Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat Nya penyusunan makalah ini dapat
diselesaikan.Makalah ini merupakan makalah yang membahas tentang Ushul Fiqih yang
membahas mengenai Pengertian, Objek, Tujuan, Ruang Lingkup, Perbedaannya dan
Perkembangan Ushul Fiqih .Secara khusus pembahasan dalam makalah ini diatur sedemikian
rupa sehingga materi yang disampaikan cukup untuk memenuhi tugas kuliah. Dalam penyusunan
tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan
orang tua, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi . oleh karena itu kami
mengucapkan terimakasih kepada:
Kami sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan.Untuk itu
kami meminta maaf apabila ada kekurangan. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca guna meningkatkan kualitas makalah penulis selanjutnya. Kebenaran dan
kesempurnaan hanya Allah-lah yang punya dan maha kuasa .Harapan kami, semoga makalah
yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat tersendiri bagi generasi muda islam yang akan
datang, khususnya dalam bidangUshul Fiqih.

Jombang, 27 Desember 2015


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ushul Fiqih
B. Objek Kajian Ushul Fiqih
C. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh
D. Ruang Lingkup Ushul Fiqih Dan Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih
E. Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penutup

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama ushul fiqih adalah dalil-
dalil yang bersifat ijmali (global) seperti kehujjahan ijma dan qiyas. Ushul fiqih juga
membahas bagaimana cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dali, seperti kaidah
mendahulukan hadits mutawatir dari hadits ahad dan mendahulukan nash dari zhahir. Dari
definisi di atas, terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih secara garis
besarnya ada tiga: Sumber hukum dengan semua seluk beluknya. Metode pendaya gunaan
sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.Persyaratan orang yang
berwewenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya. Tujuan yang hendak
dicapai dari ilmu ushul fiqh adalah ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap
dalil-dalil syara yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara yang bersifat amali
yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu.
Pertumbuhan Ushul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman
Rasulullah SAW. sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu
pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha SAW., sumber hukum islam hanya dua, yaitu
al-Quran dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus, Rasulullah SAW. Menunggu turunnya
waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau
menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits
atau Sunnah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ushul Fiqih ?
2. Apa saja Objek yang dipelajari dalam Ushul fiqih ?
3. Apa Tujuan Mempelajari Ushul Fiqih ?
4. Apa saja Ruang lingkup Ushul Fiqih ?
5. Apa perbedaannya antara fiqih dengan Ushul fiqih ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ushul Fiqih


Ushul fiqih terdiri atas dua kata yang masing-masing mempunyai arti cukup luas, yaitu
ushul dan fiqih. Dalam bahasa arab kata ushul merupakan jama dari Ashal yang artinya
fondasi sesuatu.Sedangkan fiqih berarti pemahaman secara mendalam yang membutuhkan
pergerakan potensi akal atau ilmu yang menjelaskan tentang hukum syariyah yang
berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan yang
diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistinbath dalil-dalil syariat Islam .
Secara termonologi, kata Ashl mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Dalil (landasan hukum) seperti ungkapan para ulama ushul fiqih: Ashl dari
wajibnya shalat adalah firman Allah dan Sunnah Rasul. Maksudnya Yang
menjadi dalil kewajiban shalat adalah ayat Al-quran dan Sunnah.
2. Qaidah (dasar fondasi) seperti sabda Rasul saw. Artinya: Islam itu didirikan atas
lima ushul (dasar atau fondasi).
3. Rajah (yang terkuat) seperti ungkapan para ahli ushul fiqih Artinya Yang terkuat
dari (kandungan) suatu ungkapan adalah arti hakikatnya. Maksudnya setiap
perkataan yang didengar/dibaca yang menjadi patokan adalah makna hakikat dari
perkataan itu.
4. Farun (cabang) seperti ungkapan para ahli ushul fiqih Artinya: Anak adalah
cabang dari ayah.
5. Kaidah lainnya Artinya: Larangan itu mengandung keharaman.

