Sepsis Neonatorum
Sepsis Neonatorum
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
1
1.2 Etiologi
Sepsis pada bayi baru lahir hampir selalu disebabkan oleh bakteri, seperti
E.Coli, Listeria monocytogene, Neisseria meningitidis, Streptokokus
pneumonia, Haemophilus influenza tipe b, Salmonella, Strepkokus group B
(Putra, 2012). Selain itu juga disebabkan oleh bakteri Acinetobacter sp,
Enterobacter sp, pseudomonas sp, Serratia sp. (Maryunani dan Nurhayati, 2009).
Bakteria seperti Escherichiacoli, Listeria monocytogenes,
Neisseriameningitidis, Sterptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe
B,Salmonella, dan Streptococcus grup B merupakan penyebab paling sering
terjadinya sepsis pada bayi berusia sampai dengan 3 bulan. Streptococcus grup B
merupakan penyebab sepsis paling sering pada neonatus.
Streptococcus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses
kelahiran. Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika,
paling tidak terdapat bakteria pada vagina atau rektum pada satu dari setiap lima
wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama melahirkan. Bayi
prematur yang menjalani perawatan intensif rentan terhadap sepsis karena sistem
imun mereka yang belum berkembang dan mereka biasanya menjalani prosedur-
prosedur invasif seperti infus jangka panjang, pemasangan sejumlah kateter, dan
bernafas melalui selang yang dihubungkan dengan ventilator. Organisme yang
normalnya hidup di permukaan kulit dapat masuk ke dalam tubuh kemudian ke
dalam aliran darah melalui alat-alat seperti yang telah disebut di atas. Bayi berusia
3 bulan sampai 3 tahun beresiko mengalami bakteriemia tersamar, yang bila tidak
segera dirawat, kadang-kadang dapat megarah ke sepsis. Bakteriemia tersamar
artinya bahwa bakteria telah memasuki aliran darah, tapi tidak ada sumber infeksi
yang jelas. Tanda paling umum terjadinya bakteriemia tersamar adalah demam.
Hampir satu per tiga dari semua bayi pada rentang usia ini mengalami demam
tanpa adanya alasan yang jelas - dan penelitian menunjukkan bahwa 4% dari
mereka akhirnya akan mengalami infeksi bakterial di dalam darah.Streptococcus
pneumoniae (pneumococcus) menyebabkan sekitar 85% dari semua kasus
bakteriemia tersamar pada bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun.
Faktor- faktor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum
berasal dari tiga kelompok, yaitu :
2
(1) Faktor Maternal
a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang.
Mempengaruhi kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan
yang tidak diketahui sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio-
ekonomi rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya
padat dan tidak higienis. Bayi kulit hitam lebih banyak
mengalami infeksi dari pada bayi berkulit putih.
b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan
umur ibu (kurang dari 20 tahun atua lebih dari 30 tahun
c. Kurangnya perawatan prenatal.
d. Ketuban pecah dini (KPD)
e. Prosedur selama persalinan.
(2) Faktor Neonatatal
a. Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram),
merupakan faktor resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya
imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup
bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi
pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi
imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan
hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan
pertahanan kulit.\
b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG
spesifik, khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus
influenza. IgG dan IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak
terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal tersebut,
aktifitas lintasan komplemen terlambat, dan C3 serta faktor B tidak
diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida. Kombinasi
antara defisiensi imun dan penurunan antibodi total dan spesifik,
bersama dengan penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian
besar penurunan aktivitas opsonisasi.
c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki-
laki empat kali lebih besar dari pada bayi perempuan.
3
(3) Faktor Lingkungan
a. ada defisiensi imun bayi cenderung mudah sakit sehingga sering
memerlukan prosedur invasif, dan memerlukan waktu perawatan
di rumah sakit lebih lama. Penggunaan kateter vena/ arteri maupun
kateter nutrisi parenteral merupakan tempat masuk bagi
mikroorganisme pada kulit yang luka. Bayi juga mungkin
terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
b. Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis
menimbulkan resiko pada neonatus yang melebihi resiko
penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga menyebabkan
kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat
ganda.
c. Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran
mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial),
paling sering akibat kontak tangan.
d. Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli
ditemukan dalam tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu
formula hanya didominasi oleh E.colli.
