PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien dengan
gangguan jiwa, halusinasi sering diidentikkan dengan skizofrenia. Menurut Pratoharsoyo (2012),
dari seluruh klien skizoprenia 70% diantaranya mengalami halusinasi. Gangguan jiwa lain yang
juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manik depresif dan delirium. Halusinasi
merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersefsikan sesuatu yang sebenarnya tidak
terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang
dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulasi eksteren persepi palsu. pasien
halusinasi juga akan terganggu kebutuhan dasarnya terutama kebutuhan dasar fisiologi
(Praptoharsoyo, 2012).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Halusinasi?
2. Apa saja jenis jenis Halusinasi?
3. Bagaimanakah Etiologi Halusinasi?
4. Bagaimana Tanda dan gejala Halusinasi?
5. Bagaimana Batasan Halusinasi?
6. Bagaimana Psikopatologi Halusinasi?
7. Bagaimana Tahapan Halusinasi ?
C. Tujuan
Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran nyata tentang asuhan keperawatan jiwa pada klien
dengan perubahan persepsi sensori : halusinasi pendengaran di RSJD Abepura
Tujuan Khusus
a. Menjelaskan tentang pengertian Halusinasi
b. Menjelaskan tentang jenis jenis Halusinasi
c. Menjelaskan tentang Etiologi Halusinasi
d. Menjelaskan tentang tanda dan gejala Halusinasi
e. Menjelaskan tentang Batasan Halusinasi
f. Menjelaskan tentang Psikopatologi Halusinasi
g. Menjelaskan Bagaimana Tahapan Halusinasi
D. Manfaat
Agar lebih memahami tentang Konsep Nyeri.
BAB II
1. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus
yang sebetulnya tidak ada (Damaiyanti, 2008).
Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar.
Walaupun tampak sebagai sesuatu yang khayal, halusinasi sebenarnya
merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang tersepsi (Yosep, 2010).
Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau pola stimulus yang datang
disertai gangguan respon yang kurang, berlebihan atau distorsi terhadap stimulus
tersebut (NANDA-1, 2012).
3. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Menurut Yosep (2012) faktor predisposisi klien dengan halusinasi
adalah :
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya
kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu
mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih
rentan stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak
bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
3) Faktor Biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang makan di dalam
tubuh akan di hasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak.
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyatamenuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh
orang tua schizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor Presipitasi
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga,
ketakutan, perasan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik
diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak
dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins
dan Heacok (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi
berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk
yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosi-spiritual. Sehingga
halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi, yaitu :
Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-oabatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang
lama.
Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi
tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan sendiri.
Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego.
Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian
klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata
sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial,
kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung
keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi
dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
Dimensi spiritual
Klien halusinasi mulai dengan kehaampaan hidup, rutinitas
tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara
spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkandiannya terganggu, karena ia
sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun
merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir
tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan
dan orang lain yang membuat takdirnya memburuk.
5. Batasan Karakteristik
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
Batasan karakteristik klien dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi
menurut NANDA-1 (2012) yaitu :
a. Perubahan dalam pola perilaku,
b. Perubahan dalam kemampuan menyelesaikan masalah,
c. Perubahan dalam ketajaman sensori,
d. Perubahan dalam respon yang biasa terhadap stimulus,
e. Disorientasi,
f. Halusinasi,
g. Hambatan komunikasi,
h. Iritabilitas,
i. Konsentrasi buruk
j. Gelisah
k. Distorsi sensori.
6. Psikopatologi
Psikopatologi dari halusinasi yang belum diketahui. Banyak teori yang
diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik dan lain-lain.
Beberapa orang mengatakan bahwa situasi keamanan di otak normal dibombardir
oleh aliran stimulus yang berasal dari tubuh atau dari luar tubuh. Jika masukan
akan terganggu atau tidak ada sama sekalisaat bertemu dalam keadaan normal
atau patologis, materi berada dalam prasadar dapat unconsicious dan
kemudiankarena kepribadian rusak dan kerusakanpada realitas tingkat ketakutan
keinginan sebelumnya diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksternal.
7. Tahapan Halusinasi
Menurut Yosep (2010) tahapan halusinasi ada 5 fase, yaitu
A. Pengkajian
a. Pasien I
Nama : Tn. G
Umur : 30 tahun
Jenis kelamin : Laki Laki
Pekerjaan : Scurity
Pendidikan : SMK
Alamat : Komp. RSUD Dok 2
Dx medis : Skizorfrenia
Dx keperawatan : Halusinasi Pendengaran
b. Pasien II
Nama : Tn. A
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Pekerjaan :-
Alamat : Polimak
Dx medis : Skizorfrenia
Dx keperawatan : Halusinasi Pendengaran
B. Hasil pengkajian
C. Analisa Data
Respon Tn.A
DS: ibu paien mengatakan
mendapat banyak bisikan dan bisikan itu mengatakan
apakah ada ikan bakar?
