Anda di halaman 1dari 22

Pengantar Hukum Internasional

Pengertian, Batasan, dan istilah Hukum Internasional

Yang dimaksud dengan istilah hukum internasional ialah hukum internasional publik, yang
harus dibedakan dari hukum perdata internasional. Hukum perdata internasional adalah
hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Dengan kata lain,
hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-
masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Hukum internasional publik
adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Dari uraian
diatas kita dapat mengetahui persamaan dan perbedaan dari hukum perdata internasional dan
hukum internasional ublik, ialah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara (internasional). Perbedaannya terletak dalam sifat hukum hubungan
atau persoalan yang diaturnya (objeknya). Cara membedakan demikian lebih tepat daripada
membedakan berdasarkan pelaku (subjek hukum)-nya dengan mengatakan bahwa hukum
internasional publik mengatur hubungan antara negara-negara, sedangkan hukum perdata
internasional antara orang perseorangan.

Terhadap batasan (definition) hukum internasional (publik) di atas dapat dikemukakan


keberatan bahwa batasan itu tidak tegas karena didasarkan pada suatu ukuran yang negatif
yakni hubungan atau persoalan internasional yang tidak bersifat perdata.

Yang jelas ialah bahwa hubungan atau persoalan internasional demikian bukan merupakan
persoalan perdata, sehingga bukan pula merupakan hubungan atau persoalan yang diatur
hukum perdata internasional. Inilah sebabnya mengapa batasan kita yang negatif lebih tepat
menggambarkan kenyataan internasional pada dewasa ini. Memang, ada kalanya batas antara
hubungan atau persoalan hukum perdata internasional pun sukar ditarik dengan tegas,
sehingga ada sarjana yang mengusulkan agar perbedaan itu dihapuskan dan digunakan saja
istilah lain. Untuk jelasnya, baik kiranya setelah uraian mengenai pengertian hukum
internasional diatas, kita merumuskannya sebagai berikut :

Hukum internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas negara antara :

(1) negara dengan negara;


(2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu
sama lain.

Karena dengan istilah hukum internasional disini dimaksud hukum internasional publik, tidak
termasuk dalam batasan di atas hubungan atau persoalan internasional yang diatur oleh
hukum perdata internasional.

Istilah Hukum Internasional

Selain istilah hukum internasional, orang juga mempergunakan istilah hukum bangsa-
bangsa,hukum antar bangsa atau hukum antar negara untuk lapangan hukum. Aneka ragam
istilah ini juga terdapat pula dalam bahasa berbagai bangsa yang telah lama mempelajari
hukum internasional sebagai suatu cabang ilmu hukum tersendiri. Istilah hukum internasional
ini tidak mengandung keberatan, karena perkataan internasional walaupun menurut asal
katanya searti dengan antarbangsa sudah lazim dipakai orang untuk segala hal atau peristiwa
yang melintasi batas wilayah suatu negara. Hukum bangsa-bangsa akan dipergunakan untuk
menunjukkan pada kebiasaan dan aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan antara raja-
raja zaman dahulu, ketika hubungan demikian baik karena jarangnya maupun karena sifat
hubungannya, belum dapat dikatakan merupakan hubungan antara anggota suatu masyarakat
bangsa-bangsa. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara akan dipergunakan untuk
menunjuk pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara yang kita kenal sejak munculnya negara dalam
bentuknya yang modern sebagai negara nasional (nation-state).

Bentuk perwujudan khusus Hukum Internasional : Hukum Internasional Regional dan


Hukum Internasional Khusus (special).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa disamping hukum internasional yang berlaku
umum (general) terdapat pula hukum internasional regional, yang terbatas daerah lingkungan
berlakunya. Adanya berbagai lembaga hukum internasional regional demikian disebabkan
oleh keadaan yang khusus terdapat di bagian dunia itu. Dengan demikian, hukum
internasional regional dapat memberikan sumbangan berharga kepada hukum internasional
regional dapat memberikan sumbangan berharga kepada hukum internasional yang benar-
benar universal.
Bentuk perwujudan lain dari hukum internasional khusus, selain hukum internasioal regional,
kita jumpai dalam bentuk kompleks kaidah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu
saja, seperti misalnya konvensi Eropa mengenai Hak-Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan
hukum internasional regional yang biasanya tumbuh melalui proses hukum kebiasaan, hukum
internasional khusus demikian diatur dalam konvensi multilateral. Lagipula para pesertanya
tidak usah terbatas pada suatu bagian dunia (region) tertentu.

Hukum Internasional dan Hukum Dunia (World Law)

Pengertian kedua hukum ini menunjukkan pada konsep mengenai tertib hukum masyarakat
dunia yang berlainan pangkal tolaknya. Pengertian hukum internasional didasarkan atas
pikiran adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang
berdaulat dan merdeka (independent) dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu
tidak dibawah, kekuasaan yang lain. Dengan perkataan lain, hukum internasional merupakan
suatu tertib hukum koordinasi antara anggota-anggota masyarakat internasional yang
sederajat. Anggota masyarakat internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu
tertib hukum yang mereka terima sebagai perangkat kaidah dan asas yang mengikat dalam
hubungan antar mereka. Pengertian Hukum Dunia (World Law, Weltstaatsrecht) berpangkal
pada dasar pikiran yang lain. Hukum dunia merupakan semacam negara dunia yang meliputi
semua negara di dunia ini (semacam negara federasi).

Masyarakat dan Hukum Internasional

Sesungguhnya adanya hukum internasional itu menganggap terlebih dahulu (presuppose,


voraustellen) adanya suatu masyarakat internasional yang diatur oleh tertib hukum itu.
Dengan perkataan lain, untuk dapat meyakini adanya atau lebih tepat lagi perlu adanya
hukum internasional, terlebih dahulu harus ditunjukkan adanya suatu masyarakat
internasional sebagai landasan sosiologis bidang hukum.

