Anda di halaman 1dari 10

PENANGKAPAN IKAN LAUT DAN JENIS ALAT TANGKAP IKAN

Banyaknya jenis ikan dengan segala sifatnya yang hidup di perairan yang lingkungannya
berbeda-beda, menimbulkan cara penangkapan termasuk penggunaan alat penangkap yang
berbeda-beda pula. Adalah juga sifat dari ikan pelagis selalau berpindah-pindah tempat, baik
terbatas hanya pada suatu daerah maupun berupa jarak jauh seperti ikan tuna dan cakalang yang
melintasi perairan beberapa negara tetangga Indonesia.
Setiap usaha penangkapan ikan di laut pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan daerah
penangkapan, gerombolan ikan, dan keadaan potensinya untuk kemudian dilakukan operasi
penangkapannya. Beberapa cara untuk mendapatkan kawasan ikan sebelum penangkapan
dilakukan menggunakan alat bantu penangkap yang biasa disebut rumpin dan sinar lampu.
Kedudukan rumpon dan sinar lampu untuk usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia sangat
penting ditinjau dari segala aspek baik ekologi, biologi, maupun ekonomi. Rumpon digunakan
pada siang hari sedangkan lampu digunakan pada malam hari untuk mengumpulkan ikan pada
titik/tempat laut tertentu sebelum operasi penangkapan dilakukan dengan alat penangkap ikan
seperti jaring, huhate dsb.
Dilihat dari segi kemampuan usaha nelayan, jangkauan daerah laut serta jenis alat penangkapan
yang digunakan oleh para nelayan Indonesia dapat dibedakan antara usaha nelayan kecil,
menengah, dan besar. Dalam melakukan usaha penangkap ikan dari tiga kelompok nelayan
tersebut digunakan sekitar 15 s/d 25 jenis alat penangkap yang dapat dibagi dalam empat
kelompok sebagai berikut.

1 Pukat Payang termasuk lampara, Pukat pantai, Pukat cincin


2 Jaring Jaring insang hanyut, Jaring insang lingkar, Jaring klitik, Jaring trammel
3 Jaring Angkat Bagan Perahu, Bagan Tancap, Bagan Rakit, Serok, Bondong dan banrong
4 Pancing Rawi tuna, Rawai hanyut selain, Rawai tetap, Huhate, Pancing tonda, Pancing tangan-
hand lin

Penjelasan Singkat tentang Alat Penangkap Ikan Laut

Pukat cincin harus berbentuk selembar jaring yang terdiri dari sayap dan pembentuk kantong.
Keberhasilan pengoperasian pukat cincin dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu ketepatan
melingkari gerombolan ikan, kecepatan tenggelam pemberat dan kecepatn penatikan tali kolor.
Pengaturan jaring harus tepat dan cepat sehingga gerombolan atau kawanan ikan tidak punya
kesempatan untuk keluar dari lingkaran jaring.
Payang mempunyai bentuk terdiri dari sayap, badan dan kantong, dua buah sayap yang terletak
di sebelah kanan dan kiri badan payang, setiap sayap berukuran panjang 100-200 meter, bagian
badan jaring sepanjang 36-65 meter dan bagian kantong terletak di belakang bagian badan
payang yang merupakan tempat terkumpulnya hasil tangkapan ikan adalah sepanjang 10-20
meter
Jaring insang hanyut yang digunakan harus mempunyai spesifikasi yang terdiri dari lima faktor
utama, yaitu daya apung jaring harus lebih besar dari pada daya tenggelamnya, warna jaring
yang baik adalah hijau sampai biru muda, benang yang digunakan adalah nylon benang ganda
atau tunggal. Besar mata jaring adalah 2,5-3,0 inci yang dipasang pada tali ris atas dengan
koefisien pengikatan 30-40%
Jaring lampara mirip jaring payang yaitu terdiri dari sayap kiri dan kanan di samping kantong.
Jaring tersebut dilengkapi dengan sebuah cincin dari besi berdiameter sekitar 2 meter. Kantong
lampara lebih cenderung menggelumbung agar ikan pelagis kecil yang ditangkap tidak mudah
mati (ikan umpan hidup)
Jaring angkat adalah jaring yang diturunkan di laut dan diangkat secara vertikal ke atas pada saat
gerombolan ikan ada di atas jaring tersebut. Jaring angkat ditempatkan di beberapa jenis bagan di
laut atau dioperasikan dari perahu kecil maupun langsung oleh para nelayan dekat pantai.
Berdasarkan bentuk dan cara pengoperasian ada beberapa macam jaring angkat maupun jaring
dorong, misalnya bagan tancap (stationary), bagan rakit, bagan perahu, kelong Betawi, serok,
jaring rajungan dan kepiting, Bondong dan banrong. Pecak dan Anco, jaring dorong, sodo biasa,
sodo perahu, sodo sangir, siru, siu, songko dan seser.

