Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Rinosinusitis (RSK) merupakan istilah yang lebih tepat karena sinusitis


jarang tanpa didahului rinitis dan tanpa melibatkan inamasi mukosa hidung.
Rinosinusitis menjadi penyakit berspektrum inamasi dan infeksi mukosa hidung
dan sinus paranasal. Rinosinusitis didenisikan sebagai gangguan akibat inamasi
mukosa hidung dan sinus paranasal; dikatakan kronik apabila telah berlangsung
sekurangnya 12 minggu.(1)

Rinosinusitis kronik mempunyai prevalensi yang cukup tinggi.


Diperkirakan sebanyak 13,4-25 juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan
dengan rinosinusitis atau akibatnya. Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan mengenai
10% - 30% populasi. Sebanyak 14% penduduk Amerika menderita rinosinusitis,
dan sekitar 15% diperkirakan menderita RSK. (2)
Sinus paranasalis seperti bagian alat pernafasan lain, dilapisi oleh epitel
pseudostratied kolumner berlapis semu bersilia.(3) Mukosa sinus paranasal
merupakan kelanjutan mukosa kavum nasi meskipun lebih tipis.(4) Membran
basal tampak lebih tipis, jaringan subepitel memiliki jaringan ikat tipis yang
melekat kuat pada periosteum, dan kelenjar seromusin relatif lebih sedikit. Sinus
paranasalis mempunyai sistem mukosilia, terdiri dari gabungan epitel bersilia dan
lapisan mukus, berfungsi proteksi dan melembapkan udara inspirasi.Lapisan
mukus didorong oleh silia menuju ke ostium sinus. Transportasi mukus sinus
diawali dari dasar sinus dengan gerakan menyerupai bintang, sepanjang dinding
depan, medial, posterior dan lateral, serta atap sinus bertemu di ostium.(46)

Polip nasi sudah dikenal sejak 4000 tahun yang lalu. Polip nasi
digambarkan sebagai buah anggur yang turun melalui hidung. Istilah polip nasi
berasal dari kata Yunani poly-pous yang berarti berkaki banyak. Polip nasi
adalah kelainan mukosa hidung dan sinus paranasal terutama kompleks
osteomeatal di meatus nasi medius berupa massa lunak yang mengandung banyak
cairan, bertangkai, bentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan.
Permukaannya licin dan agak bening karena banyak mengandung cairan. Sering

1
bilateral dan multiple. Polip nasi juga merupakan kantung dari edema mukosa dan
kebanyakan berasal dari mukosa sinus ethmoid.(7)
Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di
bagian THT . Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2-4,3%. Polip
nasi dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip
hidung biasanya terjadi pada rentang usia 30-60 tahun, dimana laki-laki lebih
dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1. (8)
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
4,3% di Filandia. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak. Anak dengan polip
nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya cystic fibrosis
karena cystic fibrosis merupakan faktor risiko bagi anak-anak untuk menderita
polip. Di Indonesia prevalensi polip nasi sebesar 4,63% dari semua pengunjung
poliklinik THT-KL RS.Dr. Soetomo Surabaya dengan rasio pria dan wanita 2-4:1.
(8)
Polip nasi biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip nasi belum
diketahui dengan pasti tetapi ada keragu raguan bahwa infeksi dalam hidung
atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip
berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang
kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip
banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil)
dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah.(7)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Anatomi dan Fisiologi


a. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke
bawah :
Pangkal hidung (bridge)
Dorsum nasi
Puncak hidung
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar
dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks
(akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang
terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
Superior : os frontal, os nasal, os maksila
Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor
dan kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel.(7)

Untuk mengenal perdarahan dari hidung luar dapat di bagi menjadi 3 bagian:(7)
- Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
- Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
- Angularis (cabang dari A. Fasialis)

3
Hidung luar dipersarafi oleh dua cabang nervus beserta ramusnya:
- Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
- Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
b. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media.(7)
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari
tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah.
Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid
yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema
dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini. (7)
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina
yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang
merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak
submukosa yang berjalan bersama sama arteri.(7)
Persarafan :
Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior.
Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor
menjadi N. Sfenopalatinus.(7)
c. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang
kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal

4
mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir
(mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet. (7)
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat obatan. (7)
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.(7)

Gambar 1. Anatomi Hidung Potongan Sagital

Sinus Paranasal
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisa hidung.
Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut:

5
Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksilaris kanan dan kiri ( antrium highmore) dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Semua sinus dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan
mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing. Pada meatus medius merupakan muara dari sinus maksila,
sinus frontalis, dan ethmoid anterior. Sedangkan meatus superior yang merupakan
ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid
posterior dan sinus sfenoid.

Gambar 2. Anatomi dalam Hidung

a. Sinus maksilaris
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasalis terbesar. Sinus ini sudah ada
sejak lahir dan mencapai ukuran maksimum pada saat dewasa. Sinus
maksilaris adalah sinus yang pertama berkembang. Dasar sinus maksilaris
berhubungan dengan gigi P1, P2, M1, dan M2. Ostium sinus maksilaris
lebih tinggi dari dasarnya.

6
b. Sinus ethmoidalis
Sinus ethmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru lahir.
Sel ethmoid sering ditemukan diatas orbita, sfenoid lateral, ke atap maksila
dan sebelah anterior diatas sinus frontal. Sinus etmoid mendapatkan
perdarahan dari a. Karotis ekstrena dan interna dimana a.sfenopalatina dan
a.oftalmika mendarahi sinus dan pembuluh vena mengikuti arterinya. (9)
c. Sinus frontalis
Sinus frontalis dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagian besar sel-sel
etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saat kelahiran
dan mulai mengeras sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai usia 5
tahun dan berlanjut sampai usia belasan tahun. Sinus frontalis
mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melaui a. Supraorbitan
supratrochlear. Aliran pembuluh vena melaui v.oftalmica superior menuju
sinus karvernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding posterior
yang mengalir kesinus dural. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang n V.1.
secara khusus, nervus-nervus ini meliputi cabang supraorbita dan
supratrochlear.
d. Sinus sfenoidalis
Sinus sfenoid tidak terbentuk dari kontong rongga hidung. Sinus ini
dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidak
berkembang sampai usia 3 tahun. Sinus mencapai ukuran penuh pada usia
18 tahun. Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior,
sedangkan bagian lain mendapat aliran darah dari a. Sfenopalatina. Aliran
pembuluh vena melalui v.maksilaris ke v.jugularis dan pleksus pterigoid.
Sinus sfenoid dipersarafi oleh cabang n. V1 dan V.2, n. Nasociliaris
berjalan menuju n.etmoid posterior dan mempersarafi atap sinus. Cabang-
cabang n. Sfenopalatina mempersarafi dasar sinus. (10)

7
2.2. Rhinosinusitis
2.2.1 Definisi

Rinosinusitis (termasuk polip hidung) didefinisikan sebagai3 : Inflamasi


hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala,
salah satunya harus termasuk sumbatan hidung / obstruksi / kongesti atau pilek
(sekret hidung) anterior / posterior), nyeri / tekanan wajah, penurunan / hilangnya
penghidu.(11)

2.2.2. Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener, dan diluar negri adalah penyakit
fibrosis kistik. (11)

2.2.3 Klasifikasi
RSK ditandai penebalan mukosa, hiperplasi sel goblet, brosis subepitel
dan inamasi permanen. Remodelling mukosa sinus mengarah pada gangguan
keseimbangan antara deposit dan degradasi kolagen dan matriks protein lain.
Peningkatan sintesis broblas merupakan respon adanya aktivasi eosinol beserta
produknya, termasuk probrotic transforming growth factor- (TGF-). Sel
inamasi yang banyak terdapat di sinus antara lain : sel T, eosinol, basol, dan
neutrol memiliki jumlah menonjol di mukosa sinus.

