Anda di halaman 1dari 11

Terdapat 4 Aliran Filsafat dalam Penyusunan Kurikulum, yaitu:

1. Perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke
20. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif.
Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa
pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan
ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai
jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam
kebudayaan ideal.
Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan
perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah
dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai- nilai atau
prinsip prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada
zaman kuno dan abad pertengahan.
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang
tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang
lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam
perilaku pendidik.
Aliran ini lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan
keindahan dari warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Selain itu, pengetahuan
dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan
yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran
universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke
masa lalu.

2. Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan
yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada
zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme.
Perbedaan yang utama ialah dalam hal memberikan dasar berpijak pada pendidikan
yang penuh fleksibilitas, terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan
dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus
berpijak pada nilai-nilai yang jelas dan tahan lama dalam memberikan kestabilan,
mempunyai tata aturan yang jelas.
Bogoslousky, mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat
terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain,
kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat
bagian, yaitu:
a. Universum
Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi
hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata
surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat
yang diperluas.
b. Sivilisasi
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan
sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya,
mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera.
c. Kebudayaan
Kebudayaan mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat,
kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
d. Kepribadian
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak
bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah
diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan intelektual sebagai
keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan
ideal.
Aliran ini sama dengan perenialisme, yaitu lebih berorientasi pada masa lalu
dan lebih menekankan pada pemahaman dunia melalui ilmu pasti dan ilmu sosial,
serta mengindahkan ilmu filsafat dan agama.

