TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
PALANG MERAH INDONESIA
PETUNJUK PELAKSANAAN
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA PALANG MERAH INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia.
Wilayah Indonesia tepat berada pada cincin api (ring of fire) yakni
pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu Indo-Australia, Eurasia dan
Pasific. Tabrakan antar lempeng tektonik tersebut membentuk jalur
gempa dengan ribuan titik pusat gempa yang menjadikan Indonesia sangat
rawan gempa bumi. Selain itu, Wilayah Indonesia memiliki sabuk vulkanik
sepanjang 7.000 km dari Pulau Sumatra, Jawa, Bali, NTB, serta NTT.
Terdiri dari 129 gunung berapi aktif (70 di antaranya sangat aktif) serta
500 gunung tidak aktif. Gunung berapi aktif di Indonesia merupakan 13 %
dari seluruh gunung berapi aktif di dunia. Selain itu, wilayah pantai
Indonesia sepanjang 81.000 km dengan pemukiman padat merupakan
wilayah dengan kerentanan dan berisiko terhadap bencana tsunami dan
gelombang pasang.
2. Peristiwa bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia merupakan
gejala yang tidak pernah dapat diperhitungkan oleh siapapun. Kerugian
apapun yang ditimbulkan selalu mengakibatkan dampak yang
berkepanjangan terhadap menurunnya kualitas hidup manusia, khususnya
masyarakat yang paling rentan. Selama beberapa dekade terakhir,
kejadian bencana di Indonesia baik bencana alam maupun non alam dari
tahun ke tahun terus meningkat. Data dari BNPB diketahui bahwa antara
tahun 2003 s.d 2005 di Indonesia telah terjadi sebanyak 1.429 kejadian
bencana. Dari data tersebut ternyata bencana hidrometeorologi
merupakan bencana yang paling sering terjadi yaitu sebesar 53,3 %. Dari
total bencana hidrometeorologi tersebut, kejadian terbanyak adalah banjir
(34,1%), dan disusul oleh tanah longsor (16%).
3. Masyarakat yang hidup disekitar hazard (bahaya) terkadang tidak menyadari
bahwa bencana dapat terjadi kapan saja. Selain itu, bahkan sebagian dari
masyarakat justru melakukan eksploitasi lingkungan yang dapat
memunculkan bahaya-bahaya baru yang dapat menimbulkan risiko dan
kerentanan masyarakat di lingkungannya. Belum adanya kesadaran umum
bahwa bencana darurat sekecil apapun, juga berdampak pada rumah
tangga ataupun masyarakat setempat,yang pada akhirnya akan
menimbulkan instabilitas kehidupan ditingkat lokal, nasional maupun
global. Realita ini mendorong perlu adanya kesiapan untuk memprediksi,
mencegah, mensiapsiagakan serta melakukan upaya-upaya mengurangi
dampak bencana yang terpadu dengan sistem respon bencana maupun
upaya-upaya pemulihan dalam sistem penanggulangan bencana, yang
mencakup periode pra-bencana, situasi tanggap darurat bencana dan
paska-bencana.
4. Keadaan darurat dalam skala sekecil apa pun, yang berdampak pada rumah
tangga atau pun pada masyarakat setempat, menimbulkan gangguan di
tingkat nasional bahkan global. Keadaan darurat didefinisikan sebagai
keadaan mengancam keselamatan yang membuat orang berisiko kehilangan
nyawa atau mengalami penurunan derajat kesehatan atau kondisi
kehidupan secara signifikan, dan yang berpotensi mengungguli kemampuan
menanggulangi yang dimiliki oleh sistem dukungan perorangan, keluarga,
masyarakat dan negara. Keadaan darurat menimbulkan dampak berbeda
pada laki-laki dan perempuan, dan pada gilirannya mereka juga memiliki
cara yang berbeda dalam hal menanggulangi keadaan darurat itu. Oleh
karenannya, PMI disemua jajaran, hendaknya mampu bertindak dalam
segala keadaan yang mengancam keselamatan terlepas dari ruang lingkup
keadaan darurat itu, dan tindakan-tindakannya harus dikendalikan oleh
kebijakan yang sama tanpa melihat ukuran dan tingkat tanggap.
5. Dalam rangka memenuhi tanggungjawabnya untuk memberikan
pelayanan terbaiknya kepada mereka yang membutuhkan, maka
diperlukan adanya kesadaran kolektif agar PMI melakukan penguatan
kapasitas untuk melaksanakan mandat utama yakni tugas-tugas bantuan
pertama pada tiap-tiap bentjana alam atau perang. Dalam kontek ini,
maka pelayanan tanggap darurat harus ditempatkan pada prioritas sangat
tinggi. Sedangkan disisi lain, PMI juga harus terlibat lebih aktif pada upaya
upaya ke arah hulu, yakni upaya kesiapsiagaan dan pengurangan risiko
bencana.
