Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang
Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih
dari biasanya, merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung mempunyai beberapa fungsi
antara lain sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalansi agar dapat
digunakan paru-paru, mempengaruhi reflek tertentu pada paru-paru dan
memodifikasi bicara.
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung
perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian
luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta
persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat
di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung.

Tujuan
Setelah mempelajari embriologi, anatomi, fisiologi, pemeriksaan hidung serta
dua penyakit terbanyak dari hidung diharapkan dokter dapat menjelaskan
mengenai mekanisme penyakit-penyakit yang tersering guna menambah
pengetahuan dokter sehingga mudah dalam menangani kasus yang ada.

2
KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Tn. M.S
Usia : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Salamrojo, Berbek
Suku Bangsa/Agama : Jawa / Islam
No. Rekam Medis : 08.52.43
Tanggal Masuk : 4 Mei 2017
Jam Masuk : 06.00 WIB

II. ANAMNESIS
Dilakukan anamnesis kepada pasien pada hari Kamis tanggal 4 Mei 2017
di Unit Gawat Darurat (UGD) RS Bhayangkara Moestadjab Nganjuk

Keluhan Utama :
Hidung buntu sejak 1 bulan terakhir

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan hidung buntu sejak 1 bulan terakhir, pasien
juga mengeluh nyeri kepala, nyeri kepala sering timbul saat pasien sedang
pilek, nyeri dirasakan paling berat di pelipis dan kedua pipi, dan nyeri
dirasakan berat bila pasien sedang bersujud, ingus berbau (-), riwayat polip
hidung (-), riwayat nyeri telan (-). Pasien ada riwayat sakit gigi (+). Pasien
direncanakan operasi, pasien puasa mulai pukul 22.00 WIB ( 3 Mei 2017).

3
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi obat (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat Asma (-)
Riwayat Merokok (+)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan Umum : cukup
Kesadaran : compos mentis
Vital Sign :
TD : 110/70 mmHg
N : 80x/m
RR : 18x/m
Tax : 36C
Kepala/Leher : anemis/ikterik/sianosis/dypsnea = -/-/-/-
Tonsil dan faring : tidak terlihat hiperemis, tidak edema
Thorax : Cor : S1S2 tunggal
Pulmo : Ves+/+, Rho -/-, Whe-/-
Abdomen : cembung. BU(+), timpani, soepel
Ekstremitas : akral hangat +/-, edema -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Lengkap, CT, BT, GDA, HbsAg, anti HIV
EKG
Foto Rontgen Thorax
Foto Rontgen Waters

4
Hasil lab Darah Lengkap dalam batas normal

5
Hasil lab CT, BT, GDS, HbsAg, HIV dalam batas normal

6
Hasil Foto Rontgen Thorax PA dalam batas normal

7
8
Pasien membawa hasil foto rontgen waters dari Lab Sam Husada Nganjuk

Hasil foto rontgen waters :


Tampak perselubungan di sinus frontalis kanan, maksilaris kanan kiri
Tampak perselubungan di cavum nasi
Septum nasi di midline

Kesimpulan :
Sinusitis maksilaris kanan kiri dan frontalis kanan acut
Rhinitis

V. DIAGNOSA :
Sinusisitis Maksilaris Bilateral

9
VI. TERAPI
Infus RL 20 tpm
Rencana operasi pukul 06.30 WIB pada hari Kamis tanggal 4 Mei 2017
Konsul Anestesi
Konfirmasi dr.Amdad Sp.THT-KL

FOLLOW UP DI RUANGAN POST OP Antrostomi CWL(Caldwell-


Luc)
Tanggal 4 Mei 2017

Terapi dr. Amdad Sp.THT-KL :


Infus RL
Inj cefotaxim 2X1 gram IV
Inj Ketorolac 2x30 mg IV
Inj Kalnex 2x500 mg IV

Tanggal 4 Mei 2017, pukul 11.00 WIB


S : post op, terasa nyeri di luka bekas operasi
O: KU cukup
Kesadaran : compos mentis
Vital Sign :
TD : 100/70 mmHg
N : 84x/m
Tax : 37,3C
Kepala/leher : anemis/ikterik/sianosis/dispnea : -/-/-/- bengkak di
daerah wajah
Thorax : Cor/ Pulmo : S1S2 tunggal, Ves+/+ Rhonki-/-,
Whe-/-
Abdomen : cembung, BU(+), timpani, soepel
A : Sinusitis Maksilaris Bilateral
P : Terapi lanjut dari dr. Amdad Sp. THT-KL

10
Operasi yang dilakukan adalah teknik operasi Cadwell-Luc
Cadwell-Luc adalah sebuah antrostomi yang dilakukan melalui fossa kanina
melalui insisi pada sulkus gingivobukal. Dimana pada prosedur ini meliputi
pengangkatan seluruhnya mukosa antrum dan pembukaan jendela nasoantral
melalui meatus inferior.1
Beberapa indikasi dilakukan prosedur ini adalah :
-Sinusitis maksillaris mikotik
-Mukokel multiseptal sinus maksillaris
-Polip antroskoanal
-Penutupan fisulla oroantral
-Akses untuk transantal sphenoidektomi, decompresi orbita, perbaikan fraktur
lantai orbita, eksplorasi fossa pterigomaksilla
-Eksisi tumor yang melibatkan antrum

Perawatan pasca operasi :


Posisi kepala di elevasikan 30 derajat dan diberikan ice pack untuk
meminimalkan edema facial. Penggunaan nasal spray salin beberapa kali dalam
sehari membantu mencegah pembentukan krusta intranasal. Bila digunakan
packing antranasal, antibiotik spektrum luas pasca-operasi perlu diberikan. Semua
packing di lepaskan 2-5 hari setelah operasi melalui rute transnasal. Lavage nasal
salin di gunakan setelah packing dilepaskan. Follow up di lakukan setiap pada
bulan pertama, 2 minggu sekali pada bulan kedua, setelah itu dimonitor 4 kali
dalam 1 tahun.