4
tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah
terinfeksi akan terinhalasi oleh bayi dan masuk dan masuk ke traktus
digestivus dan traktus respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi
pada lokasi tersebut. Selain cara tersebut di atas infeksi pada janin
dapat terjadi melalui kulit bayi atau port de entre lain saat bayi
melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman. Beberapa
kuman yang melalui jalan lahir ini adalah Herpes genetalis, Candida
albican,dan N.gonorrea.
1.4 Patofisiologi
5
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu:
1) Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin
melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.
Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau
Listeria dll.
2) Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya
saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau
amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur
dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi
kontaminasi kuman pada janin.
3) Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan
lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk
ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui
saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman
pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah
lebih dari 18-24 jam.
6
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat
prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator,
kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan
hunian terlalu padat, dll.
Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki
aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan
kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula
bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan
penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada
penatalaksanaan selain pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan
fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.
1.5 Klasifikasi
7
1.6 Diagnosa
Gejala sepsis sering kali tidak khas pada bayi. Maka diperlukan pemeriksaan
laboratorium untuk menegakkan diagnosis sepsis, hal ini meliputi beberapa hal
sebagai berikut :
(1) Pemeriksaan hematologi
a. Trombosit : < 100.000/L
b. Leukosit : dapat meningkat atau menurun
c. Pemeriksaan kadar D-Dimer
Tes darah lainnya dapat memeriksa fungsi organ tubuh seperti hati
dan ginjal (Maryunani dan Nurhayati, 2009).
(2) Kultur darah untuk menentukan ada atau tidaknya bakteri di dalam darah
(Putra, 2012).
(3) Urine diambil dengan kateter steril untuk memeriksa urine di bawah
mikroskop, dan kultur urine untuk mengetahui ada atau tidaknya
bakteri (Putra, 2012).
(4) Pungsi lumbal (pengambilan cairan otak dari tulang belakang) untuk
mengetahui bayi terkena meningitis (Putra, 2012).
a. Lebih dari 30 sel darah putih (30x10 9/L);diduga infeksi bila lebihdari
20/mm sel darah putih (20x10 9/L) dan lebih dari 5/mm3 (5x10
9/L) neutrofil.
b. Protein pada bayi cukup bulan > 200mg/dL (>2g/L)
c. Glukosa kurang dari 30% gula darah.
d. Dapat timbul streptokokkus group B pada pemeriksaan gram tanpa
ada sel darah putih yang muncul (Fanaroff dan Lissauer, 2013).
(5) Rontgen terutama paru-paru untuk memastikan ada atau tidaknya
pneumonia (Putra, 2012).
(6) Jika bayi menggunakan perlengkapan medis di tubuhnya, seperti infus
atau kateter, maka cairan dalam perlengkapan medis tersebut akan
diperiksa ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi (Putra, 2012).
(7) Pemeriksaan C-Reactive Protein (CRP) merupakan pemeriksaan
protein yang disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut bila
8
terdapat kerusakan jaringan (Maryunani dan Nurhayati, 2009).
(8) Lokasi infeksi-pertimbangkan aspirasi jarum atau biopsi untuk
pemeriksaan gram dan mikroskopi direk (Fanaroff dan Lissauer, 2013).
(9) Aspirat trakea bila menggunakan ventilasi mekanik. Pertimbangkan
(Fanaroff dan Lissauer, 2013).
(10) Kultur vagina ibu (Fanaroff dan Lissauer, 2013).
(11) Kultur jaringan plasenta dan histopatologi (Fanaroff dan Lissauer, 2013).
(12) Skrining antigen cepat (Fanaroff dan Lissauer, 2013).
(13) Gas darah (Fanaroff dan Lissauer, 2013).
(14) Skrining koagulasi (Fanaroff dan Lissauer, 2013).
1.7 Penatalaksanaan
(1) Terapi suportif jalan napas, pernapasan, sirkulasi (A-B-C:
airway,breathing,circulation). Periksa gula darah.
(2) Obati dengan antibiotik segera bila ada dugaan sepsis, segera setelah
mengambil kultur tetapi sambil menunggu hasil kultur. Pilihan antibiotik
bergantung kepada kejadian dan praktik setempat.
a. Sepsis awitan dini (Early-onset sepsis)
Mencakup organisme gram positif dan gram negatif, contoh :
penicillin / amoxcillin + aminoglikosida (misalnya : gentamisin /
tobramisin).
b. Sepsis awitan lambat (Late-onset sepsis)
Perlu juga mencakup stafilokokus dan enterokokkus koagulase
negatif, contoh : methicillin / flucloxacillin + gentamisin atau
sefalosporin / gentamisin + vancomysin.
