Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meskipun sentuhan globalisasi dikatakan sebagai suatu jembatan menuju
modernisasi dunia, berbagai permasalahan masih tetap muncul, terutama di
bidang kesejahteraan umum. Kesehatan menjadi salah satu aspek penting
pembangunan yang perlu mendapat perhatian bersama masalah kemiskinan
sebagai suatu konstelasi integral aspek kesejahteraan. Pada dasarnya
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu daerah berkorelasi positif
terhadap derajat kesehatan masyarakat dan secara timbal balik berkaitan erat
pula dengan kemampuan untuk mengembangkan pelayanan kesehatan atau
kegiatan lain di sektor kesehatan (Purwitayana, 2013). Hal ini sangatlah wajar
mengingat kesehatan menjadi dasar seseorang untuk mendapatkan
produktivitas kerjanya. Dalam kitab Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945
Pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, kesehatan adalah hak fundamental setiap penduduk dan setiap
penduduk berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa kesehatan merupakan harga mati yang harus terpenuhi guna
terciptanya kesejahteraan dan begitu pula sebaliknya.

Salah satu indikator kesejahteraan adalah derajat pertumbuhan ekonomi


masyarakat, dimana hal ini ditentukan oleh level produktivitas masing-masing
individu dalam lingkungan tersebut (Rubi, 2007). Kondisi sakit dinilai
merupakan faktor yang berperan secara signifikan dalam menciptakan
penurunan kualitas bahkan terhentinya suatu usaha produktif individu dimana
hal ini berikutnya akan melemahkan pendapatan, baik itu secara individu,
keluarga, maupun komunitasnya. Apabila keadaan sakit ini berlangsung lama
dan menetap, masalah yang menghantui akan berlipat ganda dengan adanya
penambahan masalah kemiskinan. Kondisi ini diperparah oleh aspek
pengobatan dimana penelitian menunjukkan sebanyak 83 persen rumah tangga
mengalami pembayaran katastropik ketika satu anggota rumah tangga
membutuhkan rawat inap.(Rubi, 2007) Fakta ini menunjukkan bahwa hanya
dengan usaha untuk membayar biaya pengobatan saja sudah cukup untuk
memperburuk kemungkinan timbulnya rumah tangga miskin baru. Oleh karena
itu, kondisi sakit dapat menjadi sebuah lingkaran setan bagi masyarakat yang
tidak memiliki jaminan kesehatan yang memadai.

Jaminan kesehatan merupakan bagian integral utama sekaligus sebagai


perpanjangan tangan dari suatu sistem kesehatan. Ketiadaan jaminan
kesehatan ini akan meningkatkan pembiayaan pengobatan sehingga beban
belanja kebutuhan bertambah secara signifikan akibat adanya beban ganda
(double burden) terhadap bertambahnya kebutuhan belanja dan berkurangnya
pendapatan. Lemahnya kondisi kesehatan juga tercermin melalui akses dan
kualitas kesehatan di Indonesia sampai saat ini masih tergolong rendah,
terutama pada kalangan menengah kebawah. Hal ini diakibatkan oleh
kurangnya pemahaman masing-masing penduduk tentang pentingnya
kesehatan ataupun sulitnya akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Bahkan tidak jarang terjadi kesenjangan antara akses dan kualitas pelayanan
yang semakin memperburuk kondisi sakit seseorang.