Definisi ushul fiqih Menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama ushul
fiqih adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global) seperti kehujjahan ijma dan qiyas. ushul
fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali
hukum-hukum fiqih, Ushul fiqih juga membahas bagaimana cara mengistinbathkan hukum
dari dalil-dali, seperti kaidah mendahulukan hadits mutawatir dari hadits ahad dan
mendahulukan nash dari zhahir.

B. Objek Kajian Ushul Fiqih


Dari definisi di atas,terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih secara
garis besarnya ada tiga:
1. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.
2. Metode pendaya gunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.
3. Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua
permasalahannya.
Sementara itu,Muhammad Al-Juhaili merinci objek kajian ushul fiqih sebagai berikut:
1. Sumber-sumber hukum syarabaik yang di sepakati seperti Al-Quran dan
sunah,maupun yang di perselisihkan,seperti istihsan dan maslahah mursalah.
2. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan
ijtihad.
3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir,ayat dengan
ayat atau sunah dengan sunah ,dan lain-lain baik dengan jalan pengomromian (Al-
Jamuwa At-taufiq).meguatkan salah satu (tarjih),pengguguran salah satu atau kedua
dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain)
4. Pembahasan hukum syarayang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya,baik
yang bersifat tuntutan,larangan,pilihan atau keringanan (rukhsah).Juga di bahas
tentang hukum,hakim,mahkum alaih (orang di bebani) dan lain-lain.
5. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan di gunakan dalam mengistinbath hukum dan
cara menggunakannya. (Al-Ghazali :7,Al-Amidi, 1:9,Al-Juhaili:23)

C. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh

Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh adalah ialah untuk dapat
menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara yang terinci agar sampai kepada
hukum-hukum syara yang bersifat amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah
ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara dan hukum yang terkandung
didalamnya.Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan
ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan tersebut.
Memang dengan metode tersebut para ulama telah berhasil merumuskan hukum
syara dan telah terjabar secara rinci dalam kitab-kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi, ushul fiqh
itu bagi umat yang datang kemudian ? dalam hal ini adadua maksud mengetahui ushul fiqh
itu.
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama
terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin
ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahulu,maka kita dapat mencari jawaban
hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan
ulama terdahulu itu.
Kedua, bila kita mengadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab
fiqh,tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya
perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin
merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang
menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang
memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kaji ulang terhadap suatu kaidah
ataumenetukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara
baik usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui
secara baik dalam ilmu ushul fiqh.

D. Ruang Lingkup Ushul Fiqih dan Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih
1. Ruang Lingkup Ushul Fiqih
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih ,maka
Muhammad Al-Zuhaili (seorang ahli fiqih dan ushul fiqih dari syariah) mengatakan
bahwa yang menjadi objek pembahasan ushul fiqih yang dapat membedakan dengan
kajian fiqih adalah sebagai berikut:
1. Sumber hukum islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum
syara, baik yang disepakati (seperti kehujjahan AL-Quran dan Sunah),
maupun yang diperselisihksn (seperti kehujjahan istihsan dan maslahah al-
mursalah).
2. Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zahir dianggap bertentangan,
baik melalui al-jamu wa al-taufiq (pengompromian dalil ),tarikh (penguatan
salah satu dari dalil yang bertentangan), nash atau tasaqutal-dalilain
(pengguguran kedua dalil yang bertentangan).Misalnya, pertentangan ayat
dengan ayat, ayat dengan hadis, atau pertentangan hadis dengan pendapat akal.
3. Pembahasan ijtihad, sayarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya
(mujtahit), baik syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusus keilmuan
yang harus dimiliki mujtahid.
4. Pembahasan tentang hukum syara, yang meliputi syarat-syarat dan macam-
macamnya , baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk
meninggalkan suatu perbuatan , memilih antara berbuat atau tidak, maupun
yang berkaitan dengan sebab syarat, mani,, sah, batal/fasad, azimah, dan
rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat
hukum (hakim), orang yang dibebani hukum (mahkum alaih, ketetapan hokum
dan syarat-syaratnya serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.
5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya
dalam mengistinbatkan hokum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa
maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash
(ayat atau hadis).
Dalil kulli ialah dalil umum yang dapat dimasukkan kedalamnya beberapa kasus
tertentu seperti amar,,nahi, am, mutlaq, ijma, dan qiyas.
Hukum kulli ialah hukum umum yang masuk kedalamnya beberapa macam,
seperti wajib, haram, sah, batal, dan sebagainya Wajib dinamakan hukum kulli karena
kedalamnya dapat dimasukkan berbagai perbuatan yang wajib,umpamanya,wajib
memenuhi janji, wajib mengadakan saksi dalam perkawinan. Haram adalah
hukum kulli yang masuk kedalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan,
seperti haram berbuat zina, haram menuduh berbuat zina,haram mencuri, haram
membunuh, dan sebagainya.
Ahli ushul tidak membahas dalil juzi ,namun yang mereka bahas adalah dalil dan
hukum kulli yang diletakkan dalam kaidah umum yang dapat diterapkan oleh para
fuqaha pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqaha tidak membahas dalil dan
hukum kulli, namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum juzi .

2. Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih


Dari tarif fiqih dan ushul fiqih diatas maka dapat disimpulkan bahwa fiqh itu
adalah mempelajari dan mengetahui hukum-hukum syariat agama islam, sedangkan
ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang dibutuhkan untuk mengeluarkan hukum dan
perbuatan-perbuatan manusia yang di kehendaki oleh fiqih.
Ushul fiqih merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukum dan
objeknya selalu dalil hukum, sementara objek fiqihnya selalu perbuatan mukallaf yang
di beri status hukum. Walaupun ada titik kesamaan yaitu keduanya merujuk kepada
dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqih memandang dalil dari sisi cara
penunjukan atas suatu ketentuan suatu hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya
sebagai rujukannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalil pohon yang dapat melahirkan
buah, sedangkan fiqih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.
Ilmu fiqih adalah merupakan prodok dari ushul fiqih.Ilmu fiqih berkembang
karena berkembangnya ilmu ushul fiqih. Ilmu fiqih akan bertambah maju manakala
ilmu ushul fiqih mengalami kemajuan, karena ilmu ushul fiqih adalah semacam ilmu
alat yang menjelaskan metode dan sistem penentuan hukum berdasarkan dalil-dalil
terperinci.
Ilmu ushul fiqih adalah ilmu alat-alat yang menyediakan bermacam-macam
ketentuan dan kaidah, sehingga diperoleh ketetapan hukum syara yang harus
diamalkan manusia.Untuk memudahkan pemahaman masalah ini, kami kemukakan
seperti contoh tentang perintah mengerjakan sholat berdasarkan Al-Quran dan Hadits
Nabi Muhammad SAW.
Firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-Isra ayat 78 sebagai berikut:

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula) shalat subuh, Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).
Sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.( H.R. Muttafaqun alaihi )
Dari firman Allah dan hadits Nabi diatas belum dapat diketahui, apakah
hukumnya mengerjakan shalat itu, wajib, sunat, atau harus. Dalam masalah ini ushul
fiqih memberikan dalil bahwa hukum perintah atau suruhan itu asalnya wajib,
terkecuali adanya dalil lain yang memalingkannya dari hukumnya yang asli itu. Hal ini
dapat dilihat dari kalimat perintah atau amar mengenai mengerjakan shalat bagi
penganut agama islam.