6. Untuk itu, segenap komponen Palang Merah Indonesia baik di Pusat, Provinsi
maupun Kabupaten / Kota bersama-sama dengan masyarakat dan mitra
kerja lainnya perlu terlibat secara aktif mengaktualisasikan Manajemen
Bencana secara komprehensif yang menfokus pada upaya meringankan
beban penderitaan masyarakat rentan melalui langkah-langkah antisipasi
dan meminimalisasi dampak bencana serta melakukan upaya tanggap
darurat bencana yang cepat, tepat dan terkoordinasi.
a. Pendahuluan
b. Prinsip Bantuan Palang Merah
c. Kebijaksanaan Dasar dalam menhadapi Bencana
d. Organisasi dan peranan PMI
e. Kegiatan dan Siklus Bencana
f. Pendidikan dan Pelatihan
g. Pembinaan
h. Penutup
BAB II
POKOK-POKOK KEBIJAKAN PMI
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
A. TUJUAN
B. PENDEKATAN
Kegiatan PMI pada saat bencana dijabarkan secara rinci dalam Petunjuk
Pelaksanaan Tanggap Darurat Bencana.
C. Tahap Paska Bencana (Setelah Bencana)
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana hanya
lebih fokus pada tahap pemulihan awal. PMI akan terlibat dalam kegiatan
recovery dan rekonstruksi fisik, bila ada dukungan dana dan dukungan teknis
yang memadai.
Kegiatan pemulihan yang dilaksanakan oleh PMI lebih banyak diarahkan untuk
mendorong agar masyarakat memiliki kapasitas untuk melakukan upaya
pemulihan secara mandiri, dengan cakupan kegiatan sebagai berikut :
1. Dukungan pemulihan dan penyedian air;
2. Kebersihan lingkungan wilayah yang dilanda bencana;
3. Promosi kesehatan paska bencana;
4. Dukungan sosial psikologis;
5. Pelayanan kesehatan dasar;
6. pelayanan pemulihan hubungan keluarga; dan
7. pemulihan awal dan rekonstruksi.
Kegiatan PMI pada paska bencana dijabarkan secara rinci dalam Petunjuk
Pelaksanaan Pemulihan, Rehabilitasi dan Rekonstruksi.
BAB IV
PENGORGANISASIAN SERTA
PEMBAGIAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB
A. PENGORGANISASIAN
E. Dukungan logistik
Dukungan logistik merupakan kebutuhan mutlak untuk mendukung pelaksanaan
pelayanan penanggulangan bencana. Dukungan ini berupa transportasi,
komunikasi, barang bantuan pembekalan dan penambahan satuan/sarana
lainnya. Dukungan logistik dalam penanggulangan bencana diatur dalam
Petunjuk pelaksanaan tersendiri.
F. Mobilisasi Sumber Daya
1. Kegiatan operasional penting yang lainya dalam penggulangan bencana
adalah pengerahan sumber daya. Sasaranya selalu diarahkan pada
masyarakat instansi yang memiliki sumber ( baik personal, material,
maupun financial) untuk di himpun oleh PMI dan kemudian disalurkan pada
keluarga/individu selaku korban bencana.
2. PMI di semua tingkatan berkewajiban melakukan upaya mobilisasi sumber
daya ini secara terpadu dan berkesinambungan melalui kemitraan dengan
pemerintah, lembaga donor, maupun dunia usaha disesuaikan dengan
situasi/ kondisi setempat. Markas Provinsi memberi pengarahan secara
strastegis, sedangkan Markas Pusat PMI merumuskan pelbagai pola yang
dapat diterapkan dalan negeri atau yang dapat dikembangkan khusus untuk
situasi luar negeri. Setiap program/kegiatan pengerahan sumber daya
harus dikoordinasikan dengan Pemerintah setempat (Menteri/ Gubernur /
Bupati atau Walikota)
3. Khusus untuk pengerahan sumber daya luar negeri adalah tanggung jawab
dan wewenang Pengurus Pusat dan pelaksanaanya dilakukan oleh Markas
Pusat PMI, berdasarkan prosedur IFRC, ICRC dan Peraturan Pemerintah
atau dokumen resmi lainnya.
4. Dalam tahapan sebelum dan setelah bencana, relawan PMI di mobilisasi
dalam wadah KSR dan TSR. Sedangkan dalam tahap Tanggap Darurat
Bencana, mobilisasi personal PMI baik Pengurus, Staff dan Relawan
dilakukan dalam wadah SATGANA maupun TSR SIBAT.
A. Umum
F. Pembinaan Kepemimpinan
I. Perencanaan Strategis
BAB IX
PENUTUP
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 30 Januari 2012
PENGURUS PUSAT
PALANG MERAH INDONESIA
KETUA UMUM,
M. JUSUF KALLA