Dogol, cantrang, dapang, potol, payang alit bentuk alat penangkap tersebut mirip payang tetapi
ukuran lebih kecil. Dilihat dari fungsi dan hasil tangkapannya ia menyerupai cicncin pukat
(trawl), yaitu untuk menangkap ikan demersal dan udang.
Jaring Penggiring adalah jaring yang dioperasikan sedemikian rupa, yaitu dengan melakukan
penggiringan atau menghalau ikan-ikan agar masuk jaring atau menggerakkan jaring itu sendiri
dari tempat yang agak dalam ke tempat yang lebih dangkal untuk kemudian dilakukan
penangkapan ikan. Jaring penggiring atau drive-innet dapat terdiri dari jaring sayap dan jaring
kantong, dapat juga berbentuk segi tiga atau segi empat lengkap dengan jaringan kantong. Jenis-
jenis drive in-net yang terkenal di Indonesia adalah :muroami, soma malalugis, jaring kalase,
jaring klotok, jaring saden, pukat rarape, ambai, pukat rosa, dan talido.
Alat pancing terdiri dari dua komponen utama, yaitu tali dan mata kail. Jumlah mata yang
terdapat pada tiap perangkat pancing bisa tunggal maupun ganda, bahkan banyak sekalli
(beberapa ratus mata kail) tergantung dari jenis pancingnya. Selain dua komponen utama tali dan
mata pancing, alat pancing dapat dilengkapi dengan komponen lainnya, misalnya tangkai (pole),
pemberat, pelampung dan kili-kili (swivel). Pada umumnya mata pancing diberikan umpan baik
dalam bentuk mati maupun hidup atau umpan tiruan. Banyak mavam alat pancing digunakan
oleh para nelayan, mulai dari bentuk yang sederhana sampai dalam bentuk ukuran skala besar
yang digunakan untuk perikanan industri.

Selamat Datang Pukat Harimau


Kamis, 10-04-2008 16:03:04 oleh: bajoe

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kelautan, berencana mengijinkan penggunaan pukat
harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia. Ini adalah kabar buruk bagi dunia kelautan dan
lingkungan hidup.
Pukat harimau adalah metode menangkap ikan dengan cara membabi buta. Biasanya
menggunakan beberapa perahu/kapal dengan jaring yang sangat lebar, panjang dan dalam.
Sehingga area tangkapan ikan pun lebih luas, lebih banyak ikan yang ditangkap dalam waktu
singkat. Tentu ini secara ekonomi adalah efisien dan efektif.
Namun efek dari jaring pukat harimau itu, banyak juga ikan kecil-kecil maupun ikan yang tidak
bisa dikonsumsi ikut tertangkap. Ikan-ikan yang tidak berguna ini biasanya mati begitu saja dan
dibuang kembali ke laut. Di sinilah efek negatif jaring pukat harimau, sangat kuat untuk merusak
lingkungan.
Dan sebenarnya dalam jangka panjang akan merugikan kepentingan ekonomi bangsa juga.
Karena penggunaan pukat harimau ini, maka banyak ikan-ikan kecil yang ikut mati terjaring.
Akibatnya pada kurun waktu tertentu, ikan-ikan tersebut akan habis karena tidak sempat
regenerasi dengan alami. Sebagian pengguna pukat harimau ini adalah nelayan asing. Buat
mereka tidak masalah, karena bila di perairan Indonesia sudah kosong ikan, dapat pindah ke
perairan lain. Tinggal nelayan kita yang gigit jari.
Di beberapa negara penggunaan pukat harimau atau trawl ini sudah dilarang. Indonesia
sebenarnya juga sudah melarang penggunaan pukat harimau sejak tahun 1980 , lewat Keppres
39/1980. Meskipun sudah ada larangan, tapi kenyataan di lapangan, masih ada saja kapal nelayan
modern yang mencuri-curi menggunakan pukat harimau ini.
Nah, menurut rekomendasi dari Bappenas, daripada dilarang-larang tetapi kenyataannya masih
ada nelayan yang menggunakan pukat harimau, maka sebaiknya diperbolehkan saja. Bappenas
meneliti ada 6 daerah nelayan yang masih menggunakan pukat harimau, meski dilarang, yaitu
Nunukan, Tegal, Padang, Bagan Siapi-api, Pekalongan, dan Cilacap.
Rekomendasi Bappenas inilah yang menjadi dasar Departemen Kelautan untuk mengijinkan
penggunaan pukat harimau. Sekarang sedang diupayakan untuk mencabut atau merevisi Keppres
39/1980 di atas.
Ada alasan lain dari Departemen Kelautan yang hendak membuka ijin penggunaan pukat
harimau ini. Aku kutipkan dari harian Kontan, 10 April 2008 :
Izin operasi pukat harimau di daerah perbatasan sekaligus untuk menjaga wilayah perbatasan,
"Bila mengandalkan petugas perairan, tidak bisa setiap hari mondar mandir di wilayah
tersebut,"kata Soen'an Hadi Poernomo, Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Rasanya ini kebijakan yang aneh. Ketidakmampuan aparat keamanan menjaga wilayah
perbatasan di laut, kok kemudian dibebankan pada nelayan? Kompensasinya boleh tangkap ikan
sesukamu. Lalu karena selama ini sering terjadi pelanggaran pukat harimau, maka rekomendasi
Bappenas kok malah minta Keppresnya direvisi? Bukankah semestinya minta penambahan
aparat untuk menjaga perbatasan maupun menangkap nelayan yang menggunakan pukat
harimau?
Para menteri pembantu Presiden SBY akhir-akhir ini memang sering aneh logika berpikirnya.
Ada penelitian dari IPB soal susu formula tercemar, Menkesnya malah meradang di televisi,
menuduh penelitinya tidak benar. Ada film Fitna dari negeri Belanda yang menghina agama,
malah situs-situs yang menayangkan diblokir oleh Menteri Komunikasi dan Informasi. Sekarang
soal kelautan, karena peraturan sering dilanggar nelayan maka akan dibebaskan penggunaan
pukat harimau oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi.

