PENDAHULUAN
Polip nasi sudah dikenal sejak 4000 tahun yang lalu. Polip nasi
digambarkan sebagai buah anggur yang turun melalui hidung. Istilah polip nasi
berasal dari kata Yunani poly-pous yang berarti berkaki banyak. Polip nasi
adalah kelainan mukosa hidung dan sinus paranasal terutama kompleks
osteomeatal di meatus nasi medius berupa massa lunak yang mengandung banyak
cairan, bertangkai, bentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan.
Permukaannya licin dan agak bening karena banyak mengandung cairan. Sering
1
bilateral dan multiple. Polip nasi juga merupakan kantung dari edema mukosa dan
kebanyakan berasal dari mukosa sinus ethmoid.(7)
Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di
bagian THT . Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2-4,3%. Polip
nasi dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip
hidung biasanya terjadi pada rentang usia 30-60 tahun, dimana laki-laki lebih
dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1. (8)
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
4,3% di Filandia. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak. Anak dengan polip
nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya cystic fibrosis
karena cystic fibrosis merupakan faktor risiko bagi anak-anak untuk menderita
polip. Di Indonesia prevalensi polip nasi sebesar 4,63% dari semua pengunjung
poliklinik THT-KL RS.Dr. Soetomo Surabaya dengan rasio pria dan wanita 2-4:1.
(8)
Polip nasi biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip nasi belum
diketahui dengan pasti tetapi ada keragu raguan bahwa infeksi dalam hidung
atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip
berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang
kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip
banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil)
dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah.(7)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk mengenal perdarahan dari hidung luar dapat di bagi menjadi 3 bagian:(7)
- Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
- Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
- Angularis (cabang dari A. Fasialis)
3
Hidung luar dipersarafi oleh dua cabang nervus beserta ramusnya:
- Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
- Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
b. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media.(7)
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari
tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah.
Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid
yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema
dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini. (7)
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina
yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang
merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak
submukosa yang berjalan bersama sama arteri.(7)
Persarafan :
Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior.
Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor
menjadi N. Sfenopalatinus.(7)
c. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang
kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal
4
mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir
(mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet. (7)
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan
banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat obatan. (7)
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.(7)
Sinus Paranasal
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisa hidung.
Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut:
5
Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksilaris kanan dan kiri ( antrium highmore) dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Semua sinus dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan
mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing. Pada meatus medius merupakan muara dari sinus maksila,
sinus frontalis, dan ethmoid anterior. Sedangkan meatus superior yang merupakan
ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid
posterior dan sinus sfenoid.
a. Sinus maksilaris
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasalis terbesar. Sinus ini sudah ada
sejak lahir dan mencapai ukuran maksimum pada saat dewasa. Sinus
maksilaris adalah sinus yang pertama berkembang. Dasar sinus maksilaris
berhubungan dengan gigi P1, P2, M1, dan M2. Ostium sinus maksilaris
lebih tinggi dari dasarnya.
6
b. Sinus ethmoidalis
Sinus ethmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru lahir.
Sel ethmoid sering ditemukan diatas orbita, sfenoid lateral, ke atap maksila
dan sebelah anterior diatas sinus frontal. Sinus etmoid mendapatkan
perdarahan dari a. Karotis ekstrena dan interna dimana a.sfenopalatina dan
a.oftalmika mendarahi sinus dan pembuluh vena mengikuti arterinya. (9)
c. Sinus frontalis
Sinus frontalis dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagian besar sel-sel
etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saat kelahiran
dan mulai mengeras sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai usia 5
tahun dan berlanjut sampai usia belasan tahun. Sinus frontalis
mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melaui a. Supraorbitan
supratrochlear. Aliran pembuluh vena melaui v.oftalmica superior menuju
sinus karvernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding posterior
yang mengalir kesinus dural. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang n V.1.
secara khusus, nervus-nervus ini meliputi cabang supraorbita dan
supratrochlear.
d. Sinus sfenoidalis
Sinus sfenoid tidak terbentuk dari kontong rongga hidung. Sinus ini
dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidak
berkembang sampai usia 3 tahun. Sinus mencapai ukuran penuh pada usia
18 tahun. Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior,
sedangkan bagian lain mendapat aliran darah dari a. Sfenopalatina. Aliran
pembuluh vena melalui v.maksilaris ke v.jugularis dan pleksus pterigoid.
