Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia hidup berkembang berdampingan secara komensial

dengan mikroflora rongga mulut. Rongga mulut merupakan tempat berkumpulnya

bakteri. Oleh karena banyaknya mikroflora yang ada didalam mulut, maka gigi dan

mukosa merupakan pertahanan pertama yang hampir tidak tertembus, apabila system

kekebalan hospes dn pertahanan seluler berfungsi dengan baik. Akan tetapi, apabila

terjadi keadaan penurunan imunitas, bakteri yang terdpat di rongga mulut yang

semulanya bersifat komensial, dapat berubah menjadi pathogen sehingga

menimbulkan suatu infeksi.1-4

Jaringan pada daerah mulut dan maksilofasial merupakan bagian yang lebih

sering terkena infeksi dibanding daerah lainnya, 5 karena daerah maksilofasial

memiliki ruang (spasium), dimana spasium merupakan daerah yang pertahanannnya

kurang sempurna terhadap penyebaran infeksi.2 Infeksi merupakan masuknya kuman

pathogen atau toksin ke dalam tubuh manusia serta dapat menimbulkan gejala

penyakit seperti tejadi inflamasi (radang). Hal ini menjadi sangat penting untuk

dipelajari karena seorang dokter diharuskan menghentikan penyebaran infeksi, dan

mengatasi infeksi yang telah timbul.6

Berbagai penyakit di rongga mulut yang berhubungan dengan bakteri adalah

infeksi odontogenik salah satunya, yaitu abses. Infeksi odontogenik adalah infeksi

yang berasal dari gigi, dan abses merupkanan suatu penyakit ineksi yang ditandai oleh

adanya rongga yang berisi nanah (pus) dalam jaringan.7 Abses dapat terjadi ketika gigi

terinfeksi bakteri dan infeksi tersebut dapat menyebar ke daerah maksilofasial.

1
Beberapa abses yang dapat muncul di rongga mulut adalah seperti abses periapikal,

abses gingival, abses bukalis, abses submandibula, dan abses fasial. 8 Sabiston9

menyatakan bahwa, pola dari penyebaran abses dipengaruhi oleh tiga kondisi, yaitu

virulensi bakteri, ketahanan jaringan, di perlekatan otot.

Hasil NOHS (National Oral Health Survey) tahun 2006 di Pilipina, ditemukan

hampir 50% orang menderita infeksi odontogenik dengan karakteristik adanya karies

yang sudah mencapai pulpa, ulserasi, abses yang memiliki fistula yang disertai

nyeri.10 Hal tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan mengetahui kesehatanan

gigi dan mulut, sehingga presentase orang yang mengalami infeksi pada rongga mulut

menjadi cukup tinggi.

Abses pada maksilofasial yang berasal dari infeksi odontogenik merupakan

infeksi yang butuh penanganan cepat karena kemungkinan tingkat morbiditas yang

tinggi dan juga kemungkinan mortalitas.11 Bila terdapat gejala dan tanda dari abses,

baik yang belum menyebar dan sudah menyebar, maka sebaiknya pasien diberi

tindakan oleh dokter gigi yang memiliki kompetensi di bidangnya, agar abses tidak

semkain meluas.

BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Abses

Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam satu kantung yang terbentuk

dalam jaringan yang disebabkan oleh suatu proses infeksi oleh bakteri, parasit atau

benda asing lainnya. Abses merupakan reaksi pertahanan yang bertujuan mencegah

agen-agen infeksi menyebar kebagian tubuh lainnya. Pus itu sendiri merupakan suatu

kumpulan sel-sel jaringan lokal yang mati, sel-sel darah putih, organism penyebab

infeksi atau benda-benda asing dan racun yang dihasilkan oleh organism serta sel-sel

darah.12,13

Abses rongga mulut adalah suatu infeksi pada mulut, wajah, rahang, atau

tenggorokan yang biasanya dimulai sebagai infeksi gigi atau karies gigi. Jumlah dan

rute penyebaran infeksi tergantung pada lokasi gigi yang terkena serta virulensi

penyebab.3,14

2.2 Etiologi Abses

2.2.1 Faktor Penyebab Infeksi2,3

1. Virulensi dan Kuantitas

Di rongga mulut terdapat bakteri yang bersifat komensalis. Apabila

lingkungan memungkinakan terjadinya invasi, baik oleh flora normal

maupun bakteri asing, maka akan terjadi perubahan dan bakteri akan

menjadi bersifat patogen. Patogenitas bakteri biasanya berkaitan dengan

dua faktor, yaitu virulensi dan kuantitas. Virulensi berkaitan dengan

kualitas dari bakteri seperti daya invasi, toksisitas, enzim, dan produk-

produk lainnya. Sedangkan kuantitas adalah jumlah dari mikroorganisme


3
yang dapat menginfeksi host. Bila virulensi dan kuantitas bakteri tersebut

tinggi, maka hostdapat mengalami infeksi.