SET NET SEBAGAI ALTERNATIF ALAT TANGKAP IKAN HEMAT ENERGI


Januari 1, 2008 in tekno-alat tangkap
27/04/07 ' Lain-lain: Artikel-dkp.go.id
Pada saat ini nelayan dan pengusaha perikanan tangkap dipusingkan dengan harga bahan bakar
minyak yang cukup tinggi dan ditambah lagi semakin sulit atau jauh mencari daerah
penangkapan ikan. Dengan keadaan seperti ini tentu sangat diperlukan untuk mencari alternatif
jenis alat tangkap yang pengopeasiannya hemat energi (bahan bakar minyak) dimana set net
kemungkinan dapat dikembangkan. Set net atau sero jarring adalah sejenis alat tangkap ikan
bersifat menetap dan berfungsi sebagai perangkap ikan dan biasanya dioperasikan di perairan
pantai. Ikan umumnya memiliki sifat beruaya menyusuri pantai, pada saat melakukan ruaya ini
kemudian dihadang oleh jaring set net kemudian ikan tersebut tergiring masuk ke dalam kantong.
Ikan yang telah masuk ke dalam kantong umumnya akan mengalami kesulitan untuk keluar lagi
sehingga ikan tersebut akan mudah untuk ditangkap dengan cara mengangkat jarring kantong.
Satu unit set net terdiri dari beberapa bagian yakni penaju (leader net), serambi (trap/play
ground), ijeb-ijeb (entrance) dan kantong (bag/crib).
Jenis alat tangkap set net banyak dioperasikan oleh nelayan di Jepang sejak ratusan tahun yang
lalu dengan berbagai ukuran yakni kecil, sedang, dan besar. Set net berukuran kecil umumnya
dengan panjang penaju kurang dari 500 m dipasang pada kedalaman perairan kurang dari 20 m,
sedang yang berukuran besar memiliki panjang penaju antara 4000-5000 m dan dipasang pada
perairan dengan kedalaman antara 30 ' 40 m. Berbagai jenis ikan yang tertangkap oleh set net di
Jepang antara lain: sardine, ekor kuning, salmon, dan tuna. Produksi perikanan dari hasil
tangkapan set net di Jepang dapat mencapai 3 % dari produksi total dari hasil tangkapan
perikanan laut.
Di Indonesia terdapat berbagai jenis alat tangkap sejenis set net seperti jermal, sero, ambai, belat
dan perangkap lainnya. Perbedaan jenis alat tangkap ini dengan set net adalah bahan yang
digunakan yakni sebagian besar dari bambu, kecuali bagian kantong yang terbuat dari jaring.
Jenis ikan yang tertangkap juga berbeda dimana alat tangkap perangkap (trap) di Indonesia
umumnya menangkap jenis ikan demersal seperti layur, petek dan sebagian jenis ikan pelagis
seperti sardine dan tembang. Namun pada prinsipnya hampir sama yakni menghadang ruaya ikan
kemudian diarahkan masuk ke dalam perangkap/trap dan akhirnya ke kantong.
Uji Coba Set Net di Indonesia
Perikanan set net di Indonesia baru dalam taraf penelitian atau uji coba dan belum dikembangkan
oleh nelayan secara komersial. Uji coba alat set net pertama kali dilakukan oleh Balai Riset
Perikanan Laut/Balai Penelitian Perikanan Laut di perairan Pacitan Jawa Timur pada tahun 1981.
Pada tahun yang sama dilakukan juga uji coba di perairan Bajanegara Banten, kemudian diikuti
uji coba di Prigi Jawa Timur pada tahun 1982 dan di perairan Selat Sunda, Banten pada tahun
1990 dan 1993. Set net yang diujicoba berukuran relatif kecil dengan panjang penuju antara 100-
300 m dan dipasang di perairan pantai dengan kedalaman kurang dari 10 m.
Pada saat uji coba dilakukan penangkatan hasil tangkapan ikan dari kantong setiap hari. Rata-rata