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Embriologi Hidung


Pada embriologi hidung yang berasal dari neural crest cell minggu ke-4,
terletak di daerah muka tengah bagian bawah (caudal midface) dimana
membentuk 2 placodes yang berkembang simetris yaitu :
-medial (septum, philtrum, dan premaxilla)
-lateral (sisi hidung)
-inferior (stomodeum)
- Nasobucal choane pada minggu ke 10
Koane merupakan pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian belakang yang
menghubungkan dengan nasofaring.1
Selama minggu keenam, lubang hidung makin bertambah dalam sehingga
karena pertumbuhan tonjolan-tonjolan hidung sekitarnya dan sebagian lagi
karena penembusan ke dalam mesenkim di sekitarnya. Pada mulanya
membrana oronasalis memisahkan lubang hidung dari rongga mulut
sederhana, tetapi setelah selaput ini pecah, bilik bilik hidung sederhana
bermuara ke dalam rongga mulut melalui lubang lubang yang baru
terbentuk, yaitu choana sederhana. Choanae ini terletak pada sisi kanan dan
kiri garis tengah dan tepat di belakang langit primer. Kelak dengan
terbentuknya langitan sekunder dan perkembangan bilik bilik hidung
sederhana selanjutnya, choanae tetap terletak pada peralihan antara ronga
hidung dan pharynx.1
Sinus paranasalis berkembang sebagai divertikula dinding lateral hidung
dan meluas ke dalam tulang maxilla, ethmoidalis, frontalis dan sphenoidalis.
Sinus sinus ini mencapai luas maksimumnya pada masa pubertas dan
dengan demikian sangat mendukung bentuk wajah yang tetap.1

12
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah:
1) Pangkal hidung (bridge),
2) Dorsum nasi,
3) Puncak hidung,
4) Ala nasi,
5) Kolumela dan
6) Lubang hidung (nares anterior).1
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari
1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus
nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang
kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan

13
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi
yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut
vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.1

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,


lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina
perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis
os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela.1
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding
lateral hidung.1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka
media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema.1

14
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.1

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit


yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius
terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.1

2.2. Perdarahan Hidung


Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang
a.fasialis.1 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina
mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis terutama pada anak.1
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan

15
a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media.1
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-
vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.1

2.3. Persarafan Hidung


Ganglion sfenopalatinum, memberikan persarafan sensoris, dan juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Dia
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas
ujung posterior konka media.1
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.1

16
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1

2.4. Histologi Hidung


Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut
lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang
terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung.1
Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan
tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan
pada anyaman kapiler periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari
anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang
dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya
sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan
darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan

17
demikian mukosa hidung menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil,
yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi
pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.1
Palut lendir di dalam sinus dibersihkan oleh silia dengan gerakan
menyerupai spiral ke arah ostium. Mukosa penghidu terdapat pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseusostratified
columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel,
yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa
penghidu berwarna coklat kekuningan.1

2.5. Fisiologi Hidung


Fungsi hidung ialah untuk
jalan napas, alat pengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring
udara, sebagai indra penghidu,
untuk resonansi suara, turut
membantu proses bicara dan refleks
nasal.1
Silia/reseptor berdiri diatas
tonjolan mukosa yang dinamakan
vesikelolfaktorius dan masuk ke dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria.
Diantara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil
mukus (mengandung air, mukopolisakarida, antibodi, enzim, garam-garam
dan protein pengikat bau (G-protein).Sel-sel reseptor satu-satunya neuron
sistem saraf pusat yang dapat berganti secara reguler ( 4-8 mgg) (tempat
transduksi).Kecepatan aliran udara pada saat inspirasi sebesar 250 ml/sec.
Inspirasi dalam menyebabkan molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa
olfaktorius dan sensasi bau tercium. syarat zat-zat yang dapat menyebabkan
perangsangan penghidu :
- Harus mudah menguap mudah masuk ke liang hidung

18
- Sedikit larut dalam air mudah melalui mukus
- mudah larut dalam lemaksel-sel rambut olfaktoria dan
ujung luar sel-sel olfaktoria td dari zat lemak .1

Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus
yang berada pada permukaan membran. Pada inspirasi, udara masuk melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke
bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan
atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan
aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain
kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.1
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan
sebelumnya.1
Mengatur suhu. fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC. Fungsi hidung sebagai
pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke
dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban

19
udara dan mengatur suhu.1 Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan
oleh palut lendir (mucous blanket).1
Menyaring udara berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari
debu dan bakteri dan dilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi,
silia, serta palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor
lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang
disebut lysozyme.1
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara
dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).1
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah.
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.1
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.1

2.6. Sinus Paranasal


Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan
hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.1
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan,
kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah

20
ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari dari sinus
etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi
sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinu-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-
18 tahun.1

Gambar sinus

2.7. Kompleks Ostio-Meatal


Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus
frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan
kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat
di belakang

prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.1

21
2.8. Fungsi Sinus Paranasal
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Beberapa pendapat:
- Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi.Keberatan terhadap teori ini ialah
karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara
sinus dan rongga hidung.Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

- Sebagai penahan suhu (termal insulators)


Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,
melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang
berubah-ubah.