2. Pertahanan Tubuh Lokal

Pertahan tubuh lokal memiliki dua komponen. Pertama barier anatomi

berupa kulit dan mukosa yang utuh, menahan masuknya bakteri ke

jaringan dibawahnya. Pembukaan pada barier anatomi ini dengan cara

terbentuknya poket periodontal yang dalam, jaringan pulpa yang nekrosis

akan membuka jalan masuk bakteri ke jaringan dibawahnya. Gigi-gigi dan

mukosa yang sehat merupakan pertahanan tubuh lokal terhadap infeksi.

Adanya karies dan poket periodontal memberikan jalan masuk untuk

invasi bakteri serta memberikan lingkungan yang mendukung terhadap

perkembangbiakan jumlah bakteri.

Mekanisme pertahanan lokal yang kedua adalah, populasi bakteri

normal di dalam mulut, bakteri ini biasanya hido normal di dalam tubuh

host dan tidak menyebabkan penyakit. Jika kehadiran bakteri tersebut

berkuang akibat penggunaan antibiotik, organisme lainnya dapat

menggantikannya dan bekerjasama dengan bakteri penyebab infeksi

mengakibatkan infeksi lebih berat.

3. Pertahanan Humoral

Mekanisme pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan cairan tubuh

lainnya dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri. Dua komponen

utamanya adalah imunoglobulin dan komplemen. Imunoglobulin adalah

antibodi yang melawan bakteri yang mengalami invasi dan diikuti proses

4
fagositosis aktif dari leukosit. Immunoglobulin diproduksi oleh sel plasma

yang merupakan perkembangan dari limfosit B. Terdapat lima

immunoglobulin, 75% terdiri dari IgG yang merupakan pertahanan tubuh

terhadap bakteri gram positif. IgA sejumlah 12 % merupakan

immunoglobulin pada kelenjar ludah karena dapat ditemukan pada

membran mukosa. IgE merupakan

4. Pertahanan Seluler

Mekanisme pertahanan seluler berupa sel fagosit dan limfosit. Sel

fagosit yang berperan daam proses infeksi adalah leukosit

polimorfonuklear (PMN). Sel-sel ini keluar dari aliran darah dan

bermigrasi ke daerah invasi baksteri dengan proses kemotasis. Sel-sel

ini melakukan respon dengan cepat, tetapi sel-sel ini siklus hidupnya

pendek, dan hanya dapat melakukan fagositosis pada sebagian kecil

bakteri. Fase ini diikuti oleh keluarnya monosit dari aliran darah ke

jaringan dan disebut sebagai makrofag. Makrofag berfungsi sebagai

fagositosis, membunuh dan menghancurkan bakteri dan siklus

hidupnya cukup lama dibandingkan leukosit polimorfonuklear.

Makrofag (monosit) biasanya terlihat pada infeksi lanjut atau infeksi

kronis.

Komponen yang kedua dari pertahanan seluler adalah populasi

dari limfosit, seperi telah disebutkan sebelumnya limfosit B akan

berdifernsiasi menjadi se plasma dan memproduksi antibodi yang

spesifik seperti Ig G. Limfosit T berperan pada respon yang spesifik

seperti pada rejeksi graft (penolakan cangkok) dan tumor suveillance

5
(pertahanan terhadap tumor). Bila pertahanan seluler tubuh berkurang,

maka infeksi dapat terjadi.

2.2.2 Faktor Penyebab Abses

Penyebab kardinal dai infeksi di bagian orofasial adalah gigi non vital,

pericoronitis (berhubungan dengan gigi mandibula yang semi impaksi),

granuloma periapikal yang tidak bisa dirawat, dan kista yang terinfeksi.

Penyebab yang lebih jarang adalah trauma pasca bedah, defect karena fraktur,

lesi pada nodus limfa atau glandula saliva, dan infeksi sebagai hasil dari

anestesi lokal.15,16

Abses umumnya disebabkan oleh bakteri yang memilii kecenderungan

untuk menyebabkan terbentuknya abses, yaitu bakteri piogenik. Selain itu,

akar dapat memberikan jalan bagi bakteri untuk masuk ke dalam jaringan

periodonsium dan daerah periapikal. Oleh karena itu, infeksi odontogenik

menyebabkan abses yang mendalam, dan infeksinya hampir selalu

memerlukan beberapa bentuk terapi bedah.15,16

WHO menerima pernyataan yang mengatakan bahwa biofilm dental

merupakan agen etiologi terhadap abses, dan mendefinisikan biofilm sebagai

bakteri proliferatif dengan ekosistem enzympactive. Paling sedikit ada 400

kelompok baketeri yang bebeda secara morfologi dan biochemical yang

berada dalam rongga mulut dan gigi. Kompleksitas dari flora rongga mulut

dan gii dapat menjelaskan etiologi spesifik dari beberapa tipe terjadinya

6
infeksi gigi dan infeksi dalam rongga mulut, tetapi lebih banyak disebabkan

oleh adanya gabungan antara bakteri gram positif yang aerob dan anaerob. 15,16

Abses dentoalveolar biasanya berkembang dengan perluasan lesi karies

awal, lalu ke dentin dan bakteri menyebar pada pulpa melalui tubulus dentin,

selain itu dapat dikarenakan trauma, atau akibat perawatan saluran akar yang

gagal.17,18 Jika kerusakan sudah mencapai pulpa, maka dapat menyebabkan

pulpitis. Infeksi dari daerah ini dapat menyebar ke tulang pndukung dan

mengakibatkan abses periapikal, yang selanjutnya dapat menyebar ke bagian

subperiosteal. Respon pulpa terhadap infeksi, baik oleh inflamasi akut yang

cepat, yang melibatkan seluruh jaringan pulpa menjadi nekrosis atau dengan

perkembangan abses lokal kronis dengan sebagian besar jaringan pulpanya

masih tersisa.15,16

Beberapa cara mikroba masuk ke jaringan pulpa adalah sebagai berikut :