Pokok dalam perintah (amar) menunjukkan (yaitu wajib perbuatan yang
diperintahkan)
Berdasarkan kaidah Ushul Fiqih di atas jelaslah bahwa hokum shalat lima waktu adalah
wajib.
E. Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh
Pertumbuhan Ushuul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak
zaman Rasulullah SAW.sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang
ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha SAW., sumber hukum islam hanya dua,
yaitu al-Quran dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus, Rasulullah SAW. Menunggu
turunnya waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut.Apabila wahyu tidak turun, maka
beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan
hadits atau Sunnah.
Dala menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah SAW.Yang tidak
ada ketentuannya dalam Al-Quran, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada isyarat
bahwa Rasulullah SAW. Menetapakannya melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui melalui
sabda Rassulullah SAW. :
Artinya :Sesungguhnya saya adalah manusia (biasa), apabila saya perintahkan kepadamu
sesuatu yang menyangkut agamamu, maka ambillah dia. Dan apabila aku perintahkan
kepadamu sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia
(biasa). (H.R. Muslim dari RAfi ibn Khudaij)
Hasil ijtihad Rasulullah SAW. Ini secara otomatis menjadi sunnah sebagai sumber hukum
dan dalil bagi umat Islam.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW. Juga menggunakan qiyas ketika menjawab
pertanyaan para sahabat.Misalnya, beliau qiyas ketika mejawab pertanyaan Umar ibn al-
Khaththab tentang batal-tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW.
Ketika itu bersabda :
Artinya :Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal ?
Umar menjawab, Tidak apa-apa (tidak batal). Rasulullah SAW. Kemudian bersabda,
Maka teruskan puasamu. (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
RAsulullah SAW. Dalam hadits ini, menurut para ushul fiqh, mengqiyaskan hukum
mencium istri dalam keadaan berpuasa.Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa,
maka mencium istri pun tidak membatalkan puasa.
Cara-cara RAsulullah SAW. Dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit
munculnya ilmu ushul fiqh ada bersamaan dengan hadirnya fiqh, yaitu sejak zaman
Rasulullah SAW.Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat, karena wahyu dan Sunnah
Rasul tidak ada lagi, sementara persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang. Para
tokoh mujtahid yang termasyhur di zaman sahabat, diantaranya Umar ibn al-Khaththab, Ali
ibn Abi Thalib, dan Abdullah ibn Masud. Dalam berijtihad, Umar ibn al-Khaththab
seringkali mempertimbangkan kemaslahatan umat, dibanding sekedar menerapkan nasshs
secara zhahir, sementara tujuan hukum tidak tercapai. Misalnya, demi kemaslahatan rakyat
yang ditaklukan pasukan Islam disuatu daerah, Umar ibn al-Khaththab menetapkan bahwa
tanah di daerah tersebut tidak diambil pasukan Islam, melainkan dibiarkan digarap oleh
penduduk setempat, dengan syarat setiap panen harus diserahkan sekian persen kepada
pemerintahan Islam.Sikap ini diambil Umar ibn al-Khaththab didasarkan atas pemikiran
bahwa apabila tanah pertanian didaerah itu diambil pemerintah Islam, maka rakyat di daerah
tersebut tidak memiliki mata pencaharian, yang akibatnya bisa memberatkan beban Negara.
Para ulama ushul fiqh berpendapat bahwa landasan pemikiran Umar ibn al-Khaththab dalam
kasus ini adalah demi kemaslahatan (mashlahah).
Ali ibn Abi Thalib juga melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas yaitu meng-
qiyas-kan hukuman orang yang meminum khamar dengan hukuman orang yang melakukan
qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina). Alasan Ali ibn Abi Thalib adalah bahwa
seseorang yang mabuk karena meminum khamar akan mengigau. Apabila ia mengigau, maka
ucapannya tidak bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi
pelaku qadzaf adalah 80 kali dera. Oleh sebab itu, hukuman orang meminum khamar sama
dengan hukuman menuduh orang lain berbuat zina. Perkembangan permasalahan di zaman
sahabat ini memerlukan upaya ijtihad yang semakin luas.
Selain bertebarnya para sahabat diberbagai daerah yang saling berbeda budaya, dalam
kasus yang sama, hukum di satu daerah dapat berbeda dengan di daerah lainnya. Perbedaan
hukum ini berawal dari perbedaan cara pandang dalam menetapkan hukum pada kasus
tersebut.
Dizaman tabiin, permasalahan hukum yang muncul pun semakin kompleks.Para
tabiin melakukan ijtihad diberbagai daerah Islam.Di Madinah muncul berbagai fatwa
berkaitan dengan berbagai persoalan baru, sebagaimana dikemukakan Said ibn al-
Musayyab.Di Irak muncul Alqamah ibn Waqqas, al-Laits dan Ibrahim al-Nakhai.Di
Bashrah muncul pula mujtahid di kalangan tabiin, seperti Hasan al-Bashri, Titik tolak para
Ulama tersebut dalam menetapkan hukum bisa berbeda, yang satu melihat dari sudut
mashlahat, sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui qiyas. Ulama ushul fiqh Irak
lebih dikenal dengan penggunaan rayu, dalam setiap kasus yang dihadapi mereka berusaha
mencari berbagai illat-nya; sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan hukum
kasus yang dihadapi dengan hukum yang ada nash-nya.Sikap ulama Irak ini bukan berarti
meninggalkan Sunnah Rasulullah SAW., tetapi sikap itu mereka ambil karena sangat sedikit
Sunnah Rasulullah SAW.Yang bisa mereka temukan.
Adapun para ulama Madinah banyak menggunakan Hadits-hadits Rasulullah SAW.,