hasil tangkapan ikan berkisar antara 20-30 kg/angkat. Hasil tangkapan tertinggi pernah mencapai
100 kg/angkat pada saat dilakukan uji coba di Pacitan. Jenis ikan yang tertangkap saat itu
didominasi oleh ikan demersial yang beruaya mengikuti pergerakan pasang surut seperti ikan
layur, petek, mata besar dan sebagian ikan pelagis sejenis sardine.
Selanjutnya kegiatan ujicoba set net juga dilakukan oleh Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
IPB bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap di perairan Sorong Papua Barat
pada tahun 2006. Tipe set net yang diujicoba hampir sama dengan uji coba sebelumnya namun
memiliki ukuran yang lebih besar (penaju sekitar 500 m) dan dipasang di perairan yang lebih
dalam (lebih dari 20 m).
Kelebihan dan Kelemahan Set Net
Kelebihan
' Hemat bahan bakar karena alat dipasang menetap sehingga kapal tidak perlu berlayar jauh
untuk mencari daerah penangkapan.
' Jaring set net yang terpasang di laut dapat digunakan sebagai tempat berlindung (shelter) ikan-
ikan yang berukuran kecil sehingga tidak dimakan predator.
' Hasil tangkapan ikan relatif segar/masih hidup dan dapat diangkat/diambil sesuai dengan
kebutuhan pasar.
' Mudah dipindahkan dibanding dgn jenis trap yang ada di Indonesia.
' Sangat sesuai untuk pengembangan usaha perikanan skala menengah kebawah.
Kelemahan
' Hasil tangkapan set net sangat tergantung pada ruaya ikan sehingga untuk memasang set net
harus diketahui jalur ruaya ikan terlebih dulu.
' Jika digunakan penaju (lead net) cukup panjang akan mengganggu alur pelayaran kapal dan
juga pengoperasian alat tangkap lain.
' Tidak semua ikan tertangkap di dalam kantong, kadang-kadang tertangkap juga secara 'gilled or
entangled' di bagian penaju (lead net) atau serambi (trap net) terutama yang menggunakan bahan
jarring sehingga diperlukan pekerjaan tambahan untuk memeriksa bagian tersebut.
' Jaring harus sering dibersihkan terutama bagian kantong karena banyak ditempeli oleh kotoran
dan teritip.
Kemungkinan Pengembangannya
Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan memiliki garis pantai sekitar 81.000 km dengan berbagai
teluk dan semenanjung. Dengan topografi seperti ini maka wilayah perairan laut Indonesia
sangat potensial untuk dikembangkan perikanan set net. Beberapa hal penting yang harus
diperhatikan sebelum pemasangan set antara lain: ketersedian sumber daya ikan yang menjadi
tujuan penangkapan, pola ruaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan, kondisi perairan dimana
set net akan dipasang (topografi dasar, keadaan arus, pasang surut, dan gelombang).
Pengembangann alat tangkap set net sebaiknya dilakukan di wilayah perairan Indonesia bagian
timur karena disamping alasan sumberdaya ikan yang masih tersedia dan juga apabila dipasang
dengan ukuran yang besar tidak terlalu mengganggu arus pelayaran dan pengoperasian alat
tangkap lain. Jika dikembangkan di wilayah Indonesia timur tinggal memikirkan bagaimana cara
pemasaran hasil tangkapannya.
DR.WUDIANTO
Peneliti pada Pusat Riset Perikanan Tangkap,
Badan Riset Kelautan dan Perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara
e-mail: wudianto_prpt@indo.net.id