Adanya masyarakat internasional sebagai landasan sosiologis hukum internasional

Karena masyarakat internasional-berlainan dari suatu negara dunia merupakan kehidupan


bersama dari negara-negara yang merdeka dan sederajat, unsur pertama yang harus
dibuktikan ialah adanya sejumlah negara di dunia ini. Jumlah negara di dunia pada dewasa ini
melebihi seratus negara. Akan tetapi, adanya sejumlah negara besar saja belum berarti adanya
suatu masyarakat internasional. Harus dapat pula ditunjukkan adanya hubungan yang tetap
antara anggota masyarakat internasional, apabila negara itu masing-masing hidup terpencil
satu dari yang lainnya. Hubungan demikian timbuk karena adanya kebutuhan yang
disebabkan antara lain oleh pembagian kekayaan alam dan perkembangan industri yang tidak
merata di dunia. Misalnya, perniagaan yang bertujuan mempertukarkan hasil bumi dengan
hasil industri merupakan salah satu hubungan terpenting yang terdapat antara bangsa-bangsa
di dunia. Disamping itu, terdapat pula hubungan di lapangan kebudayaan, ilmu pengetahuan,
keagamaan, sosial dan olahraga. Hubungan internasional dipermudah lagi dengan bertambah
sempurnanya berbagai alat perhubungan sebagai akibat kemajuan teknik. Saling
membutuhkan antar bangsa-bangsa di berbagai lapangan kehidupan yang mengakibatkan
timbuknya hubungan yang tetap dan terus-menerus antara bangsa-bangsa, mengakibatkan
pula timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan demikian. Karena
kebutuhan antara bangsa-bangsa timbal balik sifatnya, kepentingan memelihara dan mengatur
hubungan yang bermanfaat demikian merupakan suatu kepentingan bersama.

Asas hukum yang bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional

Di atas telah diuraikan dua segi dari masyarakat internasional sebagai dasar sosiologis hukum
internasional yaitu adanya sejumlah negara dan kebutuhan negara-negara itu untuk
mengadakan hubungan satu sama lain. Kebutuhan bangsa-bangsa untuk hidup berdampingan
secara teratur ini merupakan suatu keharusan kenyataan sosial. Hubungan yang teratur
demikian itu tidak semata-mata merupakan akibat dari fakta adanya sejumlah negara dan
kemajuan dalam berbagai perhubungan. Fakta fisik demikian tidak dengan sendirinya
menimbulkan suatu masyarakat bangsa-bangsa. Juga keharusan hidup bersama, baru
merupakan sebagai dari penjelasan mengapa suatu kumpulan bangsa ini untuk dapat benar-
benar dinamakan suatu masyarakat hukum internasional harus ada unsur pengikat lain di
samping berbagai kenyataan yang merupakan fakte eksistensi fisik semata-mata yang telah
diuraikan di atas. Faktor pengikat yang nonmaterial ini ialah adanya asas kesamaan hukum
antara bangsa-bangsa di dunia ini, betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku
di masing-masing negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa.
Kedaulatan negara : hakikat dan fungsinya dalam masyarakat internasional

Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional perlu dijelaskan mengingat
pentingnya peran negara dalam masyarakat dan hukum internasional dewasa ini. Kedaulatan
merupakan kata yang sulit karena mengandung banyak arti. Menurut sejarah, asal kata
kedaulatan yang dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah souvereignity berasal dari kata
latin superanus berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat atau souvereign karena
kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Bila dikatakan bahwa negara itu
berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. Pengertian
kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi inilah yang menimbulkan banyak salah
paham.

Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat
memang berarti bahwa negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada
kekuasaannya sendiri. Dengan perkataan lain, negara memiliki monopoli kekuasaan, suatu
sifat khas organisasi masyarakat dan kenegaraan dewasa ini yang tidak lagi membenarkan
orang perseorangan mengambil tindakan sendiri apabila ia dirugikan. Walaupun demikian,
kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batasnya. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini
dibatasi oleh batas wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan
tertinggi di dalam batas wilayahnya. Pembatasan yang penting ini yang melekat pada
pengertian kedaulatan itu sendiri dilupakan oleh orang yang beranggapan bahwa kekuasaan
yang dimiliki oleh suatu negara menurut paham kedaulatan itu tidak terbatas. Bahwa
kedaulatan suatu negara terbatas dan bahwa batas ini terdapat dalam kedaulatan negara lain
merupakan konsekuensi yang logis dari paham kedaulatan sendiri dan mudah sekali dipahami
apabila kita mau memikirkan persoalan ini secara konsekuen. Dilihat secara demikian, paham
kedaulatan tidak perlu bertentangan dengan adanya suatu masyarakat internasional yang
terdiri dari negara-negara yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri atau dengan perkataan
lain merdeka (independent) yang satu dari yang lainnya. Paham demikian juga tidak akan
bertentangan dengan hukum internasional yang mengatur masyarakat demikian.
Masyarakat Internasional dalam peralihan (transition): perubahan-perubahan dalam
peta bumi politik, kemajuan teknologi dalam struktur masyarakat internasional.

Masyarakat internasional kini sedang mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok,
yang perlu diperhatikan untuk dapat benar-benar memahami hakikat masyarakat internasional
dewasa ini. Perubahan besar yang pertama dan pokok ialah perubahan peta bumi politik yang
terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses ini yang sudah dimulai pada permulaan abad
XX mengubah pola kekuasaan politik di dunia ini dari satu masyarakat internasional yang
terbagi dalam beberapa negara besar yang masing-masing mempunyai daerah jajahan dan
lingkungan pengaruhnya menjadi satu masyarakat bangsa-bangsa yang terdiri dari banyak
sekali negara yang merdeka. Proses emansipasi bangsa-bangsa ini, atau lebih tepat lagi proses
rehabilitasi kalau kita menganggap kemerdekaan bangsa-bangsa sebagai sesuatu yang wajar
dan penjajahan oleh bangsa lain sebagai selingan di dalam sejarah yang bertentangan dengan
kodrat-kodrat bangsa, merupakan suatu proses yang wajar dan pada hakikatnya merupakan
suatu penjelmaan masyarakat internasional dalam arti yang sebenarnya. Ciri-ciri masyarakat
internasional demikian dan asas pokok yang menjadi dasar masyarakat demikian telah kami
bentangkan dalam uraian. Dilihat secara demikian, timbulnya negara-negara baru yang
merdeka, berdaulat dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah Perang
Dunia II, patut kita sambut dengan baik. Akan tetapi, sebagaimana selalu terjadi dengan
berbagai perubahan besar, perubahan dalam peta bumi politik ini mempunyai akibat yang
jauh bagi hukum internasional sehingga menyebabkan beberapa orang pesimis berbicara
tentang krisis dalam hukum internasional.

