Anda di halaman 1dari 3

Petungan

a. Teori
Petungan merupakan patokan-patokan perhitungan pembangunan yang digunakan dalam
Arsitektur Jawa. Petungan bersumber dari naskah-naskah lama yang diciptakan oleh nenek
moyang orang-orang Jawa. Petungan dijelaskan secara rinci dalam bentuk narasi, puisi, dan
tembang jawa
Petungan pada dasarnya menjelaskan tentang nisbah (rasio) dari Besaran bangunan secara
umum berikut tiap komponennya, sekaligus juga Jumlah tiap komponen bangunan. Rasio
Besaran dan Jumlah tersebut berbeda antara jenis bangunan dengan fungsi satu dengan
bangunan dengan fungsi lainnya. Semisal contohnya, bangunan pendhapa harus memiliki rasio
perbandingan panjang : lebar : tinggi yaitu 23 : 23 : 15 (dalam satuan kaki)
Selain petungan yang bersifat matematis, ada pula petungan yang bersifat mengatur tata
ruang bangunan. Contohnya adalah petungan tentang penempatan gerbang.

b. Keraton Yogyakarta
Keraton pada dasarnya merupakan tempat tinggal sultan dan rumah tangga istana yang
sekaligus berfungsi sebagai museum atau tempat wisata sejarah. Oleh karena fungsi nya yang
sebagai rumah tinggal atau tempat wisata sejarah, sangat sulit untuk dapat mencari tahu apakah
keraton menggunakan petungan matematis yang memerlukan perhitungan atau jumlah usuk
yang diperlukan. Namun pada Keraton Yogyakarta, kita masih bisa mengamati petungan yang
bersifat mengatur tata letak bangunan. Semisal pada bangunan pagelaran. Pagelaran di Karaton
Yogyakarta menghadap ke arah utara dengan peletakan gerbang yang berada di tengah.
Menurut petungan yang ada, tanah dari bangunan pagelaran bersifat baik.

Gambar XX Denah Keraton Yogyakarta


Sumber :

Ritual
a. Teori
Kebudayaan Jawa kental akan hal-hal berbau mistis dan metafisik. Hal-hal tersebut juga dapat
ditemui pada bahasan Arsitektur Jawa, yang berupa ritual-ritual dan amalan yang dilakukan oleh
penghuni dan masyarakat sekitar. Ritual dan upacara-upacara tersebut biasanya dilakukan saat
bangunan akan dibangun ataupun selesai dibangun.
Terkadang dalam beberapa kondisi ada beberapa petungan yang tidak dapat terpenuhi karena
berbagai macam faktor. Untuk itu lah diadakan ritual dan upacara adat untuk menanggulangi
atau menutup kekurangan dari petungan tadi. Ritual dan upacara adat juga dapat dilakukan
untuk memperingati hari-hari besar atau untuk hal-hal berbau mistis seperti meminta
kelancaran pembangunan kepada makhluk gaib penunggu lahan maupun untuk melindungi
pekerja agar tidak diganggu oleh makhluk gaib.
Dalam melakukan ritual, masyarakat Jawa meyakini pemilihan waktu perlu dipertimbangkan
karena pemilihan waktu yang tepat dapat mendatangkan kesuksesan atau keberuntungan.
Sebaliknya, pemilian waktu yang tidak tepat dapat mendatangkan kerugian atau bahkan
bencana.
b. Keraton Surakarta
Pada kenyataannya, sulit untuk mengetahui apakah ritual-ritual yang memiliki kaitan dengan
arsitektur masih dapat dilakukan hingga sekarang. Karena bangunan keraton saat ini tidak dalam
proses pembangunan, atau setidaknya saat kami berkunjung sedang tidak diadakan
pembangunan untuk melakukan ritual yang berkaitan dengan segi arsitektural. Namun, di
beberapa tempat di pekarangan Keraton Surakarta ditemukan adanya sesajen. Sesajen tersebut
ditujukan kepada makhluk gaib yang ada disana agar tidak mengganggu segala macam kegiatan
di dalam Keraton.

( kalo ada, gambar sesajen dari dokumentasi pribadi)

c. Keraton Yogyakarta
Sama halnya dengan Keraton Surakarta yang sedang tidak melakukan pembangunan, sulit
untuk mengetahui apakah ritual-ritual yang berkaitan dengan segi arsitektural masih dilakukan
hingga saat ini. Namun berbeda dengan Keraton Surakarta, sesajen tidak dapat ditemukan di
pekarangan Keraton. Hal tersebut bisa saja dikarenakan pada saat kami berkunjung bukan
saatnya untuk melakukan ritual, mengingat pemilihan waktu untuk mengadakan ritual juga
menjadi sesuatu yang diperhitungkan.

Anda mungkin juga menyukai