Rhinitis Vasomotor Adalah Gangguan Pada Mukosa Hidung Yang Ditandai Dengan Adanya Edema
Rhinitis Vasomotor Adalah Gangguan Pada Mukosa Hidung Yang Ditandai Dengan Adanya Edema
yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.
Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi.
ETIOLOGI
Etiologi dari rhinitis dapat di klasifikasikan dalam 3 (tiga) kategori utama, yaitu :
1. Rhinitis alergi
2. Rhinitis infeksi
3. Rhinitis non-alergi, non-infeksi (rhinitis vasomotor)
Etiologi pasti rhinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan keseimbangan sistem
saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
1. Obat-obatan yang menekan dan mengahambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau
yang merangsang.
3. Faktor endokrin, seperti keadaan kehamilan, pubertas, pemakai pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatique.
Penyakit rhinitis vasomotor karena medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat sistemis yang
bersifat sebagai antagonis adreno-reseptor alfa seperti anti hipertensi dan psikosedatif . Selain itu
aspirin, derivat ergot, pil kontrasepsi , dan anti cholinesterasi yang digunakan secra berlebihan juga
dapat menyebabkan gangguan hidung. Obat vasokonstriktor topikal sebaiknya isotonik dengan
sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiannya tidak lebih dari satu
minggu. Jika tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa hidung berupa :
1. Silia rusak
2. Sel goblet berubah ukurannya
3. Membran basal menebal
4. Pembuluh darah melebar
5. Stroma tampak edema
6. Hipersekresi kelenjar mukus
7. Lapisan submukosa menebal
8. Lapisan periostium menebal
sebanyak 30-60% dari kasus rhinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis vasomotor dan lebih
banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita.
Walaupun demikian insiden pastinya tidak diketahui. Biasanya timbul pada dekade ke 3-4. Secara
umum prevalensi rhinitis vasomotor bervariasi antara 7-21%.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon dijumpai sebanyak 21% menderita
keluhan hidung non-alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan alergi.
Prevalensi tertinggi dari kelompok non-alergi dijumpai pada dekade ke 3.
Sibbald dan Rink di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien, menderita rhinitis perenial dimana
setengah diantaranya menderita rhinitis vasomotor.
Sunaryo, dkk pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rhinitis selama 1 tahun di RS Sardjito
Yogyakarta menjumpai kasus rhinitis vasomotor sebanyak 33 kasus (1,38%) sedangkan pasien dengan
diagnosis banding rhinitis vasomotor sebanyak 240 kasus (10,07%).
PATOFISIOLOGI
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari
kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan
parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rhinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf
otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf
simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya
dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang
akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti.
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-sel seperti sel
mast. Termasuk diantara peptida ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptida intestinal
vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang
menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis
terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptida-peptida ini tidak diperantarai
oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rhinitis alergi.
Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau iritan sehingga harus
berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi topikal dari golongan simptomatik yang dapat
mengakibatkan terganggunya siklus nasal dan akan berfungsi kembali dengan menghentkan
pemakaian obat. Pemakaian vasokonstriktor topikal yang berulang dalam waktu lama, akan
mengakibatkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi,
sehingga menimbulkan terjadinya obstruksi atau penyumbatan. Dengan adanya gejala obstruksi
hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut sehingga
efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung berubah dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek blik
akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat
diteruskan akan menyebabkan dilatasi dan kongesti jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa
jaringan dan rangsangan selsel mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret
yang berlebihan.
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis vasomotor. Banyak
kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah
perubahan temperatur atau tekanan udara, parfum, asap rokok, polusi udara dan stress (emosional
atau fisik).
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rhinitis vasomotor, yaitu :
1. Meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. Mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. Mengurangi peptida vasoaktif
4. Mencari dan menghindari zat-zat iritan
PATOGENESIS
Rhinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-pembuluh darah pada
mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap
antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rhinitis alergi. Keadaan ini merupakan refleks
hipersensitivitas mukosa hidung yang non-spesifik. Serangan dapat muncul akibat pengaruh
beberapa faktor pemicu.
Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang menyebabkan terjadinya rinitis
vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan. Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke
dalam mukosa nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis
sedangkan saraf parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya,
serta menekan efek dari pembuluh darah kapasitan (kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis
atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh darah tersebut yaitu
menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan akhirnya terjadi kongesti yang
bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan
sekresi mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif.