- Membantu keseimbangan kepala


Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga
teori dianggap tidak bermakna.

- Membantu resonansi suara


Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya
tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif.Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya
sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

- Sebagai peredam perubahan tekanan udara


misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

22
- Membantu produksi mukus1
Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung,
namun efektif untuk membersihkan partikel.1

2.9 Pemeriksaan hidung dan Sinus Paranasal


Ada 8 cara yang dapat kita lakukan untuk memeriksa keadaan hidung
dan sinus paranasalis, yaitu :Pemeriksaan dari luar : inspeksi, palpasi, &
perkusi.
- Rinoskopia anterior.
- Rinoskopia posterior.
- Transiluminasi (diaphanoscopia).
- X-photo rontgen.
- Pungsi percobaan.
- Biopsi.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin, bakteriologi, serologi, &
sitologi.3

Pemeriksaan Hidung
Bentuk luar hidung diperhatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang
hidung.Adakah pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal. Dengan jari
dapat dipalpasi adanya krepitasi tulang hidung pada fraktur os nasal atau rasa
nyeri tekan pada peradangan hidung dan sinus paranasal.3
Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan disebut rinoskopi
anterior. Diperlukan spekulum hidung.Pada anak dan bayi kadang-kadang tidak
diperlukan.Otoskop dapat dipergunakan untuk melihat bagian dalam hidung
dengan hati-hati dan dibuka setelah spekulum berada di dalam dan waktu
mengeluarkannya jangan ditutup dulu di dalam, supaya bulu hidung tidak
terjepit.Vestibulum hidung, septum terutama bagian anterior, konka inferior,
konka media, konka superior serta meatus sinus paranasal dan keadaan mukosa
rongga hidung harus diperhatikan. Begitu juga rongga hidung sisi yang lain.
Kadang-kadang rongga hidung ini sempit karena adanya edema mukosa. Pada

23
keadaan seperti ini untuk melihat organ-organ tersebut diatas lebih jelas perlu
dimasukkan tampon kapas adrenalin pantokain beberapa menit untuk mengurangi
edema mukosa dan menciutkan konka, sehingga rongga hidung lebih lapang.3
Untuk melihat bagian belakang hidung dilakukan pemeriksaan rinoskopi
posterior sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring. Untuk melakukan
pemeriksaan rinoskopi posterior diperlukan spatula lidah dan kaca nasofaring
yang telah dihangatkan dengan api lampu spiritus untuk mencegah udara
pernapasan mengembun pada kaca. Sebelum kaca ini dimasukkan , suhu kaca
dites dulu dengan menempelkannya pada kulit belakang tangan kiri pemeriksa.
Pasien diminta membuka mulut, lidah dua pertiga anterior ditekan dengan spatula
lidah.3
Pasien bernapas melalui mulut supaya uvula terangkat ke atas dan kaca
nasofaring yang menghadap keatas dimasukkan melalui mulut, ke bawah uvula
dan sampai nasofaring. Setelah kaca berada di nasofaring pasien diminta bernafas
biasa melalui hidung. Uvula akan turun kembali dan rongga nasofaring. Mula-
mula diperhatikan bagian belakang septum dan koana. Kemudian kaca diputar ke
lateral sedikit untuk melihat konka superior, konka media, dan konka inferior
serta meatus superior dan meatus media. Kaca diputar lebih ke lateral lagi
sehingga dapat diidentifikasi torus tubarius, muara tuba Eustachius dan fosa
Rossenmuler, kemudian kaca diputar ke sisi lainnya. Daerah nasofaring lebih jelas
terlihat bila pemeriksaan dilakukan dengan memakai nasofaringoskop.3
Udara melalui kedua lubang hidung lebih kurang sama dan untuk
mengujinya dapat dengan cara meletakkan spatula lidah dari metal di depan kedua
lubang hidung.3

Pemeriksaan Sinus Paranasal


Dengan inspeksi, palpasi dan perkusi daerah sinus paranasal serta
pemeriksaan rinoskopi posterior saja, diagnosis kelainan sinus sulit ditegakkan.
Pemeriksaan transluminasi mempunyai manfaat yang sangat terbatas dan tidak
dapat menggantikan peranan pemeriksaan radiologik. Pada pemeriksaan

24
transluminasi sinus maksilla dan sinus frontal, dipakai kampu khusus sebagai
sumber cahaya dan pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang gelap.3
Transluminasi sinus maksilla dilakukan dengan memasukkan sumber
cahaya ke rongga mulut dan bibir dikatupkan sehingga sumber cahaya tidak
tampak lagi.Setelah beberapa menit tampak daerah infra orbita terang seperti
bulan sabit. Untuk pemeriksaan sinus frontal, lampu diletakkan di daerah bawah
sinus frontal dekat kantus medius dan di daerah sinus frontal tampak cahaya
terang.3
Pemeriksaan radiologik untuk menilai sinus maksilla dengan posisi water,
sinus frontalis, dan sinus etmoid dengan posisi postero anterior dan sinus sfenoid
dengan posisi lateral.Untuk menilai kompleks osteomeatal dilakukan pemeriksaan
dengan CT-Scan.Dengan menggunakan endoskopi 0 dan 30 spesialis THT dapat
melihat lebih mudah, kelainan di daerah nasofaring dan dinding lateral hidung.3