Sinus sfenoid dipersarafi oleh cabang n. V1 dan V.2, n. Nasociliaris
berjalan menuju n.etmoid posterior dan mempersarafi atap sinus. Cabang-
cabang n. Sfenopalatina mempersarafi dasar sinus. (10)
7
2.2. Rhinosinusitis
2.2.1 Definisi
2.2.2. Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener, dan diluar negri adalah penyakit
fibrosis kistik. (11)
2.2.3 Klasifikasi
RSK ditandai penebalan mukosa, hiperplasi sel goblet, brosis subepitel
dan inamasi permanen. Remodelling mukosa sinus mengarah pada gangguan
keseimbangan antara deposit dan degradasi kolagen dan matriks protein lain.
Peningkatan sintesis broblas merupakan respon adanya aktivasi eosinol beserta
produknya, termasuk probrotic transforming growth factor- (TGF-). Sel
inamasi yang banyak terdapat di sinus antara lain : sel T, eosinol, basol, dan
neutrol memiliki jumlah menonjol di mukosa sinus.
8
dibagi dalam rinosinusitis infeksi dan noninfeksi. Sedangkan untuk derajat
sinusitis digunakan gambaran radiologis untuk menunjukkan berat ringannya
penyakit.
2.5 Patofisiologi
Penyakit sinus terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret.
Gangguan salah satu faktor atau kombinasi faktor-faktor tersebut mengubah siologi dan
menimbulkan rinosinusitis. Obstruksi ostium menimbulkan drainase tidak adekuat,
berakibat penumpukan cairan dalam sinus; pada sinus maksilaris menjadi penting karena
mukus dibersihkan melawan pengaruh gravitasi. Obstruksi menyebabkan hipoksi lokal
dalam sinus, menimbulkan perubahan pH, kerusakan epitel dan fungsi silia. Cairan dalam
sinus menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri, menimbulkan inamasi
jaringan dan penebalan mukosa sehingga menambah obstruksi ostium.
9
terlihat pus mengalir sampai ke bawah melalui sela dinding lateral faring dan
umumnya berasal dari sinus maksilaris, frontalis atau ethmoidalis.(6,12). Pada
pemeriksaan endoskopi dapat dilihat edema dan hiperemi di meatus media atau
bulla ethmoid dan dan jaringan granulasi.(13)
2.2.4 Diagnosis
Foto polos atau radiogra standar Foto polos sinus paranasal merupakan
metode mudah dan cepat untuk evaluasi struktur maksilofasial. Ada empat posisi
yang sering adalah posisi Waters, Townes, lateral, dan submentoverteks. Paparan
radiasi berkisar 40-60 mSv.Pemeriksaan tersebut memuaskan untuk sepertiga
bawah kavum nasi dan sinus maksila. Gambaran sinus ethmoid anterior et
10
posterior, sinus frontal, dan sphenoid sering kurang baik akibat penumpukan
bayangan.(14)
Penebalan mukosa lebih dari 4 mm, opasitas komplit sinus maksilaris, dan
gambaran air uid level merupakan gambaran radiologis utama yang digunakan
untuk diagnosis sinusitis pada foto polos. Gambaran opasitas sinus maksilaris
tersebut dapat akibat penebalan dinding anterior sinus atau jaringan lunak yang
tebal. Polip sinus juga dapat memberi gambaran seperti air uid level.(14)
11
scanner.Kondisi KOM ideal diperoleh dengan CT scan difokuskan pada kavum
nasi dan sinus paranasal.Bila pasien tidak dapat posisi prone maka dibuat
potongan aksial dari palatum hingga melalui sinus frontalis.(14)
12
Pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk konrmasi klinis.Pada rontgen
sinus paranasalis didapatkan air uid level, pengkabutan atau penebalan mukosa
pada satu atau lebih sinus.(3,5)CT scan dapat menggambarkan penebalan mukosa,
perubahan struktur tulang maupun kondisi osteomeatal komplek.(1) Sensititas
dan spesisitas radiologi sinus paranasal 85% dan 80% untuk posisi Waters, untuk
tiga posisi 90% dan 60% sedangkan CT scan lebih dari 95% dan 61%. (17)
2.2.5 Komplikasi
Orbital
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengn mata (orbita).
Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan
maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul adalah edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita.
Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak, dan
trombosis sinus kavernosus
Paru
Kealainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru disebut sini-
bronkhitis.(11)
2.2.6 Tatalaksana
Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif
dan operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas
sekret dan mengeradikasi kuman. Jika telah ditemukan faktor predisposisinya
maka dapat dilakukan tatalaksana yang sesuai yaitu dengan penangan konservatif,
dengan pemberian antibiotik yangsesuai untuk mengatasi infeksinya serta obat-
obat-obatan simptomatis lainnya seperti anlgetik berupa aspirin atau preparat
kodein dan kompres hangat wajah dapat menghilangkan rasa sakit. Dekongestan
misalnya pseudoefedrin, dan tetes hidung poten seperti fenilefrin dan
oksimetazolin bermanfaat untuk mengurangi udem sehingga terjadi drainase
sinus. Terapi pendukung lainnya seperti mukolitik, antipiretik dan antihistamin.(5)
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. (11)
13
2.3 Polip Nasi
2.3.1 Definisi
Polip nasi adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung. Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu abuan,
mengkilat, lunak, dapat juga berwarna pucat, kemerahan dan kekuningan. Polip
kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat
bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah
belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koana. (1,3)
2.3.2 Etiologi
Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Penyakit ini masih
banyak menimbulkan perbedaan pendapat, terutama mengenai etiologi dan
patogenesisnya. Terjadinya polip nasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti
umur, alergi, infeksi dan inflamasi. Deviasi septum juga dicurigai sebagai salah
satu faktor yang mempermudah terjadinya polip nasi. Penyebab lainnya diduga
karena adanya ketidakseimbangan vasomotor.(1,3)
Menurut beberapa peneliti, polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat
reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada
pembentukan polip hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu
raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan
bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan
permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke
dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan
interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung
saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan
jarang pada anak anak. Pada anak anak, polip mungkin merupakan gejala dari
kistik fibrosis. (19)
Faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
-
Alergi terutama rinitis alergi.
-
Sinusitis kronik.
-
Iritasi.
14
-
Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka.(19)
2.3.3 Klasifikasi
Tabel 1. Stadium Polip Menurut Mackay and Lund 1995
Kondisi Polip Stadium
Tidak ada polip 0
Polip terbatas pada meatus media 1
Polip sudah keluar dari meatus media 2
belum memenuhi rongga hidung
Polip yang masif (memenuhi rongga 3
hidung
Sumber: Assanasen & Naclerio 2001.(20)
2.3.4 Patofiologi
Patogenesis dari polip hidung masih tidak diketahui. Terbentuknya polip
berhubungan dengan inflamasi, disfungsi sistem saraf otonom, dan faktor genetik.
Banyak teori yang menduga bahwa polip merupakan manifestasi akhir dari
inflamasi kronik pada cavum nasi.(21,22)
Selama proses ini, polip dapat terbentuk dari mukosa akibat inflamasi pada
sel-sel epitel, sel endotel pembuluh darah, dan sel fibroblast yang mempengaruhi
integritas sodium channel pada permukaan lumen daerah mukosa hidung. Hal ini
mengakibatkan peningkatan absorpsi sodium, retensi air dan terbentuknya polip.
(21,22)
15
Teori lain melibatkan ketidakseimbangan vasomotor dan rupture epitel.
Teori ketidakseimbangan vasomotor menjelaskan bahwa peningkatan
permeabilitas vaskular dan gangguan regulasi vaskular mengakibatkan
degranulasi dari produk sel mast (histamine). Efek histamine yang
berkepanjangan ditandai dengan bengkaknya polip yang diperburuk dengan
obstruksi drainase vena. Teori ini didasarkan oleh karena ada bagian polip yang
tidak memiliki pembuluh darah yang baik dan tidak ada inervasi vasokonstriktor.