1. Trauma pada akar yang fraktur, atau dari gigi yang mengalami keausan

akibat pemakaian patologis


2. Trauma pada pulpa akibat perawatan gigi
3. Melalui periodontal membran dan saluran akar aksesoris
4. Abses periapikal dapat terjadi pada gigi utuh tetapi sudah non vital

(akibat trauma, fraktur, atau kerusakan tambalan)


5. Abses periaapikal dan periodontal dan terbentuk dari gingivitis kronis,

tulang pendukung, serta penyakit periodontal. Gigi mungkin sama sekali

utuh secara klinis dan radiografis


6. Erupsi gigi (terutama pada gigi molar tiga yang mengalami impaksi

sebagian) dapat menjalari penyebab inflamasi, dan infeksi dari

operculum (perikoronitis)
7. Melalui akar, supragingival atau subgingiva.2,3

7
2.3 Mikrobiologi Abses

Bakteri yang menyebabkan infeksi odontogenik pada abses yang paling sering

merupakan flora normal yang berada di rongga mulut. 4 Biasanya ditemukan di plak,

mukosa, maupun sulkus gingiva. Bakteri ini terutrama bakteri aerob gram positif

berbentuk coccus, anaerob gram positif berbentuk coccus dan anaerob gram negatif

berbentuk batang. Ketika bakteri ini mendapatkan akses di jaringan bawahnya yang

lebih dalam, seperti melalui pulpa gigi yang nekrotik atau melalui saku periodontal

yang dalam, maka bakteri ini dapat menyebabkan abses.16

Lebih dari setengah kasus infeksi odontogenik pada abses yang ditemukan

(sekitar 60%) disebabkan oleh bakteri anaerob. Organisme penyebab abses yang

sering ditemukan pada pemerikssaan kultur adalah alphahemolytic Streptococcus,

Peptostrepcoccus, Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides (Prevotella)

melaninogenicus, dan Fusobacterium. Bakteri aerob sendiri jarang menyebabkan

infeksi odontogen (sekitar 5%). Bila infeksi odontogenik disebabkan oleh bakteri

aerob, biasanya Streptococcus viridians. Terkadang banyak juga yang disebabkan oleh

infeksi dari campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu sekitar 35%. Pada infeksi

campuran ini biasanya ditemukan 5-10 organisme pada pemeriksaan kultur.16,18,19

2.4 Tahap Pembentukan Abses 3,16,20

Berikut ini adalah tahap terbentuknya abses :

1. Stadium subperiosteal dan periosteal (selama 1-3 hari) : Pembengkakan lunak

dan belum terlihat jelas, warna mukosa normal, perkusi gigi yang terlibat

terasa sangat sakit.

8
2. Stadium serosa : bagian tengah mulai melunak, abses sudah menembus

periosteum, pembengkakan sudah ada, mukosa mengalami hiperemi dan

merah, rasa sakit yang mendalam, palpasi sakit dan konsistensi keras, belum

ada fluktuasi.
3. Stadium submokous : Pembengkakan tampak jelas, mukosa merah dan kadang

terlihat pucat, konsistensi lunak, perkusi gigi yang terlibat juga terasa sakit,

sudah ada fluktuasi.


4. Stadium subkutan : Pada fase akhir dinamakan fase resolusi, terjadi drainase

spontan maupun akibat setelah pembedahan pada abses, pembengkakan sudah

sampai ke bawah kulit, warna kulit ditepi pembengkakan merah, tetapi

tengahnya pucat, konsistensi sangat lunak, berkilat dan berflultuasi nyata.

2.5 Gejala Abses2,3

Tanda dan gejala abses akut menimbulkan gejala sakit yang kompleks,

pembengkakan, kemerahan, supurasi, gangguan pengecapan, dan bau mulut.

Keluhan utama adalah rasa sakit, dengan nyeri tekan regional yang ekstrim yang

tidak mempan diobati dengan analgesik biasa dan secara nyata mengganggu waktu

makan, tidur, dan pada waktu melakukan prosedur pembersihan mulut. Penderitaan

yang dirasakan pasien tergantung pada intensitas dan durasi rasa sakit serta

perubahan sehubungan dengan perilaku pasien. Rasa sakit yang dialami pasien ini

cukup untuk mengelompokkan abses kedalam kategori darurat yang memerlukan

tindakan cepat dan efektif untuk menghilangkan rasa sakit. Status darurat didukung

pula oleh adanya bahaya potensial dari semua infeksi orofasial yang memerlukan

terapi cepat dan tepat untuk menghindari penyebaran.