Pinheiro et al. (1998) membagi rinosinusitis ditinjau dari lima aksis : 1)


gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik), 2) lokasi sinus yang terkena
(maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan sphenoidalis), 3) organisme yang terlibat
(virus, bakteri, atau jamur), 4) keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa
komplikasi), dan 5) modikasi penyebab spesik (atopi, obstruksi komplek
osteomeatal). Klasikasi lain didasarkan ditemukan tidaknya alergi, membagi
rinosinusitis menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi

8
dibagi dalam rinosinusitis infeksi dan noninfeksi. Sedangkan untuk derajat
sinusitis digunakan gambaran radiologis untuk menunjukkan berat ringannya
penyakit.

2.5 Patofisiologi
Penyakit sinus terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret.
Gangguan salah satu faktor atau kombinasi faktor-faktor tersebut mengubah siologi dan
menimbulkan rinosinusitis. Obstruksi ostium menimbulkan drainase tidak adekuat,
berakibat penumpukan cairan dalam sinus; pada sinus maksilaris menjadi penting karena
mukus dibersihkan melawan pengaruh gravitasi. Obstruksi menyebabkan hipoksi lokal
dalam sinus, menimbulkan perubahan pH, kerusakan epitel dan fungsi silia. Cairan dalam
sinus menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri, menimbulkan inamasi
jaringan dan penebalan mukosa sehingga menambah obstruksi ostium.

2.2.3 Gejala Klinis


Gejala RSK berbeda-beda, dari sangat ringan hingga berat.Gejala bisa
dikelompokkan menjadi gejala subyektif dan obyektif.Gejala subyektif meliputi
gejala nasal dan nasofaringeal, faring dan nyeri wajah.Gejala nasal mencakup
obstruksi hidung, sekresi hidung dan post nasal drip.Sering disertai epistaksis dan
gangguan olfaktorius.Gejala faring berupa rasa ke-ring di tenggorokan dan gejala
nyeri wajah akibat keadaan vakum di sinus.Nyeri pada sinusitis maksilaris timbul
di daerah pipi atau zigomatik, sedangkan sinusitis etmoidalis menimbulkan nyeri
daerah sela mata. Untuk sinusitis frontalis nyeri terasa di daerah dahi, sedangkan
sinusitis sphenoidalis menimbulkan nyeri di daerah puncak kepala atau di
oksipital (6).

Tanda obyektif ditentukan melalui pemeriksaan rinoskopi anterior,


rinoskopi posterior dan pemeriksaan faring. Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat
menemukan tanda inamasi yaitu mukosa hiperemis, edema, discharge
mukopurulen yang terlihat di meatus media. Pemeriksaan rinoskopi posterior
menemukan kumpulan pus di permukaan palatum, dapat berasal dari tiap sinus
tetapi paling sering dari sinus maksilaris. Pus dapat tampak menetes melalui ujung
posterior konka inferior dari meatus media. Pada pemeriksaan farings dapat

9
terlihat pus mengalir sampai ke bawah melalui sela dinding lateral faring dan
umumnya berasal dari sinus maksilaris, frontalis atau ethmoidalis.(6,12). Pada
pemeriksaan endoskopi dapat dilihat edema dan hiperemi di meatus media atau
bulla ethmoid dan dan jaringan granulasi.(13)

2.2.4 Diagnosis

Diagnosis RSK dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan sik


dan penunjang. Anamnesis didasarkan pada gejala seperti obstruksi hidung,
kongesti, rasa nyeri di wajah, nyeri kepala, gangguan discharge hidung, post nasal
drip, nafas bau, batuk, gangguan penghidu dengan atau tanpa telinga terasa penuh,
faringitis, fatigue, malaise atau demam yang telah berlangsung selama 12 minggu.
(1)

Pemeriksaan sik harus menemukan salah satu tanda inamasi yaitu 1)


discharge berwarna di saluran nafas, polip atau pembengkakan konka polipoid
menggunakan rinoskopi anterior atau endoskopi setelah aplikasi dekongestan; 2)
edema dan hiperemi di meatus media atau bulla ethmoid yang diidenti kasi
menggunakan endoskopi nasal; 3) eritema lokal atau keseluruhan, edema dan
jaringan granulasi.(1)

Radiologi Sinus Paranasal

Penyakit inamasi sinus membutuhkan diagnosis yang akurat sebagai


kunci manajemen terapi termasuk untuk menetapkan etiologi dan faktor
predisposisi.Para ahli menyepakati bahwa rinosinusitis disebabkan oleh obstruksi
clearance mukosilia dari sinus paranasal, khususnya daerah KOM. Pemeriksaan
radiologi diharapkan dapat menggambarkan secara akurat morfologi regional dan
menunjukkan obstruksi osteomeatal.

Foto polos atau radiogra standar Foto polos sinus paranasal merupakan
metode mudah dan cepat untuk evaluasi struktur maksilofasial. Ada empat posisi
yang sering adalah posisi Waters, Townes, lateral, dan submentoverteks. Paparan
radiasi berkisar 40-60 mSv.Pemeriksaan tersebut memuaskan untuk sepertiga
bawah kavum nasi dan sinus maksila. Gambaran sinus ethmoid anterior et

10
posterior, sinus frontal, dan sphenoid sering kurang baik akibat penumpukan
bayangan.(14)

Penebalan mukosa lebih dari 4 mm, opasitas komplit sinus maksilaris, dan
gambaran air uid level merupakan gambaran radiologis utama yang digunakan
untuk diagnosis sinusitis pada foto polos. Gambaran opasitas sinus maksilaris
tersebut dapat akibat penebalan dinding anterior sinus atau jaringan lunak yang
tebal. Polip sinus juga dapat memberi gambaran seperti air uid level.(14)

Beberapa peneliti membandingkan roentgen polos dan CT scan koronal


pada bayi dan anak dengan sinusitis rekuren. Hasilnya dari 70 pasien terdapat
80% mempunyai CT scan abnormal dan 75% roentgen tidak berkorelasi terhadap
CT scan. Berdasarkan evaluasi pada 21 pasien didapatkan kesesuaian korelasi
roentgen polos dengan CT scan pada penderita sinusitis akut sebesar 87%.