2.9.1. Pemeriksaan Hidung & Sinus Paranasalis dari Luar


Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat
melakukaninspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :
- Kerangka dorsum nasi (batang hidung).
- Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.
-
Bibir atas.3
Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat
kita temukan pada inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :
- Lorgnet pada abses septum nasi.
- Saddle nose pada lues.
- Miring pada fraktur.
- Lebar pada polip nasi.
- Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya
udem di tempat tersebut.3
Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat
melakukan inspeksi hidung & sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh
sekresi yang berasal dari sinusitis dan adenoiditis. Ada 4 struktur yang

25
penting kita perhatikan saat melakukan palpasi hidung & sinus paranasalis,
yaitu :
- Dorsum nasi (batang hidung).
- Ala nasi.
- Regio frontalis sinus frontalis.
- Fossa kanina.
Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan pada
palpasi hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os
nasalis.3
Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi.
Tanda ini dapat kita temukan pada furunkel vestibulum nasi. Ada 2 cara kita
melakukan palpasi pada regio frontalis sinus frontalis, yaitu : Kita menekan lantai
sinus frontalis ke arah mediosuperior dengan tenaga optimal dan simetris (besar
tekanan sama antara sinus frontalis kiri dan kanan). Palpasi kita bernilai bila
kedua sinus frontalis tersebut memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis yang
lebih sakit berarti sinus tersebut patologis. Kita menekan dinding anterior sinus
frontalis ke arah medial dengan tenaga optimal dan simetris. Hindari menekan
foramen supraorbitalis. Foramen supraorbitalis mengandung nervus supraorbitalis
sehingga juga menimbulkan reaksi sakit pada penekanan. Penilaiannya sama
dengan cara pertama diatas. Palpasi fossa kanina kita peruntukkan buat
interpretasi keadaan sinus maksilaris. Syarat dan penilaiannya sama seperti
palpasi regio frontalis sinus frontalis. Hindari menekan foramen infraorbitalis
karena terdapat nervus infraorbitalis.3
Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan
apabila palpasi pada keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi
sama dengan syarat-syarat palpasi.3

Rinoskopia Anterior
Ada 5 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu :
- Cermin rinoskopi anterior
- Pipa penghisap.

26
- Aplikator.
- Pinset (angulair) dan bayonet (lucae).
- Spekulum hidung Hartmann.3
Cara kita memegang spekulum hidung Hartmann sebaiknya
menggunakan tangan kiri dalam posisi horisontal. Tangkainya yang kita pegang
berada di lateral sedangkan mulutnya di medial. Mulut spekulum inilah yang kita
masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.3
Cara kita memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu mulutnya yang
tertutup kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Setelah itu
kita membukanya pelan-pelan di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.3
Cara kita mengeluarkan spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam
kavum nasi (lubang hidung), kita menutup mulut spekulum kira-kira 90%. Jangan
menutup mulut spekulum 100% karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan
tercabut keluar.3
Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan
kita lakukan, yaitu :
- Pemeriksaan vestibulum nasi.
- Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.
- Fenomena palatum mole.
- Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.
- Pemeriksaan septum nasi.
- Pemeriksaan Vestibulum Nasi pada Rinoskopia Anterior3
Sebelum menggunakan spekulum hidung pada pemeriksaan vestibulum
nasi, kita melakukan pemeriksaan pendahuluan lebih dahulu. Ada 3 hal yang
penting kita perhatikan pada pemeriksaan pendahuluan ini, yaitu :
- Posisi septum nasi.
- Pinggir lubang hidung. Ada-tidaknya krusta dan adanya warna merah.
- Bibir atas. Adanya maserasi terutama pada anak-anak.
- Cara kita memeriksa posisi septum nasi adalah mendorong ujung hidung pasien
dengan menggunakan ibu jari.3

27
Spekulum hidung kita gunakan pada pemeriksaan vestibulum nasi
berguna untuk melihat keadaan sisi medial, lateral, superior dan inferior
vestibulum nasi. Sisi medial vestibulum nasi dapat kita periksa dengan cara
mendorong spekulum ke arah medial. Untuk melihat sisi lateral vestibulum nasi,
kita mendorong spekulum ke arah lateral. Sisi superior vestibulum nasi dapat
terlihat lebih baik setelah kita mendorong spekulum ke arah superior. Kita
mendorong spekulum ke arah inferior untuk melihat lebih jelas sisi inferior
vestibulum nasi.3
Saat melakukan pemeriksaan vestibulum nasi menggunakan spekulum
hidung, kita perhatikan ada tidaknya sekret, krusta, bisul-bisul, atau raghaden.3
Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah pada rinoskopia anterior. Cara
kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian bawah yaitu dengan
mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) yang
searah dengan konka nasi media.3
Ada 4 hal yang perlu kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi
(lubang hidung) bagian bawah, yaitu :
- Warna mukosa dan konka nasi inferior.
- Besar lumen lubang hidung.
- Lantai lubang hidung.
- Deviasi septi yang berbentuk krista dan spina.3
Fenomena Palatum Mole Pada Rinoskopia Anterior
Cara kita memeriksa ada tidaknya fenomena palatum mole yaitu dengan
mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam dinding belakang nasofaring secara
tegak lurus. Normalnya kita akan melihat cahaya lampu yang terang benderang.
Kemudian pasien kita minta untuk mengucapkan iii.3
Selain perubahan dinding belakang nasofaring menjadi lebih gelap
akibat gerakan palatum mole, bayangan gelap dapat juga disebabkan cahaya
lampu kepala tidak tegak lurus masuk ke dalam dinding belakang nasofaring.3
Setelah pasien mengucapkan iii, palatum mole akan kembali bergerak
ke bawah sehingga benda gelap akan menghilang dan dinding belakang
nasofaring akan terang kembali.3