2.6 Penyebaran Abses15,16

9
Akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses dentoalveolar, tahap yang

menyangkut spasium, dan tahap yang lebih lanjut yang merupakan tahap komplikasi.

Suatu abses akan terjadi bila bakteri dapat masuk melalui foramen apikal atau

marginal gingiva.

Penyebaran melalui foreman apikal berawal dari kerusakan gigi atau karies

gigi, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal didaerah membran

periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis

menyebabkan membran periodontal di apikal mengadakan resaksi membentuk

dinding untuk mengisolasi penyebaran infeksi.

Penyebaran abses dapat melalui : 1) Hematogen ; 2) Limfogen; 3) melalui

spasium (ruang) pada jaringan. Yang paling umum melalui spasium pada jaringan.

Pus dapat menyebar kearah bukal, palatal, atau lingual, hal tersebut tergantung pada

posisi gigi dalam lengkung rahang, ketebalan tulang, dan jarakl ujung apeks kearah

mukosa.

2.7 Macam Abses

1. Abses periapikal15,16
Abses periapikal sering juga disebut abses dentoalveolar, terjadi di daerah

periapikal gigi yang sudah mengalami kematian (non vital). Mungkin terjadi segera

setelah kerusakan jaringan pulpa atau setelah periode laten yang tiba-tiba menjadi

infeksi akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan dan demam.


Abses periapikal dibagi menjadi dua yaitu abses periapikal akut dan abses

periapikal kronis. Pada abses periapikal akut disertai pembentukan eksudat pus dan

10
pembengkakan yang biasanya terletak di vestibulum bukal, lingual atau palatal,

tergantung pada lokasi apeks gigi yang terlibat. Pada tes perkusi abses periapikal akut

akan menghasilkan respon yang sangat positif, tes palpasi akan merespon sensitif.

Sedangkan tes vitalitas tidak memberikan respon.


Abses periapikal kronis merupakan keadaan yang timbul akibat lesi yang

berjalan lama dan kemudian mengadakan drainase kepermukaan. Fistula merupakan

ciri khas dari abses periapikal kronis. Fistula dalah saluran abnormal yang terbentuk

akibat drainase abses. Abses periapikal kropnis disebabkan oleh nekrosis pulpa yang

meluas ke jaringan periapikal, dapat juga disebabkan oleh abses akut yang

sebelumnya terjadi. Abses periapikal kronis pada tes palpasi dan perkusi tidak

memberikan respon (non sensitif), dan tes vitalitas tidak memberikan respon.

2. Abses Gingival14,21, 22
Abses gingiva merupakan suatu nanah yang terjadi pada gusi (gingiva). Abses

ini merupakan suatu kondisi peradangan akut dari gingiva yang ditandai dengan

eksudat purulen tanpa kehilangan perlekatan pada jaringan periodontal. Abses gingiva

disebabkan oleh infeksi dari bakteri yang masuk ke dalam gusi setelah trauma dari

menyikat gigi terlalu kuat, tusukan tusuk gigi, atau impaksi dari benda asing seperti

kuku atau makanan, menyebabkan aksi inflamasi gingiva yang berlebihan. Infeksi

dapat menyebar ke jaringan sekitarnya, dan jika tidak diobati, dapat berkembang,

merusak struktur jaringan dari gigi.

3. Abses Bukal2,15

Abses ini terletak pada spasium bukal. Spasium bukal berada pada m.

Masseter, m. Pterygoideus interna dan m. Buccinator. Berisi jaringan lemak yang

meluas ke atas dan ke dalam diantara otot pengunyahan, menutupi fossa

retrozygomatic dan spasium infra temporal. Abses bukal mungkin berasal dari

11
saluran akar yang terinfeksi pada gigi posterior rahang atas dan rahang bawah,

masuk ke dalam spasium bukal.

Abses ini terbentuk dibawah mukosa bukal dan menonjol kearah rongga

mulut, dengan gejala klinis yang khas adalah pembengkakan pada bagian pipi yang

memanjang dari lengkung zygomatic sejauh batas inferior mandibula, dan dari

perbatasan anterior ramis ke sudut mulut. Kulit tampak kencang dan merah, dengan

atau tanpa fluktuasi abses, yang jika diabaikan dapat menyebabkan drainase spontan.

Infeksi dapat yurun ke spasium terdekat lainnya.

4. Abses Submandibula2,15

Abses ini teretak pada spasium submandibula. Spasium ini terletak di

mandibula, dibagian bawah m. Mylohioid yang memisahkannya dari spasium

sublingual. Dibatasi oleh m. Hipoglosus dan m. Digastricus dan bagian posterior

oleh m. Pterygoid externus, spasium ini berisi kelenjar ludah submandibula dan

kelenjar getah bening submandibula.

Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar. Abses

periodontal dan perikoronitis yang biasanya dari gigi molar kedua, ketiga, dan

kadang molar pertama mandibula, bila ujung apeks gigi tersebut berada pada m.

Mylohioid. Selain itu dapat juga berasal dari penyebaran infeksi spasium sublingual

atau submental.