karena mereka dengan mudah dapat melacak Sunnah Rasulullah SAW di daerah tersebut. Di
sinilah awal perbedaan dalam mengistinbathkan hukum dikalangan ulama fiqh.Akibatnya,
muncul tiga kelompok ulama, yaitu Madrasah al-Iraq, Madrasah al-Kufah, dan Madrasah
al-Madinah. Penamaan ini menunjukkan perbedaan cara dan metode yang dugunakannya
dalam menggali hukum. Pada perkembangan selanjutnya, Madrasah al-Iraq dan Madrasah
al-Kufah lebih dikenal dengan sebutan Madrasah al-Rayi, sedangkan Madrasah al-Madinah
dikenal dengan sebutan Madrasah al-Hadits.
Setelah itu muncul para imam mujtahid, khususnya imam mazhab yang empat, yaitu :
1. Numan ibn al-Tsabit yang lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah (80-150
H/699-767 M),
2. Malik ibn Anas, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik (93-179 H/712-795
M),
3. Muhammad ibn Idris al-Syafii, yang lebih populer dengan sebutan Imam al-Syafii
(150-204 H/767-820 M),
4. Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H/780-855 M).
Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga terlihat dengan
jelas perbedaan antara satu imam dengan imam lainnya dalam mengistinbathkan hukum dari
al-Quran dan Sunnah.Imam Abu Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam
mengistinbathkan hukum sebagai berikut :al-Quran; Sunnah; fatwa yang didasarkan atas
kesepakatan para sahabat; fatwa para tabiin yang sejalan dengan pemikiran mereka; qiyas
dan istihsan. Imam Malik, disamping berpegang kepada al-Quran, Sunnah, juga banyak
mengistinbathkan hukum berdasarkan amalan penduduk Madinah (amal ahl al-madinah).
Akan tetapi Imam Malik juga banyak menolak mengamalkan Sunnah, apabila terjadi
pertentangan Sunnah dimaksud dengan al-Quran.
Selanjutnya Imam al-Syafii dengan metode-metode ijtihadnya dan sekaligus buat petama
sekali membukukaan ilmu ushul fiqh yang dibarengi dengan dalil-dalilnya.Kitab ushul fiqh
yang disusun Imam al-Syafii tersebut bernama al-Risalah.Kitab ini disusun berdasarkan
khazanah fiqh yang ditinggalkan para sahabat, tabiin, dan Imam-imam mujtahid
sebelumnya.Imam al-SyafiI berupaya mempelajari secara seksama perdebatan yang terjadi
antara ahl al-hadits yang bermarkas di Madinah dengan ahl al-rayi di Irak.Dari kedua aliran
ini Imam al-Syafii berusaha untuk mengompromikan pandangan kedua aliran tersebut, serta
menyusun teori-teori ushul fiqhnya.Dalam kitabnya, al-Risalah, Imam al-Syafii berusaha
memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, stelah melakukan
berbagai analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah.Berdasarkan analisisnya
inilah dia membuat teori ushul fiqh; yang diharapkan dapat dijadikan patokan umum dalam
mengistinbathkan hukum, mulai dari generasinya sampai generasi selanjutnya.
Kandungan kitab al-Risalah ini pada masa sesudah Imam al-Syafii mejadi bahan
pembasan para ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk men-
syarh (menjelaskan) secara luas apa yang dikemukakan Imam al-Syafii dalam kitabnya itu,
tanpa mengubah atau mengurangi apa yang ada dalam kitab tersebut. Juga ada yang
melakukan pembahasan bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam al-Syafii, dengan
mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori Imam al-Syafii; dan terkadang
mengemukakan pendapat yang berlawanan dengan pendapat Imam al-Syafii. Misalnya
ulama ushul fiqh dari kalangan Hanafi mengakui teori-teori ushul fiqh Imam al-Syafii, tetapi
mereka menambahkan metode atau teori lainnya, yaitu istihsan dan urf dalam
mengistinbathkan hukum. Ulama ushul fiqh Malikiyyah juga melakukan hal yang sama,
yaitu menambahkan ijma ahl al-madinah (kesepakatan penduduk Madinah), karena status
ijma ahl al-madinah, menurut mereka, merupakan Sunnah yang secara turun temurun
dilaksanakan sejak zaman Rasulullah SAW. Sampai ke zaman mereka.Ijma ahl al-madinah
tersebut tidak diterima Imam al-Syafii sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
Islam.Di samping itu, ulama ushul fiqh Malikiyyah juga menambahkan metode istihsan,
mashlahah mursalah (yang keduanya ditolak Imam al-Syafii) dan metode sad al-zariah.
Para Imam Mazhab dari ke empat Mazhab tersebut sepakat dengan dalil-dalil yang
dikemukakan Imam al-Syafii, yaitu al-Quran, Sunnah, ijma dan qiyas.Tetapi masing-
masing Mazhab menambahkan metode istinbath hukum lainnya, seperti yang dikemukakan
di atas. Dalam analisis para ahli ushul fiqh kontemporer, seperti Husain Hamid Hasan, dari
berbagai metoode yang dikemukakan para Imam Mazhab di atas, ulama ushul fiqh
Syafiiyyah (para pengikut Imam al-Syafii) ternyata menerima metode urf, mashlahah
mursalah, dan sadd al-zariah.Akan tetapi, mereka menolak metode istihsan dan ijma ahl
al-madinah, karena dipandang tidak dapat dijadikan salah satu metode dalam
mengistibathkan hukum Islam.
Terlepas dari perbedaan pendapat kalangan ushul fiqh (termasuk di kalangan Imam
Mazhab yang empat), tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ishul fiqh
menyatakan bahwa pada masa keempat Imam Mazhab tersebut ushul fiqh menemukan
bentuknya yang sempurna, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung hanya
memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada
zamannya masing-masing.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Ushul fiqih mempunyai pengertian al-ushul berarti dalil-dalil fiqih, seperti Al-Quran,
Sunnah Rasulullah, Ijma, Qiyas, dan lain-lain.Al-Fiqih berarti pemahaman yang mendalam
yang membutuhkan pengarahan potensi akal.

