Anastesi umum (general anestesi) secara umum bermakna sebagai suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Anastesi umum merupakan
tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang bekerja di susunan saraf
pusat dan disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Secara umum
komponen yang ada dalam anestesia umum adalah hipnosis (hilangnya
kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit), arefleksia (hilangnya refleks-refleks
motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien), relaksasi otot (memudahkan
prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi trakeal), amnesia (hilangnya
memori pasien selama menjalani prosedur).
INDIKASI
Infant dan anak usia muda (tidak kooperatif)
Dewasa yang memilih anestesi umum
Pembedahan luas
Penderita sakit mental
Pembedahan lama
Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal
Penderita dengan pengobatan antikoagulan
Ekstraksi gigi pada tahap awal infeksi supuratif
KONTRAINDIKASI
Adapun kontraindikasi dalam anestesi umum meliputi:
Mutlak: dekompensasio kordis derajat III-IV dan AV blok derajat II total (tidak
ada gelombang P).
Relatif: hipertensi berat atau tidak terkontrol (diastolik>110 mmHg), diabetes
melitus tidak terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan glomerulonefritis akut.
Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak boleh diberikan anestesi
umum sebab akan menyebabkan kematian, apakah kematian DOT (death on the
table) meninggal di meja operasi atau selain itu. Kemudian kontraindikasi relatif
adalah pada saat tersebut tidak dapat dilakukan anestesi umum tetapi ditunda dan
ditunggu perbaikan kondisi pasien hingga stabil kemudian baru dapat diberikan
anestesi umum.
4. Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia
diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesi diantaranya:
Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
- Kunjungan pre-anestesi
- Pengertian masalah yang dihadapi
- Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedatif)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgetik non/narkotik)
e. Mengurangi kejadian mual dan muntah
Memudahkan atau memperlancar induksi (hipnotik / sedatif)
Mengurangi jumlah obat-obat anestesi (hipnotik / sedatif)
Mengurangi sekresi kelenjar saliva
Membantu pengosongan lambung, mengurangi produksi asam
lambung atau meningkatkan pH asam lambung
Menekan dan mencegah refleks-refleks yang tidak diinginkan
Pencegahan Ansietas
Kecemasan dapat meningkatkan produksi dan penglepasan ketokolamin
darah yang memicu peningkatan tonus simpatis. Hasilnya adalah
peningkatan tekanan darah dan laju jantung. Tentu kondisi ini tidak baik
bagi anestesia. Kosumsi O2 meningkat, penggunaan obat anestetik
meningkat, risiko komplikasi sistem kardiovaskular meningkat, risiko
komplikasi pasca-anestesia pun meningkat. Amnesia anterograd
dibutuhkan untuk mencegah trauma psikologis akibat pengalaman tidak
menyenangkan yang mungkin dialami pasien selama pembedahan. Obat
ansiolitik yang diberikan dengan maksud mengurangi kecemasan
seringkali bersifat sedatif juga. Hal ini memberikan keuntungan tambahan
bagi anestesia nantinya. Kondisi tersedasi akan menurunkan dosis obat
anestetik sehingga dapat menurunkan juga kemungkinan efek samping
dari obat-obat anestetik. Akan tetapi harus diingat semua obat sedatif
berpotensi medepresi susunan saraf pusat. Jika pasien tertidur terlalu
dalam, kemampuannya mempertahankan patensi jalan nafas dapat
terganggu. Obstruksi jalan nafas tersering pada pasien yang tidur dalam
atau kesadarannya turun adalah yang disebabkan jatuhnya pangkal lidah
yang menutupi jalan nafas. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika
disertai nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin
50 mg intramuskular.
Mengurangi Nyeri
Obat analgetika seringkali diperlukan pada pasien yang terus-menerus
merasakan nyeri. Dahulu opiod sering diberikan di ruang perawatan untuk
tujuan ini. Setelah kenyataan obat jenis ini berpotensi menimbulkan
depresi sistem saraf pusat, sekarang penggunaan opioid sebagai
premedikasi di ruangan sudah sangat terbatas. Alternatif analgetika selain
golongan opioid adalah obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID).
Pemilihan obat ini harus cermat dengan mempertimbangkan efek
sampingnya pada saluran nafas (asma bronkial dapat dicetuskan obat
NSAID tertenttu), pada saluran cerna (beberapa NSAID iritatif lambung)
dan sistem koagulasi darah.
5. Pemberian premedikasi
Obat-obat yang sering digunakan adalah:
Analgesik narkotik
Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB
Analgesik non narkotik
Ponstan, Tramol, Toradon
Hipnotik
Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
Sedatif
Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Anti emetic
Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001
mg/kgBB
DBP
Narfoz, rantin, primperan
Ondancentron, Granon
6. Periode Intrabedah
Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan
anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih
berarti berfungsi, sesuai dengan tujuan kita memberi anestesi yang lancar dan
aman.
Mesin anestesi
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas
anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap
oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin
anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai
yang diatur oleh komputer. Mesin yang aman dan ideal ialah mesin yang
memenuhi persyaratan berikut:
1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
2. Ruang rugi (dead space) minimal
3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien
4. Bertekanan rendah
5. Kelembaban terjaga dengan baik
6. Penggunaannya sangat mudah dan aman
Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus
untuk menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna
internasional yang telah disepakati ialah:
Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat
yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari
mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2
dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan menghisapnya
dengan kapur soda. Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit
lingkar (circle system), sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau
pipa Y dari Ayre.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
1. Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve,
pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting valve)
3. Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam (karbon) atau plastik transparent anti statik, anti
tertekuk
4. Kantong cadang (reservoir bag)
5. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang
mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O
Sungkup muka
Penggunaan sungkup muka digunakan untuk menyalurkan oksigen atau gas
anestesi kepada pasien.Sungkup transparan digunakan untuk observasi
kelembapan udara yang dihembuskan dan mendeteksi muntah. Sedangkan,
sungkup karet hitam dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang
tidak biasa.
Untuk mendapatkan ventilasi yang efektif, diperlukan sungkup yang kedap
udara dan jalan nafas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat
berakibat deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup tekanan
ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar sungkup.
Sebaliknya sirkuit pernapasan yang tinggi dengan gerakan dada minimal
disertai adanya suara pernafasan menandakan adanya obstruksi jalan nafas.
Jika sungkup dipegang dengan tangan kiri, maka tangan kanan dapat meremas
breathing bag untuk menghasilkan ventilasi tekanan positif. Sungkup dipegang
dan ditempelkan pada muka dengan menekan badan sungkup kebawah
menggunakan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang
mandibula untuk membantu ekstensi sendi atlanto-oksipital. Jari kelingking
diletakkan di bawah sudut rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke
depan, manuver paling penting untuk ventilasi pasien.
Pada situasi yang sulit, tindakan pemasangan sungkup dapat dilakukan dengan
menggunakan kedua tangan. Dalam hal ini, dibutuhkan asisten untuk meremas
breathing bag.
Ventilasi menggunakan sungkup muka dalam periode waktu yang lama dapat
menyebabkan cedera pada nervus trigeminus atau nervus lain yang terdapat pada
wajah. Jika pasien membutuhkan pemakaian sungkup dalam waktu yang lama,
posisi harus diubah secara teratur untuk mencegah cedera. Dalam penggunaan
sungkup, harus diperhatikan bahwa sungkup atau jari tidak boleh kontak dengan
mata untuk meminimalkan risiko terjadinya abrasi kornea.
Pasien dengan obesitas harus diposisikan 30 ke atas karena kapasitas fungsional
residu pada pasien obesitas memburuk pada posisi terlentang.
Jika ventilasi dinilai tidak efektif (dada tidak mengembang, tidak ada CO2 yang
terdeteksi, tidak ada uap pada sungkup), penggunaan oral atau nasal airways
dibutuhkan untuk mengatasi penyumbatan jalan nafas.
Gambar 3. LMA
LMA dibuat dari karet lunak silicone khusus untuk kepentingan medis, terdiri
dari masker yang berbentuk sendok yang elips yang juga berfungsi sebagai
balon yang dapat dikembangkan, dibuat bengkok dengan sudut sekitar 30.
LMA dapat dipakai berulang kali dan dapat disterilkan dengan autoclave,
namun demikian juga tersedia LMA yang disposable.
Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain
untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk
ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15
cm H2O) tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus,
infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.
7. Induksi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan, tergantung
lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup
dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anastesi
perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus dengan dosis
tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan, setelah tindakan
selesai pemberian obat anastesi dihentikan dan fungsi tubuh penderita
dipulihkan, periode ini disebut pemulihan/recovery.
Jenis Induksi dari Cara Pemberian adalah :
Induksi Intravena
Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati, perlahan- lahan,
lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada
pasien yang kooperatif.
Jenis Induksi intravena:
- Tiopental (pentotal, tiopenton)
(1 amp 500 mg atau 1000 mg) sebelum digunakan dilarutkan dalam
akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh
digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan
perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan
pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi
napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 .
Dosis rendah bersifat anti-analgesia.
- Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). suntikan intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat
diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-
2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk
anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
- Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-
muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam
(valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi
salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan
untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1ml=10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
- Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5menit pasien
tidur.
Induksi inhalasi
- N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida).
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal
25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering
digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi
inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.
- Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Kelebihan dosis
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
meninggikan kadar gula darah.
- Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih
iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.
- Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian
aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan
teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan
untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
- Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
- Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Induksi perektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.
Stadium-stadium anestesia
Stadium anestesia (anesthesia stages) dibuat berdasarkan efek ether. Ether
merupakan zat anestetik volatil yang poten dan digunakan luas pada jamannya.
Selama masa penggunaan ether yang cukup lama, dilakukan observasi dan
pencatatan lengkap mengenai anestesia yang terjadi. Kedalaman anastesi harus
dimonitor terus menerus oleh pemberi anastesi, agar tidak terlalu dalam sehingga
membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi.
Kedalaman anastesi dinilai berdasar tanda klinik yang didapat. Klasifikasi Guedel
dibuat oleh Arthur Ernest Guedel pada tahun 1937 yang membagai kedalaman
anastesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda
pada pupil, serta tonus otot.
Stadium (stage) 1: disebut juga stadium analgesia, induksi atau stadium
disorientasi. Dimulai sejak diberikan anastetik sampai hilangnya kesadaran,
yang antara lain ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata. Pada stadium ini
tindakan pembedahan ringan dapat dilakukan seperti mencabut gigi dan biopsi
kelenjar.
Stadium (stage) 2: disebut juga stadium derilium atau stadium eksitasi.
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai munculnya pernafasan yang teratur.
Dalam stadium ini penderita dapat melakukan gerakan-gerakan diluar
kehendak, meronta-ronta, pernafasan ireguler kadang apnea dan hiperpnea,
pupil melebar (dilatasi) sebagai tanda peningkatan tonus simpatis, reflex
cahaya positif, gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi, reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah,
inkontinesia kadang-kadang kencing atau defekasi. Ini terjadi karena hambatan
pada pusat inhibisi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya reflex menelan dan
kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini
membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa
dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi
penderita dan induksi yang halus dan tepat.
Stadium (stage) 3: disebut juga stadium pembedahan. Dimulai dari nafas
teratur sampai paralisis otot nafas. Dibagi menjadi 4 plana :
Plana I : Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandainya dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal,
gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, reflex cahaya (+), lakrimasi
meningkat, reflex faring, muntah menghilang, tonus otot menurun.
Plana II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa otot
intrakostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun dan
frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal, bola mata
berhenti, pupil mulai melebar, dan refleks cahaya menurun, refleks kornea
menghilang dan tonus otot makin menurun.
Plana III : Dari permulaan paralisis otot intercostal. Ditandai dengan
pernafasan abdominal lebih dominan dari torakal karena terjadi paralisis otot
intercostal, pupil makin melebar dan refleks cahaya menjadi hilang, lakrimasi
negative, refleks laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun
Plana IV : Dari paralisa semua otot intercostal sampai paralisis diafragma.
Ditandai dengan paralisis otot intrakostal, pernafasan lambat, iregelur dan tidak
adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis diafragma. Tonus otot makin
menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negative,
refleks spincter ani negative.
Stadium (stage) 4: Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga
disebut stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya
semua reflex, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan diikuti dengan
circulatory failure.Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang
otak. Stadium ini letal.
Teknik anestesi
1. Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga
perut, keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang,
sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit
ditarik kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan
pernafasan lancer.
N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi,
bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit
dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh
penderita
Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi
tidak cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau
stadium anesthesia sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa
orofaring (guedel). Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung
respon terhadap rangsang operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa
menit sebelum operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita
diberi O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.
2. Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada
anestesi dengan sungkup muka.
Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea
dikembangkan sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas
buatan dengan balon nafas. Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam
trakea dan tidak masuk terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus atau di
eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut supaya pipa
endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester supaya tidak
terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea dihubungkan
dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi.
3. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas.
Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan
respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan
frekuensi 10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus
diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir
operasi setelah menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan dengan
membantu usaha nafas sendiri secara manual. Halotan dapat dihentikan
sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai
dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan
volume tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah
hipoksia difusi.
4. Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai
batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia
sianosis.
9. Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi, maka anastesi diakhiri dengan menghentikan pemberian
obat anastesi, pada anastesi inhalasi bersamaan dengan penghentian obat
anastesi aliran oksigenasi dinaikkan, hal ini disebut oksigenasi. Dengan
oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati
oleh obat anastesi inhalasi di alveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti
udara ekspirasi. Dengan demikian tekanan parsial obat anastesi di alveoli juga
berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan
parsial obat anastesi inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anastesi
inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan
tekanan parsial tersebut kecepata difusi makin meningkat. Kesadaran
penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat
anastesi dalam darah.
Bagi penderita yang mendapat anastesi intravena, maka kesadarannya
berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anastesi akibat metabolisme atau
ekskresi setelah pemberiannya dihentikan. Selanjutnya pada penderita yang
dianastesi dengan respirasi spontan tanpa menggunakan pipa endotrakeal
maka tinggal menunggu sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang
menggunakan pipa endotrakeal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa
ETT) ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranastesi dalam
dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan
setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan
napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli
dan naiknya tekanan intracranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih
teranastesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas dalam kurun
waktu antara tidak sadar sampai sadar.
Pada penderita yang mendapat balance anastesi maka ekstubasi dilakukan
setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya penderita dari
pengaruh muscle relaxan maka dilakukan reserve, yaitu memberikan obat anti
kolin esterase.
TUJUAN
Mempermudah pemberian anesthesia.
Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan.
Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).
Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
Mengatasi obstruksi laring akut.
Tujuan lain dari intubasi yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran
udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan
risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat
atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak
adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin
fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan
berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga
darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas. Pada perawatan
kritis, intubasi bertujuan untuk mempertahankan saluran napas yang adekuat,
melindungi terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan
mengeluarkan sekret pulmonal.
INDIKASI
Intubasi Orotrakeal
- Ancaman atau risiko terjadinya aspirasi yang lebih besar
- Pemberian bantuan napas dengan menggunakan sungkup sulit dilakukan
- Ventilasi direncanakan dalam waktu yang lama
- Intubasi orotrakeal juga dilakukan sebagai prosedur tindakan bedah, seperti
bedah kepala-leher, intratorak, dan lainnya.
Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani
operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal,
diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal
biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung
meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk
intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko
terjadinya sinusitis.
KONTRAINDIKASI
Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas, mencegah aspirasi, penanganan
jalan nafas jangka panjang, mempermudah proses weaning ventilator.
Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis
cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan
trombolisis.Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotracheal
intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini
merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam penderita
bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring.
PERSIAPAN INTUBASI
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu
disiapkan yang disingkat dengan STATICS.
1. S = Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop
untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk
melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake
dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam
laringoskop:
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah
lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.
2. T = Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil klorida.
Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa
berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk
penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa
seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun
tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa
menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf
pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan
postintubation croup.
3. A = Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan napas
yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
4. T = Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut
5. I = Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
6. C = Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag
valve mask ataupun peralatan anestesia.
7. S = Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.
Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat hidung
dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung
yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih
gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,50,25%) menyebabkan pembuluh
vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal
anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke
dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari
turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal
dari NTT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur- angsur dimasukan
hingga ujungnya terlihat di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat
dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat
diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar
tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada
pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke
intrakranial.
PENYULIT INTUBASI
1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.
Penyulit lain:
Lidah besar
Mobilitas leher terbatas
Pertumbuhan gigi tidak lengkap
Langit-langit mulut sempit
Pembukaan mulut kecil
Anafilaksis saluran napas
Arthritis dan ankilosis cervical
Sindrom kongenital (Klippel-Feil (leher pendek, leher menyatu), Pierre Robin
(micrognathia, belahanlangit-langit, glossoptosis), Treacher Collins
(mandibulofacialdysostosis)
Endokrinopati (Kegemukan, Acromegali, Hipotiroid macroglossia,Gondok)
Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses,
retropharyngeal abses,epiglottitis)
Massa pada mediastinum
Myopati menunjukkan myotonia atau trismus
Jaringan parut luka bakar atau radiasi
Trauma dan hematoma
Tumor dan kista
Benda asing pada jalan napas
Kebocoran di sekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar wajah
dan kepala, Kumis, jenggot
Nasogastrik tube
Kurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru.
Kelas 1: sebagian besar glotis terlihat, kelas 2 : hanya ekstremitas posterior glotis
dan epiglotis tampak; kelas 3: tidak ada bagian dari glottis terlihat, hanya epiglotis
terlihat; Kelas 4: tidak bahkan epiglotis terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai
'mudah' dan kelas 3 dan 4 sebagai 'sulit'.
KOMPLIKASI
Tindakan ini seringkali menyebabkan trauma terhadap mukosa saluran nafas atas,
yang bermanifestasi sebagai gejala-gejala yang muncul pasca operasi. Beberapa
gejala yang dikeluhkan pasien antara lain adalah nyeri tenggorok (sore throat),
batuk (cough), dan suara serak (hoarseness).
Dari beberapa gejala yang dikeluhkan pasien akibat dari tindakan intubasi
endotrakeal di atas, nyeri tenggorok merupakan keluhan pascaoperasi terbanyak
walaupun nyeri sudah dikontrol dengan baik. Penyebab utama nyeri tenggorok
adalah trauma pada mukosa faringolaringeal karena tindakan laringoskopi.
(Thomas and Beevi, 2007)
Beberapa contoh trauma yang terjadi karena pemasangan pipa itu antara lain:
hematom, laserasi pada mukosa, laserasi pada plika vokalis, bahkan subluksasi
kartilago aritenoid, obstruksi pipa, stenosis subglotis, penggeseran atau
displacement tube, stridor pasca ekstubasi, ulserasi nasal, suara serak, dan
obstruksi jalan nafas pasca ekstubasi (Sulistyono, 2010).
Komplikasi lain:
1. Pipa ET masuk ke dalam esofagus yang dapat menyebabkan hipoksia.
2. Luka pada bibir dan lidah akibat terjepit antara laringoskop dengan gigi.
3. Gigi patah.
4. Laserasi pada faring dan trakea akibat stilet pada ujung pipa.
5. Kerusakan pita suara
6. Perforasi pada faring dan esofagus
7. Muntah dan aspirasi
8. Pelepasan adrenalin dan noradrenalin akibat rangsangan
9. intubasi sehingga terjadi hipertensi, takikardi, dan aritmia.
10. Pipa masuk ke salah satu bronkus, umumnya masuk ke
11. bronkus kanan. Untuk mengatasinya, tarik pipa 1-2 cm
12. sambil dilakukan inspeksi gerakan dada dan auskultasi
13. bilateral.
EKSTUBASI PERIOPERATIF
Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu
pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan.
Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai
penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan
nafas yang mungkin menjadi komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas,
tentukaan apakah hambatan pada central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien
dengan membuat pasien sadar betul atau pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur
dalam), jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal
refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi hipnotik
maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda- tanda kesadaran pasien
mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai
kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan
dengan jalan nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi
pasien tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup
banyak, dan setelahnya pasien menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas
tetap lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan disertai pula dengan triple
airway manuver standar.
Syarat-syarat ekstubasi :
Vital capacity 6 8 ml/kg BB.
Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.
PaO2 diatas 80 mm Hg.
Kardiovaskuler dan metabolic stabil.
Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.
Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.
LARYNGEAL MASK AIRWAY (LMA)
LMA telah digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan
pemakaian face mask. LMA memberikan ahli anestesi alat baru penanganan
airway yaitu jalan nafas supraglotik, sehingga saat ini dapat digolongkan menjadi
tiga golongan yaitu : (1) jalan nafas pharyngeal, (2) jalan nafas supraglotik, dan
(3) jalan nafas intratracheal. Ahli anestesi mempunyai variasi yang lebih besar
untuk penanganan jalan nafas sehingga lebih dapat disesuaikan dengan kondisi
tiap-tiap pasien, jenis anastesi, dan prosedur pembedahan. LMA di insersi secara
blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling
pintu masuk laring. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak
kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.
INDIKASI
Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway
management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET
menjadi suatu indikasi.
Pada penatalaksanaan difficult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan.
Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan
diri.
KONTRAINDIKASI
Risiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (hernia hiatus, ileus intestinal)
namun penggunaan pada emergency adalah pengecualian.
Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher (misalnya artitis
rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis), menyebabkan memasukkan
LMA lebih jauh ke hipopharynx sulit.
Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar, karena
seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada
tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan
inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir
kebocoron cuff dan pengembangan lambung.
Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya
Kelainan pada oropharynx (misalnya hematoma, dan kerusakan jaringan)
Ventilasi paru tunggal.
Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu
lama.
MALPOSISI LMA
KOMPLIKASI
Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat) :
a. Gagal insersi (0,3 4%)
b. Ineffective seal (<5%)
c. Malposisi (20 35%)
Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar) :
a. Tenggorokan lecet (0 70%)
b. Disfagia (4 24%)
c. Disartria (4 47%)
Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh) :
a. Batuk (<2%)
b. Muntah (0,02 5%)
c. Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%)
d. Regurgitasi klinik (0,1%)