28
Fenomena palatum mole positif bilamana palatum mole bergerak saat
pasien mengucapkan iii dimana akan tampak adanya benda gelap yang bergerak
ke atas dan dinding belakang nasofaring berubah menjadi lebih gelap. Sebaliknya,
fenomena palatum mole negatif apabila palatum mole tidak bergerak sehingga
tidak tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang
nasofaring tetap terang benderang.3
Fenomena palatum mole negatif dapat kita temukan pada 4 kelainan,
yaitu:
- Paralisis palatum mole pada post difteri.
- Spasme palatum mole pada abses peritonsil.
- Hipertrofi adenoid
- Tumor nasofaring : karsinoma nasofaring, abses retrofaring, dan adenoid.3
Pemeriksaan Kavum Nasi Bagian Atas pada Rinoskopia Anterior
Cara kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian atas yaitu
dengan mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung)
bagian atas pasien.3
Ada 4 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi
(lubang hidung) bagian atas, yaitu :
- Kaput konka nasi media.
- Meatus nasi medius : pus dan polip.
- Septum nasi bagian atas : mukosa dan deviasi septi.
- Fissura olfaktorius.
Deviasi septi pada septum nasi bagian atas bisa kita temukan sampai menekan
konka nasi media pasien.3
Pemeriksaan Septum Nasi pada Rinoskopia Anterior
Kita dapat menemukan septum nadi berbentuk krista, spina dan huruf S.3

Rinoskopia Posterior
Prinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari
koane dan dinding nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang
kita tempatkan dalam nasofaring.

29
Syarat-syarat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :
Penempatan cermin. Harus ada ruangan yang cukup luas dalam
nasofaring untuk menempatkan cermin yang kita masukkan melalui mulut pasien.
Lidah pasien tetap berada dalam mulutnya. Kita juga menekan lidah pasien ke
bawah dengan bantuan spatula (spatel). Penempatan cahaya harus ada jarak yang
cukup lebar antara uvula dan faring milik pasien sehingga cahaya lampu yang
terpantul melalui cermin dapat masuk dan menerangi nasofaring.
Cara bernapas. Hendaknya pasien tetap bernapas melalui hidung.3
Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :
-Cermin kecil.
-Spatula.
-Lampu spritus.
-Solusio tetrakain (- efedrin 1%).
Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :
Cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan. Sebelum memasukkan dan
menempatkannya ke dalam nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan
punggung cermin pada lampu spritus yang telah kita nyalakan.Minta pasien
membuka mulutnya lebar-lebar. Lidahnya ditarik ke dalam mulut, jangan
digerakkan dan dikeraskan. Bernapas melalui hidung.Spatula kita pegang dengan
tangan kiri. Ujung spatula kita tempatkan pada punggung lidah pasien didepan
uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di paramedian kanan lidah
sehinggaterbuka ruangan yang cukup luas untuk menempatkan cermin kecil
dalam nasofaring pasien.Masukkan cermin kedalam faring dan kita tempatkan
antara faring dan palatum mole kananpasien. Cermin lalu kita sinari dengan
menggunakan cahaya lampu kepala.Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita
masukkan spatula, kita berikan lebih dahulu tetrakain 1% 3-4 kalidan tunggu 5
menit.Ada 4 tahap pemeriksaan yang akan kita lalui saat melakukan rinoskopia
posterior, yaitu :
Tahap 1 : Pemeriksaan Tuba Kanan. Posisi awal cermin berada di
paramedian yang akan memperlihatkan kepada kita keadaan kauda konka nasi

30
media kanan pasien. Tangkai cermin kita putar kemudian ke medial dan akan
tampak margo posterior septum nasi. Selanjutnya tangkai cermin kita putar ke
kanan, berturut-turut akan tampak konka nasi terutama kauda konka nasi inferior
(terbesar), kauda konka nasi superior, meatus nasi medius, ostium dan dinding
tuba.3
Tahap 2 : Pemeriksaan Tuba Kiri.Tangkai cermin kita putar ke medial,
akan tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Tangkai cermin terus
kita putar ke kiri, akan tampak kauda konka nasi media kanan dan tuba kanan.3
Tahap 3 : Pemeriksaan Atap Nasofaring. Kembali kita putar tangkai
cermin ke medial. Tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Setelah
itu kita memeriksa atap nasofaring dengan cara memasukkan tangkai cermin
sedikit lebih dalam atau cermin agak lebih kita rendahkan.3
Tahap 4 : Pemeriksaan Kauda Konka Nasi Inferior. Kita memeriksa
kauda konka nasi inferior dengan cara cermin sedikit ditinggikan atau tangkai
cermin sedikit direndahkan. Kauda konka nasi inferior biasanya tidak kelihatan
kecuali mengalami hipertrofi yang akan tampak seperti murbei (berdungkul-
dungkul).3
Ada 2 kelainan yang penting kita perhatikan pada rinoskopia posterior,
yaitu :
Peradangan. Misalnya pus pada meatus nasi medius & meatus nasi superior,
adenoiditis, dan ulkus pada dinding nasofaring (tanda TBC).
Tumor. Misalnya poliposis dan karsinoma.
Ada 3 sumber masalah pada rinoskopia posterior, yaitu :
Pihak pemeriksa : tekanan, posisi, dan fiksasi spatula.
Pihak pasien : cara bernapas dan refleks muntah.
Alat-alat : bahan spatula dan suhu & posisi cermin.
Tekanan spatula yang kita berikan terhadap punggung lidah pasien
haruslah seoptimal mungkin. Tekanan yang terlalu kuat akan menimbulkan
sensasi nyeri pada diri pasien. Sebaliknya tekanan yang terlalu lemah
menyebabkan faring tidak terlihat jelas oleh pemeriksa.3