Tingginya biaya yang dikeluarkan juga menyebabkan sulitnya memperoleh


ataupun mempertahankan pelayanan kesehatan itu sendiri. Menurut Thabrany
(2000), lebih dari 70 persen biaya kesehatan di Indonesia harus ditanggung
sendiri oleh tiap keluarga (out of pocket-OOP) yang bersifat sangat regresif.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 10 persen rumah tangga termiskin
harus menghabiskan 230 persen penghasilannya sebulan untuk membiayai
sekali rawat inap anggota keluarganya, sementara keluarga golongan 10
persen terkaya hanya menghabiskan 120 persen penghasilan keluarga sebulan
untuk membiayai satu kali rawat inap anggota keluarganya.(Thabrany, 2000)
Hal ini menunjukkan besarnya pengeluaran yang harus ditanggung masing-
masing penduduk tidaklah murah apabila ingin mendapatkan pelayanan
kesehatan. Data ini juga menunjukkan bahwa masyarakat miskin akan
menderita kerugian yang besar apabila salah satu anggota keluarganya sakit.
Adanya kelompok penduduk rentan kemiskinan (high risk) dari golongan
menengah kebawah juga memiliki kecenderungan untuk mengalami kemiskinan
atas dasar yang sama. Kondisi inilah yang menyebabkan perlu adanya sebuah
sistem jaminan kesehatan yang memadai bagi masyarakat.

Kondisi kekinian aspek kemiskinan di masyarakat baik di tingkat nasional


maupun di tingkat Provinsi Bali dapat dilihat pada Tabel 1.(BPS, 2014; BPS
Provinsi Bali, 2014) Berdasarkan data tersebut, pada periode September 2013
sampai Maret 2014 jumlah penduduk miskin secara nasional mengalami
penurunan 0,22 persen, sedangkan di Bali sendiri mengalami peningkatan 0,04
persen. Terlihat pula bahwa secara nasional penduduk desa lebih dominan
dibanding kota, sedangkan di Bali terjadi hal sebaliknya. Pada periode yang
sama, garis kemiskinan di Indonesia maupun di Bali sama-sama mengalami
peningkatan, secara nasional meningkat 3,34 persen sedangkan Bali
meningkat 3,94 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan
pengeluaran rata-rata per kapita. Dengan memperhatikan komponen garis
kemiskinan, aspek kesehatan menyumbangkan peningkatan pada garis
kemiskinan non-makanan (GKNM) sehingga keberadaan jaminan kesehatan
yang memadai dinilai mampu mengurangi potensi ini serta meringankan beban
biaya masyarakat.

Tabel 1. Pola Kondisi Kesmiskinan Nasional dan Provinsi Bali


Jumlah Penduduk Miskin (orang) dan
Garis Kemiskinan (Rp/kapita/B
Periode Persentase (%)
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa K
Indonesia
September 10.634.470 17.919.460 28.553.930
308.826 275.779
2013 (8,52 %) (14,42 %) (11, 47 %)
10.507.200 17.772.810 28.280.010
Maret 2014 318.514 286.097
(8,34 %) (14,17 %) (11,25 %)
Bali
September 105.140 81.380 186.530
298.449 261.613
2013 (4,17 %) (5,00 %) (4,49 %)
99.900 85.300 185.200
Maret 2014 310.321 271.646
(4,01 %) (5,34 %) (4,53 %)

Di Indonesia, bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan


yang memadukan berbagai upaya Bangsa Indonesia dalam satu derap
langkah, diselenggarakan secara sinergis oleh semua potensi bangsa dalam
suatu wadah Sistem Kesehatan Nasional melalui diciptakannya Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) per 1 Januari 2014. Sedangkan untuk di Provinsi
Bali sendiri, terdapat Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang
merupakan salah satu bagian program Bali Mandara sebagai jaminan
kesehatan yang diberikan kepada seluruh masyarakat Bali yang belum memiliki
jaminan kesehatan. JKBM telah dimulai sejak 1 Januari 2010 dan sampai saat
ini masih berlangsung sebagai bentuk realisasi janji politik gubernur terpilih.
JKBM sebagai jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) memang direncanakan
tidak ada lagi paling lambat tahun 2016 untuk memaksimalkan JKN sehingga
kebutuhan integrasi kedua jenis jaminan kesehatan ini dinilai sangat mendesak
untuk dilakukan agar tercipta jaminan sosial-kesehatan berbasis universal
coverage. Sampai saat ini kebutuhan akan integrasi ini masih belum terjawab
melalui ketiadaan formula atau strategi kebijakan multilevel dan berjenjang
sehingga penulis tertarik untuk memberikan gagasan kebijakan baru yang lebih
aplikatif.