Pasien mengatakan bisikan itu muncul 2x saat pagi dan
1x saat malam hari.
Pasien mengatakan perasaannya biasa saja saat
mendengar bisikan-bisikan itu.
Pasien mengaku tidak mau menanggapi bisikan
tersebut dengan berkata ko pergi saya tidak mau
dengar ko, ko barang halusDO: pasien tampak:
Ku : baik
Kes: composmentis
Pembicaraan pasien dengan intonasi cepat
Pasien tampak tenang Halusinasi
Paasien tampak selalu gembira pendemgaran
Pasien memiliki afek sesuai
Selama wawancara pasien tampak koorperatif
TTV : Resiko
TD : 120/80 mmHg prilaku
N : 82x/m kekerasan
S: 36,50c (diri sendiri,
R : 20 x/m oramg lain,
lingkungan)
efect
Gangguan
persepsi
sensori
halusinasi
Isolasi sosial
D. Diagnosa keperawatan
Melalui proses analisa data dari pengkajian Tn.G dan Tn.A maka didapatkan
diagnose keperawatan Halusinasi Pendengaran.
E. Implementasi keperawatan
Kamis 10-8-2017
Fase Orientasi (member salam,
menanyakan nama pasien,
memperkenalkan diri, kontrak
waktu)
FAse kerja (menanyakan apakah
masih mendengar suara suara
bisikan, apa yang dikatakan
bisikan itu, kapan terakhir
dengar, berapa kali sehari, apa
yang dirasakan saat suara
muncul, mengevaluasi kembali
cara Pertama,kedua dan
mengajarkan cara ketiga :
melakukan kegiatan sehari hari )
Fase Terminasi (tanyakan
perasaan klien setelah diajarkan
cara ketiga, menyuruh
mempraktekan cara ketiga,
kontrak waktu)
Jumat 11-8-2017
Fase Orientasi (member salam,
menanyakan nama pasien,
memperkenalkan diri, kontrak
waktu)
FAse kerja (menanyakan apakah
masih mendengar suara suara
bisikan, apa yang dikatakan
bisikan itu, kapan terakhir
dengar, berapa kali sehari, apa
yang dirasakan saat suara
muncul, mengevaluasi kembali
cara Pertama, kedua, ketiga, dan
mengajarkan cara keempat :
dengan melakukan kegiatan klien
dengan terjadwal )
Fase Terminasi (tanyakan
perasaan klien setelah diajarkan
cara keempat, menyuruh
mempraktekan cara keempat,
kontrak waktu)
F. Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam ternyata Halusinasi
pendengaran pada Tn.G tidak dapat teratasi sedangkan Halusinasi pada Tn.A Dapat
teratasi. Hal ini disebabkan karena :
Tn.G :
Tidak koorperatif terhadap perawat
Tidak mau mengikuti anjuran perawat
Tidak mengkonsumsi obat secara teratur (selalu di buang di bawah
tempat tidurnya).
Tidak memiliki semangat untuk sembuh
Tn.A :
Koorperatif kepada perawat
mau mengikuti anjuran perawat
mengkonsumsi obat secara teratur
memiliki semangat untuk sembuh
BAB IV
HASIL
A. Karakteristik respon
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 5 x24 jam pada Tn.G berusia
30 tahun dengan diagnosa medis Skizorfrenia di rawat di Ruang Akut RSJD Abepura Tidak
teratasi, sedangkan Tn.A berusia 18 tahun di rawat di Ruang Kronik RSJD Abepura dengan
diagnosa medis Skizorfrenia masalah keperawatan dapat teratasi. Hal ini terjadi karena :
Tn.G :
Tidak koorperatif terhadap perawat
Tidak mau mengikuti anjuran perawat
Tidak mengkonsumsi obat secara teratur (selalu di buang di bawah
tempat tidurnya).
Tidak memiliki semangat untuk sembuh
Tn.A :
Koorperatif kepada perawat
mau mengikuti anjuran perawat
mengkonsumsi obat secara teratur
memiliki semangat untuk sembuh
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sedangkan pada Tn. A dengan diagnose medis yang sama yaitu Skizorfrenia teratasi hal
ini disebabkan karena pasien Tn.A : Koorperatif kepada perawat, Tn.A mau mengikuti anjuran
perawat, Rutin dalam mengkonsumsi obat secara teratur serta Tn.A memiliki semangat untuk
sembuh.
B. Saran
Saran penulis yaitu, ketika kita sedang di rawat di rumah sakit dengan diagnose medis
apapun terutama skizorfrenia maka kita wajib mengikuti semua peraturan yang berlaku di
rumah sakit termasuk mengonsumsi obat secara teratur dan sesua anjuran, serta memiliki
semangtat untuk sembuh
DAFTAR PUSTAKA
http://wordlife06.blogspot.co.id/2012/12/makalah-asuhan-keperawatan-jiwa.html
(diakses pada 24 Agustus 2017, pukul 20.30 WIT)