CT scan menyediakan gambaran hidung dan sinus paranasal yang lebih


detail dibandingkan roentgen. Ahli THT sangat membutuhkan gambaran KOM
dan kelainan yang mungkin terdapat di sinus paranasal untuk mendapatkan
diagnosis akurat dan rencana terapi selanjutnya. Potongan koronal CT scan
memberikan gambaran akurat sinus ethmoid anterior, 2/3 kavum nasi bagian atas,
recessus frontalis.Potongan lintang CT scan dapat menilai kondisi soft tissue di
kavum nasi, sinus paranasal, orbita, dan intrakranial.Perbedaan yang teridenti
kasi antara komponen kavum nasi yaitu udara - tulang, lemak - orbita, dan soft
tissue udara. Perbedaan densitas juga mempermudah identi kasi sinus frontal,
recessus frontal, processus uncinatus, infundibulum ethmoid, bulla ethmoid, sinus
maksila, ostia sinus maksilaris, meatus media, sinus ethmoid, sinus sphenoid, dan
recessus sphenoid. Gambaran yang jelas sangat mempermudah diagnosis dan
rencana terapi.(14)

Potongan koronal merupakan potongan terbaik karena mampu


menunjukkan hubungan antara otak dan sinus ethmoid, orbita dan sinus paranasal,
juga KOM. Endoskopi hanya memberikan gambaran anatomi yang terletak di
depan endoskopi, sedangkan CT scan mampu mende nisikan daerah yang tidak
tampak pada endoskopi. Pasien diposisikan prone dengan hiperekstensi di meja

11
scanner.Kondisi KOM ideal diperoleh dengan CT scan difokuskan pada kavum
nasi dan sinus paranasal.Bila pasien tidak dapat posisi prone maka dibuat
potongan aksial dari palatum hingga melalui sinus frontalis.(14)

Pelaksanaan CT scan sering kali terkendala biaya, maka dikerjakan CT


scan terbatas untuk mengatasi permasalahan dan meningkatkan nilai diagnosis
foto polos sinus paranasal. Jika perkiraan jarak sinus sphenoid hingga nares
sekitar 7,5 cm maka CT scan standar dengan jarak antara 3 mm akan
menghasilkan 25 gambar. CT scan terbatas dikerjakan dengan jarak antar
potongan beragam mulai 3, 4, 5 hingga 10 mm. sentrasi kavum nasi dan sinus
paranasal.(14)

Penilaian CT scan meliputi 6 tahap, yaitu: 1) melihat gambaran dari


anterior ke posterior (identikasi sinus frontalis, sinus ethmoidalis, bulla
ethmoidalis, sinus maksilaris, sinus sphenoidalis, kavum nasi, orbita, fossa kranii
media, dan septum deviasi), 2) melihat lamina papiracea, processus uncinatus, dan
konka media, 3) melihat recessus frontalis, 4) perhatikan asimetri kanankiri
dengan melihat basis kranii, 5) indentikasi sinus sphenoidalis, melihat septum
intersphenoidalis, 6) melihat perluasan penyakit.(14)

Perbandingan CT scan koronal terbatas dan foto polos sinus paranasal CT


scan potongan koronal terbatas telah diteliti sensitivitas dan spesi sitasnya
dibandingkan dengan foto polos sinus paranasal. CT scan 4 slice dibandingkan CT
scan standar memiliki sensitivitas 81,25%, spesisitas 89,47%, nilai duga positif
92,86, dan nilai duga negatif 73,91.(15) Penelitian Goodman et al. (1995)
mendapatkan bahwa foto polos sinus paranasal memiliki sensitivitas dan spesi
sitas secara keseluruhan 54% dan 64%.(16)Penelitian serupa oleh Garcia et al.
(1994) mendapatkan kesesuaian foto polos mendeteksi sinusitis adalah 20% untuk
sinus frontal, 0% sinus sphenoid, dan 54% sinus ethmoid; sinus maksila 75%.
Sensitivitas dan spesi sitas posisi Waters adalah 76% and 81%. Sinus CT scan
mempunyai kesesuaian dibandingkan CT standar masing-masing 100% untuk
sinus frontal, 82% untuk sinus sphenoid, 73% untuk sinus ethmoid, dan 97%
untuk sinus maksila. Kesesuaian secara keseluruhan bila dibandingkan CT scan
standar adalah 88% (16)

12
Pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk konrmasi klinis.Pada rontgen
sinus paranasalis didapatkan air uid level, pengkabutan atau penebalan mukosa
pada satu atau lebih sinus.(3,5)CT scan dapat menggambarkan penebalan mukosa,
perubahan struktur tulang maupun kondisi osteomeatal komplek.(1) Sensititas
dan spesisitas radiologi sinus paranasal 85% dan 80% untuk posisi Waters, untuk
tiga posisi 90% dan 60% sedangkan CT scan lebih dari 95% dan 61%. (17)

2.2.5 Komplikasi
Orbital
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengn mata (orbita).
Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan
maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul adalah edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita.
Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak, dan
trombosis sinus kavernosus
Paru
Kealainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru disebut sini-
bronkhitis.(11)
2.2.6 Tatalaksana
Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif
dan operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas
sekret dan mengeradikasi kuman. Jika telah ditemukan faktor predisposisinya
maka dapat dilakukan tatalaksana yang sesuai yaitu dengan penangan konservatif,
dengan pemberian antibiotik yangsesuai untuk mengatasi infeksinya serta obat-
obat-obatan simptomatis lainnya seperti anlgetik berupa aspirin atau preparat
kodein dan kompres hangat wajah dapat menghilangkan rasa sakit. Dekongestan
misalnya pseudoefedrin, dan tetes hidung poten seperti fenilefrin dan
oksimetazolin bermanfaat untuk mengurangi udem sehingga terjadi drainase
sinus. Terapi pendukung lainnya seperti mukolitik, antipiretik dan antihistamin.(5)
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. (11)

13
2.3 Polip Nasi
2.3.1 Definisi
Polip nasi adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung. Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu abuan,
mengkilat, lunak, dapat juga berwarna pucat, kemerahan dan kekuningan. Polip
kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat
bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah
belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koana. (1,3)

2.3.2 Etiologi
Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Penyakit ini masih
banyak menimbulkan perbedaan pendapat, terutama mengenai etiologi dan
patogenesisnya. Terjadinya polip nasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti
umur, alergi, infeksi dan inflamasi. Deviasi septum juga dicurigai sebagai salah
satu faktor yang mempermudah terjadinya polip nasi. Penyebab lainnya diduga
karena adanya ketidakseimbangan vasomotor.(1,3)
Menurut beberapa peneliti, polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat
reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada
pembentukan polip hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu
raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan
bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan
permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke
dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan
interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung
saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan
jarang pada anak anak. Pada anak anak, polip mungkin merupakan gejala dari
kistik fibrosis. (19)
Faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
-
Alergi terutama rinitis alergi.
-
Sinusitis kronik.
-
Iritasi.