Gambaran klini dari abses submandibula adalah pembengakakan pada

daerah submandibula yang menyebar, sudut dari mandibula menjadi tidak tampak,

kulit tampak berwarna merah, nyeri saat palpasi, dan trismus karena keterlibatan m.

Pterygoideus medialis.

12
5. Spasium Sekunder Wajah23,24

Infeksi pada daerah spasium wajah sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari

infeksi pada daerah fasial primer yang tidak dirawat. Jika spasium ini terlihat, infeksi

akan sering menjadi lebih parah, disebabkan karena semakin besarnya komplikasi dan

kerusakan, dan juga perawatannya akan semakin sulit. Karena sedikitnya suplai darah

pada jaringan konektif disekitar spasia, perawatan infeksi akan semakin sulit tanpa

dilakukan pembedahan sebagai drain eksudat purulen.

a. Spasium Masseter

Terletak antara bagian lateral mandibula dan medial muskulus masseter.

Masuknya infeksi ke spasium ini karena penyebaran dari spasium bukal atau infeksi

dari molar ketiga mandibula. Infeksi pada spasia ini berasal dari gigi molar tiga

mandibula, dan merupakan kasus yang jarang terjadi, yaitu karena perpindahan

perjalanan dari abses. Infeksi pada spasium ini mempunyai cirri-ciri berupa edema

dengan tekanan yang sangat sakit pada region otot masseter, meluas dari batas

posterior dari ramus mandibula hingga tepi anterior dari otot masseter. Selain itu

tampak juga trismus, dan sudut dari mandibula tidak dapat dpalpasi. Secara intraoral,

tampak edema pada daerah retromolar dan pada bagian anterior dari ramus. Abses ini

jarang berfluktuasi, dan dapat juga timbul gejala sistemik.

b. Spasium Pterigomandibular

Spasium pterigomandibular terletak di sebelah lateral muskulus pterigomandibular

medialis dan medial mandibula. Merupakan tempat injeksi anestesi local untuk blok

saraf alveolaris inferior. Penyebaran infeksi terutama berasal dari spasium

submandibula dan sublingual.

13
Penyebab utama abses pada spasia ini adalah infeksi dari gigi molar tiga atau

akibat dari suatu blok nervus alveolaris inferior, jika sisi penetrasi dari needle

terinfeksi (pericoronitis). Gejala klinis pada infeksi spasium ini adalah trismus yang

parah dan sedikit edema ekstraoral yang tidak biasanya tampak pada sisi yang

terinfeksi sehingga terjadi perpindahan tempat dari uvula dan dinding faringeal

lateral.

c. Spasium Temporal

Spasium temporal terletak posterior dan superior dai spasium pterigomandibula.

Spasium membagi dua bagian otot temporalis. Bagian superfisialis yang meluas ke

fasia temporal dan bagian dalam yang berhubungan dengan spasium infratemporal.

Apabila spasium ini terinfeksi maka akan terjadi pembengkakan di daerah

temporal, superior, arkus zigomatikus dan orbital lateral. Infeksi pada spasium

temporalis disebabkan oleh perluasan dari infeksi pada spasium infratemporalis yan

saling berhubungan. Gejala klinis ditandai dengan edema yang sakit pada fascia

temporalis, trismus (temporal dan muskulus pterygoid mediana terlibat), dan sakit saat

palpasi pada edema.

d. Spasium Faringeal Lateral

Merupakan bagian dari spasium fasial servikal. Perluasan infeksi odontogenik ke

spasium fassial primer dan sekunder jarang terjadi, namun dapat mengancam nyawa

dengan adanya obstruksi saluran nafas.

Perluasan kea rah posterior dai spasium pterigomandibula dapat menyebar ke

spasium faringeal lateral. Spasium ini meluas dari dasar tengkorak pada tulang

sphenoid ke inferior menuju tulang hyoid. Bagian medial dibatasi oleh muskulus

14
pterigoideus medialis dan bagian lateral oleh muskulus konstriktorfaringeus superior.

Bagian anterior berbatasan dengan rafe posteromandibula dan menuju fasia

prevertebra.

Infeksi pada spasium faringeal lateral dapat menyebabkan trismus karena infeksi

pada otor pterigoideus medialis, pembengkakan lateral leher terutama pada inferior

angulus mandibula dan pembengkakan dinding faring lateral yang menonjol kearah

garis tengah. Penderita dengan infeksi pada spasium ini akan mengalami kesulitan

penelanan dan kenaikan suhu tubuh yang tinggi. Infeksi pada daerah ini dapat berasal

dari gigi molar tiga dan sebagai akibat perluasan infeksi spasium submandibuka dan

pterygomandibula.

Gejala klinis dari infeksi ini adalah edema ekstra oral pada bagian lateral dari

leher yang mungkin dapat meluas ke tragus dan telinga, perubahan posisi dari dinding

faring, tonsil dan uvula membengkak sehingga tampak ke midline, rasa sakit yang

menyebar ke telinga, trismus, susah menelan, peningkatan suhu dan malaise.

Terletak antara M. Pterigoideus lateral dan M. Konstriktor faringeal superior.