Bila terpasang kateter vena sentral, pindahkan bila tidak ada
respons terhadap antibiotik, kultur terus menerus positif, adanya
organisme gram negatif atau sangat sakit.
(Fanaroff dan Lissauer, 2013).
9
Tabel 1.1 Jenis dan Dosis Antibiotik yang Dianjurkan untuk Neonatus
10
Tabel 1.2 Tabel Penanganan Infeksi/Sepsis
1.8 Komplikasi
Pada berbagai kasus sepsis neonatorum, organisme memasuki tubuh bayi
melalui ibu selama kehamilan atau proses kelahiran. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi akibat sepsis neonatorum, antara lain:
(1) Hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis metabolik, dan jaundice
11
metabolik. Jaundice terjadi dalam menanggapi terlalu banyaknya bilirubin
yang dilepaskan ke seluruh tubuh yang disebabkan oleh organ hati
sebagian bayi baru lahir belum dapat berfungsi optimal, bahkan disfungsi
hati akibat sepsis yang terjadi dan kerusakan eritrosit yang meningkat.
(2) Dehidrasi
(4) Meningitis
Kelainan perdarahan ini terjadi karena dipicu oleh bakteri gram negatif
yang mengeluarkan endotoksin ataupun bakteri gram postif yang
mengeluarkan mukopoliskarida pada sepsis. Inilah yang akan memicu
pelepasan faktor pembekuan darah dari sel-sel mononuklear dan endotel.
12
Sel yang teraktivasi ini akan memicu terjadinya koagulasi yang berpotensi
trombi dan emboli pada mikrovaskular.
(6) Sepsis berat : sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal
(7) Syok sepsis : sepsis berat disertai hipotensi\
(8) Sindroma disfungsi multiorgan (MODS)
1.9 Prognosis
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila
tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30%
kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi
pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada
sepsis awitan dini adalah 15 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 30
%) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 20 % (pada infeksi SGB pada SAL
kira kira 2 %). 25% bayi meninggal meskipun telah diberikan antibiotik dan
perawatan intensi. Angka kematian pada bayi prematur yang kecil adalah dua
kali lebih besar (Marmi dan Rahardjo, 2012).
1.10 Pencegahan
Sepsis neonatorum adalah penyebab kematian utama pada neonatus.tanpa
pengobatan yang memadai, gangguan ion dapat menyebabkan kematian dalam
waktu singkat. Oleh karena itu, tindakan pencegahan mempunyai arti
penting karena dapat mencegah terjadinya kesakitan dan kematian (Surasmi,
2003)
Tindakan yang dapat dilakukan (Surasmi, 2003) adalah :
1) Pada masa antenatal.
13
2) Pada saat persalinan.
3) Sesudah persalinan.
14
BAB II
15
d. Pendidikan : tingkat pendidikan sangat besar pengaruhnya
di dalam tindakan asuhan kebidanan, selain itu anak akan lebih
terjamin pada orang tua pasien (anak) yang tingkat
pendidikannya tinggi. (Depkes RI, 1994: 10)
e. Pekerjaan : jenis pekerjaan dapat menunjukkan tingkat
keadaan ekonomi keluarga, juga dapat memengaruhi kesehatan.
f. Penghasilan : mengetahui taraf hidup ekonomi dan
berkaitan dengan status gizi anak.
g. Alamat : dicatat untuk mempermudah hubungan bila
keadaan mendesak dan dapat memberi petunjuk keadaan tempat
tinggal pasien. (Depkes RI, 1994: 10).
2. Keluhan Utama
Bayi yang mengalami sepsis neonatorum akan mengalami kemerahan
disekitar tali pusat,bayinya lemas,tidak dapat menetek dan tidak dapat
melekat pada payudara ibu juga tidak mau minum ASI atau muntah.
Suhu tubuh >380 C di ukur melalui anus atau lebih dari normal, rewel.
Terjadi perubahan warna kulit (pucat atau biru), kuning pada kulit dan
mata, serta tidak aktif bergerak.