14
-
Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka.(19)

2.3.3 Klasifikasi
Tabel 1. Stadium Polip Menurut Mackay and Lund 1995
Kondisi Polip Stadium
Tidak ada polip 0
Polip terbatas pada meatus media 1
Polip sudah keluar dari meatus media 2
belum memenuhi rongga hidung
Polip yang masif (memenuhi rongga 3
hidung
Sumber: Assanasen & Naclerio 2001.(20)

2.3.4 Patofiologi
Patogenesis dari polip hidung masih tidak diketahui. Terbentuknya polip
berhubungan dengan inflamasi, disfungsi sistem saraf otonom, dan faktor genetik.
Banyak teori yang menduga bahwa polip merupakan manifestasi akhir dari
inflamasi kronik pada cavum nasi.(21,22)

Beberapa teori telah dipublikasikan untuk menjelaskan perjalanan penyakit


dari polip hidung, meskipun tidak ada yang benar-benar mengetahui bagaimana
polip terbentuk. Para peneliti mempercayai kalau polip merupakan exvaginasi dari
hidung normal atau mukosa sinus yang terisi dengan stroma edema. Peneliti lain
mempercayai polip merupakan sesuatu yang timbul dari mukosa. Berdasarkan
penelitian, Bernstein menyimpulkan peradangan terjadi pada lateral dinding hidng
atau mukosa sinus akibat dari reaksi tubuh terhadap virus-bakteri dan turbulensi
aliran udara secara sekunder. Daerah etmoid anterior sering mengalami turbulensi
udara dan penyempitan akibat inflamasi mukosa, ulserasi atau prolapse mukosa
dapat terjadi, dengan epitelisasi dan pembentukan kelenjar baru.(21,22)

Selama proses ini, polip dapat terbentuk dari mukosa akibat inflamasi pada
sel-sel epitel, sel endotel pembuluh darah, dan sel fibroblast yang mempengaruhi
integritas sodium channel pada permukaan lumen daerah mukosa hidung. Hal ini
mengakibatkan peningkatan absorpsi sodium, retensi air dan terbentuknya polip.
(21,22)

15
Teori lain melibatkan ketidakseimbangan vasomotor dan rupture epitel.
Teori ketidakseimbangan vasomotor menjelaskan bahwa peningkatan
permeabilitas vaskular dan gangguan regulasi vaskular mengakibatkan
degranulasi dari produk sel mast (histamine). Efek histamine yang
berkepanjangan ditandai dengan bengkaknya polip yang diperburuk dengan
obstruksi drainase vena. Teori ini didasarkan oleh karena ada bagian polip yang
tidak memiliki pembuluh darah yang baik dan tidak ada inervasi vasokonstriktor.
(21,22)

Teori ruptur epitel menunjukan bahwa penyakit yang meningkatkan turgor


jaringan seperti infeksi dan alergi akan menyebabkan lamina propria prolaps dan
terbentuk polip. Pasien dengan fibrosis kistik memiliki defek pada chloride
chanel yang diregulasi oleh cyclic adenosine monophosphate (cAMP), dimana
akan meningkatkan transport abnormal melewati puncak membrane sel dari epitel.
(21,22)

2.3.5 Gambaran Mikroskopik


Secara mikroskopik, tampak epitel dari polip serupa dengan mukosa
hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang
sembab. Sel selnya terdiri limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag.
Mukosa mengandung sedikit sel sel goblet. Pembuluh darah sangat sedikit dan
tidak mempunyai serabut saraf. Polip yang sudah dapat mengalami metaplasi
epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik,
gepeng berlapis tanpa keratinisasi.(7)

2.3.6 Gejala Klinis


Manifestasi dari polip hidung tergantung dari ukuran polip. Polip yang
kecil mungkin tidak bergejala dan dapat diidentifikasi saat pemeriksaan rutin
apabila lokasi polip terdapat di depan atau pinggir konka media. Polip yang
terletak dibelakang tidak dapat dilihat saat pemeriksaan rutin rinoskopi anterior.
Polip kecil yang berada di meatus media akan menimbulkan blockade aliran sinus
dan menyebabkan gejala sinusitis.(21)

16
Polip dapat bergejala sebagai obstruksi saluran nafas, postnasal drainage,
nyeri kepala, mengorok, dan rinorrea. Hiposmia atau anosmia dapat menjadi
petunjuk bahwa terdapat polip atau sinusitis kronik.(21)

Jumlah polip yang sangat banyak atau sebuah polip yang besar seperti
polip antral-choanal yang menutup kavum nasi, nasofaring atau bahkan keduanya
dapat mengakibatkan gejala sumbatan pada saat tidur dan bernafas melalui mulut
dalam waktu yang lama.(21)

Pada anak-anak, penilaian dinding belakang dari mulut dapat menunjukan


tanda polip (seperti postnasal drainage dengan sinusitis kronik). Polip yang besar
dapat menonjol ke bagian orofaring posterior dari nasofaring, hal ini akan
mengakibatkan perlukaan dibelakan palatum dan uvula dan mungkin menekan
palatum kearah depan dan bawah.(21)

Lakukan pemeriksaan otoskop karena polip dapat mengakibatkan


disfungsi tuba eustachius dan gangguan pada telinga tengah baik terjadinya
akumulasi cairan ataupun infeksi. Berhati hati saat pemeriksaan nervus kranialis
untuk memperkirakan dimana etak polip apabila berpotensial untuk membesar ke
organ-organ vital disekitarnya.(21)

2.3.7 Diagnosis

Pemeriksaan Endoskopi

Endoskopi dilakukan untuk melihat polip yang masih kecil dan belum
keluar dari kompleks osteomeatal. memberikan gambaran yang baik dari polip,
khususnya polip berukuran kecil di meatus media.(23)

Rigid or flexible endoscopy merupakan metoda terbaik untuk pemeriksaan


rongga hidung dan nasofaring untuk secara penuh dapat menilai anatomi hidung
dan menentukan tingkat dan lokasi polip hidung. Untuk anak kecil flexible
nasopharyngoscope fiberoptic sering digunakan karena lebih sedikit traumatis
karena anak-anak mungkin menggerakkan kepala mereka karena merasa cemas
atau tidak nyaman.(23)

17
Pada anak-anak dan remaja yang lebih kooperatif, rigid endoscopy dapat
digunakan untuk menilai meatus media dan sphenoethmoid recess. Dilakukan
Pemberian dekongestan dan anesthesia yang cukup pada rongga hidung sebelum
melakukan prosedur endoscopic pada anak yang berusia lebih dari 6 bulan.(23)

Pada anak-anak, mengevaluasi dinding posterior rongga mulut dapat


mengindikasikan gejala-gejala polip hidung (misalnya, postnasal drip yang terjadi
bersamaan dengan sinusitis kronis). Polip yang besar atau adanya lesi pada rongga
hidung dapat memasuki orofaring posterior lewat nasofaring; dapat juga menjadi
lesi di balik palatum dan uvula, dapat menekan palatum inferior dan anterior.
Pemeriksaan otoscopic polip hidung yang meluas dapat menyebabkan disfungsi
tuba eustachian sehingga dapat menyebabkan cairan dan infeksi dalam ruang
telinga bagian tengah. Pemeriksaan seksama sistem innervasi saraf kranium dan
struktur craniofacial dapat membantu menggambarkan perluasan lesi hidung yang
potensial meluas pada struktur penting sekitarnya.(23)

Pemeriksaan laboratorium

Anak dengan polip yang berhubungan dengan rhinitis alergi harus


diidentifikasi allergen dengan menggunakan tes serological radioallergosorbent
(RAST) atau tes kulit untuk alergi. Mabry et al menunjukan terdapat penurunan
kejadian polip pada anak yang diberikan terapi dengan immunotheraphy yang
ditujukan ke semua antigen yang berperan sebagai alergen, terutama jamur.
(24)Pemeriksaan kadar klorida dalam keringat atau test genetik dapat dilakukan
untuk mencurigai adanya fibrosis kistik pada anak-anak yang mengalami multiple
polip pada hidungnya.(21)

Swab/smear hidung untuk memeriksa keberadaan eosinofil dapat


membedakan penyakit alergi atau non alergi pada sinus dan menunjukan apakah
anak tersebut akan responsive pada pemberian glukokortikoid. Terdapatnya
neutrophil saat pemeriksaan mungkin menunjukan bahwa telah terjadi sinusitis
kronik.(21)

Pemeriksaan foto pencitraan

18
Terdapat kriteria standar untuk menganalisa kelainan pada hidung,
terutama akibat polip atau sinusitis. Potongan tipis (1-3 mm) CT-Scan daerah
maksilofasial, sinus-sinus secara axial dan coronal akan menghasilkan gambaran
yang baik sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk dalam penatalaksanaan
operatif. MRI dapat dipakai dan mampu menunjukan keterlibatan atau
pembesaran polip kearah intracranial.(21)

Pemeriksaan histologis

Secara histologis, polip nasi menunjukan gambaran pseudostratifiedepitel


kolumnar bersilia, penebalan epitel membrane dasar, dan sedikit ujung saraf.
Bagian stroma dari polip hidung mengalami edema. Vaskularisasi kurang dan
sedikitnya inervasi, kecuali pada bagian pangkal polip.(21)

Sel-sel eosinofil merupakan temuan paling sering dibandingkan sel


peradangan lain, terjadi pada 80-90% dari polip. Eosinofil ditemukan terdapat di
polip dari pasien yang mengalami asma dan alergi. Eosinofil mengandung granul
berisi produk toksik (seperti leukotriens, eosinophilic cationic protein, major
basophilic protein, platelet-activating factpr. Eosinophilic peroxidase, dll). Toksik
ini merupakan faktor yang bertanggung jawab dalam peran merusak epitel,
kerusakan saraf, dan stasis silier.Eosinofil pada pembuluh darah perifer dan
mukosa hidung normal biasanya berada sampai 3 hari lamanya. Sedangkan
padakultur polip hidung ditemukan eosinofil sampai 12 hari lamanya.(21)

2.3.8 Diagnosis Banding


Konka polipoid

Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri cirinya


sebagai berikut :

Tidak bertangkai

Sukar digerakkan

Nyeri bila ditekan dengan pinset

Mudah berdarah

19
Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas
adrenalin).

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan


polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga
harus hati hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler
karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik, meningkatkan tekanan darah
yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung
lainnya.(10)

Angiofibroma Nasofaring Juvenil

Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal tumor
ini mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral atap rongga
hidung. Dari anamnesis diperoleh adanyakeluhan sumbatan pada hidung dan
epistaksis berulang yang masif. Terjadi obstruksi hidung sehingga
timbul rhinorhea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba
Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia
menandakan adanya perluasan tumor ke intrakranial.

Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya massa


tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah
muda, diliputi oleh selaput lendir keunguan. Mukosa mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulcerasi.(10)

Pada pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan terlihat


gambaran klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus
Pterigoideus ke belakang. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan
tampak perluasan tumor dan destruksi tulang sekitarnya. Pemeriksaan arteriografi
arteri karotis interna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA
tidak dilakukan karena merupakan kontraindikasi karena bisa terjadi perdarahan.
Angiofibroma Nasofaring Juvenil banyak terjadi pada anak atau remaja laki-laki.
(25)

Keganasan pada hidung

20
Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimia seperti nikel,
debu kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain. Paling sering terjadi pada laki-
laki. Gejala klinis berupa obstruksi hidung, rhinorhea, epistaksis, diplopia,
proptosis, gangguan visus, penonjolan pada palatum, nyeri pada pipi, sakit kepala
hebat dan dapat disertai liquorrhea.

Pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya pendesakan dari massa


tumor. Pemeriksaan PA didapatkan 85% tumor termasuk sel squamous berkeratin.
(25)

2.3.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan
keluhan-keluhan yang dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar
frekuensi infeksi berkurang, mengurangi/menghilangkan keluhan pernapasan pada
pasien yang disertai asma, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif.
Pengelolaan polip nasi seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi
sayangnya penyebab polip nasi belum diketahui secara pasti. Karena penyebab
yang mendasari terjadinya polip nasi adalah reaksi alergi, pengelolaanya adalah
mengatasi reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat diobati dengan
konservatif.(7)
1. Terapi Konservatif
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan
kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini
diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak
ada perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid sistemik.(11)
a. Kortikosteroid spray
Dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif untuk kpolip
yang masif. Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip
dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untukmencegah kekambuhan.(11)
b. Kortikosteroid sistemik

21
Merupakan terapi efektif sebagai terapi jangkapendek pada polipnasal.
Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroidsistemik dapat diberikan
secara aman sebanyak 3-4 kali setahun,terutama untuk pasien yang tidak dapat
dilakukan operasi.
c. Leukotrin Inhibitor
Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5 lipoxygenase yang
akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi.