Spasia retrofaringeal dan spasia prevertebral terletak antara faring dan kolumna

vertebral. Spasia retrofaringeal terletak antara M. Konstriktor faringeal superior dan

portio alar fascia preertebral. Spasia prevertebral terletak antara alar dan lapisan

prevertebral ddari fascia prevertebral.

e. Spasium Retrofaringeal

Spasium retrofaringeal terletak di belakang faring, antara muskulus konstriktor

faringeal superior dan lapisan alar fasia servikal dan berawal dari dasar tengkorak

yang meluas ke inferior setinggi servikalis 7.

15
Infeksi spasium ini merupakan jalur penyebaran ke spasium vertebra dan ke

diafragma. Etiologi dari infeksi pada spasium ini adalah infeksi yang berasal dai

spasium lateral faringeal yang saling bersebelahan.

Gejala klinis sama dengan yang ditemukan pada abses faringeal lateral secara

klinik, kesulitan dalam pengunyahan yang disebabkan oleh edema pada dinding

posterior dari faring. Jika infeksi ini tidak dirawat maka akan mengakibatkan

obstruksi traktus respiratorius atas, ruptur abses sehingga terjadi aspirasi dari pus ke

dalam paru-paru, dan perluasan ke daerah mediastinum.

f. Spasium Prevertebral

Spasium ini meluas dari tuberkel faringeal pada dasar tengkorak sampai

diafragma. Infeksi pada spasium ini dapat meluas ke inferior setinggi diafragma

mencakup torak dan mediastinum.

2.8 Penatalaksanaan2,14

Perawatan abses dapat dilakukan secara lokal atau sistemik. Perawatan

lokal meliputi irigasi, aspirasi, pencabutan gigi terinfeksi, perawatan saluran akar,

insisi, dan drainase. Sedangkan perawatan sistemik terdiri dari pengobatan untuk

menghilangkan rasa sakit, terapi antibiotik dan terapi pendukung. Walaupun pasien

kelihatannya memerlukan intervensi lokal dengan segera, tetapi lebih bijaksana

apabila diberi antibiotik terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan terjadi

16
bakterimia dan difusi lokal sebagai akibat sekunder dari perawatan yang telah

dilakukan. Semua infeksi orofasial yang serius memerlukan rawat inap, karena

perkembangan dari banyak infeksi dapat dioperasi lebih lama dan mudah dikerjakan

di rumah sakit.

Pemberian obat antibiotik penicilin dan metronidazol mencapai tingkat

terapeutik dalam 1 jam, sedangkan erytromycin memerlukan waktu sedikit lebih

lama untuk mencapai tingakat terpeautik. Apabila rasa sakit sudah berkurang dapat

dilakukan pengukuran temperatur oral, dan apabila terjadi peningkatan dapat

diberikan antipiretik (aspirin, acetaminophen).

2.9 Prognosis25,26,27,28

Prognosis dapat bervariasi dari yang meragukan sampai yang baik,

tergantung dari : derajat kerusakan jaringan yang terkena, berapa banyak jaringan

yang rusak, kondisi fisik umum dari pasien. Walau gejala klinis abses dentoalveolar

kadang terkesan cukup parah, namun kebanyakan pada kasus, rasa sakit dan

pembengkakan akan mereda bila dilakukan tindakan perawatan yang tepat. Prognosa

gigi biasanya baik, dan banyak diantaranya dapat diselamatkan dengan perawatan

saluran akar, sehingga harus dipahami bahwa keparahan di dalam penyakit secara

klinis tidak berhubungan dengan sukar atau mudahnya perawatan.

Pada beberapa kasus, jika kerusakan tulang apikal cukup besar, namun

fisioligis gigi masih baik, dapat diindikasikan untuk perawatan reseksi akar

(amputasi akar). Sedangkan pada kasus-kasus lainnya, penanganan abses

dentoalveolar yang optimal dapat dicapai melalui kombinasi perawatan saluan akar,

periodontal, dan bedah mulut.

17
2.10 Komplikasi29

Komplikasi terjadi karena keterlambatan diagnosis, terapi yang tidak tepat dan

tidak adekuat. Komplikasi dapat diperberat jika disertai dengan penyakit diabetes

melitus, adanya kelainan hati dan ginjal. Komplikasi yang dapat disebabkan abses

rongga mulut diantaranya sebagai berikut :

1. Penyebaran infeksi jaringan lunak.

2. Penyebaran infeksi tulang, seperti terjadi osteomyelitis.

3. Penyebaran infeksi pada organ yang lain, seperti abses cerebral,

endokarditis, pneumonia.