(21,22)
16
Polip dapat bergejala sebagai obstruksi saluran nafas, postnasal drainage,
nyeri kepala, mengorok, dan rinorrea. Hiposmia atau anosmia dapat menjadi
petunjuk bahwa terdapat polip atau sinusitis kronik.(21)
Jumlah polip yang sangat banyak atau sebuah polip yang besar seperti
polip antral-choanal yang menutup kavum nasi, nasofaring atau bahkan keduanya
dapat mengakibatkan gejala sumbatan pada saat tidur dan bernafas melalui mulut
dalam waktu yang lama.(21)
2.3.7 Diagnosis
Pemeriksaan Endoskopi
Endoskopi dilakukan untuk melihat polip yang masih kecil dan belum
keluar dari kompleks osteomeatal. memberikan gambaran yang baik dari polip,
khususnya polip berukuran kecil di meatus media.(23)
17
Pada anak-anak dan remaja yang lebih kooperatif, rigid endoscopy dapat
digunakan untuk menilai meatus media dan sphenoethmoid recess. Dilakukan
Pemberian dekongestan dan anesthesia yang cukup pada rongga hidung sebelum
melakukan prosedur endoscopic pada anak yang berusia lebih dari 6 bulan.(23)
Pemeriksaan laboratorium
18
Terdapat kriteria standar untuk menganalisa kelainan pada hidung,
terutama akibat polip atau sinusitis. Potongan tipis (1-3 mm) CT-Scan daerah
maksilofasial, sinus-sinus secara axial dan coronal akan menghasilkan gambaran
yang baik sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk dalam penatalaksanaan
operatif. MRI dapat dipakai dan mampu menunjukan keterlibatan atau
pembesaran polip kearah intracranial.(21)
Pemeriksaan histologis
Tidak bertangkai
Sukar digerakkan
Mudah berdarah
19
Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas
adrenalin).
Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal tumor
ini mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral atap rongga
hidung. Dari anamnesis diperoleh adanyakeluhan sumbatan pada hidung dan
epistaksis berulang yang masif. Terjadi obstruksi hidung sehingga
timbul rhinorhea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba
Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia
menandakan adanya perluasan tumor ke intrakranial.
20
Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimia seperti nikel,
debu kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain. Paling sering terjadi pada laki-
laki. Gejala klinis berupa obstruksi hidung, rhinorhea, epistaksis, diplopia,
proptosis, gangguan visus, penonjolan pada palatum, nyeri pada pipi, sakit kepala
hebat dan dapat disertai liquorrhea.
2.3.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan
keluhan-keluhan yang dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar
frekuensi infeksi berkurang, mengurangi/menghilangkan keluhan pernapasan pada
pasien yang disertai asma, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif.
Pengelolaan polip nasi seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi
sayangnya penyebab polip nasi belum diketahui secara pasti. Karena penyebab
yang mendasari terjadinya polip nasi adalah reaksi alergi, pengelolaanya adalah
mengatasi reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat diobati dengan
konservatif.(7)
1. Terapi Konservatif
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan
kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini
diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak
ada perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid sistemik.(11)
a. Kortikosteroid spray
Dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif untuk kpolip
yang masif. Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip
dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untukmencegah kekambuhan.(11)
b. Kortikosteroid sistemik
21
Merupakan terapi efektif sebagai terapi jangkapendek pada polipnasal.
Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroidsistemik dapat diberikan
secara aman sebanyak 3-4 kali setahun,terutama untuk pasien yang tidak dapat
dilakukan operasi.
c. Leukotrin Inhibitor
Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5 lipoxygenase yang
akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi.
2. Terapi operatif
Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar, berulang,dan
jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal sehingga tidak dapat diobati
dengan terpi konservatif. Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung
bisa kita berikan sebelum dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda
infeksi dan untuk langkah profilaksis pasca operasi. (11)
Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip
atau cunam dengan analgetik lokal, bisa juga dengan menggunakan alat yang
sangat menguntungkan seperti microdebrider yang dapat memotong langsung
menghisap polip sehingga perdarahan sangat minimal, yang terbaik ialah Bedah
Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).(11)
2.3.10 Komplikasi
Polip hidung Massive atau polip single yang besar (eg, antral-choanal
polip) yang mengobstructsi Cavum nasi dan/atau nasopharynx dapat
menyebabkan gejala obstructive tidur dan pernafasan mulut kronik.
Jarang, polip hidung massive, pada fibrosis kistik dan pada Allergic fungal
sinusitis (AFS) dapat mempengaruhi struktur kraniofasial. Hal ini dapat
mengakibatkan proptosis, hypertelorisme, dan diplopia
22
Newcomber melaporkan bahwa 3 dari 82 pasien dengan AFS mempunyai
perubahan penglihatan akibat kompresi nervus optikus pada sinus
sphenoid setelah pengangkatan polip hidung. Bagaimanapun, karena polip
tumbuh perlahan, bisanya tidak menimbulkan gejala neurological,
meskipuntelah meluas ke intracranial.(21,26)
2.3.11 Prognosis
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal
pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan
eliminasi. (7)
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid
atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan
hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.(19)
BAB III
LAPORAN KASUS
23
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Hidung kanan tersumbat
Keluhan Tambahan
Penurunan penciuman
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan hidung kanan tersumbat dan penurunan
penciuman yang sering berulang sejak 3 tahun yang lalu. Keluhan
ingus kental kehijauan. Pasien juga mengeluhkan nyeri dibagian wajah
terutama didaerah kening yang dirasakan berat saat posisi sujud. Pasien
mengeluhkan sering bersin-bersin teruma ketika cuaca dingin.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama.
Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kebiasaan
Pasien seorang petani yang sering keluar kerja pagi hari
Riwayat Pengobatan
Pasien sudah pernah berobat di rumah sakit Simeulue, tetapi pasien
lupa obat yang diberikan
24
B. Kepala
Kepala : Normocephali
Rambut : hitam dan sukar dicabut
Wajah : Simetris (+)
C. Leher
Inspeksi :Simetris, retraksi (-), tanda inflamasi (-)
D. Thoraks
Inspeksi : Simestris, retraksi interkostal (+/+).
Palpasi : Simetris (-/-), krepitasi (-), SF kanan = SF kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
E. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung kesan normal
25
Auskultasi : Bising (-)
F.Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (+), pelebaran pembuluh
darah (+)
Perkusi : Timpani
G. Tulang Belakang
Bentuk : Simetris
Nyeri tekan : Negatif
H. Kelenjar Limfe
Pembesaran KGB : Regio aksila (-)
I.Ekstremitas
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral Dingin - - - -
Capillary refill time <2 <2 <2 <2
J. Genitalia
Tidak Dinilai
26
Kavum nasi hiperemis (-/-), konka inferior hipertrofi (+/+), mukosa
hiperemis (+/-), sekret (+/-), massa kesan gelatinous putih keabuan
Hematokrit 47 46-55 %
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto Rontgen Thorax AP :
Expertise : - Paru dan jantung dalam batas normal
27
3.5 Diagnosis Kerja
- Polip nasi dextra
- Multisinusitis
- Rhinitis alergi
- Septum deviasi
Hipertrofi konka
3.7 Penatalaksanaan
3.7.1 Medikamentosa
- IVFD RL 20 gtt/i
3.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam
3.9 Edukasi
Polip nasi merupakan penyakit yang yang bisa terjadi berulang. Pasien
dengan riwayat polip harus menghindari faktor-faktor yang bisa mencetuskan
gejala rinosinusitis seperti alergen, debu dan lain-lain. Pasien kontrol ulang ke
rumah sakit untuk follow up kemajuan terapi.
Pasien juga diberikan edukasi agar tidak memijat-mijat kedua hidungnya
dikarenakan dapat menyebabkan terjadinya perlengketan.
28
BAB IV
PEMBAHASAN
Kasus Pembahasan
29
osteomeatal yang menyebabkan obstruksi
hidung. Terjadi prolaps submukosa yang
diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan
kelenjar baru. Dimana juga terjadi peningkatan
penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel
yang berakibat retensi air sehingga terbentuk
polip, yang terbagi menjadi 3 derajat, derajat 1
polip terbatas di meatus medius, derajat 2
keluar dari meatus medius belum memenuhi
rongga hidung, derajat 3 Polip sudah keluar
dari meatus medius, sudah memenuhi rongga
hidung yang menyebabkan hidung tersumbat.
(27)
Anamnesis: Keluhan ini disertai Pada hidung terdapat mukosa olfaktorius yang
dengan penurunan penciuman menangkap odoran. Mukosa olfaktorius
terdapat pada rongga hidung, konka superior
dan 1/3 bagian atas septum. Odoran dapat
mencapai ke daerah ini dengan cara difusi.
