Anda di halaman 1dari 3

Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (Residen Palembang) pada tanggal

17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang / Bukit Siguntang dan dikenal sebagai salah satu
peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Keadaan fisiknya masih baik dengan bidang datar yang ditulisi
berukuran 50 cm 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam
Aksara Pallawa, Berbahasa Melayu Kuno, dan terdiri dari 14 baris. Sarjana pertama yang berhasil
membaca dan mengalihaksarakan prasasti tersebut adalah van Ronkel dan Bosch, yang dimuat
dalam Acta Orientalia. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia
di Jakarta dengan nomor inventaris D.145
Berikut terjemahan Prasasti Talang Tuo yang dilakukan oleh George Coedes:

Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan rksetra
dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda r Jayana. Inilah niat baginda: Semoga yang
ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya
dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga
juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan
semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat
pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan
kebahagiaan.

Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan
makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih
(panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-
budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak
bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan bintang menguntungkan
mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha
mereka.

Prasasti Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang batu bersurat yang ditemukan di pesisir
barat Pulau Bangka, di sebuah dusun kecil yang bernama "Kotakapur"[1]. Tulisan pada
prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuno, serta
merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini dilaporkan
penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892, dan merupakan prasasti
pertama yang ditemukan mengenai Sriwijaya.

Orang pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa
Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mulanya ia
menganggap "rwijaya" adalah nama seorang raja. George Coedes-lah yang kemudian
berjasa mengungkapkan bahwa rwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera pada
abad ke-7 Masehi, suatu kerajaan yang kuat dan pernah menguasai bagian barat Nusantara,
Semenanjung Malaya, dan Thailand bagian selatan.

Hingga tahun 2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijksmuseum (Museum Kerajaan)
Amsterdam, negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia

Isi prasasti
Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari lima buah batu prasasti kutukan yang dibuat oleh
Dapunta Hyang, seorang penguasa dari Kadtuan rwijaya. Inilah isi lengkap dari Prasasti
Kota Kapur, seperti yang ditranskripsikan dan ditejemahkan oleh Coedes:
Naskah Asli

1. Siddha titam hamba nvari i avai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lavan
tandrun luah makamatai tandrun luah vinunu paihumpaan hakairum muah kayet ni
humpa unai tunai.
2. Umentern bhakti ni ulun haraki. unai tunai kita savanakta devata mahardika
sannidhana. manraksa yan kadatuan rivijaya. kita tuvi tandrun luah vanakta devata
mulana yan parsumpahan.
3. paravis. kadadhi yan uran didalanna bhami paravis hanun. Samavuddhi lavan
drohaka, manujari drohaka, niujari drohaka talu din drohaka. tida ya.
4. Marppadah tida ya bhakti. tida yan tatvarjjawa diy aku. dngan diiyan nigalarku
sanyasa datua. dhava vuathana uran inan nivunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulan
parvvanda datu riwi-
5. jaya. Talu muah ya dnan gotrasantanana. tathapi savankna yan vuatna jahat.
makalanit uran. makasuit. makagila. mantra gada visaprayoga. udu tuwa. tamval.
6. Sarambat. kasihan. vacikarana.ityevamadi. janan muah ya sidha. pulan ka iya muah
yan dosana vuatna jahat inan tathapi nivunuh yan sumpah talu muah ya mulam yam
manu-
7. ruh marjjahati. yan vatu nipratishta ini tuvi nivunuh ya sumpah talu, muah ya mulan.
saranbhana uran drohaka tida bhakti tatvarjjava diy aku, dhava vua-
8. tna niwunuh ya sumpah ini gran kadachi iya bhakti tatvjjava diy aku. dngan di yam
nigalarku sanyasa dattua. anti muah kavuatana. dngan gotrasantanana.
9. Samrddha svasthi niroga nirupadrava subhiksa muah vanuana paravis
chakravarsatita 608 din pratipada uklapaksa vulan vaichaka. tatkalana
10. Yan manman sumpah ini. nipahat di velana yan vala rivijaya kalivat manapik yan
bhumi java tida bhakti ka rivijaya.

Terjemahan

1. Keberhasilan ! (disertai mantra persumpahan yang tidak dipahami artinya)


2. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi
Kadtuan rwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan
segala sumpah !
3. Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadtuan ini akan ada
orang yang memberontak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang
berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak;
4. yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang
tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar
orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar
sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa
datu rwijaya, dan biar mereka
5. dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang
jahat; seperti mengganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat
orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja,
6. saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya,
semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang
bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk.
Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang
7. supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena
kutuk; dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak
berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut
8. mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka
yang oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi,
juga marga dan keluarganya
9. dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan
segalanya untuk semua negeri mereka ! Tahun aka 608, hari pertama paruh terang
bulan Waisakha (28 Februari 686 Masehi), pada saat itulah
10. kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara rwijaya
baru berangkat untuk menyerang bhmi jwa yang tidak takluk kepada rwijaya.

Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran
tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak.

Arti penting
Prasasti Kota Kapur adalah prasasti rwijaya yang pertama kali ditemukan, jauh sebelum
Prasasti Kedukan Bukit yang baru ditemukan di Palembang pada tanggal 29 November 1920,
dan Prasasti Talang Tuwo yang ditemukan beberapa hari sebelumnya yaitu pada tanggal 17
November 1920. Berdasarkan prasasti ini Sriwijaya diketahui telah menguasai bagian selatan
Sumatera, Pulau Bangka dan Belitung hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan
bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum "Bhumi Jawa"
yang tidak berbakti (tidak mau tunduk) kepada Sriwijaya. Peristiwa ini cukup bersamaan
waktunya dengan perkiraan runtuhnya Taruma di Jawa bagian barat dan Holing (Kalingga) di
Jawa bagian tengah. Ada kemungkinan hal tersebut akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya
tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda,
Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Prasasti Kota Kapur ini, beserta penemuan-penemuan arkeologi lainnya di daerah tersebut,
merupakan peninggalan masa Sriwijaya dan membuka wawasan baru tentang masa-masa
Hindu-Budha pada masa itu. Prasasti ini juga membuka gambaran tentang corak masyarakat
yang hidup pada abad ke-6 dan abad ke-7 dengan latar belakang agama Buddha.

Anda mungkin juga menyukai