2. Terapi operatif
Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar, berulang,dan
jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal sehingga tidak dapat diobati
dengan terpi konservatif. Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung
bisa kita berikan sebelum dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda
infeksi dan untuk langkah profilaksis pasca operasi. (11)
Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip
atau cunam dengan analgetik lokal, bisa juga dengan menggunakan alat yang
sangat menguntungkan seperti microdebrider yang dapat memotong langsung
menghisap polip sehingga perdarahan sangat minimal, yang terbaik ialah Bedah
Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).(11)

2.3.10 Komplikasi

Polip hidung Massive atau polip single yang besar (eg, antral-choanal
polip) yang mengobstructsi Cavum nasi dan/atau nasopharynx dapat
menyebabkan gejala obstructive tidur dan pernafasan mulut kronik.
Jarang, polip hidung massive, pada fibrosis kistik dan pada Allergic fungal
sinusitis (AFS) dapat mempengaruhi struktur kraniofasial. Hal ini dapat
mengakibatkan proptosis, hypertelorisme, dan diplopia

Pada suatu article publikasi, pengarang melaporkan 40% anak-anak


(dibandingkan 10% pada dewasa) dengan AFS yang disertai abnormalittas
craniofacial. poliposis Massive jarang menyebabkan kompresi extrinsic
yang cukup pada nerve optic sehingga tajam penglihatan berkurang.

22
Newcomber melaporkan bahwa 3 dari 82 pasien dengan AFS mempunyai
perubahan penglihatan akibat kompresi nervus optikus pada sinus
sphenoid setelah pengangkatan polip hidung. Bagaimanapun, karena polip
tumbuh perlahan, bisanya tidak menimbulkan gejala neurological,
meskipuntelah meluas ke intracranial.(21,26)

2.3.11 Prognosis
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal
pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan
eliminasi. (7)
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid
atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan
hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.(19)

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama Inisial : Tn. Akhyar
No RM : 1-13-62-37
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dusun wet, Simeulue Tengah
Pekerjaan : Petani
Ruangan : Nabawi
Tanggal Pemeriksaan : Selasa, 04 Agustus 2017

23
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Hidung kanan tersumbat
Keluhan Tambahan
Penurunan penciuman
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan hidung kanan tersumbat dan penurunan
penciuman yang sering berulang sejak 3 tahun yang lalu. Keluhan
ingus kental kehijauan. Pasien juga mengeluhkan nyeri dibagian wajah
terutama didaerah kening yang dirasakan berat saat posisi sujud. Pasien
mengeluhkan sering bersin-bersin teruma ketika cuaca dingin.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama.
Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kebiasaan
Pasien seorang petani yang sering keluar kerja pagi hari
Riwayat Pengobatan
Pasien sudah pernah berobat di rumah sakit Simeulue, tetapi pasien
lupa obat yang diberikan

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Internus
Keadaan Umum : Kesan sakit sedang
Kesadaraan : Compos Mentis
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 74 kali/menit
Pernapasan : 18 kali/menit
Suhu : 36,7oC

3.3.2 Status General


A. Kulit
Warna : Sawo matang kehitaman
Turgor : Cepat Kembali
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Oedema : Tidak ada

24
B. Kepala
Kepala : Normocephali
Rambut : hitam dan sukar dicabut
Wajah : Simetris (+)

Mata : Konjungtiva palpebra inferior anemis (+/+),


ikterik(-/-), sekret (-/-), RCL (+/+), RCTL (+/+),
pupil bulat isokor (3mm/3mm)
Telinga : Normotia, CAE lapang (+/+), Serumen (+/+),secret
(-/-), membran timpani intak (+/+), refleks cahaya
(+/+)
Hidung : Kavum nasi hiperemis (-/-), konka inferior
hipertrofi (+/+), mukosa hiperemis (+/-), sekret (+/-),
massa putih gelatinous bertangkai (+/-), septum

deviasi (+), pasase udara ( /+).


Orofaring : Tonsil T1/T1, detritus (-/-), kripta tidak melebar
Faring : Mukosa Hiperemis (-/-), granul (-/-), bulging (-/-),
reflek muntah (+/+), arkus faring simetris
Palatum : Massa (-), tidak ada kelainan
Gigi geligi : Karies (-), gigi berlubang (+)

C. Leher
Inspeksi :Simetris, retraksi (-), tanda inflamasi (-)

Palpasi : Tidak ditemukan adanya pembesaran KGB

D. Thoraks
Inspeksi : Simestris, retraksi interkostal (+/+).
Palpasi : Simetris (-/-), krepitasi (-), SF kanan = SF kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

E. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung kesan normal

25
Auskultasi : Bising (-)

F.Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (+), pelebaran pembuluh

darah (+)

Palpasi : Soepel, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba masa

Hepar : Tidak ada pembesaran

Lien : Tidak ada Pembesaran

Ginjal : Tidak ada nyeri ketok

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik 3x/menit

G. Tulang Belakang
Bentuk : Simetris
Nyeri tekan : Negatif
H. Kelenjar Limfe
Pembesaran KGB : Regio aksila (-)

I.Ekstremitas

Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral Dingin - - - -
Capillary refill time <2 <2 <2 <2

J. Genitalia

Tidak Dinilai

3.3.3 Status Lokalisata


a.r Nasi

26
Kavum nasi hiperemis (-/-), konka inferior hipertrofi (+/+), mukosa
hiperemis (+/-), sekret (+/-), massa kesan gelatinous putih keabuan

bertangkai (+/-) (+/-), pasase udara ( /+), septum deviasi (+).

3.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Hasil Laboratorium
Hasil
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan Satuan
Pemeriksaan

Hemoglobin 14,9 14,0-17,0 g/dL

Hematokrit 47 46-55 %

Eritrosit 6,1 4,7-6,1

Leukosit 11,5* 4,5-10,5

Trombosit 253 150-450

Waktu perdarahan 2 1-7 Menit

Waktu pembekuan 7 5-15 Menit

KGD puasa 114 60-110 mg/dL

KGD 2 jam pp 165 100-140 Mg/dL

SGOT 22 <35 U/L

SGPT 20 <45 U/L

Ureum 35 13-43 mg/dL

Kreatinin 0,86 0,67-1,17 mg/dL

b. Pemeriksaan Radiologi
Foto Rontgen Thorax AP :
Expertise : - Paru dan jantung dalam batas normal

Foto Scan Sinus Paranasalis Axial, Coronal tanpa kontras

Expertise : - Sinusitis frontalis, maxillaris bilateral serta


ethmoidalis dextra. Massa di nasal dextra

27
3.5 Diagnosis Kerja
- Polip nasi dextra
- Multisinusitis
- Rhinitis alergi
- Septum deviasi

3.6 Diagnosis Banding


Polip nasal

Hipertrofi konka

3.7 Penatalaksanaan
3.7.1 Medikamentosa

- IVFD RL 20 gtt/i

- Inj. Ceftriaxone 1gr /12 jam

3.7.2 Terapi Operatif


- Polipektomi

3.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

3.9 Edukasi
Polip nasi merupakan penyakit yang yang bisa terjadi berulang. Pasien
dengan riwayat polip harus menghindari faktor-faktor yang bisa mencetuskan
gejala rinosinusitis seperti alergen, debu dan lain-lain. Pasien kontrol ulang ke
rumah sakit untuk follow up kemajuan terapi.
Pasien juga diberikan edukasi agar tidak memijat-mijat kedua hidungnya
dikarenakan dapat menyebabkan terjadinya perlengketan.