Sejarah Hukum Internasional dan Perkembangannya

Hukum Internasional dalam arti luas adalah termasuk pengertian hukum bangsa-bangsa,
dapat dikatakan bahwa sejarah hukum internasional telah tua sekali. Apabila kita gunakan
istilah ini dalam arti yang sempit yakni hukum yang terutama mengatur hubungan antara
negara-negara, hukum internasional baru berusia beberapa ratus tahun. Hukum internasional
modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir
dengan kelahiran masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara nasional.
Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang modern biasanya diambil saat
ditandatanganinya perjanjian perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh
Tahun (Thirty Years War) di Eropa. Walaupun menurut anggapan umum selama abad
pertengahan tidak dikenal satu sistem organisasi masyarakat nasional yang terdiri dari
negara-negara yang merdeka, menurut berbagai penyelidikan yang terakhir anggapan tadi
ternyata tidak seluruhnya benar. Memang benar selama abad pertengahan dunia Barat
dikuasai oleh satu sistem feodal yang berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan gereja
berpuncak pada Paus sebagai kepala Gereja Katolik Roma. Masyarakat Eropa waktu itu
merupakan satu masyarakat Kristen terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan Takhta
Suci. Masyarakat Eropa inilah yang menjadi pewaris kebudayaan Romawi dan Yunani.
Perdamaian Westhpalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum
internasional modern. Bahkan, dianggap sebagai suatu peristiwa yang meletakkan dasar
masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Perjanjian
Westphalia ini telah meletakkan dasar bagi suatu susunan masyarakat internasional yang
baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi
didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakikat negara-negara itu dan
pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dan pengaruh gereja.
Akan tetapi, keliru sekali kalau kita menganggap Perjanjian Westphalia ini sebagai suatu
peristiwa yang mencanangkan suatu zaman baru dalam sejarah masyarakat internasional yang
tidak ada hubungannya dengan masa lampau. Kiranya lebih tepat untuk memandang
Perjanjian Westphalia ini sebagai titik puncak satu proses yang sudah dimulai pada zaman
abad pertengahan yaitu yaitu gerakan reformasi dan sekularisasi kehidupan manusia,
khususnya perebutan kekuasaan duniawi antara gereja dan negara.

Di bagian lain dunia, asas dan sistem hukum dunia Barat diperkenalkan dengan berbagai
cara. Asas dan sistem hukum inggris yang berlaku di daerah jajahannya di Benua Amerika
bagian Utara, berkembang menjadi sistem hukum Amerika (Serikat) setelah tiga belas
jajahannya disana memproklamirkan kemerdekaannya, sedangkan asas dan sistem hukum
yang dibawa orang Spanyol dan Portugis ke Amerika Selatan dan Tengah merupakan dasar
bagi sistem hukum nasional negara-negara Amerika Latin yang kemudian timbul di bagian
dunia itu. Di bagian dunia lain juga, di Asia dan Afrika asas dan sistem hukum Barat dibawa
oleh negara-negara Eropa seperti Portugal, Spanyol, Inggris, Perancis dan Belanda dan
dimasukkan ke daerah jajahannya. Cara pemasukan dan penanaman asas dan sistem hukum
Barat dilakukan dengan cara yang berbeda apabila dilihat dalam hubungannya dengan hukum
penduduk bumi-putera yang berlaku, berdasarkan politik hukum yang berlainan satu sama
lain. Namun, dapat dikatakan bahwa pada umumnya asas dan sistem hukum Barat dikatakan
bahwa pada umumnya asas dan sistem hukum Barat dikenal dan berlaku di bidang kehidupan
masyarakat yang terpenting.

Semua kejadian atau kenyataan sejarah diatas, telah membantu meluaskan asas dan sistem
hukum, yang ,mula-mula berkembang di kontinen Eropa dan kepulauan Inggris ke seluruh
penjuru dunia. Dapatlah dikatakan bahwa karena kejadian sejarah yang dituturkan di atas,
asas dan sistem hukum Barat kini telah menjadi milik masyarakat manusia di seluruh dunia
atau setidak-tidaknya, seperti juga teknologi, arsitektur, ilmu kedokteran dan aspek lain
kehidupan manusia modern, telah umum dikenal di seluruh dunia. Perkembangan di atas
mendahului apa yang kemudian terjadi dan dapat dikatakan mencirikan tahap ketiga dalam
pertumbuhan masyarakat internasional yakni emansipasi politik negara-negara terjajah ke
dalam masyarakat internasional sebagai negara-negara yang merdeka dan sama derajatnya.
Proses ini yang telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia I dipercepat dan mencapai
puncaknya setelah Perang Dunia II berakhir. Dalam pembahasan yang terdahulu kita telah
meihat betapa pentingnya emansipasi atau rehabilitasi bangsa-bangsa di dunia ini bagi
terwujudnya masyarakat internasional yang bnar-benar universal.