Pada kasus polip hidung, jaringan polip
menutup rongga hidung sehingga mengganggu
proses menarik nafas dan proses difusi dan
juga terganggu. Pada sumbatan yang hebat
dapat menyebabkan gejala hiposmia atau
anosmia. (28)
Pasien mengeluhkan keluar ingus Bila polip menyumbat sinus paranasal, maka
kental kehijauan dari hidung kanan sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis
dan nyeri dibagian wajah terutama dengan keluhan nyeri kepala dan rinore. nyeri
didaerah kening yang dirasakan tumpul berdenyut merupakan tanda utama dari
berat saat posisi sujud sinusitis terjadi akibat tekanan yang
ditimbulkan jaringan yang mengalami
peradangan pada ujung-ujung syaraf di
dinding dalam sinus. Nyeri juga dikeluhkan
30
pasien ketika sedang sujud shalat dimana ini
merupakan tanda dari adanya sinusitis frontalis
yang menyebabkan timbulnya nyeri pada
bagian kening pasien. Sinusitis maksilaris juga
menyebabkan terjadinya nyeri pada bagian
pipi pasien dan sinusitis etmoidalis dimana
nyerinya timbul diantara mata. (28)
Pasien mengeluhkan sering bersin- Salah satu etiologi dari polip yaitu alergi,
bersin teruma ketika cuaca dingin. dimana rhinitis alergi mengenai 10-25%
populasi. Salah satu gejala khas dari rinitis
alergi adalah hidung tersumbat. Keterkaitan
rhinitis alergi dan polip hidung dikarenakan
adanya reaksi alergi dimukosa hidung yang
mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas dari pembuluh darah yang akan
mengakibatkan cairan berpindah keluar dari
intravascular dan menyebabkan cairan masuk
kedalam jaringan, dimana akan menyebabkan
terjadinya edema dan menimbulkan suatu
masa yang disebut polip. Rhinitis alergi sendiri
merupakan penyakit simtomatis pada
membrane mucus hidung akibat dari inflamasi
yang dimediasi oleh Ig E, dimana terdapat 4
gejala utamanya yaitu bersin-bersin, hidung
tersumbat, keluarnya secret dari hidung dan
gatal. (29)
31
Pemeriksaan Fisik: Secara makroskopis polip merupakan massa
Massa gelatinous bewarna putih bertangkai dengan permukaan licin berbentuk
keabu-abuan. Massa sudah keluar bulat atau lonjong berwarna putih keabuan
dari meatus medius, tampak di agak bening lobular dapat tunggal atau
rongga hidung tapi belum multiple dan tidak sensitive. Warna polip yang
memenuhi rongga hidung serta pucat disebabkan karena mengandung banyak
cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip.
pasase udara ( /+).
Pada kasus polip keluar dari meatus medius
belum memenuhi rongga hidung menunjukkan
polip grade 2.
Dari pemeriksaan juga ditemukan Cairan mukoid kehijauan yang keluar dari
adanya cairan yang keluar dari hidung merupakan gejala dari sinusitisyang
cavum nasi kesan mukoid dialami pasien. Sinusitis merupakan radang
berwarna kehijauan. mukosa sinus paranasal, pada sinusitis kronis
telah terjadi kerusakan silia, sehingga terjadi
perubahan mukosa hidung. Sementara itu,
hubungan yang terdapat antara sinusitis dan
polip hidung terjadi akibat adanya perubahan
jaringan menjadi hipertropi sehingga menjadi
sebuah polip dan menimbulkan suatu gejala
hidung tersumbat yang dialami pasien sejak 3
tahun yang lalu. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya sinusitis adalah ISPA
akibat virus, bermacam-macam rhinitis
terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal,
polip hidung dan adanya kelainan anatomi
seperti septum deviasi atau hipertrofi konka.
Pada kasus pasien ini didapatkan
32
multisinusitis yang artinya telah menyerang
beberapa sinus seperti sinus maksilaris, sinut
etmoidalis dan sinus frontalis. Pada pasien ini
ditegakkan multisinusitis dilakukan dengan
anamnesis sampai pemeriksaan penunjang. (28)
33
BAB V
KESIMPULAN
Pasien pada kasus ini di diagnosis dengan polip nasi dextra stadium 2 yang
ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan anamnesis pasien datang dengan keluhan hidung kanan tersumbat
dan penurunan penciuman yang sering berulang sejak 3 tahun yang lalu. Pasien
juga mengeluhkan keluar ingus kental kehijauan dri hidung kanan dan nyeri
dibagian wajah terutama didaerah kening yang dirasakan berat saat posisi sujud.
Pasien mengeluhkan sering bersin-bersin teruma ketika cuaca dingin.
Pada pemeriksaan status lokalis didapatkan massa berwarna putih keabu-
abuan pada cavum nasi. Massa sudah keluar dari meatus medius, tampak di
rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung. Dari pemaeriksaan juga
ditemukan adanya cairan yang keluar dari cavum nasi kesan mukoid berwarna
kehijauan.
Terapi medikamentosa pra operasi pada pasien ini adalah IVFD RL,
injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam, dan ranitidine 1 amp/12 jam. Pasien pada kasus ini
mendapatkan terapi operatif post operatif dengan tindakan polipektomi.
DAFTAR PUSTAKA