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis pada pasien polip nasi ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis pasien
datang dengan keluhan hidung kanan tersumbat dan penurunan penciuman yang
sering berulang sejak 3 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan keluar ingus
kental kehijauan dri hidung kanan dan nyeri dibagian wajah terutama didaerah
kening yang dirasakan berat saat posisi sujud. Pasien mengeluhkan sering bersin-
bersin teruma ketika cuaca dingin.
Pada pemeriksaan status lokalis didapatkan massa berwarna putih keabu-
abuan pada cavum nasi. Massa sudah keluar dari meatus medius, tampak di
rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung. Dari pemeriksaan juga
ditemukan adanya cairan yang keluar dari cavum nasi kesan mukoid berwarna
kehijauan. Terapi yang dilakukan pada pasien adalah pembedahan yakni
polipektomi.

Kasus Pembahasan

Anamnesis: Pasien merupakan Berdasarkan penelitian, polip nasi dapat terjadi


seorang laki-laki berusia 56 tahun. pada berbagai usia. Namun biasanya muncul
pada usia diatas 20 tahun. Dengan prevalensi
laki-laki lebih banyak pada perempuan.(27)
Anamnesis: Pasien datang dengan Polip hidung adalah peradangan kronis selaput
keluhan hidung tersumbat sejak lendir dan sinus paranasal yang ditandai
kurang lebih tiga tahun yang lalu. dengan pembengkakan massa mukosa yang
meradang dengan tangkai dasar luas atau
sempit. Kebanyakan polip berasal dari celah

29
osteomeatal yang menyebabkan obstruksi
hidung. Terjadi prolaps submukosa yang
diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan
kelenjar baru. Dimana juga terjadi peningkatan
penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel
yang berakibat retensi air sehingga terbentuk
polip, yang terbagi menjadi 3 derajat, derajat 1
polip terbatas di meatus medius, derajat 2
keluar dari meatus medius belum memenuhi
rongga hidung, derajat 3 Polip sudah keluar
dari meatus medius, sudah memenuhi rongga
hidung yang menyebabkan hidung tersumbat.
(27)

Anamnesis: Keluhan ini disertai Pada hidung terdapat mukosa olfaktorius yang
dengan penurunan penciuman menangkap odoran. Mukosa olfaktorius
terdapat pada rongga hidung, konka superior
dan 1/3 bagian atas septum. Odoran dapat
mencapai ke daerah ini dengan cara difusi.
Pada kasus polip hidung, jaringan polip
menutup rongga hidung sehingga mengganggu
proses menarik nafas dan proses difusi dan
juga terganggu. Pada sumbatan yang hebat
dapat menyebabkan gejala hiposmia atau
anosmia. (28)

Pasien mengeluhkan keluar ingus Bila polip menyumbat sinus paranasal, maka
kental kehijauan dari hidung kanan sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis
dan nyeri dibagian wajah terutama dengan keluhan nyeri kepala dan rinore. nyeri
didaerah kening yang dirasakan tumpul berdenyut merupakan tanda utama dari
berat saat posisi sujud sinusitis terjadi akibat tekanan yang
ditimbulkan jaringan yang mengalami
peradangan pada ujung-ujung syaraf di
dinding dalam sinus. Nyeri juga dikeluhkan

30
pasien ketika sedang sujud shalat dimana ini
merupakan tanda dari adanya sinusitis frontalis
yang menyebabkan timbulnya nyeri pada
bagian kening pasien. Sinusitis maksilaris juga
menyebabkan terjadinya nyeri pada bagian
pipi pasien dan sinusitis etmoidalis dimana
nyerinya timbul diantara mata. (28)

Pasien mengeluhkan sering bersin- Salah satu etiologi dari polip yaitu alergi,
bersin teruma ketika cuaca dingin. dimana rhinitis alergi mengenai 10-25%
populasi. Salah satu gejala khas dari rinitis
alergi adalah hidung tersumbat. Keterkaitan
rhinitis alergi dan polip hidung dikarenakan
adanya reaksi alergi dimukosa hidung yang
mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas dari pembuluh darah yang akan
mengakibatkan cairan berpindah keluar dari
intravascular dan menyebabkan cairan masuk
kedalam jaringan, dimana akan menyebabkan
terjadinya edema dan menimbulkan suatu
masa yang disebut polip. Rhinitis alergi sendiri
merupakan penyakit simtomatis pada
membrane mucus hidung akibat dari inflamasi
yang dimediasi oleh Ig E, dimana terdapat 4
gejala utamanya yaitu bersin-bersin, hidung
tersumbat, keluarnya secret dari hidung dan
gatal. (29)

31
Pemeriksaan Fisik: Secara makroskopis polip merupakan massa
Massa gelatinous bewarna putih bertangkai dengan permukaan licin berbentuk
keabu-abuan. Massa sudah keluar bulat atau lonjong berwarna putih keabuan
dari meatus medius, tampak di agak bening lobular dapat tunggal atau
rongga hidung tapi belum multiple dan tidak sensitive. Warna polip yang
memenuhi rongga hidung serta pucat disebabkan karena mengandung banyak
cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip.
pasase udara ( /+).
Pada kasus polip keluar dari meatus medius
belum memenuhi rongga hidung menunjukkan
polip grade 2.

Adanya polip menyebabkan berkurangnya


pasase udara pada hidung kanan, karena
terhalangnya udara masuk-keluar hidung. (28)

Dari pemeriksaan juga ditemukan Cairan mukoid kehijauan yang keluar dari
adanya cairan yang keluar dari hidung merupakan gejala dari sinusitisyang
cavum nasi kesan mukoid dialami pasien. Sinusitis merupakan radang
berwarna kehijauan. mukosa sinus paranasal, pada sinusitis kronis
telah terjadi kerusakan silia, sehingga terjadi
perubahan mukosa hidung. Sementara itu,
hubungan yang terdapat antara sinusitis dan
polip hidung terjadi akibat adanya perubahan
jaringan menjadi hipertropi sehingga menjadi
sebuah polip dan menimbulkan suatu gejala
hidung tersumbat yang dialami pasien sejak 3
tahun yang lalu. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya sinusitis adalah ISPA
akibat virus, bermacam-macam rhinitis
terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal,
polip hidung dan adanya kelainan anatomi
seperti septum deviasi atau hipertrofi konka.
Pada kasus pasien ini didapatkan

32
multisinusitis yang artinya telah menyerang
beberapa sinus seperti sinus maksilaris, sinut
etmoidalis dan sinus frontalis. Pada pasien ini
ditegakkan multisinusitis dilakukan dengan
anamnesis sampai pemeriksaan penunjang. (28)

septum deviasi (+) Septum deviasi merupakan predisposisi


obstruksi KOM yang dapat menimbulkan
komplikasi rinosinusitis kronis. penelitian
Chalabi menemukan 31 % kasus rinosinusitis
dari 100 orang pasien dengan deviasi septum.
(30)