Hakikat dan Dasar Berlakunya Hukum Internasional

Masyarakat internasional tidak mengenal suatu kekuasaan eksekutif pusat yang kuat seperti
dalam negara-negara nasional. Seperti telah dikatakan, masyarakat internasional dalam
bentuknya sekarang merupakan suatu tertib hukum koordinasi dari sejumlah negara yang
masing-masing berdaulat. Dalam tata masyarakat internasional yang demikian, tidak pula
terdapat suatu badan legislatif maupun kekuasaan kehakiman dan polisional yang dapat
memaksakan berlakunya kehendak masyarakat internasional sebagaimana tercermin dalam
kaidah hukumnya. Semua kelemahan kelembagaan (institusional) ini telah menyebabkan
beberapa pemikir mulai dari Hobbes dan Spinoza hingga Austin menyangkal sifat mengikat
hukum internasional. Bagi mereka hukum internasional itu bukan hukum.

John Austin menyatakan bahwa Every law or rule (taken with the largest signification which
can be given to the term properly) is a command... Menurut dia hukum internasional itu
bukan hukum dalam arti yang sebenarnya (properly so called). Ia menempatkannya
segolongan dengan the laws of honour dan the laws set by fashion sebagai rules of positive
morality).Perkembangan ilmu hukum kemudian telah membuktikan tidak benarnya anggapan
Austin tersebut mengenai hukum. Kita cukup mengingat tentang adanya hukum adat di
Indonesia sebagai suatu sistem hukum yang tersendiri untuk menginsafi kelirunya pikiran
Austin mengenai hakikat hukum. Memang, adanya badan legislatif, badan kehakiman dan
polisi merupakan ciri yang jelas dari suatu sistem hukum positif yang efektif, tetapi ini tidak
berarti bahwa tanpa lembaga-lembaga ini tidak terdapat hukum.

Mengingat taraf integrasi yang rendah dari masyarakat internasional dewasa ini dan adanya
pola hidup kebudayaan dan sistem nilai yang berbeda dari satu bangsa ke bangsa yang lain,
pengertian tentang nilai-nilai yang biasa diasosiasikan dengan hukum alam mungkin juga
sekali juga akan jauh berbeda, walaupun istilah yang dipergunakan mungkin sama. Walaupun
demikian, teori hukum alam dan konsep hukum alam telah mempunyai pengaruh besar dan
baik terhadap perkembangan hukum internasional. Ajaran ini karena idealisme yang tinggi
telah menimbulkan keseganan terhadap hukum internasional dan telah meletakkan dasar
moral dan etika yang berharga bagi hukum internasional, juga bagi perkembangan
selanjutnya. Dikembalikannya konsep hidup bermasyarakat internasional pada analisis
terakhir pada keharusan yang dititahkan oleh akal manusia adalah pikiran yang pada
hakikatnya tidak terlalu salah. Hnaya dengan demikian dapat diterangkan mengapa bangsa-
bangsa di dunia yang beraneka ragam asal keturunan, pandangan hidup serta nilai hidupnya
dapat bahkan harus hidup berdampingan dengan baik. Dengan perkataan lain, ia dapat
menerangkan adanya dasar bagi kemungkinan adanya suatu masyarakat internasional di
samping kenyataan hidupnya bangsa-bangsa berdampingan di dunia ini secara fisik.
Kesukaran teori-teori yang hendak menerangkan hakikat hukum (yaitu kekuatan dasar
mengingat hukum itu) berdasarkan kehendak subjek hukum ialah bahwa dasar pikiran ini
tidak bisa diterima. Kehendak manusia saja tidak mungkin merupakan dasar kekuatan hukum
yang mengatur kehidupan. Sebab kalau demikian ia bisa melepaskan diri dari kekuatan
mengikat hukum dengan menarik kembali persetujuannya untuk tunduk pada hukum itu.
Dengan perkataan lain, persetujuan negara untuk tunduk pada hukum internasional
menghendaki adanya suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu,
dan berlaku lepas dari kehendak negara (aliran objektivis). Bukan kehendak negara
melainkan suatu norma hukum-lah yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum
internasional. Demikianlah pendirian suatu aliran yang terkenal dengan mazhab Wiena.
Menurut mazhab ini kekuatan mengikat suatu kaidah yang lebih tinggi yang pada gilirannya
didasarkan pula pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dan demikian seterusnya. Akhirnya,
sampailah kita pada puncak piramida kaidah hukum tempat terdapatnya kaidah dasar
(Grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi,
melainkan harus diterima adanya sebagai suatu hipotese asal (Ursprungshypothese) yang
tidak dapat diterangkan secara hukum. Berlainan dengan teori objektivis yang logis tetapi
steril seperti ajaran mazhab Wiena atau idealistis tetapi serba samar dari golongan hukum
alam, ada lagi suatu aliran yang berusaha menerangkan kekuatan mengikat hukum
internasional itu tidak dengan teori yang spekulatif dan abstrak melainkan
menghubungkannya dengan kenyataan hidup manusia. Mazhab Perancis dengan para
pemukanya antara lain terutama Fauchille, Scelle dan Duguit mendasarkan kekuatan
mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum pada faktor biologis, sosial dan
sejarah kehidupan manusia yang mereka namakan fakta kemasyarakatan (fait social) yang
menjadi dasar kekuatan mengikatnya segala hukum termasuk hukum internasional. Menurut
mereka persoalannya dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial,
hasratnya untuk bergabung dengan manusia lain dan kebutuhannya akan solidaritas.
Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai orang-seorang menurut mereka juga dimiliki
oleh bangsa-bangsa. Jadi, dasar kekuatan mengikat hukum (internasional) terdapat dalam
kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya
kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.

Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Persoalan tempat hukum internasional dalam keseluruhan tata hukum secara umum
merupakan persoalan yang menarik, baik dilihat dari sudut teori atau ilmu hukum maupun
dari sudut praktis. Pembahasan persoalan tempat atau kedudukan hukum internasional dalam
rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau
bidang hukum, hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya.
Anggapan atau pendirian demikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum
internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup
dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif pula dengan ketentuan dan
asas yang efektif pula dengan ketentuan atau bidang hukum lainnya, di antaranya yang paling
penting ialah ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan
kebangsaannya masing-masing yang dikenal dengan nama hukum nasional. Dalam bab-bab
terdahulu telah kita lihat betapa masih pentingnya negara nasional dalam masyarakat
internasional dewasa ini. Karena pentingnya hukum nasional masing-masing negara dalam
konstelasi politik dunia dewasa ini, dengan sendirinya penting pula persoalan bagaimanakah
hubungan antara berbagai hukum nasional itu dengan hukum internasional. Disinilah letak
pentingnya persoalan kedudukan hukum internasional dalam keseluruhan tata hukum dilihat
dari sudut praktis. Dari sudut teoritis pun persoalan hubungan antara hukum internasional dan
hukum nasional merupakan suatu masalah yang menarik untuk dibahas. Dalam bab ini akan
dicoba terlebih dahulu membahas persoalan hubungan hukum internasional dan hukum
nasional dari sudut teori atau ilmu hukum dan kemudian membahas persoalan ini dari sudut
dan kebutuhan praktik.

Dari bab-bab terdahulu kita mengetahui bahwa dalam teori ada dua pandangan tentang
hukum internasional yaitu pandangan yang dinamakan voluntarisme, yang mendasarkan
berlakunya hukum internasional ini pada kemauan negara, dan pandangan objektivis yang
menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara.
Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda pula karena sudut pandangan
yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai
dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan
objektivis menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat
hubungannya dengan apa yang diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki antara
kedua perangkat hukum itu, baik merupakan dua perangkat hukum yang pada hakikatnya
merupakan bagian dari satu keseluruhan tata hukum yang sama.

Aliran dualisme pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Menurut paham dualisme
ini yang bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.
Pandangan dualisme ini mempunyai beberapa akibat yang penting. Salah satu akibat pokok
yang terpenting ialah bahwa kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin
bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan perkataan lain, dalam teori
dualisme tidak ada tempat bagi persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum
internasional karena pada hakikatnya kedua perangkat hukum ini tidak saja berlainan dan
tidak bergantung satu sama lainnya tapi juga lepas satu dari yang lainnya.

Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur
hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dari hukum nasional
merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur
kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat
ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional
dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda
dalam aliran monisme mengenai masalah hukum manakah yang utama dalam hubungan
antara hukum nasional dan hukum internasional ini. Ada pihak yang menganggap bahwa
dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum
nasional. Paham ini adalah paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham yang lain
berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional.
Pandangan ini disebut paham monisme dengan primat internasional. Menurut teori monisme
kedua-duanya mungkin.

Apabila kita melihat uraian di atas tentang persoalan dualisme dan monisme dalam hubungan
antara hukum nasional dan hukum internasional belum mendapatkan jawaban yang
memuaskan. Pada satu pihak pandangan dualisme yang melihat hukum nasional dan hukum
internasional sebagai dua perangkat ketentuan hukum yang sama sekali terpisah tidak masuk
akal karena pada hakikatnya merupakan penyangkalan dari hukum internasional sebagai
suatu perangkat hukum yang mengatur kehidupan antar negara atau internasional. Pada pihak
lain pandangan monisme yang mengaitkan tunduknya negara (nasional) pada hukum
internasional dengan persoalan suatu hubungan subordinasi dalam arti struktural organis,
walaupun menurut logika lebih memuaskan, juga kurang tepat karena memang tidak sesuai
dengan kenyataannya. Kesimpulan bahwa hukum nasional tunduk pada hukum internasional
mau tidak mau harus kita terima kalau kita mengakui adanya hukum internasional.

Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional menurut hukum positif
beberapa negara

Inggris menganut suatu ajaran (doktrin) bahwa hukum internasional adalah hukum negara
(international law is the law of the land). Ajaran ini lazim dikenal dengan nama doktrin
inkorporasi (incorporation doctrine). Doktrin ini mula-mula dikemukakan oleh ahli hukum
terkenal Blackstone dalam abad ke delapan belas mula-mula dirumuskan sebagai berikut :

The law of nations, wherever any questions arises which is properly the object of its
jurisdiction is here adopted in its full extent by the common law, and it is held to be part of
the law of the land.
Doktrin yang menganggap hukum internasional sebagai bagian hukum inggris ini
berkembang dan dikukuhkan selama abad XVIII dan XIX dalam beberapa keputusan
pengadilan yang terkenal. Akan tetapi, terjadi beberapa perubahan dalam arti bahwa doktrin
itu tidak lagi diterima secara mutlak. Dalam menilai daya laku doktrin dalam hukum positif
yang berlaku di inggris harus pula dibedakan antara : (1) hukum kebiasaan internasional
(customary international law); dan (2) hukum internasional yang tertulis (traktat, konvensi
atau perjanjian). Mengenai hukum internasional yang bersumberkan perjanjian internasional
(agreements, treaties and coventions) dapat dikatakan bahwa pada umumnya perjanjian yang
memerlukan persetujuan Parlemen memerlukan pula pengundangan nasional sedangkan yang
tidak memerlukan persetujuan badan ini dapat mengikat dan berlaku secara langsung setelah
penandatanganan dilakukan. Berbagai perjanjian lainnya yang tidak begitu penting seperti
Perjanjian Pemerintah (administrative atau executive agreements) hanya memerlukan
penandatanganan dan tidak mengakibatkan perubahan ketentuan perundang-undangan
pelaksanaan (implementing legislation) dan langsung berlaku segera setelah mempunyai
kekuatan mengikat.