DESTRUCTIVE FISHING DI PERAIRAN PROPINSI SULTRA


Oleh : Mukhtar, A.Pi, M.Si
Nelayan adalah kelompok masyarakat yang bermukim di kawasan pantai umumnya
menggantungkan sumber kehidupan dari sektor kelautan dan perikanan. Dalam memanfaatkan
sumberdaya kelautan dan perikanan sering kali terjadi eksploitasi secara besar-besaran namun
tidak mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Persoalannya adalah cara-cara yang
dilakukan selama ini seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip tata laksana perikanan yang
bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries - CCRF). Konkritnya sebagai
nelayan tradisional telah melakukan penangkapan ikan dengan cara'cara destructive fishing salah
satu bagain dari Illegal Fishing yaitu kegiatan menangkapan ikan yang dilakukan oleh
masyarakat/nelayan dengan cara merusak sumberdaya ikan dan ekosistemnya seperti pemboman
ikan, penggunaan racun sianida, pembiusan dan penggunaan alat tangkap ikan seperti trawl
(pukat harimau) serta mengeksploitasi habitat laut yang dilindungi.
Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum. Secara umum,
maraknya destructive fishing disebabkan oleh beberapa faktor ; (1) Rentang kendali dan luasnya
wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini (2)
Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut (3) Lemahnya kemampuan SDM Nelayan
Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi (4) Masih
lemahnya penegakan hukum (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak
hukum.
1. Bentuk Destructive Fishing
Dari hasil pengamatan dan pemantauan yang dilakukan terhadap masyarakat pesisir, nelayan,
anggota kelompok masyarakat pengawas, dan pemerintah kelurahan ditemukan beberapa
komponen destructive fishing di daerah pesisir perairan Sulawesi Tenggara, yaitu :
1) Menggunakan bahan peledak dan bahan kimia seperti : bom (dengan bahan berupa pupuk (cap
matahari, beruang,obor), bius (kalium cianida ' KCn) dan Tuba (akar tuba).
2) Penangkapan ikan dengan trawl (pukat harimau).
''Destructive fishing dengan Bom

Gambar 1. Penggunaan Bom Untuk Menangkap Ikan


Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan merusak lingkungan,
penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang
menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di
sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan
sasaran penangkapan. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan
kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan ikan dengan cara
menggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah, terbelah, berserakan
dan hancur menjadi pasir dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Indikatornya
adalah karang patah, terbelah, tersebar berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas
lubang pada terumbu karang.

Gambar 2. Terumbu karang yang rusak akibat Penggunaan Bom


''Destructive fishing dengan Racun Sianida, Pembiusan
Bahan beracun yang sering dipergunakan dalam penangkapan ikan, seperti sodium atau
potassium sianida. Penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan
karang, misalnya ikan hias, kerapu (tpinephelus spp.), dan ikan napoleon (Chelinus). Racun
tersebut dapat menyebabkan ikan besar dan kecil menjadi "mabuk" dan mati. Disamping
mematikan ikan-ikan yang ada, sisa racun dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan
terumbu karang, yang ditandai dengan perubahan warna karang yang berwarna warni menjadi
putih yang lama kelamaan karang menjadi mati. Indikatornya adalah karang mati, memutih,
meninggalkan bekas karang yang banyak akibat pengambilan ikan di balik karang.

Gambar 3. Pembiusan ikan di Terumbu karang


secara umum terutama pada daerah-daerah yang mempunyai jumlah terumbu karang yang cukup
tinggi, karena kebanyakan ikan-ikan dasar bersembunyi atau melakukan pembiakan pada lubang-
lubang terumbu karang. Sedang pelaku pembius memasukkan/ menyemprotkan obat kedalam
lubang dan setelah beberapa lama kemudian ikan mengalami stress kemudian pingsan dan mati,
sehingga mereka dengan muda mengambil ikan.
''Destructive fishing dengan Trawl (Pukat Hariamau).
Pukat harimau (trawl) merupakan salah satu alat penangkap ikan yang digunakan oleh nelayan.
Alat ini berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memilki lubang jaring yang sangat rapat
sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampai dengan ikan yang berukuran
besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaring tersebut. Cara kerjanya alat tangkap ditarik
oleh kapal yang mana menyapu ke dasar perairan. akibat penggunaan pukat harimau secara terus
menerus menyebabkan kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan seperti yang
terjadi di perairan Bagan Siapi-Api Provinsi Sumatera Utara dan di Selat Tiworo Provinsi
Sulawesi Tenggara.

Gambar 4. Kapal Trawl (Pukat Harimau) di Kab. Bombana Sultra.

Gambar 5. Pengoperasian Trawl (Pukat Harimau).