3. Riwayat Kehamilan, Persalinan, dan Nifas yang Lalu
a. Kehamilan yang lalu ibu mengalami gangguan/ tidak, seperti
infeksi pada uterus atau plasenta, infeksi selama kehamilan
antara lain TORCH., mual-muntah, eklampsi, Diabetes Melitus,
perdarahan pervaginam yang banyak, nyeri kepala gangguan
penglihatan, apa terdapat riwayat sepsis pada bayi sebelumnya
dan pernah mengalami infeksi semasa kehamilan. Apa terdapat
riwayat kehamilan ganda.
b. Persalinan yang lalu anak lahir spontan/ tidak, ditolong oleh
dokter/ bidan/ dukun, lahir jam berapa dan jenis kelamin apa.
Apa ibu mengalami partus lama, persalinan dengan tindakan
(ekstraksi vacum/ cunam, SC), ketuban pecah dini, persalinan
kurang bulan ( Usia Gestasi <37 minggu) dan demam selama
persalinan.
16
c. Komplikasi yang tejadi pada masa nifas antara lain: perdarahan,
demam tinggi, lokhea berbau busuk, serta gangguan pemberian
ASI. (Salmah, 2006: 133).
4. Riwayat Kehamilan dan Persalinan Sekarang
a. Anamnesis mengenai riwayat inkompatibilitas darah, riwayat
transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya, kehamilan
dengan komplikasi, apa ibu mengalami eklampsi, DM, penyakit
bawaan, obat yang diberikan pada ibu selama hamil / persalinan.
b. Riwayat persalinan ibu persalinan dengan tindakan / komplikasi,
rupture selaput ketuban yang lama (>18 jam), persalinan
premature(<37 minggu), persalinana lama, persalinan kurang bulan.
Selama masa nifas apa ibu mengalami demam saat intrapartum (
suhu > 370 C).
5. Riwayat Neonatal
Anamnesis mengenai riwayat bayi baru lahir apakah bayi mengalami
trauma lahir, lahir kurang bulan (prematur), bayi kurang mendapat
cairan dan kalori, BB lahir sangat rendah (< 1500 gram), nilai apgar
sedang (menit ke 1 < 5, menit ke 2 < 7), hipotermi pada bayi
6. Kebutuhan Dasar
Pola nutrisi : Bayi hanya di beri ASI tetapi dalam kasus ini karena
bayi tidak mau minum maka di puasakan dan diberi
nutrisi melalui selang infuse yang berisi D10% 1/5 Ns
8 tetes / menit. Nutrisi terbaik untuk BBL adalah ASI
yang dapat diberikan segera setelah bayi lahir,
pemberiannya ondeman. Setelah bayi lahir segera
susukan pada ibunya, apakah ASI keluar sedikit,
kebutuhan minum hari pertama 60 cc/kg bb,
selanjutnya ditambah 30 cc/kg bb untuk hari
berikutnya. apabila bayi kurang dapat menghisap atau
reflex menghisapnyaa lemah, tambahkan ASI peras
dengan menggunaakan salah satu alternative cara
pemberian susu.
17
Pola eliminasi : Neonatus akan buang air kecil selama 6 jam setelah
kelahirannya, buang air besar pertama kalinya dalam
24 jam pertama berupa mekoneum perlu dipikirkan
kemungkinan mekoneum Plug Syndrome, megakolon,
obstruksi saluran pencernaan. Pada kasus sepsis
neonatorum bayi akan mengalami kurangnya produksi
urin.
Pola Hygiene :Bayi mandi 2x sehari dimandikan ibu dan ganti
pakaian setiap selesai mandi atau kotor dan
basah,tetapi dalam kasus ini karena bayi sakit maka
bayi hanya di seka 2x sehari.
Pola Istirahat : Bayi tertidur dan terbangun ketika BAB/BAK.
B. Data Objektif
1. Pemeriksaan Umum
Pengkajian ini terdiri dari pemeriksaan umum seperti pemeriksaan
keadaan umum bayi meliputu pemeriksaan tanda-tanda vital (laju
jantung, suhu, dan pernapasan).
Keadaan umum : lemah
Kesadaran : Composmentis
TTV : Nadi normalnya > 100 kali/menit, suhu 36,6C
37oc,tetapi pada kasus sepsi bayi dapat mengalami
hipertermi yaitu suhu >37oc dan hipotermia yaitu
suhu < 36,5oc.
Nadi : normalnya 120 160 kali/ menit
Pernafasan : normalnya 40 x/menit, apabila < 30 x/ menit atau
> 60 x/ menit bayi sukar bernafas, 5% - 10% karena
bayi mengalami 4 penyesuaian utama yang
dilakukan belum dapat memeroleh kemajuan dalam
perkembangan. Namun pada kasus ini pernafasan
bayi sangat cepat atau kesulitan bernafas. Ada saat
bayi henti nafas lebih dari 10 detik.
18
Berat badan : normalnya 2500 gram 4000 gram (jika BB bayi
< 2500 gram maka termasuk BBLR, namun jika BB
bayi < 4000 gram maka bayi tersebut termasuk bayi
besar)
Panjang badan : normalnya 48 53 cm
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang dilakukan dengan inspeksi, palpasi, dan auskultasi
dimulai dari kepala sampai ekstermitas bawah.
19
a. Reflek moro/terkejut
Apabila bayi diberi sentuhan mendadak terutama dengan jari dan
tangan maka akan menimbulkan gerak terkejut. Reflek moro bayi
menjadi lemah.
b. Reflek mengenggam
Apabila telapak tangan disentuh dengan jari pemeriksa maka akan
berusaha mengenggam jari pemeriksa.
c. Reflek rooting/mencari
Apabila pipi disentuh oleh jari pemeriksa maka ia akan menoleh
dan mencari sentuhan itu. Reflek rooting bayi menjadi lemah
d. Reflek menghisap/sucking reflek
Apabila bayi diberi dot/putting maka ia berusaha untuk menghisap.
Reflek menghisap bayi menjadi lemah. ( Indrayani, 2003)
e. Glabella reflek
Bayi disentuh pada daerah os glabella dengan jari tangan pemeriksa
maka ia akan mengerutkan keningnya dan mengedipkan matanya.
f. Gland reflek
Bila bayi disentuh pada lipatan paha kanan dan kiri maka
ia berusaha mengangkat kedua pahanya.
g. Tonick neck reflek
Bila bayi diangkat dari tempat tidur/bila digendong maka ia akan
berusaha mengangkat kepalanya.
4. Pemeriksaan antopometri
a. Berat badan
BB bayi normal 2500 4000 gram
b. Panjang badan
PB bayi lahir normal 48 52 cm
c. Lingkar kepala
Lingkar kepala bayi normal 33 38 cm
d. Lingkar lengan atas
Normal 10 11 cm
e. Ukuran kepala
20
a) Diameter sub oksipito bregmatika
Antara foramen magnum ubun-ubun besar (9,5 cm)
b) Diameter sub oksipito frontalis
Antara foramen magnum ke pangkal hidung (11 cm)
c) Diameter fronto oksipitalis
Antara titik pangkal hidung ke jarak terjauh belakang kepala (12
cm)
d) Diameter mento oksipitalis
Antara dagu ke titik terjauh belakang kepala (13,5 cm)
e) Diameter sub mento bregmatika
Antara os hyoid ke ubun-ubun besar (9,5 cm)
f) Diameter biparietalis
Antara 2 tulang parientalis (9 cm)
g) Diameter bi temporalis
Antrara ke 2 tulang temporalis (8 cm)
21
Suhu : 36,5oc -37oc tetapi pada kasus ini dapat terjadi hipotermi atau
hypertermi dengan suhu <36,5oc atau >37oc
RR : 30 - 60 kali/menit tetapi pada kasus ini pernafasan mencapai
>60 kali/rmenit
HR : 100-120x/menit tetapi dalam kasus ini HR dapat mencapai
<100 kali/menit atau >180 kali/menit
Pemeriksaan penunjang
Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
Masalah :
1. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit bayinya.
Ds : orang tua mengatakan tidak mengerti dengan penyakit yang sedang
diderita bayinya.
Do : -
Ds : -
Do : KU : lemah
Mata : sclera kuning
22
Kulit berwarna kuning
23
Rasional : Mengidentifikasi masalah nutrisi dalam terapi
perawatannya
2. Potensial terjadi hipertermi.
Tujuan : mencegah terjadinya hipertermi.
KH :
Intervensi :
1) Monitoring tanda-tanda vital setiap dua jam dan pantau warna kulit
3) Berikan kompres denga air hangat pada aksila, leher dan lipatan paha,
hindari penggunaan alcohol untuk kompres.
24
karena akan menyebabkan penurunan dan peningkatan
panas secara drastis.
Intervensi :
Rasional : intake dan output menentukan cairan yang keluar dan masuk.
2.5 Intervensi
25
TTV dalam batas normal
K/U : Baik RR : 50 - 60 kali / menit
Pernafasan : Reguler Suhu : 36,5C - 37,5C
HR : 100 160 kali/menit
Pemeriksaan darah lengkap, terutama kadar leukosit dalam batas
normal (4- 10ribu).