4. Komplikasi yang berat dapat menyebabkan kematian.

RESUME PASIEN KASUS PEMBENGKAKAN

No RM : 792566

Nama Pasien : Tn. Rizal Richardo

Tanggal Lahir : 26 Desember 1987

Usia : 28 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan Cililitan Besar Rt 1/3 No. 2

18
Tanggal Berobat : Rabu, 6 Januari 2016

Dokter : Drg. M.T. Sugiharto, Sp.BM

Nama Mahasiswa : Wahyu Liana, S.KG (2014-16-108)

Yunita Ambarwati (2014-16-109)

I. - Pasien datang pada tanggal 6 januari 2016 ke bagian Poli Gilut untuk konsultasi

- Masuk Ruang Rawat Inap tanggal : 6 januari 2016 (pukul 13.26) di ruang VIP
Melati kamar II

II. Anamnesa : Pasien datang ke RS Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto dengan


keluhan pipi sebelah kiri bengkak serta gigi dan gusi terasa nyeri

III. Tanda Vital :

a) Tekanan darah : 120/80 mmHg


b) Suhu : 36,4 C
c) Frekuensi nafas : 20x/menit
d) Frekuensi nadi : 86x/menit

IV. Pemeriksaan Penunjang :


1. Rontgen thorax :
- Sinus / diafragma baik
- Mediastinum tidak melebar
- Jantung kesan baik
- Paru; corakan baik, tidak tampak lesi aktif
- Ruang pleura tidak melebar
- Tulang tidak tampak kelainan
Kesan : Jantung / paru dalam batas normal

19
2. Rontgen panoramik :

3. Laboratorium :
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 07 Januari 2016 pukul 11.31 dan keluar
hasilnya pada pukul 12.24. Hasilnya sebagai berikut:
Elektrolit
a. Natrium 133*
b. Kalium 4,2
c. Chlorida 100
Analisa Gas Darah
a. 7,4
b. pOO2 37
c. pO2 74*
d. O2 Saturadi 95
e. HCO3 22
f. Base Excess -2*
20
g. SBC 23
h. Total CO2 23
i. SBE -2*
V. Diagnosa : Abses Fasial
VI. Perawatan: Insisi Drainase
VII. Rawat inap

- Pasien tiba di R. VIP Melati dari poli gilut dengan menggunakan kursi roda diantar
petugas IGD pada tanggal 6 januari 2016 pukul 13.26. BB: 86,6 kg TB: 168cm

Pasien dipasang infus RL 14 rpm


R/ - inj. Ceftriaxone 1 gr 3x1gr
-Drip. Metronidazole 3x500gr
- Inj. Tramal 3x1amp
Inj Ranitidin 3x1amp
Melakukan observasi tanda-tanda vital:
T: 110/80 mmHg
N: 84x/menit
S: 36 derajat Celcius
P: 20x/menit
Diet TK TP
Konsul IPD
Konsul Jantung
Konsul paru
Konsul Anastesi
Pasien diinstruksikan untuk puasa 8 jam sebelum operasi

VII. Laporan Operasi


Tanggal Operasi : 8 Januari 2015
Ruangan Operasi : OK Central kamar 4
Jam mulai : 07.50
Jam selesai : 08.20
Tindakan : Insisi Abses dan Pencabutan sisa akar
Gigi : 24, 47

21
Tahapan :
1. Pasien diantar dari ruang rawat inap ke ruang OK Central untuk tahap
persiapan dengan mengganti pakaian OK di ruang persiapan

2. Persiapan alat dan bahan

22
(Gambar alat-alat yang digunakan)

3. Pasien masuk ke ruang ok dan diinstruksikan terlentang di atas meja operasi,


lalu pasien di bius umum

(Gambar ketika sedang dilakukan bius umum)


4. Asepsis daerah yang dioperasi

23
(Gambar ketika sedang dilakukan asepsis daerah operasi)

5. Insisi daerah pipi sebelah kiri yang bengkak

(Gambar ketika sedang dilakukan insisi)

24
6. Debridemen dan eksplorasi bagian yang sudah diinsisi, lalu tutup dengan
menggunakan handscun yang di masukan ke dalam lubang insisi

7. Lakukan penjahitan

8. Tutup dengan kassa streril

25
9. Lakukan pencabutan gigi penyebab

10. Jahit bekas pencabutan


11. Waktu operasi berlangsung selama 30 menit
12. Operasi selesai, pac diangkat, dan dibangunkan

13. Pasien diantar ke ruang recovery room untuk pemulihan pasca operasi
14. Setelah pasien sadar, diantar ke ruang inap
15. Terapi obat : - Inj. Ceftriaxone 3x1 gr
- Inj. Metronidazole
- Inj. Keterolac 3x30 mg
- Inj. Ranitidine 3x50 mg
- Inj. Aaminofluid

26
VII. Laporan Post-Operasi

1. Kontrol 1 pasien secara berkala : 08 Januari 2016 pukul 22.00


Pemeriksaan klinis : - P = 20x/menit
- N = 82x/menit
- S = 36
- T = 110/80 mmHg
Pasien mengeluh nyeri di bekas operasi.

2. Kontrol 2 pasien secara berkala : 9 Januari 2016 pukul 17.30


Pemeriksaan klinis : - P = 20x/menit
- N = 84x/menit
- S = 36
- T = 130/90 mmHg
Pasien mengeluh nyeri di bekas operasi.

3. Pasien diizinkan untuk pulang


- 10 Januari 2016

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ohara-Nemoto, Ono T, Nemoto TK. Characterization of the Glutamyl Endopeptidase


from Staphylococcus Aureus Expressed in Escherichia coli. FEBS J. 2008;
275(3):573-87
2. Pedersen GW. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC. 2013. 191-219
3. Astri AA. Hubungan Abses dengan Demam sebagai Gejala Infeksi Odontogenik.
[Skripsi]. Fakultas Kedokteran Gigi. 2012. Makassar: Universitas Hassanuddin
4. Dirks SJ, Terezhalmy GT. The Patient with an Odontogenic Infection. Quintessence
Int. 2004:35:482-502
5. Steiner RB, Thomson RD. Oral Surgery and Anesthesia. Philadelphia: W. B. Saunders
Comp; 1977:178-199
6. Prihandini OA. Kasus Pembengkakan yang disebabkan oleh Infeksi Odontogenik
pada Klinik Bedah Mulut FKG UPDM(B) Periode Januari-Desember 2012. [Skripsi].
Fakultas Kedokteran Gigi. Jakarta: Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). 2012
7. Robert D, Smith AJ. The Microbiology of The Acute Dental Abccess. J Med Micro.
2009; 58, 155-162

28
8. Bahl R, Sandhu S, Singh K, Sahai N, Gupta M. Odontogenic Infections: Microbiology
and Management. Contemp Clin Dent 2014; 5: 307-311
9. Townsend CM, Sabiston DC. Sabiston Textbook of Surgery: The Biological Basis of
Modern Surgical Practice. Philadelphia: Saunders. 2004
10. Department of Education Republic of the Philippines. Promoting Oral Healthin Public
Elementary Schools. DepEd ORDER No.73, 19 September 2007
11. Pourdanesh F, Dehghani N, Azarsima M, Malekhosein Z. Pattern of Odontogenic
Infections at a Tertiary Hospital in Tehran, Iran: A 10-Year Retrospective Study of 310
Patients. J Dent. 2013. 10(4): 319-328
12. Vasa AA, Sahana S, Sekhar R, Prasad V. Incongruousperiapical abscess, A Case
Report. Annals and Essences of Dent J. 2010; 2 (2): 44-47
13. Husby L, Lumintang N, Limpelch H. Profil Abses Submandibula di Bagian Bedah
RS. Prof. Dr. R. D. Kando Manado Periode Juni 2009 Sampai Juli 2012. [Skripsi].
Fakultas Kedokteran. Manado: Universitas Sam Ratulangi. 2012
14. Martin, Michael, and Jacoob W. Ufberg. Dental Abscess. eMedicine Health. Eds.
Ruben Olmodo, Francisco Talavera, and Steven L, Bernstein. 28 Maret 2014.
http://www.emedicinehealth.com/articles/20555-1.asp (diakses pada 15 Februari
2016)
15. Fragiskos FD. Oral Surgery. Germany: Spinger. 2007. 205-239
16. Hupp JR, Ellis E, Tucker MY. Contemporarry Oral and Maxillofacial Surgery, 6th
Edition. Missouri : Elsevier Inc. 2014. 295-318, 319-338
17. Uluibau IC, Jaunay T, Goss AN. Severe Odontogenic Infections. Aust Dent J. 2005;
50 Suppl 2: S74-S81
18. Fakhrurrazi, Hakim RF. Gambaran Bakteri dan Sensitivitas Antimikroba pada Abses.
Cakradonya Dent J. 2013; 5(1): 488-492
19. Piriz RL, Aguilar L, Gimenez MJ. Management of Odontogenic Infection of Pulpal
and Periodontal Origin. Med Oral Palatal Oral Cir Bucal. 2007; 12:E154-9.P155
20. Rasuna G. 2010. Pola Perjalanan (Penyebaran) Abses Odontogen.
http://gilangrasuna.wordpress.com/category/penjalaran-infeksi-odontogen/ (diakses
15 Februari 2016)
21. Chandrasekaran SC, Gita VB, Preethi P. Gingival Abscess Revisited: Case Report. Ind
J of Muntidiscip Dent. 2010. 1 (1): 33-36

29
22. Sousa D, Pinto D, Araujo R, Rego RO, Moreira-Neto J. Gingival Abscess Due to an
Unusual Nail-Biting Habit: A Case Report. J Contemp Dent Pract. 2010. 11(2): 85-91
23. Peterson, Larry J, D.D.S; M.S.2003. Contemporary Oral and Maxillo Facial Surgery.
4th Ed. St. Louis: Mosby, 367-376
24. Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jakarta: Media
Aesculapius, 149
25. Grossman, Louis I., Endodontic Practice, 7th Ed, Lea & Febiger: Philadelphia. 1979:
149, 420-433
26. Mead, Sterling V. Oral Surgery. 3rd Ed. W.B. Saunders Company: Philadelphia. 1982:
230-234
27. Joseph A, and Sciubba, James J. Oral Pathology: Clinical Pathologic Correlations, 3rd
Ed. W.B. Saunders Company: Philapdelphia. 1999: 384-386
28. Shafer, William G, et al. A Textbook of Oral Pathology. W.B. Saunders Company:
Philadelphia. 1958: 367-369
29. Shumrick KA, Sheft SA, Depp infection in: Paparella MM, Shumrick DA,
Gluckmann JL, Meyehoff WL, editors. Otolaryngology. Philadelpia: WB Sauders
1991: 2545-62.

30

Anda mungkin juga menyukai