Teori lain meyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang dikeluarkan sel sel seperti sel
mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien, prostaglandin dan kinin. Peningkatan peptida
vasoaktif ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang meyebabkan kongesti, hidung
tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf parasimpatis pada sekresi
nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida ini bukan diperantarai oleh IgE
seperti pada rinitis alergika. Pada beberapa kasus rinitis vasomotor, eosinofil atau sel mast
kemungkinan didapati meningkat pada mukosa hidung . Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang
berperan pada terjadinya rinitis vasomotor. Banyak kasus rinitis vasomotor berkaitan dengan agen
spesifik atau kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi
tersebut adalah ; perubahan temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma masakan yang terlalu
kuat, asap rokok, debu, polusi udara dan stress (fisik dan psikis)
Mekanisme terjadinya rinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara langsung melibatkan
kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan merangsang sel sel olfaktorius terdapat pada
mukosa olfaktorii. Kemudian berjalan melalui traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun
sesudah merelay neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan olfaktoris
lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika bagian anterior
hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta emosi, maka akan menimbulkan reaksi
parasimpatetik di perifer sehingga terjadi dominasi fungsi syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di
hidung yang dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor.
Dari penelitian binatang telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi sistem adrenergik
maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang mengontrol vaskularisasi pada umumnya dan
sinusoid vena pada khususnya, memungkinan kita memahami mekanisme bendungan koana.
Stimulasi kolinergik menimbulkan vasodilatasi sehingga koana membengkak atau terbendung,
hasilnya terjadi obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis servikalis menim bulkan vasokonstriksi
hidung.
Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya atas mekanisme hidung,
dapat menimbulkan gejala yang mirip rinitis alergika. Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan
sistem saraf autonom dan dikenal sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi reaksi vasomotor ini terutama
akibat stimulasi parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskular disertai udema dan peningkatan sekresi kelenjar.
Bila dibandingkan mekanisme kerja pada rinitis alergika dengan rinitis vasomotor, maka reaksi alergi
merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan pelepasan mediator yang menyebabkan dilatasi
arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas yang menimbulkan gejala obstruksi saluran
pernafasan hidung serta gejala bersin dan rasa gatal. Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas
kelenjar dan meningkatkan sekresi, sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada reaksi vasomotor
yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf autonom yang menimbulkan peningkatan kerja
parasimpatis (penurunan kerja simpatis) yang akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola
dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas, yang menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal
ini menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan gatal.
Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan menimbulkan peningkatan
sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea. Pada pokoknya, reaksi alergi dan disfungsi
vasomotor menghasilkan gejala yang sama melalui mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi, ia
disebabkan interaksi antigen antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor ia disebabkan oleh
disfungsi sistem saraf autonom.
1. Latar Belakang
Adanya paparan terhadap suatu iritan memicu ketidakseimbangan sistem saraf otonom dalam
mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung, vasodilatasi dan edema pembuluh
darah mukosa hidung, hidung tersumbat dan rinore
2. Pemicu (Triggers)
- Alkohol
- Perubahan temperatur / kelembaban
- Parfum, hair spray ataupun pewangi ruangan
- Bahan pembersih rumah tangga ataupun bau tinta pada koran, buku ataupun majalah
- Bau yang menyengat seperti aroma masakan atau makanan (strong odor)
- Asap rokok atau polusi lainnya asap diesel
- Faktor psikis seperti stress dan ansietas
- Penyakit-penyakit endokrin
- Obat-obatan seperti anti hipertensi dan kontrasepsi oral
GEJALA KLINIS
Gejala yang dijumpai pada rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan rhinitis
alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering
dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang
lain, terutama sewaktu perubahan posisi.
Pasien juga mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan tampak
adanya edema konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diuji dengan adrenalin edema
konka tidak berkurang.
Gejala penderita rinitis alergi atau rinitis vasomotor kadang kadang sulit dibedakan karena gejala
gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan bersin. Biasanya penderita rinitis alergika lebih
merasakan gatal dan bersin berulang seperti staccato. Biasanya ia tidak ditemukan atau tidak jelas
pada rinitis vasomotor.Reaksi bisa disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom, tetapi disamping
itu, obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh faktor iritasi , fisik, endokrin dan
faktor lain.Hidung mungkin sensitive terhadap pengaruh hormone, oleh karena itu reaksi rhinitis
vasomotor mungkin berhubungan dengan kehamilan atau kontrasepsi per oral, tapi rhinitis
vasomotor pada kehamilan segera menyembuh setelah melahirkan dan mungkin berhubungan
dengan keseimbangan hormone.
Penderita dengan anamnesis rinitis vasomotor bisa menggambarkan sensitivitas yang tidak biasa
terhadap kelembaban udara. Biasanya rinitis non alergika ini disertai dengan gejala gejala obstruksi
saluran pernafasan hidung dan rinorea yang hebat. Biasanya tidak terdapat variasi musim, tetapi
gejalanya dapat menyerupai rinitis alergika sepanjang tahun. Tetapi karena mungkin terdapat remisi
dan eksaserbasi, maka ia dapat pula menyerupai rinitis alergika musiman. Hal ini terjadi bila pasien
sensitif pada perubahan suhu yag menyertai perubahan musim. Biasanya penderita rinitis vasomotor
tidak mempunyai riwayat alergi pada keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai
di usia dewasa. Jarang terjadi bersin dan rasa gatal.
Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Terdapat rinorea yang
mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai bersin dan tidak disertai gatal di mata. Gejala
memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab,
juga karena asap rokok dan sebagainya.
Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila diBandingkan dengan rhinitis alergi dan tidak
terdapat rasa gatal di hidung dan mata.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan
suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya.1
Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok (post nasal drip).
Berdasarkan gejala yang menonjol, rhinitis vasomotor dibedakan dalam dua golongan, yaitu
golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore (runners/sneezers). Oleh karena golongan rinore
sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan
diagnosisnya.
DIAGNOSIS
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan disingkirkan
kemungkinan rhinitis alergi.
Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai
pada usia dewasa.
Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan
tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung,
konkha hipertropi dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik), tetapi dapat juga
dijumpai berwarna pucat. Permukaan konkha dapat licin atau berbenjol. Pada rongga hidung
terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan
bersifat serosa dengan jumlah yang banyak.
Pada rhinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip.
Pemeriksaan laboraturium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi. Test
kulit (skintest) biasanya negatif, demikian pula test RAST (phadebas radioallergosobent test), serta
kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang-kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung,
akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel
neutrofil dalam sekret.
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak
gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.
DIAGNOSIS BANDING
1. Rhinitis alergi
2. Rhinitis hipertrofik kronik
3. Rhinitis medikamentosa
4. Rhinitis hiperplastik kronik
Rhinitis Vasomotor Rhinitis Medikamentosa
- Faktor endokrin
- Faktor psikis
- simptomatis - kortikosteroid
(dekongestan oral,
diatermi, kauterisasi
konka, kortikosteroid - dekongestan oral
topikal)
- Neurektomi n. Vidianus
Status asmatikus merupakan kedaruratan yang dapat berakibat kematian, oleh karena itu
:
Apabila terjadi serangan, harus ditanggulangi secara tepat dan diutamakan terhadap
usaha menanggulangi sumbatan saluran pernapasan. Keadaan tersebut harus dicegah
dengan memperhatikan faktor-faktor yang merangsang timbulnya serangan (debu,
serbuk, makanan tertentu, infeksi saluran napas, stress emosi, obat-obatan tertentu
seperti aspirin, dan lain-lain).
Objektif :
Subyektif :
Psikososial :
Hasil Pemeriksaan
Pemeriksaan Radiologi : Pada umumnya normal. Dilakukan tindakan bila ada indikasi
patologi di paru, misalnya: Pneumothorak, atelektasis, dan sebagainya.
Analisa gas darah : Hipoxemia, Hiperkapnia, Asidosis Respiratorik.
Pemeriksaan Sputum:
Adanya eosinofil
Kristal charcot Leyden
Spiral Churschmann
Miselium Asoergilus Fumigulus
1. Diagnosis status asmatikus. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah (1)saatnya
serangan dan (2) obat-obatan yang telah diberikan (macam obatnya dan dosisnya)
2. Pemberian obat bronchodilator
3. Penilaian terhadap perbaikan serangan
4. Pertimbangan terhadap pemberian kortikosteroid
5. Setelah serangan mereda, cari faktor penyebab dan modifikasi pengobatan penunjang
selanjutnya
Septum hidung merupakan bagian dari hidung yang membatasi rongga hidung kanan dan kiri. Septum
nasi berfungsi sebagai penopang batang hidung (dorsum nasi). Deviasi septum adalah kelainan tulang
sekat tidak lurus sempurna digaris tengah.
Penyebab deviasi septum nasal
1. Trauma masa kehamilan
2. Ketidakseimbangan pertumbuhan
Trauma masa kehamilan berlangsung saat masa kehamilan ataupun setelah melahirkan. Pertumbuhan
yang tidak seimbang dapat membuat tulang sekat hidung (septum) tumbuh dengan tidak sempurna seperti
bengkok, sebab pertumbungan tulang hidung tidak sesuai dengan bentuk hidung sehingga penyebabkan
kesulitan bernafas.
REFERENSI
Bailey BJ. Head and Neck Surgery Ontolaryngology, Third Edition, Lippincott Williams &
Wilkins Philadelphia, 2001, 702 715
Lore JM, Medina JE. An Atlas of Head and Neck Surgery, Fourth Edition, Elsevier Inc, W.B
Saunders, Philadelphia, 2005, 854 855.
Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL. Modul Faring & Laring. Jakarta, 2008, Edisi I
Soepardi, e.a., DKK. (Penyunting), Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007, Edisi VI
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan respons normal
vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal (obat tetes hidung
atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung
yang menetap. Istilah rhinitis mendikamentosa ini pertama kali dikenalkan oleh Lake pada tahun 1946.1,2
Rhinitis medikamentosa dikenal juga dengan rebound atau rhinitis kimia karena
menggambarkan kongesti mukosa hidung yang diakibatkan penggunaan vasokontriksi topikal yang
berlebihan. Obat-obatan lain yang bisa mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah antagonis -
adrenoreseptor oral, inhibitor fosfodiester, kontrasepsi pil, dan antihipertensi. Tetapi mekanisme
terjadinya kongesti antara vasokontriktor hidung dengan obat-obat di atas berbeda sehingga istilah
rhinitis medikamentosa hanya untuk rhinitis yang disebabkan oleh penggunaan vasokontiktor topikal
sedangkan yang disebabkan oleh obat-obat oral dinamakan rhinitis yang dicetuskan oleh obat (drug
induced rhinitis).1
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan sehingga dalam
penggunaan vasokontriktor topikal harus berhati-hati. Vasokontriktor hidung diisolasi pertama kali pada
tahun 1887 dari ma-huang yaitu tanaman yang mengandung ephedrine dan digunakan
sebagai vasokontriktor topikal pada mukosa hidung dalam bentuk inhalasi, minyak, semprot dan
tetes.1Vasokontriktor topikal yang digunakan sebaiknya yang isotonik dengan sekret yang normal, pH
antara 6,3 sampai 6,5 serta pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu sehingga rhinitis medikamentosa
dapat dicegah.
Rhinitis medikamentosa merupakan salah satu kelainan hidung non alergi yang dapat
mengganggu dan membuat penderita datang berobat ke dokter. Oleh karena itu pada makalah ini
akan dibahas tentang patofisiologi, gejala, pemeriksaan dan penatalaksanaan dari rhinitis
medikamentosa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramey JT, Bailen E, Lockey RF. Rhinitis Medicamentosa. J Investig Allergol Clin Immunol, 2006 ; 16 : (3)
: 148-155
1. Graf P. Rhinitis Medicamentosa: A Review of Causes and Treatment. Treat Respir Med. 2005; 4:21-9.
1. Heel Inc. Medical Department. Rhinitis. Heel Inc. Medical Department,2001 : 1-6
1. Black MJ, Remsen KA. Rhinitis medicamentosa. Can Med Assoc J. 1980; 122:881-4
1. Fleece L, Mizes JS, Jolly PA, Baldwin RL. Rhinitis Medicamentosa : Conceptualization, Incidence, and
Treatment. Ala J Med Sci. 1984; 21:205-8
1. Lin CY, Cheng PH, Fang SY. Mucosal Changes in Rhinitis Medicamentosa.Ann Otol Rhinol
Laryngol, 2004 Feb; 113(2): 147-51
1. Ramakrishnan VR, Meyers AD, Woodall BS. Nonallergic Rhinitis. The Journal of eMedicine, 2006 ; 1-10
1. Graf P. Benzalkonium Chloride as A Preservative in Nasal Solutions: Re-examining The Data. Respir
Med. 2001; 95:728-33
1. Corey JP, Houser S, Bernard A. Nasal Congestion: A Review of Its Etiology, Evaluation, and
Treatment Brief Article. Ear, Nose & Throat Journal, 2000 : 1-12
1. Dykewicz MS, Fineman S, Skoner DP, Nicklas R, Lee R, Blessing-Moore J et al. Diagnosis and
Management of Rhinitis: Complete Guidelines of The Joint Task Force on Practice Parameters in
Allergy, Asthma and Immunology. American Academy of Allergy, Asthma, and Immunology. Ann
Allergy Asthma Immunol, 1998; 81:478-518.