3. Progresivisme
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada
tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini
mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak
bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Aliran ini telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan pada
abad ke-20, di mana telah meletakkan dasar-dasar kebebasan kepada anak didik.
Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna
mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa
terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat
progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan
otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-
pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi
baik secara fisik maupun psikis anak didik.
Aliran ini memandang kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dikenal
sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku, melainkan selalu
berkembang dan berubah. Maka pendidikan sebagai usaha manusia yang
merupakan refleksi dari kebudayaan itu haruslah sejiwa dengan kebudayaan itu.
Dengan berpijak dari pandangan di atas maka sangat jelas bahwa filsafat
progresivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus
maju (progress) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban
baru.
4. Rekontruktivisme
Kata rekontruktivisme dalam bahasa Inggris rekonstruct yang berarti
menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekontruktivisme
adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun
tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Aliran rekontruktivisme, pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme,
yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran
rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang
merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran,
kebingungan dan kesimpangsiuran. Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh
aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran
perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan
masalah yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam
kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke
kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road cultureyang mereka anggap
paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan
berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok
dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari
kesepakatan antar sesama manusia agar dapat mengatur tata kehidupan manusia
dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga
pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata/susunan
lama dan membangun tata/susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai
tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat manusia.
Vvv
1. Filsafat Perenialisme
Istilah filsafat perenial diduga untuk pertama kali digunakan di
dunia Barat oleh seorang bernama Augustinus Steuchus (14971548)
sebagai judul karyanya, De Perenni Philosophia, yang diterbitkan pada
tahun 1540 untuk kemudian dipopulerkan oleh Gottfried Wilhelm Leibnitz
(16461716) dalam sepucuk suratnya yang ditulis pada tahun 1715 (Hasan,
2006: 944).
Inti pandangan filsafat perenial adalah bahwa dalam setiap agama
dan tradisi-tradisi esoterik terdapat suatu pengetahuan dan pesan
keagamaan yang sama yang muncul melalui beragam nama dan bungkus
dalam berbagai bentuk dan simbol. Dengan kata lain, dalam bentuk esoteris
agama-agama terdapat kesatuan transenden esoterikal, yang dapat
mengantarkan para pemeluk agam pada perspektif
yang genuine dan original dalam memandang kebhinekaan agama (Hasan,
2006: 944945).
Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern
telah menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia.
Untuk mengatasi krisis ini perenialisme memberikan jalan keluar berupa
kembali kepada kebudayaan masa lampau (regresive road to culture).
Oleh sebab itu, perenialisme memandang penting peranan pendidikan
dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada
kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal; yang telah teruji
ketangguhannya.
Di bidang pendidikan, perenialisme sangat dipengaruhi oleh Plato,
Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini, pikiran Plato tentang ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari hukum universal yang
abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan
mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata
pemerintahan. Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang
sadar dan mempraktikkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek
kehidupan.
Ada tiga istilah kunci dalam filsafat perenialisme: intelegensi
(intelligence), kehendak (the will), dan kebaikan (the virtue). Filsafat ini,
menurut Suhaimi (tt: 1) memfokuskan diri pada kebenaran yang dianggap
bersifat primordial, dalam arti abadi (timeless) dan universal (spaceless).
Abadi karena dinilai berlaku sejak dahulu sampai kini dan akan datang;
universal karena ditemukan dalam semua tradisi agama dan bahkan karya
seni sakral (sacred arts).
Menurut Frithjof Schoun[1] inteligensi tidak lain dari kepanjangan
atau komplemen kehendak. Schuon mengatakan bahwa fungsi mendasar
dari inteligensi adalah membedakan yang riil dengan yang palsu atau antara
yang permanen dengan yang tidak permanen, sedangkan fungsi mendasar
kehendak adalah mengikatkan diri dengan yang riil dan permanen.
Pembedaan dan keterikatan ini adalah inti terdalam bagi semua
spiritualitas (Suhaimi, tt: 12).
Bagi Schuon, rentang aktual inteligensi sedemikian luasnya sehingga
semua yang ada di dunia ini tidak pernah proporsional atau sebanding
dengan rentang itu. Ini terjadi karena menurutnya inteligensi diciptakan
untuk yang Absolut. Fakta inilah yang merupakan salah satu kunci untuk
memahami sifat dan takdir ultim kita yang sebenarnya. Selanjutnya Schuon
mengatakan bahwa inteligensi tanpa kebenaran bukan apa-apa dan tanpa
kebaikan ia tidak akan mampu mengandung kebenaran. Di sisi lain,
kehendak tanpa kebaikan bukan apa-apa, dan kehendak tanpa kebaikan
tidak akan dapat merealisasikan kebaikan (Suhaimi, tt: 23).
Perenialisme menganggap bahwa hakikat manusia adalah konstan
atau tetap. Manusia mempunyai kemampuan memahami dan mengerti
kebenaran-kebenaran universal dari alam. Tujuan pendidikan adalah
mengembangkan rasionalitas manusia dan membuka kebenaran-
kebenaran universal dengan cara melatih intelektual.
Kurikulum perenial bersifat subject center (berpusat pada subjek)
dengan tekanan pada bahasa, sastra, matematika, seni, dan sains. Guru
dipandang sebagai orang yang ahli di bidangnya. Karena itu ia harus
menguasai bidangnya atau disiplin ilmunya, dan harus memiliki
kemampuan membimbing siswa untuk berdiskusi. Mengajar didasarkan
terutama sekali pada metode Socrates, yaitu penjelasan secara lisan atau
perkuliahan. Minat siswa tidak relevan untuk pengembangan kurikulum
karena siswa belum matang dan tidak punya pertimbangan untuk
menentukan apa pengetahuan dan nilai-nilai terbaik apa yang akan
dipelajarinya. Oleh karena itu, kurikulum berdasarkan filsafat ini sangat
bersifat elektif (semua sudah ditentukan/tidak ada pilihan).
Ciri perenialisme adalah lebih menekankan pada keabadian,
keidealan, kebenaran, dan keindahan daripada warisan budaya dan
dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang
memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut paham
ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak
terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
2. Filsafat Eksistensialisme
Pragmatisme berasal dari Amerika, sedangkan eksistensial itu
berasal dari Eropa. Menurut kaum eksistensial ini manusia dihadapkan
kepada berbagai pilihan dalam situasi yang dihadapinya. Setiap manusia
menciptakan defenisinya sendiri termasuk dalam melakukannya sesuai
dengan pilihannya.
Eksistensialisme memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia
dan pengalamannya, yakni terhadap kesadarannya yang langsung dan
subjektif. Eksistensialisme memandang bahwa tidak ada pengetahuan yang
terpisah dari subjek yang mengetahui. Inti kehidupan manusia dengan
keadaan hati, kekhawatiran, dan keputusan-keputusannya menjadi pusat
perhatian. Eksistensialisme menentang segala bentuk objektivitas dan
impersonalitas dalam bidang-bidang yang mengenai manusia. Objektivitas
sebagaimana yang diekspresikan dalam sains modern dan masyarakat
industri Barat oleh ahli-ahli filsafat dan psikologi, cenderung menganggap
manusia sebagai nomor dua setelah benda. Kehidupan pada umumnya dan
manusia pada khususnya selalu diberi interpretasi-interpretasi secara
objektif dan impersonal dan akibatnya kehidupan menjadi dangkal dan tak
berarti. Sebailknya, eksistensialisme menekankan kehidupan-dalam
manusia dan tidak takut kepada introspeksi. Ia memunculkan kembali
persoalan-persoalan tentang individualitas dan personalitas manusia. Ia
merupakan pemberontakan manusia terhadap usaha-usaha yang
menganggap sepi atau menindas keistimewaan pengalamannya yang
subjektif (Titus dkk., 1984: 385).
Eksistensialis mengatakan bahwa kebenaran adalah pengalaman
sunjektif tentang hidup. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita,
kebenaran tentang watak manusia, dan takdir manusia bukannya suatu hal
yang dapat diraba dan dikatakan dengan konsep-konsep yang abstrak atau
dengan proposisi. Pendekatan yang bersifat rasional semata-mata hanya
akan menghadapi prinsip-prinsip universal yang menyedot seseorang
dalam kesatuan atau sistem yang menyeluruh. Karena eksistensialis
menekankan kepada aspek yang konkret dan intim dari pengelaman
manusia, atau sesuatu yang istimewa dan personal, maka mereka akan
memilih ekspresi dengan sastra atau bentuk-bentuk seni lain, yang akan
memungkinkan mereka untuk melukiskan perasaan dan keadaan hati
manusia (Titus dkk., 1984: 385).
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektivitas
telah membawakan penekanan terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa
tanggung jawab. Aliran determinisme yang bermacam-macam baik yang
didasarkan atas biologi atau lingkungan tidak menjelaskan persoalan secara
keseluruhan. Dalam eksistensialisme perkataan tidak diarahkan kepada
jenis manusia pada umumnya, atau lembaga-lembaga manusia dan hasil-
hasilnya, atau kepada alam yang bersifat impersonal, akan tetapi kepada
pribadi-pribadi, pilihan-pilihan, dan keputusan-keputusannya.
Eksistensialisme adalah penegasan tentang arti wujud pribadi dan
keputusan-keputusan pribadi dalam menghadapi interpretasi-interpretasi
dunia yang menghilangkan artinya (Titus dkk., 1984: 386).
Kemerdekaan bukannya sesuatu yang harus dibuktikan atau
dibicarakan; kemerdekaan adalah suatu realitas yang harus dialami.
Manusia mempunyai kemerdekaan yang sangat besar yang dapat
dimanfaatkan jika ia dapat memahaminya. Kemerdekaan akan
melaksanakan tuntutan watak-inti dari manusia serta mengekspresikan
jiwanya yang riil dan otentik. Ia menghadapi pilihan-pilihan, menetapkan
keputusan-keputusan, serta bertanggung jawab tentang keputusan-
keputusan yang telah membantu menjadikannya sebagaimana halnya
sekarang (Titus dkk., 1984: 386).
Eksistensialisme lebih menyukai benda secara bebas untuk memilih
apa yang ingin dipelajarinya dan yang dianggapnya benar karena sasaran
eksistensialisme sama dengan pragmatis yaitu meningkatkan kehidupan
umat manusia. Pembelajaran lebih banyak diskusi atau dialog tentang apa
yang dianggapnya baik.
3. Filsafat Progresivisme
Progresivisme dikembangkan dari pragmatisme. Menurut paham ini
keterampilan dan alat untuk belajar meliputi metode problem
solving dan scientific-inquiry. Pengalaman belajar harus meliputi perilaku
kerja sama dan disiplin diri. Keduanya dianggap penting untuk kehidupan
yang demokratis. Bagi penganut paham progresivisme, kurikulum
interdisipliner, buku, dan disiplin keilmuan (materi pelajaran) adalah
bagian dari proses belajar, bukan sumber ilmu pengetahuan. Peranan guru
unik; dia berfungsi sebagai pembimbing siswa dalam pemecahan masalah
dan project scientifics. Guru dan siswa merencanakan aktivitas bersama-
sama. Sifat progresivisme berpusat pada anak (student-oriented) dan
pendidikan progresif berpusat kepada anak sebagai peserta didik tidak
sebagai subjek didik. Progresivisme lebih menekankan aktivitas dan
pengalaman daripada kegiatan verbal; dan pembelajaran dengan cara