Objek Kajian Ushul Fiqih menurut Al-Ghazali membahas tentang hukum syara, tentang
sumber-sumber dalil hukum, tentang cara mengistinbatkan hukum dan sumber-sumber dalil
itu serta pembahasan tentang ijtihad.
Ruang lingkup ushul fiqih secara global adalah sumber dan dalil hukum dengan berbagai
permasalahannya, bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut dan lain-lain.
Sejarah perkembangan ushul fiqih terlihat pada masa ushul fiqih sebelum dibukukan dan
ushul fiqih sesudah dibukukan dan ushul fiqih pasca Syafii.
Tujuan dan urgensi ushul fiqih adalah mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki
oleh seseorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara secara tepat dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin zen, Ushul fiqh, 2009, Cet. 1, Yogyakarta, Penerbit Teras


Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih , 1996, Edisi. 1, Cet. 3, Jakarta. PT .Raja Grafindo Persada.
Syafei Rahmat.,Ilmu Ushul Fiqih , 2010,Cet. IV, Bandung, Pustaka Setia.
PENGERTIAN USHUL FIQIH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas akhir semester


Mata kuliah Bahasa Indonesia

Dosen Pembimbing :
Ali Mahsun, M.Pd.

Oleh :
Iqbal Fidi Almuhtadin (1593064015)

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH
UNIVERSITAS HASYIM ASYARI
TEBUIRENG JOMBANG
2015

Anda mungkin juga menyukai