Dalam konstitusi masa kini (modern) ada kecenderungan mencantumkan secara tegas bahwa
hukum internasional merupakan bagian dari huku nasional, yang akan mengatasi atau
mengalahkan hukum nasional dalam hal ada pertentangan. Dalam sistem Perancis, seperti
juga dalam hal Republik Federasi Jerman, tidak dipersoalkan soal resepsi atau transformasi
perjanjian internasional itu ke dalam hukum nasional seperti halnya dengan keadaan di
Inggris dan Amerika Serikat. Mengikat dan mulai berlakunya perjanjian itu sesuai dengan
ketentuan hukum nasional tentang pengesahan perjanjian dan pengumumannya secara resmi
sudah mencukupi. Juga tidak ada perbedaan dalam kedua sistem hukum kontinental ini antara
hukum internasional yang bersumberkan kebiasaan atau perjanjian internasional dalam
menentukan kedudukan hukum internasional terhadap hukum nasional. Dalam beberapa hal
tertentu terutama dalam keadaan kita turut serta dalam suatu konvensi yang mengandung
berbagai perubahan dan pembaharuan, kelalaian demikian memang bisa menimbulkan
keadaan yang kurang diinginkan. Sebaliknya, dapat dikemukakan bahwa dalam beberapa hal
pengundangan demikian tidak terlalu perlu karena masalahnya tidak menyangkut banyak
orang atau persoalannya sangat teknis dan ruang lingkupnya sangat terbatas. Contoh
perjanjian atau konvensi demikian ialah Konvensi mengenai Hukum tentang Perjanjian
Internasional, Konvensi tentang Hubungan Diplomatik dan Konvensi ICAO. Dalam hal ada
pertentangan dengan ketentuan perundang-undangan (yang belum diubah) bagi hakim atau
pihak yang bersangkutan satu-satunya batu ujian bagi terikat atau tidaknya negara yang
bersangkutan ialah apakah perjanjian tersebut telah mengikat kita dengan sah atau tidak.

Subjek Hukum Internasional

Anggapan bahwa negara adalah satu-satunya subjek hukum internasional merupakan suatu
anggapan yang wajar sekali dalam keadaan bahwa hubungan antarnegara identik dengan
hubungan internasional. Istilah hukum antarnegara yang hingga kinikadang-kadang masih
dipergunakan orang merupakan bukti bahwa anggapan ini masih ada penganutnya. Secara
teoritis dapat dikemukakan bahwa subjek hukum sebenarnya hanyalah negara. Perjanjian
internasional seperti misalnya Konvensi-Konvensi Palng Merah tahun 1949 ialah
memberikan hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu diberikan konvensi secara
tidak langsung kepada orang perorangan (individu) melalui negara-(nya) yang menjadi
peserta konvensi itu. Melalui konstruksi demikian, banyak keadaan atau internasional
berdasarkan suatu konvensi dapat dikembalikan pada negara-(nya) yang menjadi peserta
konvensi yang bersangkutan. Pendirian yang mengatakan bahwa perjanjian internasional
hanya berlaku dalam wilayah suatu negara yang menjadi pesertanya setelah diundangkannya
undang-undang pelaksanaannya (implememnting legislation) yang lazim dikenal dengan teori
transformasi merupakan perwujudan lain dari teori bahwa hanya nagara merupakan subjek
hukum internasional. Berlawanan dengan teori di atas ada teori lain yang menyatakan
kebalikannya secara sangat ekstrim yaitu bahwa sebenarnya individu merupakan subjek
hukum yang sesungguhnya dari hukum internasional, karena dalam analisis terakhir
individulah yang merupakan subjek segala hukum nasional maupun internasional.

Dalam arti yang sebenarnya subjek hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan
kewajiban menurut hukum internasional. Kalau mau subjek hukum internasional demikian
dapat kita sebut subjek hukum internasional penuh. Negara merupakan subjek hukum
internasional dalam arti ini. Di samping itu, dalam arti yang lebih luas pengertian subjek
hukum internasional ini mencakup pula keadaan bahwa yang dimiliki itu hanya hak dan
kewajiban yang terbatas. Misalnya, kewenangan mengadakan penuntutan hak yang diberikan
oleh hukum internasional di muka pengadilan berdasarkan suatu konvensi. Contoh subjek
hukum internasional dalam arti terbatas demikian adalah orang perorangan (individu).
Apabila kita melihat persoalan secara demikian hukum internasional mengenal subjek hukum
internasional sebagai tersebut di bawah ini :

(1) Negara

Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dan telah demikian halnya
sejak lahirnya hukum internasional. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada anggapan bahwa
hukum internasional itu pada hakikatnya adalah hukum antarnegara. Dalam suatu negara
federal, yang menjadi pemgemban hak dan kewajiban subjek hukum internasional adalah
pemerintahan federal. Akan tetapi, ada kalanya konstitusi federal memungkinkan negara
bagian mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau melakukan hal yang biasanya
dilakukan oleh pemerintah federal.

(2) Takhta Suci

Tajhta Suci (Vatican) merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang
telaha da sejak dahulu di samping negara. Hal ini merupakan peninggalan-peninggalan (atau
kelanjutan) sejarah sejak zaman dahulu ketika Paus bukan hanya merupakan kepala gereja
Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Takhta Suci merupakan suatu hukum dalam
arti yang penuh dan sejajar kedudukannya dengan wakil diplomatik negara-negara lain.
Dalam kategori yang sama, yaitu subjek hukum internasional karena sejarah, walaupun dalam
arti yang jauh lebih terbatas dapat pula disebut suatu satuan yang bernama Order of The
Knights of Malta. Himpunan ini hanya diakui oleh beberapa negara sebagai subjek hukum
internasional.

(3) Palang Merah Internasional

Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri


(unik) dalam sejarah hukum internasional. Bisa dikatakan organisasi ini sebagai suatu subjek
hukum (yang terbatas) lahir karena sejarah walaupun kemudian kedudukannya (status)
diperkuat dalam perjanjian dan kemudian Konvensi-kovensi Palang Merah (sekarang
konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang). Sekarang Palang Merah
Internasional secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan
sebagai subjek hukum internasional walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas.
(4) Organisasi Internasional

Kedudukan Organisasi Internasional sebagai subjek hukum internasional sekarang tidak


diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum ada kepastian mengenai hal ini. Organisasi
Internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Buruh Indonesia
(ILO) mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam Konvensi-konvensi
internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini
sebenarnya ini sudah dapat dikatakan bahwa PBB dan Organisasi Internasional semacamnya
merupakan subjek hukum internasional, setidak-tidaknya menurut hukum internasional
khusus yang bersumberkan konvensi internasional tadi.

(5) Orang perorangan (Individu) :

Dalam arti yang terbatas orang perorangan sudah agak lama dapat dianggap sebagai subjek
hukum internasional. Lebih penting artinya bagi perkembangan pengertian individu sebagai
subjek hukum internasional yang bertujuan melindungi hak minoritas, ialah keputusan
Mahkamah Internasional Permane (Permanent Court of International Justice) dalam perkara
yang menyangkut pegawai kereta api Danzig (Danzig RailwayOfficials Case). Dalam
perkara ini diputuskan oleh Mahkamah Apabila suatu perjanjian internasional memberikan
hak tertentu kepada orang perorangan, hak itu harus diakui dan mempunyai daya laku dalam
hukum internasional, artinya diakui oleh suatu badan peradilan internasional. Sistem jaminan
hak (asasi) individu yang disediakan oleh Konvensi Eropa sangat menarik perhatian dari
sudut status individu dalam hukum internasional. Pada satu pihak jangkauannya sangat jauh
karena individu dapat mengadukan negaranya sekalipun di hadapan Mahkamah Eropa, yang
berarti bahwa suatu negara harus mempertanggungjawabkan tindakannya terhadap warga
negaranya sendiri di hadapan suatu pengadilan internasional. Suatu kemajuan dibandingkan
dengan keadaan umumnya, pengaduan demikian diperiksa di muka pengadilan nasional.
Namun, di pihak lain Konvensi Eropa menentukan bahwa individu tidak dapat langsung
mengajukan gugatannya, melainkan harus melakukannya melalui negaranya atau melalui
Komisi Eropa.

(6) Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent)

Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak
yang bersengketa (belligerent) dalam beberapa keadaan tertentu. Akhir-akhir ini timbul
perkembangan baru yang walaupun mirip dengan pengakuan status pihak yang bersengketa
dalam perang, memiliki ciri lain yang khas, yakni pengakuan terhadap gerakan pembebasan
seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Kelainan itu karena pengakuan gerakan
pembebasan demikian merupakan penjelmaan dari suatu konsepsi baru yang terutama dianut
oleh negara-negara dunia ke tiga yang didasarkan atas pengertian bahwa bangsa-bangsa
(peoples) dianggap mempunyai beberapa hak asasi seperti (1) hak menentukan nasib sendiri;
(2) hak secara bebas memilih siste ekonomi, politik dan sosial sendiri dan (3) hak menguasai
sumber kekayaan alam dari wilayah yang didudukinya. Kita tidak dapat lagi begitu saja
mengatakan bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antara negara-negara, dan
bahwa negara merupakan satu-satunya subjek hukum internasional. Dalam hukum
internasional masa kini jumlah subjek hukum internasional yang bukan negara telah kian
bertambah. Juga melihat substansinya hukum internasional masa kini makin banyak
memperhatikan hak dan kepentingan orang perorangan dan mengatur hubungan (hukum)
yang mencakup subjek hukum bukan negara. Kesemuanya ini merupakan penjelmaan dari
masyarakat internasional itu sendiri yang sedang mengalami suatu proses perkembangan dan
perubahan. Namun, betapapun juga perubahan yang sedang terjadi, kenyataan masih belum
bisa dikesampingkan begitu saja. Hukum internasional untuk sebagian besar masih mengatur
hubungan antara negara dan munculnya individu dan satuan badan hukum lainnya bukan
negara sebagai subjek hukum internasional masih dapat dianggap sebagai suatu pengecualian.

Sumber Hukum Internasional

Sumber hukum memiliki banyak arti, salah satunya kata sumber hukum ada kalanya
dipergunakan juga dalam arti lain, yaitu : kekuatan atau faktor apakah (politis,
kemasyarakatan, ekonomis, teknis dan psikologis) yang membantu dalam pembentukan
hukum sebagai suatu bentuk perwujudan atau gejala sosial dalam kehidupan masyarakat
manusia. Dengan perkataan lain, sumber hukum ini meneliti faktor kausal atau penyebab
yang turut membantu dalam pembentukan suatu kaidah. Persoalan ini lebih terletak dalam
bidang luar ilmu hukum (ekstra yuridis) sebagaimana juga masalah sumber hukum material
merupakan soal ekstra yuridis yakni pada hakikatnya merupakan persoalan falsafah. Bagi
seorang yang belajar hukum positif yaitu hukum yang berlaku seperti misalnya mahasiswa
fakultas hukum atau seorang pengacara atau pejabat diplomatik, yang terpenting di antara
tiga arti kata sumber hukum di atas adalah sumber hukum dalam arti formal.
1. Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-
bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.

Dalam hukum internasional dewasa ini ada kecenderungan mengatur hukum perjanjian antara
organisasi internasional dengan organisasi internasional atau antara organisasi inrenasional
dengan subjek hukum internasional lain secara tersendiri. Kecenderungan yang disebabkan
oleh perkembangan yang pesat dari organisasi internasional dilapangan dan adanya ciri
khusus perjanjian yang diadakan badan-badan demikian tampak misalnya dalam konferensi
internasional mengenai Hukum Perjanjian Internasional yang diadakan di Vienna pada tahun
1968. Konvensi Hukum Perjanjian Vienna dengan tegas menyatakan bahwa konvensi ini
mengatur perjanjian antaranggota. Maksudnya, bukan untuk menyatakan bahwa hanya
negaralah yang dapat menjadi peserta dalam perjanjian melainkan konferensi menganggap
perlu mengatur perjanjian yang diadakan oleh organisasi-organisasi atau badan internasional
secara tersendiri.

Undang-undang RI No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi atau


pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan
presiden. Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan
materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama perjanjian. Klasifikasi menurut
materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kaoastian hukum dan keseragaman atas bentuk
pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang.