Terapi pembedahan pada pasien Untuk keluhan benjolan di rongga hidung


dilakukan polipektomi kanan pasien, telah dilakukannya tindakan
pengangkatan polip ( Polipektomi ) yang
tujuannya untuk mengurangi sumbatan yang
diakibatkan oleh masa tersebut dan adanya
keluhan septum deviasi dapat menyebabkan
juga terjadinya kesulitan bernafas melalui
hidung. Kesulitan bernafas biasanya hanya
pada satu hidung (kanan) seperti pada kasus
yang didapat. Pada beberapa kasus, septum
deviasi juga mengakibatkan drainase secret
sinus terhambat sehingga dapat menimbulkan
kejadian sinusitis.(29)

33
BAB V
KESIMPULAN

Pasien pada kasus ini di diagnosis dengan polip nasi dextra stadium 2 yang
ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan anamnesis pasien datang dengan keluhan hidung kanan tersumbat
dan penurunan penciuman yang sering berulang sejak 3 tahun yang lalu. Pasien
juga mengeluhkan keluar ingus kental kehijauan dri hidung kanan dan nyeri
dibagian wajah terutama didaerah kening yang dirasakan berat saat posisi sujud.
Pasien mengeluhkan sering bersin-bersin teruma ketika cuaca dingin.
Pada pemeriksaan status lokalis didapatkan massa berwarna putih keabu-
abuan pada cavum nasi. Massa sudah keluar dari meatus medius, tampak di
rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung. Dari pemaeriksaan juga
ditemukan adanya cairan yang keluar dari cavum nasi kesan mukoid berwarna
kehijauan.
Terapi medikamentosa pra operasi pada pasien ini adalah IVFD RL,
injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam, dan ranitidine 1 amp/12 jam. Pasien pada kasus ini
mendapatkan terapi operatif post operatif dengan tindakan polipektomi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Benninger MS, Poole M, Ponikau J. Adult chronic rhinosinusitis:


denitions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol
Head Neck Surg (suppl) 2003;129S: S1-S32.
2. Jeanny Bubun, Aminuddin Azis, Amsyar Akil FP. Hubungan Gejala dan
Tanda Rinosinusitis Kronik dengan Gambaran CT-scan Berdasarkan Skor
Lund-Mackay. Bagian Ilmu Kesehat THT Fak Kedokt Univesitas
Hasanuddin. 2011;
3. Hilger PA. Penyakit sinus paranasalis. Dalam: Boies: Buku Ajar penyakit
THT. Effendi H (terj.ed.) 6th ed. EGC, Jakarta. 1997.
4. Miller AJ, Amedee RG. Sinus anatomy and function. In: Bailey BJ. Head &
Neck Surgery - Otolaryngology. 2nd ed. 1998.Lippincott-Raven, New
York; p: 41321.
5. Rohr AS. Sinusitis: pathophysiology, diagnosis, and management. J
Immunol Allergy Clin North Am 1987;7:383-91.
6. Evans KL. Fortnightly review: diagnosis and management of sinusitis.
BMJ 1994;309:1415-22.
7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J RR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. In Penerbit FK UI; 2007.
8. Pearlman AN, Chandra RK, Conley DB KR. Epidemiology of Nasal
Polyps. Nasal Polyposis: Springer. 2010;915.
9. Gustavani SS dan R. Sindrom Metabolik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbit IPD FKUI; 2007. 1849 p.
10. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000.
11. Bestari J Budiman AA. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis
dengan Polip Nasi. Fak Kedokt Univ Andalas Padang THT-KL. 2014;
12. Sucipto D. Temuan sinuskopi pada pasien sinusitis maksilaris kronis.
Kongres Nasional Perhati XI. Jogjakarta: 1995.. 179-189.
13. Khun FA. Role of endoscopy in the management of chronic rhinosinusitis.
Ann Otol Rhinol Laryngol 2004.; 113: 10-14.
14. Zeinreich SJ. Imaging for staging of rhinosinusitis. Ann Otol. Rhinol.
Laryngol 2004.; 133: 19-23.
15. Goodman GM, Martin DS, Klein J. Comparison of a screening coronal CT
versus a contagious coronal CT for evaluation of patients with presumptive
sinusitis. Am Allerg. Asthma Immunol 1995.; 74: 178-182.
16. Garcia GP, Corbett ML, Elbery SM, Joyce MR, Le HT, Karibo JM et al.
Radiographic imaging studies in pediatric chronic sinusitis. J Allerg Clin
Immunol 1994; 94: 1-11.
17. Dolor RJ, Williams JW. Management of Rhinosinusitis in Adults: Clinical
Applications of Recent Evidence and Treatment Recommendations. JCOM
2001.; 9: 463-477.
18. AB DL. Nasal polyps. In: Scott Brown`s Otolaryngology, Rrhinology.
Butterworths London. 1987;Vol 4 (Ker(5th ed):14253.
19. Adams GL, Boies LR HP. Buku ajar penyakit THT. In: 6th ed. Jakarta:
EGC; 2009. p. 17394.
20. Assanasen P, Naclerio RM. Medical and surgical management of nasal
polyps. 2001;2736.
21. John E McClay. Nasal Polyps [Internet]. 2016 [cited 2017 Aug 7].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/994274-overview
22. Tos M, Sasaki Y, Ohnishi M, Larsen P, Drake-Lee AB. Fireside conference
2. Pathogenesis of nasal polyps. Vol. 14, Rhinology. Supplement.
Netherlands; 1992. p. 1815.
23. Citardi MJ. An introduction to nasal endoscopy. American Rhinologic
Society. http://www.american-
rhinologic.org/patientinfo.introendoscopy.phtml. Accessed Augst. 7, 2017.
24. Mabry RL, Marple BF, Folker RJ, Mabry CS. Immunotherapy for allergic
fungal sinusitis: three years experience. Otolaryngol Head Neck Surg.
England; 1998 Dec;119(6):64851.
25. Hilger PA, Adam GL. Penyakit Hidung dan Tumor - Tumor Ganas Kepala
Leher. dalam: BOEIS Buku Ajar Penyakit THT: edisi 6 . Effendi H,
Santoso RAK, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal: 235 -
7, 429 - 44.
26. McClay JE, Marple B, Kapadia L, Biavati MJ, Nussenbaum B, Newcomer
M, et al. Clinical presentation of allergic fungal sinusitis in children.
Laryngoscope. United States; 2002 Mar;112(3):5659.
27. Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Hidung. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001
28. Mangunkusumo, Endang., Damajanti Soetjipto. Sinusitis. Dalam :
Soepardi, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: FKUI. 2007
29. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2007
30. Mangunkusumo, Endang . Nusjirwan, Rifki, Sinusitis, dalam Eviati,
nurbaiti, editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002.
LAMPIRAN

Foto klinis pasien pre operasi


Foto klinis pasien post operasi
CT Scan pasien

Anda mungkin juga menyukai