Pukat harimau (trawl) yang merupakan salah satu alat penangkap ikan saat ini telah dilarang di
wilayah perairan Indonesia sesuai Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980 tentang
Penghapusan Jaring Trawl, namun pada kenyataannya masih banyak nelayan yang melanggar
dan mengoperasikan alat tersebut untuk menangkap ikan. Indikatornya adalah karang mati, atau
sulit bertahan hidup di daerah dimana nelayannya sering menggunakan pukat harimau untuk
menangkap ikan.
Menurut data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bombana terdapat 105 unit kapal
dengan alat tangkap trawl yang beroperasi di perairan Selat Tiworo yang berasal dari daerah
kecamatan Rumbia. Sedangkan nelayan yang menggunakan trawl sebanyak 127 orang (23 %)
dari keseluruhan nelayan.
Namun Keberadaan trawl (pukat harimau) di Kabupaten Bombana hingga saat ini membawa
dampak negatif yang sangat besar terhadap nelayan tradisional. Keberadaan nelayan trawl sangat
menggangu nelayan lainnya dan tidak sedikit kerugian yang diderita oleh nelayan tradisional
karena ulah nelayan trawl, dan yang paling menyedihkan adalah banyaknya alat tangkap bubu
yang hilang setiap malam dan rusaknya alat tangkap lainnya seperti bagan dan sero karena
tertabrak oleh kapal trawl, sehingga hampir seluruh nelayan tradisional dililit utang bukan karena
hasil tangkapan kurang, melainkan alat tangkap mereka raib di perairan. Rata-rata alat tangkap
bubu yang hilang setiap malamnya hingga mencapai 100 buah. Jika dirupiahkan harga 1 unit
bubu adalah Rp. 15.000,-. Jadi kerugian nelayan setiap malamnya mencapai Rp. 1.500.000,-.
Kondisi ini sudah berlangsung sejak tahun 1998.
Dampak keberadaan Trawl terjadinya perselisihan antara nelayan trawl dengan nelayan
tradisional sudah berulangkali terjadi; bahkan sudah mengarah ke tingkat anarkis. Upaya
melakukan perdamaian sudah sering dilakukan melalui pembagian jalur penangkapan tetapi
kesepakatan ini selalu dilanggar oleh nelayan trawl. Kesepakatan tidak dibarengi dengan
pengawasan, sehingga aksi penolakan terhadap trawl semakin gencar dilakukan oleh nelayan
tradisional.
Kendala penghapusan trawl di Kabupaten Bombana mengalami kendala karena tidak adanya
sarana pengawasan dan lemahnya penegakkan hukum, HNSI tidak memperlihatkan peranannya
dalam menyelesaikan masalah ini bahkan HNSI sebagai wadah seluruh nelayan justru
memperparah permasalahan ini, sehingga nelayan tradisional semakin tertindas. Jika kondisi ini
dibiarkan, maka kemungkinan terjadi anarki antara nelayan trawl dengan nelayan tradisional.
2. Jenis Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) Untuk Destructive Fishing
Berdasarkan temuan yang ditemukan terhadap pelaku destructive fishing bahan-bahan yang
sering digunakan adalah :
''Bahan Beracun
- Potasium Cianida digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang, bahan ini biasa
digunakan tukang mas.
- Racun hama pertanian seperti merek Dexon, Diazino, Basudin, Acodan digunakan untuk
penangkapan ikan air tawar di sungai atau perairan umum, bahan ini sering digunakan didaerah
transmigrasi dan masyarakat lain disekitar perairan umum.
- Deterjen digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang.
- Akar Tuba digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang.
- Tembakau digunakan untuk penangkapan ikan didaerah karang.
''Bahan Berbahaya
- Belerang korek api seperti merek Diponegoro, Segi tiga ungu digunakan untuk penangkapan
ikan teri dan ikan karang.
- Pupuk urea seperti merek matahari, tiga obor dan tengkorak digunakan untuk penangkapan ikan
didaerah karang dan permukaan. Bahan ini bersama korek api diatas diracik sebagai bahan
peledak diisi dalam botol korek api sebagai sumbu bahan peledak.
- Aliran listrik (strom) digunakan untuk penangkapan ikan di sawah, kali-kali kecil dan daerah
genangan air.
3. Penyebab Destructive Fishing
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan kami ini secara perorangan (pembom aktif dan
non aktif), bahwa dalam beberapa faktor 'Penyebab utama/alasan" atas pelaku terhadap kegiatan
destructive fishing di salah satu daerah di pesisir perairan Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu
didaerah Pulau Wawonii dengan menggunakan bom ikan dan berupa racun (bius dan tuba),
antara lain :
''Adanya Pelaku Bom dari Pihak Luar.
''Adanya Pengedaran Bahan Baku yang masuk
''Mereka dianggap sebagai Golongan Monoritas (Terabaikan)
''Kurangnya ketegasan sanksi hukum
''Merupakan Tradisi
4. Persepsi Masyarakat Terhadap Destructive Fishing
Kegitan destructive fishing seperti bom, bius dan tuba berpengaruh terhadap kelangsungan
ekosistem laut dan pantai, terutama pada daerah yang memiliki terumbu karang. Kegiatan
penangkapan ikan dengan menggunakan bom menyebabkan karang hancur, ikan-ikan kecil mati,
bahkan kelangsungan jiwa dari pelaku juga dapat terancam bahkan sampai mati. Selain itu,
kegiatan penggunaan bom juga dapat menyebabkan kegiatan budidaya ikan dalam keramba
terganggu dan penggunaan obat bius dapat merusak pertumbuhan budidaya rumput laut berubah
menjadi putih dan mati.
Dari wawancara dengan warga setempat, secara umum destructive fishing banyak ditentang oleh
para nelayan dan ibu rumah tangga terutama nelayan kecil dan nelayan usaha budidaya (rumput
laut dan keramba) untuk itu perlu ada upaya penyadaran terhadap mereka yang melakukan
pemboman, bahkan kalau sudah pernah mendapatkan pembinaan kemudian melakukan lagi
maka ditindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diatas, bahwa penangkapan ikan dengan cara
destructive fishing (bom, bius, dan sejenisnya) adalah sangat tidak menguntungkan bagi
kehidupan serta dapat menyebabkan kerusakan habitat laut yang pada akhirnya mempengaruhi
lapangan kerja mereka. Hal ini terbukti dari pernyataan masyarakat sebagaimana pada tabel 1
sebagai berikut :

Tabel 1. Jenis dan Persentase Dampak destructive fishing (Bom, Bius dan Sejenisnya)

1. Memusnahkan/merusak/mematikan ikan/bibit ikan


2. Mengancam jiwa/merusak badan
3. Sulit mencari ikan (mengurangi mata pencaharian nelayan lain)
4. Mengganggu usaha nelayan lain/merusak rumput laut
5. Merusak karang/habitat laut
7. Menjadi tradisi

Sumber Data : Satker PSDKP Kendari 2007.

6. Strategi Penanganan Destructive Fishing


Secara umum penanganan destructive fishing yaitu cara :
''Meningkatkan ke??sadaran masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan atau penerangan
terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh penangkapan ikan secara ilegal.
''Mencari akar penyebab kenapa destructive fishing itu dila??kukan. Apakah motif ekonomi atau
ada motif lainnya. Setelah diketahui perma??salahan, upaya selanjutnya melakukan upaya
preventif.
''Meningkatkan penegakan dan penaatan hukum.
''Meli??batkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
''Perlu adanya dukungan kelembagaan dari pemerintah. Artinya harus ada yang mengurusi kasus
ini.
Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakaukan selama ini ditemukan destructive fishing dengan
menggunakan bahan peledak dan kimia seperti Bom, Bius dan Tuba, Pukat Harimau (Trawl).
Pencegahan terhadap penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan peledak dan kimia
lainnya seperti bom ikan, Bius, Racun Cianida adalah bukan persoalan yang mudah, apalagi
aktifitas ini sudah mengakar dan membudaya bagi kalangan nelayan tradisional. Beberapa
strategi penanganan masalah, antara lain :
''Peningkatan Ekonomi Nelayan
Dari hasil wawancara terhadap masyarakat nelayan, termasuk pelaku bom aktif dan non aktif,
bahwa apalagi kegiatan destructive fishing dilarang maka meraka harus di beri mata pencaharian
alternatif yang bernilai ekonomis sesuai dengan bidang/pengetahuan dan keterampilan
masyarakat dan dalam penyalurannya harus tepat sasaran, bukan hanya pada nelayan tertentu
atau yang hanya dekat dengan pejabat. Sebab jika tidak, maka strategi yang terbangun tidak
menyelesaikan masalah.
Beberapa mata pencaharian alternatif yang diusulkan oleh masyarakat nelayan, sebagai berikut :
?? Budidaya rumput laut
?? Budidaya ikan keramba Tancap.
?? Alat Penangkapan Bubu
?? Tambahan Modal Usaha Bagi Pedagang Ikan (Papalele antar Pulau)
''Penguatan Kelompok Masyarakat Pengawas
Kelompok masyarakat pengawas di Kelurahan Langara Laut di sebut ' Kelompok Masyarakat
Pengawas Samudera ' KMPS '. Sesuai hasil wawancara dengan masyarakat setempat termasuk
nelanyan pelaku bom yang sudah non aktif, bahwa keberadaan kelompok msyarakat pengawas
yang dibina oleh Satker PSDKP Kendari sangat menekankan intensitas kegiatan destructive
fishing di Kelurahan Langara Luat dan Kawasan perairan Pulau Wawonii secara umum
Sejalan dengan kegiatan kelompok masyarakat pengawas yang rata-rata mereka adalah nelayan
yang berpendapatan rendah termasuk mantan pelaku bom ikan, maka pihak Satker PSDKP
Kendari dan Instansi teknis terkait (Dinas Perikanan Provinsi dan Kabupaten Konawe) harus
memperhatikan keberlangsungan usaha dan kehidupan mereka karena mereka selain tertanggung
jawab menjaga laut selaku anggota pengawas, juga mereka tetap bekerja sebagai nelayan.
Untuk mendukung aktivitas kelembagaan kelompok pengawas dan kehidupan sosial ekonomi
anggota, maka diperlukan bentuk-bentuk strategi penguatan sebagai berikut :
''Kerjasama Instansi Terkait (Tim Gabungan Terpadu)
Kelompok Masyarakat Pengawas Laut dan Pantai yang ada di Kelurahan Langara Laut, masih
tergolong muda dan merupakan hal baru bagi sebangian masyarakat setempat, maka strategi
gerakan yang diperlukan adalah kerja sama Instansi teknis terkait secara terpadu yang meliputi :
(1) Unsur Kelompok Masyarakat Pengawas samudera (2) Kepolisian (3) ABRI (4) Angkatan
Laut (5) Dinas Kelautan dan Perikanan (6) Anggota Satuan Pengawas Perikanan Satker PSDKP
Kendari. Bentuk kegiatan kerjasama (Tim Gabungan Terpadu ' TIGER) antara lain :
' Penegakan hukum secara merata (Pelaku bom ikan dan pengedar bahan baku
' Gerakan penyadaran
' Pelacakan Pengedaran dan Bahan Baku Bom Ikan dan sejenis
''Peningkatan Sarana dan Prasanan Pendukung Kelompok Masyarakat Pengawas
Dalam rangka peningkatan kinerja dan jangkauan operasi Kelompok Masyarakat Pengawas
Samudera yang maksimal maka di butuhkan sarana dan prasarana yang antara lain :
''Alat transportasi yang mempunyai kapasitas GT yang lebih besar ketimbang yang dimiliki oleh
pelaku bom (minimal kapal mesin tempel 40 PK). Sebagai contoh sewaktu Tim Satker PSDKP
Kendari dan Anggota KMPS turun lapangan diperairan Langara Laut ada sekelompok orang
yang siap akan melemparkan bom dan ketika kami mendekati, mereka melarikan diri dengan
menggunakan bodi batang bermesin tempel sehingga tidak mungkin untuk mengejar pelaku
karena perahu kami menggunakan mesin katinting.
''Radio (HT) 3 unit
''Handy come 1 unit
''Posko Pengawasan 1 unit
''Identitas (Atribut anggota).
''Penguatan Kapasitas Sosial Ekonomi Anggota Pengawas
Bentuk usaha ekonomi produktif yang diusulkan oleh anggota Kelompok Masyarakat Pengawas
Samudera, yaitu :
''Alat tangkap ikan Bubu (100 Unit) + Kompresor (1 Unit)
''Kapal Ikan (kapal gai ' bahasa lokal) 2 Unit
''Jaring Insang (10 Unit )
''Budidaya Rumput Laut
''Budidaya Ikan dalam keramba tancap.

''Pencegahan Pelaku Bom dari Pihak Luar.


Berdasarkan wawancara dengan masyarakat nelayan (Pelaku Bom aktif dan non Aktif) serta
informasi dari pihak pemerintah Kelurahan Langara Laut, anggota Pokmaswas dan Petugas
Satker PSDKP Kendari, bahwa pelaku bom ikan di Perairan Wawonii, bukan saja dari nelayan
setempat, tetapi juga berasal dari desa-desa lain, seperti : Desa di Pulau Cempedak dan
sekitarnya (Kec. Laonti) Kabupaten Konawe Selatan dan Desa Mekar, Bajo Indah dan
Sekitarnya (Kec. Soropia) Kab. Konawe.
Berdasarkan informasi tersebut di atas, maka masyarakat nelayan di Kelurahan Langara Laut,
menyarankan kepada Pemerintah agar bom ikan baik dari dalam maupun dari luar wilayah
Wawonii perlu ditindak tegas (diberikan sanksi hukum yang sesuai dengan Undang-Undang
Perikanan).
7. Penanganan Pelaku Destructive Fishing
Pelaku destructive fishing yang berada di pesisir Propinsi Sulawesi Tenggara tidak pernah jerah
(kapok) atau takut dengan ancaman hukuman dan bahaya yang menyintai terhadap diri mereka.
Sudah banyak kasus tewasnya pelaku karena terkena bom yang belum sempat dibuang atau
banyaknya tersangka sudah diadili di pengadilan yang sudah mempunyai keputusan yang tetap.
Gambar 6. Korban Yang Tewas akibat bom ikan.

Gambar 7. Korban Yang Terpotong Tangan akibat bom ikan.

Anda mungkin juga menyukai