Tidak dapat dipungkiri bahwa elemen sistem pendanaan (health financing)


memegang peranan penting dalam kaitannya dengan mutu layanan.
Pembiayaan kesehatan yang baik akan berdampak pada akses dan
penyediaan layanan kesehatan secara universal coverage, yang mana hal ini
juga berimplikasi lebih lanjut pada pengentasan kemiskinan. Sejak
diberlakukannya JKN, jaminan ini dicanangkan agar dapat mencakup seluruh
masyarakat (universal coverage), namun pada kenyataannya belum mampu
meningkatkan akses masyarakat ke institusi pelayanan kesehatan dasar yang
lebih bermutu. Permasalahan tersebut memberikan alasan untuk perbaruan
sistem pendanaan dengan relokasi dana kesehatan yang lebih menyasar
masyarakat miskin dengan tidak mengesampingkan prinsip kegotongroyongan
dalam JKN mengingat dampak kemiskinan sebagai akar dari segala
ketidakberdayaan yang ada. Strategi ini dinilai sebagai elemen pertama formula
kebijakan baru dalam rangka integrasi sistem jaminan kesehatan.

Untuk menunjang fungsinya, SKN disusun dengan memperhatikan pendekatan


revitalisasi pelayanan kesehatan primer. WHO dalam pertemuannya di Jakarta
tahun 2008 menjadikan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar sebagai agenda
utamanya. Komitmen RPKD disepakati oleh semua negara di dunia dan
menjadi arus utama strategi percepatan pencapaian tujuan pembangunan
global - MDGs tahun 2015 (WHO, 2008). Namun, paradigma yang terdapat di
masyarakat dewasa ini menunjukkan penurunan optimalisasi peran Puskesmas
akibat tidak dimanfaatkannya fungsi Puskesmas sebagai gate keeper
pemelihara kesehatan masyarakat. Imbasnya adalah mutu pelayanan
kesehatan yang juga menurun dengan mengacu pula pada perubahan
Puskesmas sebagai penggerak aspek promotif dan preventif menjadi berfokus
pada aspek kuratif dalam sistem layanan kesehatan. Untuk mengembalikan
peran dan fungsi puskesmas ini diperlukan intervensi berbagai stakeholder
terkait guna merumuskan suatu tatanan sistem baru revitalisasi pelayanan
kesehatan dasar (RPKD) melalui reformasi kebijakan pembangunan kesehatan
sehingga dapat tercipta iklim kesehatan nasional. Strategi ini diletakkan sebagai
elemen kedua dalam sistem kebijakan baru dengan bertujuan menciptakan
peningkatan mutu layanan kesehatan.

Dengan mengoptimalkan alokasi dan sistem pendanaan dalam jaminan


kesehatan (JKBM) diharapkan mutu pelayanan yang disajikan juga terangkat
dimana dengan menyambut revitalisasi Puskesmas sebagai suatu dampak dari
adanya JKN akan menjadikan suatu inovasi baru dalam mewujudkan jaminan
kesehatan terintegrasi yang bersifat universal coverage dalam skema JKN.
Urgensi integrasi JKBM dewasa ini dinilai sangat penting karena era JKN telah
memberikan kesempatan untuk menciptakan suatu sistem terintegrasi dan
komprehensif dalam menciptakan konsep sehat melalui optimalisasi peran
Puskesmas dan secara tidak langsung memengaruhi keberhasilan pelaksanaan
program pemerintah daerah Bali lainnya. Oleh karena itu, sangat menarik untuk
membahas lebih lanjut mengenai kajian kritis integrasi dana Jaminan
Kesehatan Bali Mandara (JKBM) ke dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) dan strategi Revitalisasi Pelayanan Kesehatan Puskesmas di Provinsi
Bali sebagai inovasi pengentasan kemiskinan berbasis sistem kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai