Meskipun sentuhan globalisasi dikatakan sebagai suatu jembatan menuju modernisasi dunia, berbagai permasalahan masih tetap muncul, terutama di bidang kesejahteraan umum. Kesehatan menjadi salah satu aspek penting pembangunan yang perlu mendapat perhatian bersama masalah kemiskinan sebagai suatu konstelasi integral aspek kesejahteraan. Pada dasarnya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu daerah berkorelasi positif terhadap derajat kesehatan masyarakat dan secara timbal balik berkaitan erat pula dengan kemampuan untuk mengembangkan pelayanan kesehatan atau kegiatan lain di sektor kesehatan (Purwitayana, 2013). Hal ini sangatlah wajar mengingat kesehatan menjadi dasar seseorang untuk mendapatkan produktivitas kerjanya. Dalam kitab Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan adalah hak fundamental setiap penduduk dan setiap penduduk berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kesehatan merupakan harga mati yang harus terpenuhi guna terciptanya kesejahteraan dan begitu pula sebaliknya.
Salah satu indikator kesejahteraan adalah derajat pertumbuhan ekonomi
masyarakat, dimana hal ini ditentukan oleh level produktivitas masing-masing individu dalam lingkungan tersebut (Rubi, 2007). Kondisi sakit dinilai merupakan faktor yang berperan secara signifikan dalam menciptakan penurunan kualitas bahkan terhentinya suatu usaha produktif individu dimana hal ini berikutnya akan melemahkan pendapatan, baik itu secara individu, keluarga, maupun komunitasnya. Apabila keadaan sakit ini berlangsung lama dan menetap, masalah yang menghantui akan berlipat ganda dengan adanya penambahan masalah kemiskinan. Kondisi ini diperparah oleh aspek pengobatan dimana penelitian menunjukkan sebanyak 83 persen rumah tangga mengalami pembayaran katastropik ketika satu anggota rumah tangga membutuhkan rawat inap.(Rubi, 2007) Fakta ini menunjukkan bahwa hanya dengan usaha untuk membayar biaya pengobatan saja sudah cukup untuk memperburuk kemungkinan timbulnya rumah tangga miskin baru. Oleh karena itu, kondisi sakit dapat menjadi sebuah lingkaran setan bagi masyarakat yang tidak memiliki jaminan kesehatan yang memadai.
Jaminan kesehatan merupakan bagian integral utama sekaligus sebagai
perpanjangan tangan dari suatu sistem kesehatan. Ketiadaan jaminan kesehatan ini akan meningkatkan pembiayaan pengobatan sehingga beban belanja kebutuhan bertambah secara signifikan akibat adanya beban ganda (double burden) terhadap bertambahnya kebutuhan belanja dan berkurangnya pendapatan. Lemahnya kondisi kesehatan juga tercermin melalui akses dan kualitas kesehatan di Indonesia sampai saat ini masih tergolong rendah, terutama pada kalangan menengah kebawah. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya pemahaman masing-masing penduduk tentang pentingnya kesehatan ataupun sulitnya akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Bahkan tidak jarang terjadi kesenjangan antara akses dan kualitas pelayanan yang semakin memperburuk kondisi sakit seseorang.
Tingginya biaya yang dikeluarkan juga menyebabkan sulitnya memperoleh
ataupun mempertahankan pelayanan kesehatan itu sendiri. Menurut Thabrany (2000), lebih dari 70 persen biaya kesehatan di Indonesia harus ditanggung sendiri oleh tiap keluarga (out of pocket-OOP) yang bersifat sangat regresif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 10 persen rumah tangga termiskin harus menghabiskan 230 persen penghasilannya sebulan untuk membiayai sekali rawat inap anggota keluarganya, sementara keluarga golongan 10 persen terkaya hanya menghabiskan 120 persen penghasilan keluarga sebulan untuk membiayai satu kali rawat inap anggota keluarganya.(Thabrany, 2000) Hal ini menunjukkan besarnya pengeluaran yang harus ditanggung masing- masing penduduk tidaklah murah apabila ingin mendapatkan pelayanan kesehatan. Data ini juga menunjukkan bahwa masyarakat miskin akan menderita kerugian yang besar apabila salah satu anggota keluarganya sakit. Adanya kelompok penduduk rentan kemiskinan (high risk) dari golongan menengah kebawah juga memiliki kecenderungan untuk mengalami kemiskinan atas dasar yang sama. Kondisi inilah yang menyebabkan perlu adanya sebuah sistem jaminan kesehatan yang memadai bagi masyarakat.
Kondisi kekinian aspek kemiskinan di masyarakat baik di tingkat nasional
maupun di tingkat Provinsi Bali dapat dilihat pada Tabel 1.(BPS, 2014; BPS Provinsi Bali, 2014) Berdasarkan data tersebut, pada periode September 2013 sampai Maret 2014 jumlah penduduk miskin secara nasional mengalami penurunan 0,22 persen, sedangkan di Bali sendiri mengalami peningkatan 0,04 persen. Terlihat pula bahwa secara nasional penduduk desa lebih dominan dibanding kota, sedangkan di Bali terjadi hal sebaliknya. Pada periode yang sama, garis kemiskinan di Indonesia maupun di Bali sama-sama mengalami peningkatan, secara nasional meningkat 3,34 persen sedangkan Bali meningkat 3,94 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan pengeluaran rata-rata per kapita. Dengan memperhatikan komponen garis kemiskinan, aspek kesehatan menyumbangkan peningkatan pada garis kemiskinan non-makanan (GKNM) sehingga keberadaan jaminan kesehatan yang memadai dinilai mampu mengurangi potensi ini serta meringankan beban biaya masyarakat.
Tabel 1. Pola Kondisi Kesmiskinan Nasional dan Provinsi Bali
Jumlah Penduduk Miskin (orang) dan Garis Kemiskinan (Rp/kapita/B Periode Persentase (%) Kota Desa Kota+Desa Kota Desa K Indonesia September 10.634.470 17.919.460 28.553.930 308.826 275.779 2013 (8,52 %) (14,42 %) (11, 47 %) 10.507.200 17.772.810 28.280.010 Maret 2014 318.514 286.097 (8,34 %) (14,17 %) (11,25 %) Bali September 105.140 81.380 186.530 298.449 261.613 2013 (4,17 %) (5,00 %) (4,49 %) 99.900 85.300 185.200 Maret 2014 310.321 271.646 (4,01 %) (5,34 %) (4,53 %)
Di Indonesia, bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan
yang memadukan berbagai upaya Bangsa Indonesia dalam satu derap langkah, diselenggarakan secara sinergis oleh semua potensi bangsa dalam suatu wadah Sistem Kesehatan Nasional melalui diciptakannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per 1 Januari 2014. Sedangkan untuk di Provinsi Bali sendiri, terdapat Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang merupakan salah satu bagian program Bali Mandara sebagai jaminan kesehatan yang diberikan kepada seluruh masyarakat Bali yang belum memiliki jaminan kesehatan. JKBM telah dimulai sejak 1 Januari 2010 dan sampai saat ini masih berlangsung sebagai bentuk realisasi janji politik gubernur terpilih. JKBM sebagai jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) memang direncanakan tidak ada lagi paling lambat tahun 2016 untuk memaksimalkan JKN sehingga kebutuhan integrasi kedua jenis jaminan kesehatan ini dinilai sangat mendesak untuk dilakukan agar tercipta jaminan sosial-kesehatan berbasis universal coverage. Sampai saat ini kebutuhan akan integrasi ini masih belum terjawab melalui ketiadaan formula atau strategi kebijakan multilevel dan berjenjang sehingga penulis tertarik untuk memberikan gagasan kebijakan baru yang lebih aplikatif.
Tidak dapat dipungkiri bahwa elemen sistem pendanaan (health financing)
memegang peranan penting dalam kaitannya dengan mutu layanan. Pembiayaan kesehatan yang baik akan berdampak pada akses dan penyediaan layanan kesehatan secara universal coverage, yang mana hal ini juga berimplikasi lebih lanjut pada pengentasan kemiskinan. Sejak diberlakukannya JKN, jaminan ini dicanangkan agar dapat mencakup seluruh masyarakat (universal coverage), namun pada kenyataannya belum mampu meningkatkan akses masyarakat ke institusi pelayanan kesehatan dasar yang lebih bermutu. Permasalahan tersebut memberikan alasan untuk perbaruan sistem pendanaan dengan relokasi dana kesehatan yang lebih menyasar masyarakat miskin dengan tidak mengesampingkan prinsip kegotongroyongan dalam JKN mengingat dampak kemiskinan sebagai akar dari segala ketidakberdayaan yang ada. Strategi ini dinilai sebagai elemen pertama formula kebijakan baru dalam rangka integrasi sistem jaminan kesehatan.
Untuk menunjang fungsinya, SKN disusun dengan memperhatikan pendekatan
revitalisasi pelayanan kesehatan primer. WHO dalam pertemuannya di Jakarta tahun 2008 menjadikan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar sebagai agenda utamanya. Komitmen RPKD disepakati oleh semua negara di dunia dan menjadi arus utama strategi percepatan pencapaian tujuan pembangunan global - MDGs tahun 2015 (WHO, 2008). Namun, paradigma yang terdapat di masyarakat dewasa ini menunjukkan penurunan optimalisasi peran Puskesmas akibat tidak dimanfaatkannya fungsi Puskesmas sebagai gate keeper pemelihara kesehatan masyarakat. Imbasnya adalah mutu pelayanan kesehatan yang juga menurun dengan mengacu pula pada perubahan Puskesmas sebagai penggerak aspek promotif dan preventif menjadi berfokus pada aspek kuratif dalam sistem layanan kesehatan. Untuk mengembalikan peran dan fungsi puskesmas ini diperlukan intervensi berbagai stakeholder terkait guna merumuskan suatu tatanan sistem baru revitalisasi pelayanan kesehatan dasar (RPKD) melalui reformasi kebijakan pembangunan kesehatan sehingga dapat tercipta iklim kesehatan nasional. Strategi ini diletakkan sebagai elemen kedua dalam sistem kebijakan baru dengan bertujuan menciptakan peningkatan mutu layanan kesehatan.
Dengan mengoptimalkan alokasi dan sistem pendanaan dalam jaminan
kesehatan (JKBM) diharapkan mutu pelayanan yang disajikan juga terangkat dimana dengan menyambut revitalisasi Puskesmas sebagai suatu dampak dari adanya JKN akan menjadikan suatu inovasi baru dalam mewujudkan jaminan kesehatan terintegrasi yang bersifat universal coverage dalam skema JKN. Urgensi integrasi JKBM dewasa ini dinilai sangat penting karena era JKN telah memberikan kesempatan untuk menciptakan suatu sistem terintegrasi dan komprehensif dalam menciptakan konsep sehat melalui optimalisasi peran Puskesmas dan secara tidak langsung memengaruhi keberhasilan pelaksanaan program pemerintah daerah Bali lainnya. Oleh karena itu, sangat menarik untuk membahas lebih lanjut mengenai kajian kritis integrasi dana Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) ke dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan strategi Revitalisasi Pelayanan Kesehatan Puskesmas di Provinsi Bali sebagai inovasi pengentasan kemiskinan berbasis sistem kesehatan.