31
Posisi spatula hendaknya kita pertahankan pada tempat semula. Gerakan
kepala pasien berpotensi menggeser posisi spatula. Posisi spatula yang terlalu jauh
ke pangkal lidah apalagi sampai menyentuh dinding faring dapat menimbulkan
refleks muntah.3
Cara fiksasi spatula memiliki keunikan tersendiri. Ibu jari pemeriksa
berada dibawah spatula. Jari II dan III berada diatas spatula. Jari IV kita
tempatkan diatas dagu sedangkan jari V dibawah dagu pasien.3
Kesulitan yang menjadi tantangan buat kita dari pemeriksaan rinoskopia
posterior ini terletak pada koordinasi yang kita jaga antara tangan kanan yang
memegang cermin kecil, tangan kiri yang memegang spatula, kepala dan posisi
cahaya dari lampu kepala yang akan menyinari cermin dalam faring, dan kejelian
mata kita melihat bayangan pada cermin kecil dalam faring.3
Cara bernapas yang tidak seperti biasa menjadi kendala tersendiri bagi
pasien. Mereka harus bernapas melalui hidung dengan posisi mulut yang terbuka.
Ada beberapa pasien yang memiliki refleks yang kuat terhadap perlakuan yang
kita buat. Kita bisa memberikannya tetrakain dan efedrin untuk mencegahnya.
Bahan spatula yang terbuat dari logam dapat menimbulkan refleks pada
beberapa pasien karena rasa logam yang agak mengganggu di lidah.3
Suhu cermin jangan terlalu panas dan terlalu dingin. Cermin yang terlalu
panas menimbulkan rasa nyeri sedangkan cermin yang terlalu dingin
menimbulkan kekaburan pada cermin yang mengganggu penglihatan kita.
Posisi cermin jangan terlalu jauh masuk ke dalam apalagi sampai
menyentuh faring pasien. Refleks muntah dapat timbul akibat kecerobohan kita
ini.3

Transiluminasi (Diaphanoscopia).
Syarat melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) adalah
adanya ruangan yang gelap. Alat yang kita gunakan berupa lampu listrik
bertegangan 6 volt dan bertangkai panjang (Heyman).4
Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk
mengamati sinus frontalis dan sinus maksilaris. Cara pemeriksaan kedua sinus

32
tersebut tentu saja berbeda.Cara melakukan pemeriksaan transiluminasi
(diaphanoscopia) pada sinus frontalis yaitu kita menyinari dan menekan lantai
sinus frontalis ke mediosuperior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup
dengan tangan kiri. Hasilnya sinus frontalis normal bilamana dinding depan sinus
frontalis tampak terang.4
Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia)
pada sinus maksilaris, yaitu :
Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan
pada margo inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita
tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum
durum homolateral berwarna terang.4
Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang
telah diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien
kemudian kita tutup. Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita
tutup dengan tangan kiri. Hasilnya dinding depan dibawah orbita tampak
bayangan terang berbentuk bulan sabit.4
Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan
adanya perbedaan sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang,
menandakan keduanya normal. Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa
menandakan adanya cairan karena tipisnya tulang mereka. Jika kedua sinus
tampak gelap, menandakan keduanya normal. Khusus pasien pria, kedua sinus
yang gelap bisa akibat pengaruh tebalnya tulang mereka.4
X-Photo Rontgen
Untuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi Water pada
X-photo rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap menunjukkan patologis.
Perhatikan batas sinus atau tulang, apakah masih utuh ataukah tidak.4
Pungsi Percobaan
Pungsi percobaan hanya untuk pemeriksaan sinus maksilaris dengan
menggunakan troicart. Kita melakukannya melalui meatus nasi inferior. Hasilnya
jika keluar nanah atau sekret mukoid maka kita melanjutkannya dengan tindakan
irigasi sinus maksilaris.4

33
Biopsi
Jaringan biopsi kita ambil dari sinus maksilaris melalui lubang pungsi di
meatus nasi inferior atau menggunakan Caldwell-Luc.1
Sinoskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop
dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fosa krania.
Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip,
jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan
apakah ostiumnya terbuka.1

2.10 SINUSITIS
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus
yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis
frontal, dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pan
sinusitis.1

a. Etiologi
(1) Rinitis akut
(2) Infeksi faring, seperti faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut
(3) Infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3, serta P1 dan P2 (dentogen)
(4) Berenang dan menyelam
(5) Trauma dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
(6) Barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa.

b. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat

34
yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan.1
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak
dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini
menimbulkan tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang
ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis
non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka
sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk
tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen
yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik. Jika
terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan
bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan
perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan
polip dan kista.1

c. Faktor Predisposisi
Deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta
tumor di dalam rongga hidung merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.
Selain itu rinitis kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium
sinus serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk
tumbuhnya bakteri. Sebagai faktor predisposisi lain ialah lingkungan berpolusi,
udara dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa
serta kerusakan silia.1

d. Gejala Subyektif
Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Lokal pada hidung terdapat
ingus kental yang kadang kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring.
Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah sinus yang terkena, serta kadang
kadang dirasakan juga ditempat lain karena nyeri alih (referred pain). 3

35
Pada sinusitis maksila nyeri dibawah kelopak mata dan kadang kadang
menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi
dan didepan telinga.3
Rasa nyeri pada sinusitis ethmoid di pangkal hidung dan kantus medius.
Kadang kadang dirasakan nyeri di bola mata atau dibelakangnya, dan nyeri akan
bertambah bila mata digerakkan. Nyeri alih dirasakan di pelipis (parietal). Pada
sinusitis frontal rasa nyeri terlokalisasi di dahi atau dirasakan nyeri diseluruh
kepala. Rasa nyeri pada sinusitis sfenoid di verteks, oksipital, dibelakang bola
mata dan didaerah mastoid.3

e. Gejala Obyektif
Pembengkakan pada sinusitis maksila terlihat di pipi dan kelopak mata
bawah, pada sinusitis frontal di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid
jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi. Pada rinoskopi anterior
tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis
frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus
medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah
tampak keluar dari meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di
nasofaring (post nasal drip).3

f. Diagnosis
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:
Kriteria Mayor :
- Sekret nasal yang purulen
- Drenase faring yang purulen
- Purulent Post Nasaldrip
- Batuk
Foto rontgen (Watersradiograph atau air fluid level) : Penebalan lebih 50% dari
antrum
Coronal CT Scan : Penebalan atau opaksifikasi dari mukosa sinus

36
Kriteria Minor :
- Sakit kepala - Edem periorbital
- Nyeri di wajah - Sakit gigi
- Nyeri telinga Sakit tenggorok - Nafas berbau
- Bersin-bersin bertambah sering - Demam
Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil dan bakteri
Ultrasound
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika :
Gejala dan tanda : 2 mayor, 1 minor dan 2 kriteria minor

g. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang
sakit, sehingga tampak lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi Waters, PA dan lateral. Posisi
Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan
etmoid. Posisi posterior anterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral
untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.3
Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal
adalah pemeriksaan CT-scan.3

h. Pemeriksaan Mikrobiologi
Sebaiknya untuk pemeriksaan mikrobiologik diambil sekret dari meatus
medius atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam macam bakteri
yang merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti
Pneumococcus, Streptococcus, Stphylococcus dan Haemophylus influeanzae.
Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur.3

i.Terapi
Medikamentosa berupa antibiotika selama 10 14 hari, meskipun gejala
klinik telah hilang. Antibiotika yang diberikan adalah golongan penisilin.

37
Diberikan juga obat dekongestan lokal berupa tetes hidung, untuk memperlancar
drainase sinus. Boleh diberikan analgetika untuk menghilangkan rasa nyeri.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial; atau bila ada nyeri yang hebat karena ada
sekret tertahan oleh sumbatan.3

j. Komplikasi Sinusitis
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus,pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan
ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.2

Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.2
Peradangan atau reaksi edema yang ringan.Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak,
karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering
kali merekah pada kelompok umur ini.Selulitis orbita, edema bersifat difus dan
bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.Abses
subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.Abses orbita, pus telah menembus
periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa
neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot
ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas
abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.Trombosis sinus kavernosus,
merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus
kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.2
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
- Oftalmoplegia.

38
- Kemosis konjungtiva.
- Gangguan penglihatan yang berat.
- Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang
berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga
dengan otak.
-
Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut
sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.1
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis kista ini dapat
membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya.Kista ini
dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis
dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat
menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf
didekatnya.1
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.1
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat
semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau
obliterasi sinus.1

Komplikasi Intra Kranial


Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran
vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior
sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara
ethmoidalis. Abses dural adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna
kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat,
sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul
mampu menimbulkan tekanan intra kranial.1

39
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid
atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.Abses otak,
setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi
perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi komplikasi intra
kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan
yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.1
Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis.Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.
Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil.1

Sinusitis Dentogen
Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus
maksilla adalah prosesus alveolaris temapt akar gigi rahang atas, sehingga rongga
sinus maksilla hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan
kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi
infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar
secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.1
Harus curiga adanya sinusistis dentogen pada sinusitis maksilla kronis yang
mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk
mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan
pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu
dilakukan irigasi sinus maksilla.1

Gejala Sinusitis
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa
tertekan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post
nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.5
Keluhan nyeri atau rasa tertekan di daerah sinus terkena merupakan ciri khas
sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (reffered pain).
Nyeri di pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang ke

40
dua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala
menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks,
oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksilla kadang-
kadang ada nyeri alih ke gigi.5
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip
yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.5
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit diagnosis. Kadang-kadang
hanya 1 atau 2 gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip,
batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik
muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis).
Bronkiektasis dan yang penting adalah serangan bronkiektasis dan yang paling
penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak,
mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.5

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
posterior, pemeriksan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang
lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis
maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau meatus superior(pada sinusitis
etmoid posterior dan sfenoid).Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan
hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus
medius.Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos dan CT Scan. Foto
polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksilla dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT
Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
pemeriksaan penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau dengan praoperasi sebagai panduan operator saat melakukan
operasi sinus. 1

41
Pada pemeriksaan transluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang
tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus
maksilla. Sinuskopi dilakukan dengan pungsib menembus dinding medial sinus
maksilla melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus
maksilla yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.1

Tujuan
Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan 2) mencegah
komplikasi dan 3) mencegah perubahan kronik. Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih
secara alami. 1
Antibiotik dan decongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti
amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta
laktamase, maka dapat diberikan amoksilin-klavulanat atau jenis sefalosporin
generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun
gejala klinik sudah hilang.1
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram
negatif dan anaerob.1
Selain decongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, streoid oral/topikal, pencucian rongga
hidung dengan NaCL atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin
diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih
kental. Bila ada alergi berat sebaiknya jangan diberikan antihistamin generasi ke-
2. Irigasi sinus maksilla dan Proetz displacement therapy juga merupakan terapi
tambahan yang dapat bermanfaat.1

42
Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah
menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil
yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.1
Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat:sinusitis kronik disertai kista/kelainan yang irreversibel, polip ekstensif,
adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.1

Tindakan operasi Cadwell luc


Cadwell-Luc adalah sebuah antrostomi yang dilakukan melalui fossa
kanina melalui insisi pada sulkus gingivobukal. Dimana pada prosedur ini
meliputi pengangkatan seluruhnya mukosa antrum dan pembukaan jendela
nasoantral melalui meatus inferior.1
Beberapa indikasi dilakukan prosedur ini adalah :
-Sinusitis maksillaris mikotik
-Mukokel multiseptal sinus maksillaris
-Polip antroskoanal
-Penutupan fisulla oroantral
-Akses untuk transantal sphenoidektomi, decompresi orbita, perbaikan fraktur
lantai orbita,
eksplorasi fossa pterigomaksilla
-Eksisi tumor yang melibatkan antrum
Perawatan pasca operasi :
Posisi kepala di elevasikan 30 derajat dan diberikan ice pack untuk meminimalkan
edema facial. Penggunaan nasal spray salin beberapa kali da;am sehari membantu
mencegah pembentukan krusta intranasal. Bila digunakan packing antranasal,
antibiotik spektrum luas pasca-operasi perlu diberikan. Semua packing di
lepaskan 2-5 hari setelah operasi melalui rute transnasal. Lavage nasal salin di
gunakan setelah packing dilepaskan. Follow up di lakukan setiap pada bulan

43
pertama, 2 minggu sekali pada bulan kedua, setelah itu dimonitor 4 kali dalam 1
tahun.1

44
BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien didiagnosis sinusitis maksillaris bilateral


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
sudah dilakukan. Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh pilek/hidung
seperti tersumbat, gejala subyektif sinusitis dirasakan hidung tersumbat dan rasa
nyeri didaerah sinus yang terkena, serta kadang kadang dirasakan juga ditempat
lain karena nyeri alih (referred pain). Pada pasien mengeluh nyeri kepala jika
pilek. Nyeri lebih dirasakan dirasakan paling berat di pelipis dan kedua pipi, dan
nyeri dirasakan berat bila pasien sedang bersujud. Pada pemeriksaan penunjang
foto waters menunjukkan tampak perselubungan di sinus frontalis kanan,
maksilaris kanan kiri: tampak perselubungan di cavum nasi, septum nasi di
midline, pada foto menunjukkan hasil sinusitis maksilaris kanan kiri dan frontalis
kanan acut dan rhinitis. Pada pasien ini juga didapatkan keluhan pilek yang sering
yaitu rinitis akut yang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
sinusitis.
Pasien didiagnosis sebagai sinusitis maksillaris bilateral dan direncanakan
dilakukan operasi oleh dr.Amdad Sp.THT-KL tanggal 4 Mei 2017, pasien puasa
mulai pukul 22.00 WIB ( 3 Mei 2017). Sebelum dilakukan operasi pasien
menjalani berbagai pemeriksaan penunjang, lab DL, CT, BT, GDA, HbsAg, anti
HIV, EKG, Foto rontgen thorax PA. Dan didapatkan hasil dalam batas normal.
Dilakukan konsul ke dr.Sp.An ACC untuk operasi. Pasien dipasang infus RL 20
tpm. Pada pasien ini dilakukan operasi Antrostomi CWL(Caldwell-Luc). Indikasi
dilakukan CWL adalah sinusitis maksillaris dengan kerusakan mukosa yang
irreversible yang gagal diterapi dengan terapi konservatif, pada keragu-raguan
sinusitis yang berulang. Operasi CWL adalah operasi pada sinus maksillaris
melalui mulut dengan insisi mukosa buccal pada regio kaninus maksilla,
mengeluarkan mukosa yang sakit dan membuat lubang antrostomi di meatus nasi
inferior. Pasien diberikan antibiotik cefotaxim, cefotaxim merupakan antibiotik
golongan sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai khasiat bakterisidal dan

45
bekerja menghambat sintesis mukopeptida pada dinding sel bakteri. Cefotaxime
sangat stabil terhadap hidrolisis beta laktamase, maka cefotaxime digunakan
sebagai alternatif lini pertama pada bakteri yang resisten terhadap golongan
penisilin,. Cefotaxime memiliki aktivitas spektrum lebih luas terhadap organisme
gram negatif dan gram positif. Terapi lain yang diberikan pasien ini adalah
injeksi ketorolac 2x30 mg iv yang digunakan sebagai analgetik.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan


telinga hidung tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3
2. Ghorayeb B. Sinusitis. Dalam Otolaryngology Houston. Diakses dari
www.ghorayeb.com/AnatomiSinuses.html
3. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor.
Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit
FK UI, Jakarta 2002, 115 119.
4. Wikipedia. Sinusitis. Diakses dari www.wikipedia.org/wiki/sinusitis
5. Adam,Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC,
Jakarta,1997Guyton,AC, Hall,JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997,
editor: irawati setiawan, ed. 9, 1997, Jakarta: EGC
6. Spanner, Spalteholz, Atlas Anatomi Manusia, Bagian ke II, edisi 16,
Hipokrates, Jakarta,1994.
7. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher edisi 5, FK UI, 2006.

47

Anda mungkin juga menyukai