bekerja sama daripada kompetisi.
Saat ini progresivisme terlihat dalam beberapa gerakan seperti
relevansi kurikulum, kurikulum humanistik; dan reformasi sekolah yang
radikal. Relevansi kurikulum maksudnya peserta didik harus dimotivasi
dan ditarik ke dalam belajar dalam bentuk tugas; dan kelas harus diberi
pengalaman-pengalaman yang nyata. Kurikulum humanistik menekankan
pada hasil belajar afektif yang berakar pada pandangan Abraham Moslow
bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk menciptakan orang-orang
yang mampu beraktualisasi diri. Reformasi sekolah yang radikal mengubah
suasana sekolah dari suasana yang eksis saat ini di mana guru berperan
sebagai penjaga penjara; sekolah sebagai penjara; tidak ada kebebasan
untuk berekspresi diubah ke situasi sekolah yang memiliki kebebasan yang
besar.
Ciri progresivisme adalah menekankan pada pentingnya melayani
perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman
belajar, dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi
pengembangan belajar peserta didik aktif.
4. Filsafat Rekonstruksionisme
Tokoh rekonstruksinisme antara lain adalah Theodore Branell.
Rekonstruksionisme menganggap siswa dan guru tidak hanya mengambil
posisi tertentu tetapi juga mesti bertindak sebagai agen perubahan untuk
memperbaharui masyarakat. Netralitas dalam kelas tidak perlu untuk
proses demokrasi, tetapi guru dan siswa harus mengambil sikap untuk
memberikan alasan-alasan berpartisipasi dalam tanggungjawab sosial.
Dalam kurikulum, pendidikan harus sesuai dengan ekonomi politik yang
baru. Bagi rekonstruksionis, analisis, interpretasi, dan evaluasi tidak cukup;
komitmen dan aksi dari siswa dan guru diperlukan karena masyarakat
selalu berubah, maka kurikulum juga berubah. Kurikulum yang didasarkan
pada isu-isu sosial dan pelayanan sosial dianggap ideal. Masalah-masalah
yang terjadi di masyarakat dimasukkan ke dalam kurikulum; perubahan
dalam masyarakat diatasi oleh kurikulum, termasuk kesempatan untuk
mendapat pendidikan.
Ciri rekonstruktivisme adalah merupakan elaborasi lanjut dari aliran
progresivisme. Peradaban manusia masa depan sangat ditekankan.
Menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme,
rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah,
berpikir kritis, dan sejenisnya.
C. Landasan Filosofis Kurikulum 2013
Setelah membahas secara relatif memadai empat filsafat tersebut di
atas, kita dapat membandingkan konten filosofis yang tergambar di
dalamnya dengan rumusan tekstual landasan filosofi Kurikulum 2013
sebagaimana diuraikan berikut ini. Dengan demikian, akan dapat dilihat
apakah rumusan itu mengandung nilai-nilai yang terpresentasi dalam
filsafat-filsafat pendidikan itu.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional). Untuk mengembangkan dan membentuk
watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, pendidikan berfungsi
mengembangkan segenap potensi peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang
demokratis serta bertanggungjawab (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional).
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional maka
pengembangan kurikulum haruslah berakar pada budaya bangsa,
kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa di masa mendatang.
Pendidikan berakar pada budaya bangsa. Proses pendidikan adalah
suatu proses pengembangan potensi peserta didik sehingga mereka mampu
menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa. Melalui pendidikan
berbagai nilai dan keunggulan budaya di masa lampau diperkenalkan,
dikaji, dan dikembangkan menjadi budaya dirinya, masyarakat, dan bangsa
yang sesuai dengan zaman di mana peserta didik tersebut hidup dan
mengembangkan diri. Kemampuan menjadi pewaris dan pengembang
budaya tersebut akan dimiliki peserta didik apabila pengetahuan,
kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan, keterampilan sosial
memberikan dasar untuk secara aktif mengembangkan dirinya sebagai
individu, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia.
Pendidikan juga harus memberikan dasar bagi keberlanjutan
kehidupan bangsa dengan segala aspek kehidupan bangsa yang
mencerminkan karakter bangsa masa kini. Oleh karena itu, konten
pendidikan yang mereka pelajari tidak semata berupa prestasi besar
bangsa di masa lalu tetapi juga hal-hal yang berkembang pada saat kini dan
akan berkelanjutan ke masa mendatang. Berbagai perkembangan baru
dalam ilmu, teknologi, budaya, ekonomi, sosial, politik yang dihadapi
masyarakat, bangsa dan umat manusia dikemas sebagai konten pendidikan.
Konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini memberi landasan
bagi pendidikan untuk selalu terkait dengan kehidupan masyarakat dalam
berbagai aspek kehidupan, kemampuan berpartisipasi dalam membangun
kehidupan bangsa yang lebih baik, dan memosisikan pendidikan yang tidak
terlepas dari lingkungan sosial, budaya, dan alam. Lagipula, konten
pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini akan memberi makna yang
lebih berarti bagi keunggulan budaya bangsa di masa lalu untuk digunakan
dan dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan masa kini.
Peserta didik yang mengikuti pendidikan masa kini akan
menggunakan apa yang diperolehnya dari pendidikan ketika mereka telah
menyelesaikan pendidikan 12 tahun dan berpartisipasi penuh sebagai
warganegara. Atas dasar pikiran itu maka konten pendidikan yang
dikembangkan dari warisan budaya dan kehidupan masa kini perlu
diarahkan untuk memberi kemampuan bagi peserta didik
menggunakannya bagi kehidupan masa depan terutama masa dimana dia
telah menyelesaikan pendidikan formalnya. Dengan demikian sikap,
keterampilan dan pengetahuan yang menjadi konten pendidikan harus
dapat digunakan untuk kehidupan paling tidak satu sampai dua dekade
dari sekarang. Artinya, konten pendidikan yang dirumuskan dalam Standar
Kompetensi Lulusan dan dikembangkan dalam kurikulum harus menjadi
dasar bagi peserta didik untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan
kehidupan mereka sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warganegara
yang produktif serta bertanggungjawab di masa mendatang.

1. Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan


bangsa masa kini dan masa mendatang. Pandangan ini menjadikan
Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan budaya bangsa Indonesia
yang beragam, diarahkan untuk membangun kehidupan masa kini, dan
untuk membangun dasar bagi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa
depan. Mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan masa depan selalu
menjadi kepedulian kurikulum, hal ini mengandung makna bahwa kurikulum
adalah rancangan pendidikan untuk mempersiapkan kehidupan generasi
muda bangsa. Dengan demikian, tugas mempersiapkan generasi muda
bangsa menjadi tugas utama suatu kurikulum. Untuk mempersiapkan
kehidupan masa kini dan masa depan peserta didik, Kurikulum 2013
mengembangkan pengalaman belajar yang memberikan kesempatan luas
bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan bagi
kehidupan di masa kini dan masa depan, dan pada waktu bersamaan tetap
mengembangkan kemampuan mereka sebagai pewaris budaya bangsa
dan orang yang peduli terhadap permasalahan masyarakat dan bangsa
masa kini.
2. Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut
pandangan filosofi ini, prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di
masa lampau adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk
dipelajari peserta didik. Proses pendidikan adalah suatu proses yang
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi
dirinya menjadi kemampuan berpikir rasional dan kecemerlangan akademik
dengan memberikan makna terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca,
dipelajari dari warisan budaya berdasarkan makna yang ditentukan oleh
lensa budayanya dan sesuai dengan tingkat kematangan psikologis serta
kematangan fisik peserta didik. Selain mengembangkan kemampuan
berpikir rasional dan cemerlang dalam akademik, Kurikulum 2013
memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk menimbulkan
rasa bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan pribadi,
dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan
berbangsa masa kini.
3. Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual
dan kecemerlangan akademik melalui pendidikan disiplin ilmu. Filosofi ini
menentukan bahwa isi kurikulum adalah disiplin ilmu dan pembelajaran
adalah pembelajaran disiplin ilmu (essentialism). Filosofi ini mewajibkan
kurikulum memiliki nama matapelajaran yang sama dengan nama disiplin
ilmu, selalu bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan
kecemerlangan akademik.
4. Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan
yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual,
kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi
untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik
(experimentalism and social reconstructivism). Dengan filosofi ini,
Kurikulum 2013 bermaksud untuk mengembangkan potensi peserta didik
menjadi kemampuan dalam berpikir reflektif bagi penyelesaian masalah
sosial di masyarakat, dan untuk membangun kehidupan masyarakat
demokratis yang lebih baik.

BAB III

Vvvv

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2012 Dokumen Kurikulum


2013. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hasan, Nor. 2006. Islam dan Filsafat Perenial (Telaah atas Pemikiran Frithjop
Schuon), Jurnal Karsa Vol. X No. 2, Oktober 206.
Suhaimi, Uzair. tt. Inteligensi, Kehendak, dan Kebaikan dalam Perspektif Filsafat
Perenial. (Artikel, tidak diterbitkan).
Titus, Harold H., Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan. 1984. Persoalan-
Persoalan Filsafat, Cet. I. Alih bahasa oleh H.M. Rasjidi dari Living Issues
in Philosophy. Jakarta: Bulan Bintang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai