aktif.

3. Penyakit Campak

Penyakit Campak (measles) adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh
virus paramiksovirus Gejala dari penyakit ini ditandai dengan demam, batuk,
konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit.

C. 5 level pencegahan penyakit polio (salah satu PD3I).


1. Vaksin difteri

Anti-toksin difteria pertama kali digunakan pada tahun 1891 dan mulai dibuat secara
massal tahun 1892. Anti-toksin difteria ini terutama digunakan sebagai pengobatan dan
efektifitasnya sebagai pencegahan diragukan. Pemberian anti-toksin dini sangat
mempengaruhi angka kematian akibat difteria. Kemudian dikembangkanlah toksoid
difteria yang ternyata efektif dalam pencegahan timbulnya difteria.

Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria yang kemudian
digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DTP.
Untuk imunisasi rutin anak dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan
dan saat masuk sekolah. Beberapa penelitian serologis membuktikan adanya penurunan
kekebalan sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan (booster) pada masa
anak.

2. Vaksin Tetanus

Pembuktian bahwa toksin tetanus dapat dinetralkan oleh suatu zat dilakukan oleh
Kitasatol (1889) dan Nocard (1897) yang menunjukkan efek dari transfer pasif suatu anti-
toksin yang kemudian diikuti oleh imunisasi pasif selama perang dunia I. Toksoid tetanus
kemudian ditemukan oleh Descombey pada tahun 1924 dan efektifitas imunisasi aktif
didemonstrasikan pada perang dunia II. Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi
adalah sebesar 40 IU dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bersama dengan toksoid
difteria dan vaksin pertusis. Pemberian toksoid tetanus memerlukan pemberian
berkesinambungan untuk menimbulkan dan mempertahankan imunitas. Tidak diperlukan
pengulangan dosis bila jadwal pemberian ternyata terlambat. Efektifitas vaksin ini cukup
baik, ibu yang mendapatkan toksoid tetanus 2 atau 3 dosis memberikan proteksi bagi bayi
baru lahir terhadap tetanus neonatal.

Vaksin DT (Difteri Tetanus) dan Td (Tetanus difteri)


Vaksin DT diberikan kepada anak kelas satu SD atau sederajat (MI/SDLB) dan vaksin Td
diberikan pada anak kelas dua dan tiga SD atau sederajat (MI/SDLB). Pemberian
imunisasi ini akan melengkapi status TT 5 (TT lima dosis) yang dapat melindungi
dirinya selama 25 tahun terhadap infeksi tetanus. Apabila kelak seorang anak perempuan
hamil maka bayi yang akan dilahirkan akan terlindungi dari infeksi tetanus neonatorum
(tetanus pada bayi baru lahir) .

4. Vaksin campak

Vaksin Campak diberikan pada anak kelas satu SD atau sederajat (MI/SDLB), pemberian
vaksin ini merupakan imunisasi ulang atau booster untuk meningkatkan kekebalan tubuh
sehingga dapat memutuskan mata rantai penularan terhadap penyakit campak.

Pelaksanaan BIAS
Setiap tahun BIAS dilaksanakan pada bulan Agustus untuk Campak dan pada bulan November
untuk DT (kelas I) dan Td (kelas II dan III). Pelayanan imunisasi di sekolah dikoordinir oleh tim
pembina UKS. Peran guru menjadi sangat strategis dalam memotivasi murid dan orangtuanya.
Ketidak hadiran murid pada saat pelayanan imunisasi akan merugikan murid itu sendiri dan
lingkungannya karena peluang untuk memperoleh kekebalan melalui imunisasi tidak
dimanfaatkan.

Pemberian imunisasi pada anak sekolah bertujuan sebagai investasi bagi pembangunan sumber
daya manusia yang produktif, meningkatkan kemampuan hidup sehat bagi peserta didik dalam
lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara
harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Pelaksanaan BIAS
merupakan keterpaduan lintas program dan lintas sektor terkait sebagai salah satu upaya
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. Diselenggarakan melalui wadah yang sudah ada
yaitu Tim Pembina Usaha Kesehatan Sekolah (TP UKS), dimana imunisasi merupakan salah
satu komponen kegiatan UKS.

Upaya imunisasi perlu terus ditingkatkan untuk mencapai tingkat population immunity
(kekebalan masyarakat) yang tinggi sehingga dapat memutuskan rantai penularan PD3I. Dengan
berbagai kemajuan pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, upaya imunisasi menjadi
semakin efektif dan efisien dengan harapan dapat memberikan langkah nyata bagi kesejahteraan
anak, ibu, serta masyarakat secara umum.

DAFTAR PUSTAKA
1. bentengkesehatanumat.wordpress.com/.../bias-bulan-i...
2. repository.usu.ac.id/bitstream/.../5/Chapter%20I.pdf
3. misunniyah2.wordpress.com/.../bias-di-mi-sunniyah-ii...

Anda mungkin juga menyukai