Terdapat enam klasifikasi perjanjian menurut materi yang pengesahannya perlu dilakukan
dengan undang-undang, yaitu perjanjian yang berkenaan :

1. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara

2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI

3. kedaulatan atau hak berdaulat negara

4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup.

5. pembentukan kaidah hukum baru

6. pinjaman dan/ hibah luar negeri


a. Tentang hal menbuat perjanjian internasional

Tentang hal membuat perjanjian internasional dapat dibagi dalam 3 tahap :

1. perundingan (negotiation)

2. penandatanganan (signature)

3. pengesahan (ratification)

b. Tentang hal berakhir atau ditangguhkan berlakunya peerjanjian

Secara umum suatu perjanjian bisa punah atau berakhir karena beberapa sebab antara lain :

1. karena telah tercapai tujuan perjanjian itu

2. karena habis waktu berlakunya perjanjian itu

3. karena punahnya salah satu pihak peserta perjanjian atau punahnya objek perjanjian itu

4. karena adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian itu

5. karena diadakannya perjanjian antara para peserta kemudian yang meniadakan perjanjian
yang terdahulu

6. karena dipenuhinya syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan


perjanjian itu sendiri

7. diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterima pengakhiran
perjanjian itu oleh pihak lain.

Pelanggaran perjanjian oleh salah satu pihak memberikan alasan kepada peserta lain untuk
mengakhiri atau menangguhkan berlakunya perjanjian untuk sebagian atau seluruhnya.
Dilihat dari sudut hukum, pelanggaran perjanjian oleh suatu pihak peserta sama sifatnya
dengan pembatalan perjanjian dengan perbedaan bahwa pembatalan berlaku untuk seluruh
perjanjian sedangkan pembatalan atau penangguhan yang merupakan perjanjian multilateral.
2. Kebiasaan Internaasional

Kebiasaan internasional merupakan sumber hukum perlu terdapat unsur-unsur, yaitu :

1. harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum

2. kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum

3. Prinsip Hukum Umum

Sumber hukum ketiga menurut Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional ialah asas
hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Yang dimaksudkan dengan asas
hukum umum ialah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern.

Adanya asas hukum umum sebagai sumber hukum primer tersendiri disamping perjanjian
dan kebiasaan internasional sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum
internasional sebagai sistem hukum positif. Pertama dengan adanya sumber hukim ini
mahkamah yiak bisa menyatakan non liquest yakni menolak mengadili perkara karena
tiadanya hukum yang mengatur persoalan yang diajukan. Berhubungan erat dengan hal ini
ialah bahwa kedudukan Mahkamah Internasional sebagai badan yang membentuk dan
menemukan hukum baru diperkuat dengan adanya sumber hukum yang ketiga ini.
Keleluasaan bergerak yang diberikan oleh sumber hukum ini kepada mahkamah dalam
membentuk hukum baru sangat bermanfaat bagi perkembangan hukum internasional.

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Peranan penting dari wilayah negara dalam hukum internasional tercermin dalam prinsip
penghormatan terhadap integritas kewilayahan yang dimuat dalam pelbagai instrumen
internasional, misalnya dalam bentuk larangan untuk melakukan intervensi terhadap masalah-
masalah internasl dari suatu negara.

Dalam hukum internasional perolehan dan hilangnya wilayah negara akan menimbulkan
dampak terhadap kedaulatan negara atas wilayah itu. Oleh karena itu, hukum internasional
tidak hanya mengatur perolehan atau hilangnya wilayah itu, tetapi yang lebih penting adalah
dampak hukum terhadap kedaulatan negara dan penduduk yang tinggal di wilayah tersebut.
Kedaulatan negara atas wilayahnya memiliki dua aspek baik posotif maupun negatif.

Setiap negara memiliki untuk menambah atau memperluas wilayahnya. Dilihat dari praktik
negara, ada beberapa cara bagi suatu negara untuk dapat memperluas wilayahnya yaitu :

1. Akresi

Akresi adalah penambahan wilayah yang disebabkan oleh proses alamiah. Sebagai contoh
adalah terbentuknya pulau yang disebabkan oleh endapan lumpur di muara sungai, atau
mengeringnya bagian sungai disebabkan oleh terjadinya perubahan aliran sungai.
Penambahan wilayah dalam bentuk pulau baru dapat juga disebabkan oleh letusan gunung
berapi di laut.

2. Cessi

Merupakan salah satu cara yang banyak digunakan untuk memperoleh tambahan wilayah.
Dasar pemikiran yang melandasi cessi adalah bahwa penyerahan suatu wilayah atau bagian
wilayah adalah hak yang melekat pada kedaulatan negara. Cessi merupakan cara penyerahan
wilayyah secara damai yang biasanya dilakukan melalui suatu perjanjian perdamaian Yng
mengakhiri perang.

3. Okupasi

Okupasi menunjukkan adanya penguasaan terhadap suatu wilayah yang tidak berada dibawah
kedaulatan negara manapun yang dapat berupa suatu terra nullius yang baru ditemukan.
Penguasaan tersebut harus dilakukan oleh negara dan bukan orang perorangan, secara efektif
dan harus terbukti adanya kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari
kedaulatan negara.

4. Preskripsi

Preskripsi adalah pelaksanaan kedaulatan oleh suatu negara secara de facto dan damai untuk
kurun waktu tertentu, bukan terhadap terra nullius melainkan terhadap wilayah yang
sebenarnya berada dibawah kedaulatan negara ini. Kesulitan untuk dapat menerima
preskripsi sebagai asas hukum internasional dalam perolehan wilayah adalah bahwa tidak
banyak praktik negara untuk itu.

5. Aneksasi

Aneksasi adalah cara perolehan wilayah secara paksa berdasarkan dua kondisi, yaitu :

1. wilayah yang dianeksasi telah dikuasai oleh negara yang menganeksasinya

2. pada waktu suatu negara mengumumkan kehendaknya untuk menganeksasi suatu wilayah ,
wilayah tersebut telah benar-benar berada dibawah penguasaan negara tadi.

Anda mungkin juga menyukai