Intervensi :
1. Observasi TTV bayi
26
7. Jika hasil kultur positif atau bayi menunjukkan tanda-tanda sepsis kapan
saja, obati sebagai kemungkinan besar sepsis.
8. Jika kultur tidak dilakukan, dan bayi tidak menunjukkan tanda sepsis,
hentikan antibiotik setelah lima hari.
9. Amati bayi selama 24 jam setelah antibiotik dihentikan. Jika bayi dalam
keadaan baik dan tidak ada tanda yang memerlukan perawatan di rumah
sakit, bayi dapat dipulangkan. Beri tahu ibu tentang tanda-tanda sepsis
dan nasehati ibu untuk membawa bayinya jika salah satu tanda sepsis
muncul.
10. Jika hasil kultur positif atau bayi menunjukkan tanda-tanda sepsis kapan
saja, obati sebagai kemungkinan besar sepsis.
11. Jika kultur darah tidak diperiksa, amati bayi selama tiga hari lagi. Jika
bayi dalam keadaan baik, pulangkan (Putra, 2012).
27
Rasional : Meningkatkan pemahaman akan kerja sama orang tua dalam
prosedur tindakan.
3. Informasikan kepada orang tua hal yang mungkin terjadi jika tidak segera
ditangani
Rasional : efek samping yang terjadi adalah ikterus karena kadar bilirubin yang
tinggi, terjadinya hipertermi, serta terjadinya dehidrasi pada bayi
sehingga orang tua dapat melakukan tindakan segera.
4. Kolaborasi dalam pemberian obat antibiotik. Perhatikan dampak pemberian obat
Rasional : Terapi pengobatan sangat membantu penyembuan dalam masa terapi
perawatan sesuai dengan dosis yang harus diberikan kepada bayi dan
menghindari terjadinya komplikasi.
2.6 Implementasi
28
8) Jika hasil kultur positif atau bayi menunjukkan tanda-tanda sepsis
kapan saja, obati sebagai kemungkinan besar sepsis.
9) Jika kultur tidak dilakukan, dan bayi tidak menunjukkan tanda
sepsis, hentikan antibiotik setelah lima hari.
10) Mengamati bayi selama 24 jam setelah antibiotik dihentikan. Jika
bayi dalam keadaan baik dan tidak ada tanda yang memerlukan
perawatan di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan. Beri tahu ibu
tentang tanda-tanda sepsis dan nasehati ibu untuk membawa bayinya
jika salah satu tanda sepsis muncul.
11) Jika hasil kultur positif atau bayi menunjukkan tanda-tanda sepsis
kapan saja, obati sebagai kemungkinan besar sepsis.
12) Jika kultur darah tidak diperiksa, amati bayi selama tiga hari lagi.
Jika bayi dalam keadaan baik, pulangkan (Putra, 2012).
2.7 Evaluasi
Tujuan evaluasi adalah menilai apa ada kemajuan atau tidak pada pasien
setelah dilakukan tindakan (Estiwidani dkk, 2008). Hasil yang diharapkan
dari asuhan kebidanan pada bayi dengan Sepsis Neonatorum adalah
keadaan umum bayi baik, vital sign dalam batas normal, tidak muntah dan
tidak ikterik. Pendokumentasian dengan menggunakan SOAP.
29
a. Mengobservasi keadaaan umum dan TTV bayi
b. Keadaan umu : baik
TTV : Nadi : 136 x/menit
Respirasi : 48x/menit
Suhu : 35,3o C
c. Membersihkan tali pusat dan membngkusnya dengan
kassa steril
d. Menjaga kehangatan bayi dengan cara membungkus
dengan kain kering dan bersih.
e. Menganjurkan pada ibu untuk menyususi bayinya
f. Melanjutkan terapi dengan kolaborasi dokter anak
dalam pemberian antibiotik.
30
DAFTAR PUSTAKA
Bochud PY, Calandra T. Clinical Review: Science, medicine, and the future.
Pathogenesis of sepsis: new concept and implications for future treatment. BMJ
2003;326:262-266.
31
EGC.
Vietha. 2008. Askep pada Sepsi Neonatorum. Akses internet di
http://viethanurse.wordpress.com/2008/12/01/askep-pada-sepsis-neonatorum/
Yongki. 2012. Asuhan Pertumbuhan Kehamilan, Persalinan, Neonatus, Bayi dan
Balita. Yogyakarta: Nuha Medika
32